- Beranda
- Stories from the Heart
Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)
...
TS
rainydwi
Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)

Pixabay
Balada Diet si Papi
Oleh Reny Dwi Astuti
Banyak yang bilang, emak-emak suka enggak konsisten saat melakukan sesuatu. Contohnya, bilang kepingin diet, tetapi kala melihat camilan nganggur di piring, ia mendadak lupa. Saat diingatkan, pasti berkelit dengan mengatakan, "Besok aja mulai dietnya. Sayang nih, dari pada mubazir."
Ternyata eh ternyata, nih, Gaes, bukan cuma emak-emak yang enggak konsisten dalam melakukan sesuatu. Bapak-bapak pun demikian, loh, meskipun tidak sebanyak kaum emak-emak. Contohnya, si Papi, suamiku ....
♨️
Pernah di Jumat malam, kuungkapkan kepada Papi rencana untuk berolahraga.
"Pi, besok pagi olahraga, yuk?" ajakku.
"Ayo!" jawabnya penuh semangat. "Olahraganya ngapain aja, Mi? Di mana?"
"Kalo aku sih biasanya lari, Pi. Meski terkadang banyak jalannya."
"Kenapa olahraganya nggak di rumah aja, Mi? Resik-resik rumah, gitu. Itu, 'kan, termasuk olahraga juga. Keringetnya dapet, rumah juga jadi bersih dan rapi," usul suamiku.
"Ya nggak sama, dong Pi. Belum tentu semua kegiatan beres-beres bikin kita keluar keringet. Kalo ngelakuinnya sambil duduk? Hehehe ...," kilahku seraya mengerling manja kepadanya.
"Papi mau, 'kan? Kita puterin komplek ini aja."
Papi manggut-manggut. "Ya," jawabnya singkat.
"Bener, ya, Pi? Besok habis sholat Subuh, kita jalan pagi," ajakku.
♨️
Esoknya, seperti yang telah disepakati, aku dan suami keluar rumah untuk jalan pagi. Namun, baru saja berjalan sejauh kurang lebih tiga ratus meter, Papi mengeluh sakit perut. Pingin buang air besar, katanya.
"Loh, Pi. Tadi, 'kan, Papi udah ke belakang. Kok sekarang sakit perut lagi, sih? Jangan-jangan, alasan Papi aja kali, nih." Aku sedikit menuduh.
"Enggak tau nih, Mi. Perutku kok tiba-tiba mules, ya?"
Kuperhatikan raut muka sang imam dan sepertinya ia tidak sedang berbohong. Tampak jelas bila suamiku itu seperti sedang menahan rasa sakit. Merasa tidak tega, akhirnya kuturuti permintaan Papi untuk pulang.
"Perutku emang suka begini, Mi. Kalo kena hawa dingin pasti mules. Pingin buang air," jelasnya.
Aku malas berkomentar, kesal. Acara olahraga hari ini gagal total. Yang terjadi selanjutnya adalah, kami malah leyeh-leyeh enggak jelas di rumah.
Pernah sekali lagi kami sepakat melakukan jalan pagi. Kali ini, drama sakit perut tidak terjadi. Namun, saat baru separuh perjalanan ditempuh dari rute yang disepakati, Papi malah minta makan bubur ayam.
Waaah, ini sih judulnya bukan kepingin langsing, tetapi malah nambah gembul. Keringat yang beberapa saat sebelumnya keluar tidak sebanding dengan kalori yang masuk ke tubuh. Mana makan bubur ayamnya pake acara tambah sate usus dan sate telor puyuh, lagi. Hadeeeh .... 😔😔
Kalau tahu bakal begini akhirnya, mending tadi aku olahraga sendiri saja. Ngajak Papi, mah, sama saja bohong. Ampun, Pi. Nyerah deh aku.
♨️
Pernah di suatu pagi sebelum kami berangkat ngantor ....
"Mi, celanaku kok agak sesak, ya? Apa aku tambah gemuk?" tanya Papi usai memakai celana jeans favoritnya. For your info, nih, meskipun kerja kantoran, perusahaan tempat suamiku bekerja tidak pernah melarang memakai baju jenis ini.
Aku cermati tubuh pria yang baru menjadi suamiku selama dua tahun itu dari atas sampai bawah.
"Ah, perasaan sama aja, Pi. Nggak ada yang berubah kayaknya. Kok Papi bisa bilang begitu? Indikasinya apa?"
"Kemarin-kemarin kalo aku pake celana jeans ini nggak ngepas kayak gini. Tapi barusan, aku mau masukin kancingnya aja agak susah. Sedikit sempit di bagian perut."
"Makanya, Pi. Kalo habis makan malam, Papi jangan langsung tidur. Harusnya duduk dulu, leyeh-leyeh sebentar. Nah, kira-kira satu jam kemudian, Papi baru tidur."
Alih-alih berkomentar, Papi malah manggut-manggut. Suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan beliau kala mencerna kata-kata yang didengarnya atau saat setuju dengan inti pembicaraan.
"Mulai besok kita diet, yuk, Mi. Nggak usah makan malam. Pagi atau siang, makan banyak nggak papa. Tapi, malamnya kita puasa. Kalau lapar, banyakin minum air putih aja."
Tak lama berselang, Papi mendekatiku seraya berkata, "Kamu juga sekarang makin gemuk, Mi. Kelihatan banget dari ini."
Dijawilnya bokongku lembut.
Aku tertawa. Lalu kubilang, "Dari dulu boncenganku memang udah gede, kali, Pi. Bukannya Papi suka?" Kusenggol bahu kanannya dengan manja.
"Eh tapi ... ini serius Papi mau diet? Yakin? Wong kalau kelaparan, malamnya pasti Papi enggak bisa tidur. Iya, 'kan? Ngaku aja deh."
"Ya diniatin, dong, Mi. Siang dipuas-puasin makan yang kenyang. Malamnya, puasa. Kalau laper, minum air putih aja yang banyak."
"Wew? Perutku bisa kembung, dong, Pi."
"Yo ndak, lah. Paling bolak-balik ke kamar mandi. Nguyuh*."
Papi tertawa, terdengar ada nada puas di sana.
Akhirnya disepakati bahwa mulai malam ini kami mencoba untuk tidak makan malam.
♨️
Aku tersadar dari alam mimpi dan mendapati kalau ternyata suamiku tidak ada di sisi. Kuraba meja kecil yang ada di dekat tempat tidur, mencari kacamata agar bisa melihat dengan jelas alat penunjuk waktu yang ada di dinding. Rupanya masih pukul 00:30.
Dikarenakan ingin tahu keberadaan Papi, aku pun keluar kamar.
Kulihat Papi tengah duduk di kursi makan dan segera menghampirinya.
"Papi lagi apa?" tanyaku seraya memindai apa saja yang ada di atas meja. Secangkir teh yang asapnya masih terlihat mengepul dan sebungkus biskuit yang isinya tinggal beberapa buah. Mata ini membelalak sempurna.

Sumber : pixabay
"Papi habis makan?"
"Aku ora iso turu, Mi. Awakku nderedek*. Kelaparan," paparnya.
Spontan aku tertawa. Lalu kubilang, "Makanya, Pi. Jangan sok-sokan mau diet deh. Aku tuh tau kalo Papi orangnya enggak kuat nahan lapar."
"Ya ... namanya juga usaha, Mi," kilahnya sambil memasukkan sebuah biskuit ke mulut.
"Ya udah gini aja, Pi. Dari pada Papi diet tapi ujung-ujungnya makan juga karena enggak kuat, mending olahraga aja, deh ya?"
Papi tidak berkomentar dan hanya manggut-manggut. Malam itu beliau bertekad untuk mulai melakukan diet. Namun, kalian tahu, Gaes? Seperti yang sudah-sudah, usaha Papi untuk diet tidak pernah terlaksana.
Tamat.
Direvisi kembali di Bekasi, 14 Juli 2020.
Catatan:
*nguyuh = buang air kecil
*Aku ora iso turu, Mi. Awakku nderedek = aku nggak bisa tidur, Mi. Badanku gemetaran.

Lihat juga cerpen ane yang lain :
Saking Car
Mencari Cinta
Gado-gado
Bakso Mas Bedjo
Di Balik Cerita Diet si Wati
Kenang-kenangan
Tanpamu
Diubah oleh rainydwi 02-01-2021 18:43
runny.n.tesla dan 29 lainnya memberi reputasi
28
4K
492
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rainydwi
#73

Pixabay
TANPAMU
Oleh: Reny Dwi Astuti
Angga masih bersimpuh di depan pusara Mila, seolah tak rela meninggalkan sang belahan jiwa sendiri. Sementara, sanak keluarga juga kerabat satu per satu mulai meninggalkan komplek pemakaman ini.
"Sudah, Nak Angga. Biarkan istrimu beristirahat dengan tenang." Bapak mertuanya berjongkok dan mengajak si menantu pulang.
"Sebentar lagi, Pak. Angga masih kepingin di sini dulu."
"Jangan lama-lama, ya, Nak. Kasihan Mila. Jangan kau beratkan ia di sana. Ikhlaskan, ya?"
Angga mengangguk.
***
Sebulan berlalu semenjak kepergian Mila. Namun, Angga masih terlihat sangat terpukul. Bapak mertuanya sering mendapati sang menantu diam sendiri dengan tatapan kosong.
Angga dan Mila baru menikah dua tahun. Meski belum dikaruniai buah hati, hari-hari mereka lalui dengan bahagia. Tidak sekali pun terdengar pertengkaran di antara keduanya.
Kepergian istrinya yang tiba-tiba membuat Angga merasa terpukul. Demi menghindari seorang anak yang menyeberang, Mila terpaksa membanting setir ke kiri. Tanpa disangka, sebuah pick up melaju kencang dari arah berlawanan dan menabrak mobil yang ditumpangi wanita tersebut.
Masih belum hilang dari ingatan Angga segala hal tentang kebiasaan sang istri. Bagaimana ekspresi Mila saat menyambut kepulangannya pasca seharian bekerja, irama khas sendok beradu dengan cangkir saat wanita itu membuatkan kopi, atau pun omelan-omelan kecil saat ia digoda sang suami.
Satu yang sangat dirindukan Angga dari istrinya itu; aroma khas tubuh Mila di pagi hari yang yang selalu tercium saat pria itu membuka mata.
***
Angga terbangun mana kala indera penciumannya menghirup aroma yang ia kenali. Lamat-lamat pria itu seperti mendengar suara yang sudah amat akrab di telinga.
"Mas Angga, bangun. Sudah hampir subuh, loh, Yang."
Angga menggeliat sebentar, lalu tersenyum. "Ah, Mila sudah bangun rupanya," gumamnya dalam hati.
Namun, tiba-tiba ia bangun dari tidurnya. Kala menyadari bahwa sang belahan jiwa sudah tiada, Angga menunduk. Tanpa terasa, bulir bening jatuh dari ujung kedua netranya.
Setengah terisak, Angga menggumam, "Mila ... bagaimana harus kulalui hari-hariku tanpamu di sisi?"
"Sudah, Nak Angga. Biarkan istrimu beristirahat dengan tenang." Bapak mertuanya berjongkok dan mengajak si menantu pulang.
"Sebentar lagi, Pak. Angga masih kepingin di sini dulu."
"Jangan lama-lama, ya, Nak. Kasihan Mila. Jangan kau beratkan ia di sana. Ikhlaskan, ya?"
Angga mengangguk.
***
Sebulan berlalu semenjak kepergian Mila. Namun, Angga masih terlihat sangat terpukul. Bapak mertuanya sering mendapati sang menantu diam sendiri dengan tatapan kosong.
Angga dan Mila baru menikah dua tahun. Meski belum dikaruniai buah hati, hari-hari mereka lalui dengan bahagia. Tidak sekali pun terdengar pertengkaran di antara keduanya.
Kepergian istrinya yang tiba-tiba membuat Angga merasa terpukul. Demi menghindari seorang anak yang menyeberang, Mila terpaksa membanting setir ke kiri. Tanpa disangka, sebuah pick up melaju kencang dari arah berlawanan dan menabrak mobil yang ditumpangi wanita tersebut.
Masih belum hilang dari ingatan Angga segala hal tentang kebiasaan sang istri. Bagaimana ekspresi Mila saat menyambut kepulangannya pasca seharian bekerja, irama khas sendok beradu dengan cangkir saat wanita itu membuatkan kopi, atau pun omelan-omelan kecil saat ia digoda sang suami.
Satu yang sangat dirindukan Angga dari istrinya itu; aroma khas tubuh Mila di pagi hari yang yang selalu tercium saat pria itu membuka mata.
***
Angga terbangun mana kala indera penciumannya menghirup aroma yang ia kenali. Lamat-lamat pria itu seperti mendengar suara yang sudah amat akrab di telinga.
"Mas Angga, bangun. Sudah hampir subuh, loh, Yang."
Angga menggeliat sebentar, lalu tersenyum. "Ah, Mila sudah bangun rupanya," gumamnya dalam hati.
Namun, tiba-tiba ia bangun dari tidurnya. Kala menyadari bahwa sang belahan jiwa sudah tiada, Angga menunduk. Tanpa terasa, bulir bening jatuh dari ujung kedua netranya.
Setengah terisak, Angga menggumam, "Mila ... bagaimana harus kulalui hari-hariku tanpamu di sisi?"
Tamat.
Ditulis pada tanggal 17 Januari 2019.
Direvisi kembali di Bekasi, 27 Desember 2020.
Belajar Bersama Bisa dan terima kasih.
Lihat juga cerpen ane yang lain :
Balada Diet si Papi
Saking Car
Mencari Cinta
Gado-gado
Bakso Mas Bedjo
Di Balik Cerita Diet si Wati
Kenang-kenangan
Diubah oleh rainydwi 02-01-2021 18:46
betiatina memberi reputasi
1