Quote:
Aku terbangun dengan rasa pusing yang memenuhi kepalaku, posisiku sekarang duduk diatas rerumputan yang tidak terawat.
Argghhh…aku terkejut dengan apa yang aku pegang, batuan aneh terlihat jelas ditengah keadaan yang gelap ini.
“Tenang mas Erga, semua baik-baik saja. Sini biar saya bantu berdiri”, aku mendengar suara Satya dari depan tempatku berada.
“Diam kau brengsek! Apa yang kamu lakukan?!”, teriaku menyela bantuannya.
“Baik kalo begitu, akan saya ceritakan semuanya”, Satya kali ini memposisikan diri dengan setengah berjongkok agar aku dapat melihat mukanya dengan jelas.
Satya mulai menjelaskan setiap hal yang aku lihat, setiap hal yang aku alami, dan ternyata semua ceritanya masuk dalam pikiranku.
Satya adalah seorang pemuda yang berasal dari desa sebelah, dan sudah beberapa lama ini bekerja di pabrik.
Sejak kecil, Satya dirawat oleh pamannya yang merupakan penduduk asli desa sebelah.
Masa lalu kelam memang menjadi awan hitam dalam hidupnya, dan ini berkaitan dengan tragedi kebakaran desa pada tahun 1990.
Satya lahir di tempat ini, sejak lahir dia sudah menjadi bagian dari alam disekitar lembah bukit.
Namun sayang, ketika berumur 5 tahun kejadian itu membunuh kedua orang tuanya sehingga menjadikan Satya anak sebatang kara.
Hal yang menjadikan faktor hidupnya Satya adalah pada malam naas itu terjadi Satya sedang menginap di rumah pamannya yang berada di desa sebelah.
Aku memancarkan sorot mata marah saat ceritanya mulai memasuki bagian dimana aku dan teman-temanku terlibat dalam rencananya.
Satya : “Mungkin dengan adanya kehadiran mas Erga dapat membantu rencana saya untuk mengetahui apa yang membuat orang tua saya meninggal di tempat ini”.
Erga : “Terus siapa makhluk sialan itu?!”, tanyaku dengan nada tinggi.
Satya : “Dia adalah Tiran, teman masa kecil saya disini, dan dia menjadi satu-satunya orang yang selamat dari kebakaran itu. Tidak perlu kaget mas dengan fisiknya. Luka bakar memang mengubahnya secara genetik sehingga menjadi seperti itu”.
Erga : “Lalu, apa yang kau berikan kepadanya tadi?”.
Satya : “Jatah makannya, daging ayam mentah yang saya beli setiap pergi ke pasar. Seperti yang saya katakan mas, dia menjadi seperti itu karena harus hidup di hutan setan itu untuk bertahan hidup. Dan semenjak saya disini, saya memiliki tanggungjawab untuk merawatnya”.
Erga : “Sekarang apa rencanamu? Dan kenapa kau membuatku pingsan, hah?”.
Satya : “Yang melemparkan batu itu adalah penghuni daerah terkutuk ini, semua kejadian Poltergeist disini ulah dari para setan itu! Jika Tiran tidak mengusirnya, mungkin mas Erga akan dibawa ke dunia gelap mereka atau bahkan dibuat tersesat selamanya di Hutan Sembarani.
Erga : “Oke, setelah semua ini akan kubantu kau mencari informasi tentang kebakaran itu, sekarang aku harus menghubungi teman-temanku”.
Satya : “Saya sudah mengirim pesan kepada mbak Rasha, agar mereka pergi ke desa sebelah untuk sementara”.
Satya membantuku berdiri dengan perlahan, kami kembali menyusuri jalan setapak di kebun ini dan menuju ke arah pabrik melalui celah kecil di belakang pabrik.
“Sat, batu-batu di kebun itu seperti kuburan”, aku bertanya dengan menghindari kawat besi pembatas.
“Entahlah mas, batu-batu itu selalu kembali ke tempatnya saat dipindahkan atau dibuang. Makanya lahan itu dibiarkan kosong begitu”, jawab Satya saat kita berada di depan pintu belakang pabrik.
Aku dan Satya berjalan melewati sisi kiri pabrik disepanjang tembok, tujuan utama kami adalah menemui ketiga temanku di pos keamanan pabrik.
Saat tiba di pos keamanan, tak terlihat ada seorang pun disana.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, mereka bertiga telah pergi ke arah desa sebelah menggunakan mobil tua milik perusahaan.
“Yang lain sudah pergi Pak, pake mobil baru saja”, kudengar Pak Ono mendekat dari arah gerbang pabrik.
Satya memalingkan muka kearahku dan berkata, “Mas, sepertinya bakal ada masalah. Lebih baik kita kejar mereka”.
“Pake apa? Lari?”, sahutku sinis.
“Pake motor saya saja Pak, pake saja”, Pak Ono dengan dermawan menawarkan sepeda motornya untuk kami pakai.