Quote:
Aku memutuskan untuk pulang menuju mess bersama Yuka, kami berjalan melewati tanah bebatuan yang menjadi jalan penguhubung utama kami saat akan pergi dan pulang bekerja.
Sebenarnya, ada jalan lain menuju mess dari pabrik ini, tetapi jalannya terkesan sulit dan jarang dilalui.
Jika memaksa, kita haru melalui pintu belakang pabrik yang tentu saja melewati saklar utama pembangkit listrik seluruh kawasan industri itu.
Kemudian dengan sedikit memiringkan badan kita bisa melewati celah pagar yang menganga untuk sampai di tanah kosong tempat kendaraan pabrik seperti truk besar terparkir.
Kita akan melewati sebuah kebun yang tak jelas terdapat tumbuhan apa saja, dengan jalan setapak sebagai penguhubung sampai pintu besi di tembok persis di depan mess dibawah rindangnya pohon Nangka.
“Udah mulai lagi nih pertunjukannya, berasa nonton acara sirkus kalo gini caranya Ga”, gumam Yuka di perjalanan.
“Parahnya lagi Yuk, gue bukan cuma jadi penonton, tapi jadi pemain sirkusnya”, balasku menyambung gerutuan Yuka.
Yuka menghentikan langkahnya, ia mengarahkan raut muka berpikir keras kepadaku.
“Tapi Ga, mana ada monyet maen sirkus? Paling juga show dipinggir jalan hahahaha”, Yuka tertawa memecah heningnya malam di jalan bebatuan.
Aku langsung merangkul badannya, berusaha mengunci lehernya karena telah mengejeku.
Aku dan Yuka bergulat pelan dengan niat yang setengah-setengah, seperti candaan sepasang sahabat pada umumnya.
“Eh Yuk, kok lu bisa lari sama anak-anak dari belakang pabrik? Jangan-jangan lu mojok pacaran sama setan yaa”, aku mulai mengorek cerita tentang Yuka yang lari tunggang-langgang bersama dua orang pekerja sebelumnya.
Yuka menjelaskan dengan detail sepanjang kita berjalan menyusuri jalan tanah bebatuan.
Saat semua orang termasuk Rasha dan Rena pulang bekerja, Yuka sudah sampai di mess karena pulang lebih awal dari biasanya.
Para karyawan sudah memasuki kamar mereka masing-masing kecuali Rasha dan Rena yang sibuk menyiapkan makan malam untuk kita berempat.
“Plup”, listrik seluruh mess mati dan keadaan menjadi gelap.
Semua orang keluar dari kamarnya, Yuka yang sedari tadi berada di teras depan berjalan mendekati Rasha dan Rena yang keluar dari dapur.
Tiba-tiba Satya berbicara dari arah belakang, “Mas Yuka, ini pasti dari saklar utama di belakang pabrik”.
Karena saklar daya mess dan pabrik terpisah, maka jika hanya listrik mess yang turun, orang-orang di pabrik tidak akan mengetahuinya dan mau tidak mau mereka yang berada di mess harus pergi untuk menghidupkannya kembali.
“Udah sana Nyuk, nyalain saklarnya, sekalian nanti pulang bareng Erga”, tambah Rena yang masih memegang sendok makan.
Yuka berusaha menjadi seorang pahlawan dengan melarang Satya untuk pergi menemaninya.
Tak menunggu aba-aba tambahan, Yuka bergegas pergi menuju pabrik.
“Mas Yuka, lebih cepet lewat pintu besi. Nanti langsung keluar di belakang pabrik loh”, Satya merekomendasikan jalan pintas.
Yuka yang memang seorang yang anti berbelit-belit mengiyakan jalur pilihan Satya.
Menyusuri jalan setapak membelah kebun memang hal yang tidak membuat Yuka merasa terganggu, toh dia adalah seorang pecinta alam sejati.
Kebun yang aneh, pandangan Yuka memperhatikan batu-batu berukuran sebesar buah kelapa berbaris menyerupai nisan kuburan.
Yuka mulai terganggu dengan suasana, berpikir tentang Satya yang dengan kejam memilihkan jalur neraka ini.
Keberaniannya yang sebesar Gunung Semeru pun berubah menjadi sekecil batu nisan yang berjejer itu.
Setelah melewati kebun dan lahan yang menjadi tempat garasi kendaraan pabrik, akhirnya Yuka melangkah memiringkan badan agar tidak tergores kawat yang melilit di pagar.
Perjuangan Yuka terbayar, sudah ada dua orang pekerja yang sedang berdiri di depan saklar listrik, nasib baik menimpa Yuka.
Dengan hormat mereka menyapa Yuka sebagai atasan, menjelaskan bahwa ada sedikit masalah yang terjadi di ruang cutting sehingga saklar listrik pabrik harus diturunkan.
Oke, apa yang harus mereka lakukan? Menurunkan saklar daya listrik pabrik dan menaikan saklar listrik mess secara berkebalikan.
“Glek…glek”, semua sudah pada posisi yang seharusnya, itu artinya listrik pabrik sudah padam dan listrik mess sudah menyala.
Tidak lama bunyi saklar terdengar kembali, kali ini bukan mereka yang melakukannya, tetapi sebuah tangan dengan darah bercucuran menempel erat memegang saklar listrik pabrik sehingga kembali ke posisi semula.
Inilah saatnya, saat yang tepat untuk Yuka dan kedua orang itu kabur meninggalkan tangan yang tidak tahu siapa pemiliknya, nasib sial menimpa Yuka.
Mendengar cerita Yuka, aku berpikir untuk mencari tahu tentang batu-batu nisan di kebun itu.
Yuka menutup ceritanya dengan berbicara lirih, “Ga, apapun yang terjadi, jangan liat ke arah hutan”.
Melarang seseorang sama saja dengan memerintah, itu rumusnya.
Spontan kupalingkan wajahku ke arah kanan, dan terlihat kembali sepasang mata merah di gelapnya hutan.
Dasar sial! Sudah kuduga seharusnya Yuka akan lari meninggalkanku.
Aku bergegas menyusulnya, dan suara bunyi klakson bus terdengar dari arah belakang.