Kita akan kembali di jaman peperangan dahulu kala. Saat dimana mayat bertumpuk dan banjir darah menggenang hingga betis.

Satu kampung habis, senja jingga berubah merah. Harum melati berganti anyir darah, percikan tawa berganti dengan percikan api, tak ada yang tersisa kecuali melodi kematian yang entah bagaimana menari dalam kepulan asap dan genangan darah.

Diantara mereka, satu pasukan dengan senjata api laras panjang lengkap pisau bayonet diujungnya sibuk membereskan kekacauan mereka.

Wanita dan anak-anak diangkut dengan sebuah mobil tentara ke sebuah tempat, laki-laki dan orangtua dibunuh. Entah itu ditembak mati, dipenggal, dibakar, sama saja, mereka mati dalam ketidakberdayaan dan rasa dendam yang menyiksa. Tak ada senyum pada tubuh berlumuran darah tanpa nyawa mereka, hanya gertakan gigi dan raut wajah penuh benci. Seperti mengutuk semua orang yang telah merenggut nyawa mereka dengan keji.

Orang-orang itu tinggi besar dengan kulit putih kemerahan, bermata hijau atau biru, dan kebanyakan berambut oranye atau merah. Mereka tertawa dan saling berbincang dalam bahasa yang tak ada seorangpun mengerti. Seragam mereka berwarna biru tua, sepatu panjang sebetis, juga sebatang cerutu kerap kali menghiasi bibir mereka.

Di suatu malam di sebuah ruangan, 2 anak kembar perempuan sedang menangis bersama. Mereka berpelukan, saling memohon kepada iblis atau Tuhan memanjat sejuta doa dan harapan diiringi sumpah serapah dan ratusan juta kali kutukan. Anak kecil yang belum genap 10 tahun itu menanggung dendam semua orang.

Mereka kembar, itulah daya tariknya. Satu bulan berlalu, tatapan mereka masih sama, gelap dan penuh kebencian yang semakin mengental dari hari ke hari.

Dalam satu bulan itu, entah sudah berapa ratus laki-laki yang merudapaksa mereka. Dibawah dinginnya pisau atau todongan laras api, mereka menari diatas tubuh setiap laki-laki dengan wajah datar, tatapan jijik, dan serapah yang tak pernah absen dari lidahnya.

Demi hidup, demi balas dendam, mereka tetap bertahan. Makan apapun yang diberikan, mereka selalu menghabiskannya, hanya untuk satu tujuan. Memakai pakaian sejijik apapun, mereka turuti, hanya untuk satu tujuan. Dengan hati yang terus menghitam, mereka bertahan.

Hingga entah di hari atau di minggu ke berapa, purnama sempurna diujung langit sana. Gerah menerpa dengan ganas, serangga-serangga seperti keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang satu persatu orang-orang itu. Siapapun wanita di kamar-kamar itu, tak ada yang mau untuk menyentuhnya. Wanita-wanita itu hanya duduk berdoa, memohon belas kasih, menjilat setiap laki-laki untuk terus hidup, atau menggantung dirinya sendiri agar lepas dari belenggu penderitaan.

Dan alunan pelan berbisik di telinga si kembar. Hampir seperti sesuatu sedang melagu di kepala mereka.



Alunan itu merdu dan menenangkan untuk beberapa saat, lalu suara teriakan setiap laki-laki yang mati di desa menggema dan perlahan merubah lagu yang mereka dengar.



Satu mata si kembar masing-masing menghitam seluruhnya, yang satu sebelah kiri yang satu sebelah kanan. Tak ada lagi warna putih, hanya hitam yang dalam terpancar dari keduanya. Seperti jurang, atau sumur tanpa dasar, entah iblis mana yang mewujudkan dendam mereka, aku tak bisa berkata apapun selain melihat tangisan mereka pecah keras ditengah malam.

Kepala mereka dipenuhi setiap perasaan duka dan dendam dari semua orang. Saat mereka berusaha saling menguatkan, masing-masing melihat gambaran kematian dari saudara kembarnya. Mereka terdiam, mengindahkan rasa sakit kepala yang menghujam keras seperti kepala akan meledak. Lalu berpelukan dalam diam, yang mereka lakukan sama seperti dulu. Bertahan.

Kemudian seperti acuh tak acuh, mentari kembali naik di pagi hari. Meninggalkan embun dan rasa dingin seperti masa lalu yang terlampau jauh.

Seperti biasa, seorang petugas masuk ke kamar si kembar untuk mengantarkan makanan ala kadarnya.

Yang berbeda dari pagi itu adalah, saat si petugas melihat kedua mata si kembar, ia terdiam sejenak, hidungnya mengeluarkan darah hitam. Lalu ia tertawa keras terbahak-bahak dengan suara parau seperti tenggorokannya hampir putus karena keras suara tawanya sendiri.

Ia mengokang senjatanya, keluar kamar dan membantai orang-orang yang ia temui.

Untuk beberapa menit kedepan, hanya suara tembakan dan teriakan yang terdengar. Satu lawan satu pasukan? Orang itu berhasil dilumpuhkan secara paksa, ia akhirnya ditembak mati dalam kegilaannya.

Semua orang kebingungan atas kelakuan satu petugas itu, setelah diketahui ia gila ketika usai dari kamar si kembar, seseorang yang tampaknya pemimpin, memasuki kamar itu diiringi beberapa orang yang saling mengacungkan senjata. Si kembar diujung tanduk!

Namun seperti melempar garam ke tengah laut, kelima petugas itu pula melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, tertawa terbahak-bahak dan saling membantai satu sama lain.

Si kembar bergandengan tangan, berjalan keluar kamar perlahan, dan menatap mata setiap orang yang mereka temui, tak peduli itu siapa. Meskipun ia adalah wanita disamping kamarnya, mereka tak pilih siapa. Semua harus mati hari ini.

Sekali lagi,
Senja oranye berhias merah dengan genangan darah hingga mata kaki. Bau mesiu bercampur bau anyir darah. Tumpukan mayat bergelimpangan di sembarang tempat. Si kembar berjalan dengan baju putih bersih diantara kekacauan yang mereka sebabkan.

Tak ada senyum, meski samar suara tawa terbahak dari orang-orang yang sekarat, mereka terus berjalan jauh ke dalam hutan.