Kaskus

Story

gitalubisAvatar border
TS
gitalubis
Cinta Yang Berbeda

Cinta Yang Berbeda
sumber gambar

“Aku tak mau membesarkan seorang pembunuh! Harusnya dia sudah mati!”

“Istighfar, Yan. Jangan biarkan setan tertawa karena berhasil membuatmu mengikuti bisikannya. Ingat, Arum itu anakmu, dia terlahir dari rahimmu!”

“Ibu juga sama berdosanya dengan dia! Kalau hari itu Ibu tidak membiarkanku untuk menggugurkannya, mungkin anakku masih hidup sampai sekarang! Dia memang benar-benar pembawa sial!”

Aku masih bisa mendengar jeritan Ibu secara jelas, meskipun Nenek telah membawanya ke dalam kamar. Siapa pun yang mendengar jeritan kasarnya, pasti tak akan suka. Aku pun begitu, tapi sayangnya hampir setiap hari Ibu menjeritiku, bahkan dengan kata-kata yang lebih kasar dari itu. Jika kuberitahu kata kasar apa itu, kuyakin kalian tak akan sanggup mendengarnya. Jadi, biarkan anak sialan ini saja yang tahu.

Hari ini, aku melakukan kesalahan lagi, yakni memecahkan piring dengan tidak sengaja, saat sedang mencucinya. Entah kenapa piring itu bisa meleset dari pegangan tangan, padahal aku sudah sangat berhati-hati. Hal itu lah yang membuat Ibu marah besar, kebenciannya yang sudah tertanam untukku kembali memuncak. Kalau saja Nenek tak pulang di waktu yang tepat, mungkin aku sudah mati seperti yang diinginkan Ibu.

“Kita ganti bajunya dulu, Sayang.”

Aku hanya mengangguk, tak kuasa untuk menjawabnya dengan kata. Nenek membalut tubuhku yang masih berdiri tegak di ruang tamu menggunakan handuk, menuntunku yang sudah menggigil hebat masuk ke dalam kamar.
Saat peristiwa itu terjadi, Ibu juga lagi ada di dapur untuk mengambil segelas air. Ia langsung menyeret tubuhku ke dalam kamar mandi, setelah mengetahui piringnya yang tanpa sengaja kubuat pecah. Tanpa ampun, Ibu langsung mengguyurku dengan air, sesekali dibenamkannya kepalaku ke dalam bak.

Tentu saja tubuhku yang jauh lebih kecil dari Ibu, tak bisa menandingi kekuatannya. Jiwa Ibu yang sudah dikusai amarah, tak lagi mendengar rintihanku. Semakin aku memohon ampun, semakin Ibu menggila mengguyurku dengan kasar.

“Maafkan Nenek ya, Sayang,” ucapnya menciumi pucuk kepalaku.

Entah sudah berapa kali Nenek mengatakan kalimat itu sambil menangis, padahal ia tak melakukan kesalahan. Malah hari ini, Nenek kembali menjadi malaikat penyelamatku. Aku menyeka air matanya yang tumpah, memeluknya dengan erat.

“Kata Bima orang yang nangis itu lemah, itu artinya dia nggak kuat. Kalau Nenek lemah, siapa yang akan menolongku dari Ibu?” tanyaku dengan suara yang hampir hilang di telinga Nenek.

Bukannya berhenti menangis, Nenek malah kembali terisak setelah aku mengatakan hal itu. Jika sebelumnya hanya air mata yang keluar, maka kali ini Nenek menangis dengan suara yang terdengar. Tentu saja hal itu membuatku resah.

Terkadang aku bertanya-tanya, benarkah Ibu adalah Ibu kandungku, karena sering kali kudengar teman-teman bercerita tentang bagaimana perlakuan ibu mereka pada anaknya, dan hal itu sangat berbeda dengan perlakuan Ibu pada diriku.

Atau benar yang dikatakan Bima, kalau aku bukan anak kandung Ibu? Sama seperti yang diucapkan Ibu, ‘kalau aku bukan anaknya’ ketika matanya memerah. Bahkan untuk kesalahan kecil yang tanpa sengaja kulakukan, aku harus merelakan tubuhku sebagai balasannya, walau hanya sekadar telinga yang memerah akibat jeweran Ibu.

“Peluk Arum sampai tertidur, ya, Nek! Ini dingin sekali.”



Diubah oleh gitalubis 17-12-2020 09:47
rejectedkidsAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan rejectedkids memberi reputasi
2
791
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
gitalubisAvatar border
TS
gitalubis
#1
Tamat
“Peluk Arum sampai tertidur, ya, Nek! Ini dingin sekali.”

Aku tetap menggigil, walau baju basah itu telah diganti dengan yang kering. Itu sebabnya aku menahan Nenek yang hendak memasak agar tetap di sisiku. Memintanya untuk memeluk tubuhku agar terasa lebih hangat.

Bicara soal pelukan, aku tidak ingat kapan terakhir kali Ibu memelukku. Atau bahkan ia tidak pernah melakukan itu padaku? Jangankan pelukan, untuk sekadar bertanya ‘Apakah aku sudah makan?’ tidak pernah kudengar.

Hari silih berganti, waktu terus bertambah. Hal-hal yang ada di sekitarku banyak yang telah berubah, tapi tidak dengan nasib yang melekat. Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti alasan kebencian Ibu. Mengerti mengapa ia menyebutku pembunuh, anak pembawa sial, atau kata yang lainnya, seperti hari ini.

“Kau ingin menjadi wanita jalang? Sudah cukup aku menahan malu saat harus mengandungmu, jadi tolong jangan kau tambah lagi arang hitam ke wajahku!”

Aku yang baru sampai di depan pintu, hanya bisa memejamkan mata mendengar kata kasar Ibu. Kurasa Ibu tadi membuntutiku ke lereng bukit yang tak jauh dari rumah.

“Kau kuberi izin keluar untuk mengerjakan tugas sekolah, bukan menggatal bersama lelaki!” Ibu masih saja meneriakiku, kali ini matanya benar-benar memerah. Kalau Ibu memang membuntutiku, seharusnya ia tahu apa yang terjadi di sana. Apa saja yang kulakukan selama di sana bersama beberapa teman.

“Arum tadi memang mengerjakan tugas kelompok, Bu. Bahkan teman perempuanku pun banyak di sana.” Aku berusaha membela diri, berharap gagang sapu yang sedari tadi dipegangnya tak lagi mengenai tubuhku.

Namun, sayangnya harapan itu hanya akan menjadi harapan, sama seperti yang dulu-dulu setiap kali aku berharap Ibu tak akan lagi kasar padaku. Laksana harimau kelaparan yang tengah melihat mangsanya, Ibu semakin mendekat dengan napas yang memburu, siap untuk memberikan bekas pada tubuhku.

“Sudah kukatakan berulang kali, kau tidak boleh punya seorang teman lelaki. Kenapa masih tidak mengerti juga!”

Aku mengerti dengan trauma yang dialami Ibu, tentang malu yang harus ditanggungnya karena mengandungku. Namun, jika sebelum dilahirkan aku diberi sebuah pilihan, tentunya aku pun tak mau lahir dari rahim seorang wanita yang tidak mau menerima kehadiranku lantaran kesuciannya direnggut paksa. Lahir dari seorang wanita yang tidak tahu benih siapa yang berhasil tertanam di rahimnya.

“Aku tidak berteman dengannya, Bu. Ibu guru yang membuatku satu kelompok dengan Bima dan Patrick,” ucapku sambil melindungi beberapa bagian tubuh yang dipukul Ibu, tapi sayangnya kedua tanganku belum cukup banyak untuk menghalau gagang sapu yang sudah memberikanku beberapa bekas luka.

Di tengah kemarahan Ibu, aku berusaha menjelaskan agar ia berhenti bersikap kriminal. Sama seperti sebelumnya, Ibu akan semakin murka jika aku berusaha membela diri atau pun memohon ampun. Itu sebabnya terkadang aku hanya diam saja bila dipukuli Ibu sambil menahan sakit, karena dengan begitu pukulannya akan lebih cepat berhenti dibanding aku memohon ampun.

“Kalau begitu kau tidak perlu lagi pergi ke sekolah, aku akan membuang semua buku-bukumu!”

Ibu tak lagi memukul, tapi tangannya dengan sigap mengambil buku dalam tas yang dari tadi tersandang di bahuku. Aku menahan gerakan tangannya sambil menggeleng, sebagai isyarat agar ia tidak melakukan itu. Namun, dengan kuat didorongnya tubuhku hingga terbentur dengan pintu yang tertutup rapat.

Ayah pulang, tepat saat Ibu keluar dari kamarku membawa buku-buku yang hendak dibuangnya. Menyaksikan itu, dengan sigap Ayah menenangkan Ibu, menyuruhku masuk ke kamar agar amarah Ibu tidak kembali memuncak saat melihat wajahku.

Di kamar yang berukuran 3x4, aku meringkuk menahan sakit di sekujur tubuh. Jika hari ini Nenek masih hidup, tentulah ia akan memberikanku obat agar luka lebam ini tidak terasa nyeri. Beberapa tahun lalu, Tuhan mengambil seseorang yang satu-satunya sangat menyayangiku.

Hari itu, Ibu kembali mengguyur tubuhku dengan ganas. Nenek yang melihat kejadian itu berusaha menghentikan gerakan tangan Ibu, hingga akhirnya mereka terlibat dengan aksi dorong-dorongan. Ibu yang telah dikuasai amarah sepenuhnya, tanpa sengaja membuat kepala Nenek terbentur ke lantai. Dokter bilang, Nenek tidak berhasil diselamatkan lantaran benturan di kepalanya terlalu keras.

Aku tahu, Ibu tidak ada niat sama sekali membunuh Nenek, sama sepertiku yang tidak ada niat untuk membunuh adik kecilku yang masih berumur beberapa hari.

Aku kepanasan karena kipas angin di kamar berhenti memutar, kurasa adik kecilku pun merasakan hal yang sama. Jadi, kukipaskan ia dengan bantal tipisnya sambil berbaring. Aku terbangun, saat mendengar suara histeris dari Ibu. Dia menatapku dengan wajah yang basah akibat tangis, lalu memukul tubuhku sambil mengatakan ‘kau pembunuh’ sejak saat itu sampai sekarang, Ibu masih memanggilku, dengan sebutan ‘pembunuh’ kalau ia sedang mengamuk.

Aku tidak mengatakan pada Ibu, kalau ia ‘seorang pembunuh’ lantaran membuat Nenek kesayanganku tewas. Karena kutahu arti kata itu sangatlah menyakitkan, aku tak ingin membuat Ibu tambah depresi hanya karena kata itu, cukup aku saja yang merasakannya setiap saat.

Aku mengambil silet yang tersimpan rapat di dalam laci, membuka lengan baju yang berukaran panjang. Menggoreskan benda tajam itu di lenganku, hingga cairan merah yang kental tampak keluar. Ada banyak goresan luka di sana, bahkan beberapa luka ada yang masih basah. Setiap kali Ibu menghajarku, maka aku akan membuat luka itu. Sebagai tanda bahwa aku sudah menyakiti Ibu sebanyak itu.

Ya, seperti itulah caraku mencintai Ibu. Menggoreskan luka di tangan setiap kali ia bersedih karena aku dan ikut tersenyum dari kejauhan kala kudengar tawanya yang menguar saat bersama Ayah.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.