Quote:
Dalam keheningan malam berkabut ini Yuka terus menghisap rokoknya di tangan.
Aku dan Yuka sudah menunggu sekitar 3 jam lamanya di dalam pos keamanan gerbang pabrik, ini semua sesuai rencana dan kita hanya menunggu bus itu lewat saja.
Aku masih tidak percaya dengan teori gila Satya yang mengatakan bahwa bus itu selalu terlihat ketika ada seseorang berdarah Sunda masuk daerah ini.
Erga : “Kalo gue gak percaya Yuk, masa hanya karena kita berdarah Sunda, bus itu sampe rajin nongol”.
Yuka : “Emang setan-setan itu rasis!”.
Erga : “Kalo setiap tahun mereka muncul, itu pasti bukan alesan lah. Selain kita mana ada orang Sunda lagi disini”.
Yuka : “Bentar ga, sepertinya ada kecocokan. Gue pernah liat arsip, kalo emang tiap tahun ada orang Bandung kesini buat survey. Kayaknya sekalian ambil laporan tahunan”.
Erga : “Tapi bukannya bisa kirim lewat email? Kirim lewat pos? Atau orang sini yang anter sendiri kesana”.
Yuka : “Dah lah, gak penting nyet! Yang penting kalo itu setan maunya orang Sunda, gue ladedin! Aing teu sieun! (Saya tidak takut!)”.
Pukul 2 pagi lebih 24 menit Yuka membangunkanku dari tidur di bangku ini, kulihat Yuka berjongkok mengintip sorot lampu redup yang mulai memasuki area pabrik.
Kejadian ini sama seperti kejadian yang dialami oleh Pak Jum dan Pak Ono sebelumnya, namun sekarang kami sudah membukakan pintu gerbang dari sore hari.
Pak Jum dan seorang petugas keamanan lainnya yang bertugas malam ini sudah kuperintahkan untuk berjaga di dalam pabrik, menjadikan kami hanya berdua di pos keamanan ini.
Bus tua itu perlahan melewati pos keamanan dengan suara mesin yang membisingkan.
Benar adanya cerita itu, semua penumpang tidak memiliki daun telinga dan sepertinya tetesan darah keluar dari kepala mereka.
“SEKARANG!!!”, aku mengirim pesan kepada Satya.
Dari sudut pandang ini, aku dapat melihat dengan jelas tulisan pada badan bus, “Mobil Angkutan Pekerja PT. ****tex Bandung”.
Bus itu telah melewati kami, Yuka berlari ke arah gerbang pabrik dan menyiramkan cairan dari dalam botol yang sudah kami persiapkan.
Ini lah ide gila non logis dari seorang Satya, menutup jalan masuk dan keluar dengan air ramuannya.
Cairan di botol ini adalah campuran dari air hasil perasan tembakau jawa dan beberapa lembar daun Bidara.
“Ayo ga kita kejar!”, teriak Yuka mengajaku untuk segera berlari mengejar bus itu dari belakang.
Entah untuk keberapa kalinya aku mengikuti perlombaan lari ilegal seperti ini, dan lawanku selalu seorang Yuka Anggara.
Bus itu berhenti, ditengah jalan bebatuan munuju mess dan tepat berada di depan jalan masuk garasi kendaraan pabrik, sekarang kami tahu apa penyebabnya.
Satya sudah berdiri di depan bus itu, lambaian tangannya terlihat jelas terkena sorot lampu depan bus yang memecah kabut.
“Renaaaaaa!!”, Satya berteriak memanggil seseorang dengan lantangnya.
Tidak lama setelah itu dari arah garasi pabrik Rena dan Rasha berlari dengan membawa kantung plastik ramuan itu di kedua tangan mereka.
Dalam hitungan detik, “craaaaaaaatt!” kantung plastik itu mengenai badan bus, lemparan para wanita memang menakutkan.
Aku dan Yuka termenung melihat pemandangan ini, tapi bau bangkai sudah mulai tercium menusuk hidungku.
“Sreeeet!, craaat!”, kulihat Tiran melompat dari atas tembok pembatas jalan, Tiran melompat dengan melempar sebuah bungkusan hitam ke atas bus.
Seperti layaknya seorang aktor, diluar logika Tiran berhasil melewati bus itu dan dia mendarat di luar pagar pembatas hutan.
Dengan cepat pula Tiran masuk kedalam hutan dan menghilang di kegelapan.
Bus itu mulai mengeluarkan asap dari atapnya, dan sekarang sedikit demi sedikit bus itu mengeluarkan percikan api.