- Beranda
- Stories from the Heart
RODEO (18++)
...
TS
mikamaesla
RODEO (18++)
Welcome!
Sebelumnya saya permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus
Saya lagi mencoba untuk menulis sebua novel, dan berharap bisa menghibur forum ini. Maaf kalau banyak salah, karena saya masih newbie.
Selain terinspirasi oleh para cerita suhu dan sesepuh, mohon minta dukungan dan masukannya.
kondisi Novel masih raw dan ongoing.

Saya lagi mencoba untuk menulis sebua novel, dan berharap bisa menghibur forum ini. Maaf kalau banyak salah, karena saya masih newbie.
Selain terinspirasi oleh para cerita suhu dan sesepuh, mohon minta dukungan dan masukannya.
kondisi Novel masih raw dan ongoing.
Genre: Drama, Crime, Romance (18+)
Update diusahakan setiap tiga hari.
Dimohon untuk tidak kopas.

Spoiler for INDEX:
Spoiler for Yang suka Pake Watty:
Spoiler for Epilog 1:
Diubah oleh mikamaesla 15-12-2020 10:35
mdn92 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
8.7K
23
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
mikamaesla
#6
'Oh, God!'
Sambungan telepon terputus untuk yang kedua kalinya, setahuku hari ini hari Senin, jadi tidak ada alasan untukladies night. Aku mencoba menghubunginya kembali, dering sedikit panjang dan masuk.
“Halo?”
Aku percaya bahwa jika ingin sukses, aku harus tidak bergantung pada apapun dalam hidupku. Termasuk hal-hal yang bersifat emosional.
Oleh karena itu aku memilih jalan yang baru, dengan tabungan seadanya aku membuka usahaku sendiri.
Konsepnya sederhana, karena aku suka membaca jadi semua koleksi bukuku aku jejerkan di rak memanjang sekeliling tembok sisi kiri cafe, sisi kanan dan depan di tutup oleh kaca, suasana friendly, teras cukup besar, aku membaginya menjadi dua bagian; sisi kanan untuk area merokok, dan sisi kirinya aku sewakan ke pedagang kaki lima, pelanggan jadi punya banyak pilihan. Aku pun menggunakan jasa seorang konsultan marketing yang diperkenalkan oleh temanku; Indira.
Dia tinggi semampai, bukan keturunan cina tapi bermata sipit, bibirnya tebal, rambutnya panjang hitam, dan selalu berpakaian formal casual, menyetir mobilnya sendiri dan tidak pernah absen setiap hari Kamis di salah satu klub malam di daerah Elos.
Hubunganku dengannya sudah berjalan tiga bulan, dan sekarang sudah masuk bulan keempat, kafeku sudah mulai sepi dan harus ada strategi pemasaran baru.
Indira berjanji akan menemuiku di jam delapan malam di kafe, aku sudah menunggu selama dua jam.
“Halo,” suara Alex.
“Alex, tumben kamu di rumah, tidak sama nenek?”
“Aku lagi mau menemani mamah.”
“Mamah kamu mana?”
Alex, putri Indira, dia gadis yang baik, dan suka sekali membaca kalau mampir ke kafeku. Buku favoritnya The Cat in The Hat karya Dr. Seuss.
“Ada.”
“Aku mau bicara.”
Aku mendengar lolongan dan suara kaca pecah, “Bunyi apa itu?”
“Mamah,” jawabannya datar, biasanya dia selalu ceria ketika berbicara denganku membahas Ben Ten.
“Ada siapa di sana?”
Dia seperti termangu sesaat lalu berkat, “Sebentar, Om Niko.” Telepon diputus.
Aku meraih kunci mobilku, pamit dengan anak-anak yang sedang closing.
“Uang sales tidak dihitung dulu, Pak?” tanya Agus
“Kamu simpan saja dulu di brankas.”
Aku menancap pedal gasku ke rumah Indira yang berada di kawasan Cimanggu, untuk jam sepuluh jalanan sangat kosong, hanya diperlukan waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai.
Aku menekan bel, mobil Honda Jazz putihnya di pinggir jalan, Alex membuka pintu, mukanya terlihat masam, dia menunjuk ke arah lantai dua, aku membuka sepatuku, mengacak rambut Alex, dan masuk menaiki tangga dengan tiga anak tangga sekaligus dalam setiap langkah, sebelum sampai ke atas, lolongan itu muncul lagi, kali ini nama Alex disebutnya meminta air, aku kembali turun, Alex menunjuk lemari penyimpanan gelas, kembali ke atas, aku berpesan pada Alex untuk masuk ke kamar, karena sudah waktunya istirahat.
Indira tertegun saat melihatku, dia meringkuk di sofa dengan posisi seperti janin, tangannya memeluk gagang telepon, wajahnya pucat, mata berair dan terisak seperti orang ingusan. Asbak tumpah di lantai debu rokoknya sudah beterbangan kemana-mana. Dia mengenakan celana pendek hitam, kaos polos putih, tapi rambutnya masih terlihat rapi. Aku mendekat, berjinjit untuk tidak menginjak rokok yang masih menyala, menaruh gelas minum di meja, menarik gagang telepon yang sudah berbunyi tut panjang, dan membenarkan posisinya. Aku menyentuhnya keningnya; hangat. Kemudian memberikannya minum. Dia mengusap-usap hidungnya, aku memandang matanya melompat kesana kemari, aku menyibakkan rambutnya, menarik gelas dan dia kembali tertegun.
“Are you ok?” tanyaku.
Dia tidak menjawab tapi menutup mulutnya sendiri dengan tangan lalu menyemburkan air yang belum sempat sampai ke lambung ke wajahku. Aku yang tidak siap terlambat menarik mundur kepalaku.
Dia merengek, “I’m sorry.” dan merebahkan tubuhnya kembali, satu tangan menopang kepala, dan satunya lagi dijepit kedua paha. Matanya terpejam.
Aku menghela nafasku, membuka kacamataku yang basah, dan melap wajah dengan kemeja.
Alex berdiri di tangga, aku menghampirinya, “kamar mamah yang mana?”
Dia menunjuk ke ruangan di sebelah kiri. Alex mungkin baru sekitar sebelas tahun tapi dia sangat pintar, aku kasihan melihatnya kaget saat diteriaki oleh ibunya, aku paham bagaimana rasanya.
“Ok, aku masuk ke kamar mamah mau ambil bantal sama selimut, dan kamu…” aku menyentuh hidungnya, “kembali ke kamar untuk tidur, besok sekolah kan?”
Dia mengangguk tapi masih memperhatikan ibunya yang meringkuk di sofa. Aku mengikuti pandangannya.
“Seberapa sering mamah seperti ini?”
“Sering.”
Aku menghela nafas, “sudah jangan khawatir, ada Om Niko disini, nemenin kamu sama mamah. Dia perlu istirahat. Oke?”
Dia mengangguk kemudian turun menuju kamarnya.
Aku mengambil selimut dan bantal ke kamar Indira, aku tertegun sebentar karena melihat sebuah pipa bong, dan lembaran aluminium foil dengan sisi yang menghitam oleh jelaga.
Aku menyelipkan bantal di kepalanya dan menyelimutinya. Layar handphone yang berada di meja menyala, aku penasaran dan melihat ada pesan masuk dari pria bernama Roman.
Aku tidak punya BI, dan sudah dibilang jangan menghubungi Rudi.
Blue Ice? Tidak heran dia terkadang bersikap impulsif, terutama terhadap Alex. Tanganku terasa selalu menegang jika melihatnya.
Aku mulai membersihkan kekacauan kecil itu kemudian mematikan lampu, menutup pintu pintu balkon dan gordennya. Aku duduk di sofa berlengan di depan Indira memperhatikan dadanya yang naik turun.
Why am I here?
Mungkinkah Indira seperti ini karena gagal dalam pernikahannya atau dari sebelumnya. Aku merasakan apa jadinya seorang anak berada di tengah kekacauan ini. Dia kalau berbicara sangat blak-blakan, dan vulgar sehingga aku terkadang susah menebak apakah dia menggodaku atau tidak. Berbeda dengan Sabila.
Seperti empat bulan lalu setelah aku mengajukan surat pengunduran diri yang tidak bisa ditolak Pak Lutfi, karena di surat itu aku juga menuliskan catatan akan perbuatan tercelanya, dia terlihat ingin berkomentar dan menepis tuduhan itu tapi urung karena putranya datang dan duduk di sisinya, sehingga dia hanya melipat surat itu dan mengantonginya. Aku tidak mengancamnya, juga tidak memerasnya dan tidak ingin sama sekali berpentas dalam drama ini. Aku sadar tidak bisa melawan uang dan para korban menerima uangnya.
Aku menelpon Sabila untuk mengajaknya ke bioskop di hari liburnya, dia menerimanya. Dia terkejut saat mengetahui kalau aku mengundurkan diri. Dan aku pun menjelaskan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pemotongan upahnya. Yang aku ingin tahu adalah kehidupan pribadinya. Dia selalu menghindar dari hal itu.
Tanganku digandeng olehnya, dan ketika di motor, dia juga memelukku. I couldn’t believe it. Cincinnya yang biasanya tersemat di jarinya tidak terlihat, hanya garis putih melingkar. She loves games.
Di perjalanan pulang dari bioskop, Bogor diguyur hujan, dramatisnya tidak ada jas hujan di motor Sabila, aku sudah bilang untuk naik mobilku saja, dia tetap memilih untuk mengendarai motor, terhindar macet dan bisa pulang lebih mudah. Dia menyarankan untuk singgah di tempatku, dengan dalih sudah larut dan takut pulang sendirian. Aku tidak menolaknya. Di kosan aku meminjamkannya sweater dan celana basket. Aku menyiapkan ranjangku ketika dia berganti pakaian. Dan otakku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Tapi biarkan dia yang memandu permainannya. Ketika aku selesai mengganti pakaian dia masih duduk di samping ranjang.
“Kamu tidur di ranjang.”
“Pak Niko tidur di mana?”
Aku menunjuk lantai di depan ranjang, “dan tolong jangan panggil ‘pak’ aku sudah bukan atasanmu lagi,” dia masih tetap di posisinya, “Dan kalau kamu menganggap masih, tidur di ranjang. Itu perintah.”
Dia tersenyum lalu membungkus dirinya dengan selimut. Aku mengeluarkan selimut-selimut cadangan, dia memperhatikanku saat menggelarnya di lantai. “kenapa?”
Tangannya menepuk kasur.
“...kamu...boleh di sini kalau mau.”
Dan seperti itu yang aku harapkan, tapi ini tidak akan mudah karena kenakalan dirinya. Aku rasa harus memancingnya.
“Bagaimana kabar Irvan?”
“Siapa Irvan?” jawabnya tak acuh.
“Lalu Feri?” —ok, aku harusnya diam dan tidak membawa si tengik itu.
Dia membalik badannya dan menutup seluruh kepalanya dengan selimut. Aku mematikan lampu dan merebahkan tubuh di lantai menatap langit-langit melihat kebodohanku sendiri. Jendela mengembun, irama hujan semakin berderap, walau tidak menyalakan ac udara terasa menusuk tulang, aku menuju lemari mencari sweater dengan perlahan.
“Nyalakan saja lampunya, aku belum bisa tidur. Hujannya semakin besar,” Sabila berujar.
“Cuaca seperti ini memang enak…” bantal meluncur ke kepalaku, aku melanjutkan, “minum kopi.”
Aku berbalik dari lemari. “Mau?”
Kami beradu pandang, lalu dia menggeleng. Hidungnya mungil tapi bukan pesek, rambutnya yang dicat pirang disibakkannya kebelakang menampilkan seluruh paras wajahnya. Aku menelan ludah dan tidak jadi menggunakan sweater tambahan, aku meraih bantal yang dilemparkannnya, mematikan lampu dan naik ke ranjang secara perlahan, dia menggeser tubuhnya memberikan ruang, aku mengulurkan tanganku ke bawah kepalanya, dia berbalik, aku menarik selimut, dan melingkarkan tanganku di perutnya, terasa halus, dia menekan punggungnya ke dadaku, jantungku berdegup cepat. Petir menggaung, kaca diketuk oleh air, tubuhnya hangat, dan aku memejamkan mata.
Aku menarik tanganku dan mengerjapkan mata, terkejut dengan sentuhan tangan Indira. Dia sudah bangun dan terlihat sepenuhnya sadar berdiri di depanku yang sepertinya aku hampir terlelap.
Dia duduk dipangkuanku, aku hendak bangkit tapi dia mendorongku, kakiku membentur meja aku mengeram. Jarinya memalang bibirku—sshh—dia melumatnya—aku tidak mengharapkan ini tapi apa boleh buat, aku membalas lumatan itu, jari-jarinya menyisir rambutku, aku mencium lehernya, dia menggeliat; mendesah, aku mencium payudaranya, darah mendesir dengan cepat kebawah, bokongnya maju mundur, tanganku masuk ke dalam kaos meraba punggungnya, dia mengangkat kepalaku dan melumat bibirku lagi, aku membuka branya dan tanganku berpindah ke payudaranya yang seukuran buah persik aku merasakan putingnya mengeras kemudian menyingkap kaosnya dia mengangkat tangannya, mulut kembali beradu, jari-jarinya melepas kancing kemejaku, kedua payudaranya kuremas, desahannya semakin cepat, aku melumat putingnya yang samar berwarna pink, punggungnya naik, aku menggendongnya ke kamar, aku merasakan menginjak sesuatu, mulutnya tetap menempel dan menghisap leherku seperti drakula, tanganku membanting pintu, kami terkejut sendiri olehnya, khawatir membangunkan Alex, jeda sebentar dan tidak ada tanda- tanda, aku menjatuhkannya di ranjang, aku melepaskan kemejaku, melumat bibirnya, tangannya menggerayangi dadaku turun ke perut dan meremas kejantananku, aku membuang branya, ciumanku turun ke leher, ke dada—aku merasakan detak jantungnya yang cepat, lalu ke perut, aku melepas kancing celana pendeknya dan menariknya sekaligus dengan celana dalamnya, aku melihat keindahan sahara, dan menciumnya lembut, paha mengapit kepalaku dan tangannya menjambak rambutku, ia mendesah, pinggulnya terangkat tinggi, tanganku tidak berhenti menggerayangi dadanya dan mencubit lembut putingnya, kemudian dia menarik kepalaku dan kembali mencium bibir tebalnya, tangannya sibuk membuka sabukku, aku membantunya melepaskan celanaku, aku menindihnya secara perlahan, matanya terpejam, aku memeluknya, dia menggigit pundakku dan kaki yang jenjang dengan mudah memeluk pinggulku, aku mempercepat gerakan, dia menggigit telingaku, aku bangkit dan menopang tubuhku dengan tangan berpegangan ke kepala ranjang dari kayu, mempercepat gerakanku. Aku mendesah membalap desahannya, ranjang berderit seolah melantun, dia basah.
Aku menutup mulutnya, matanya mendelik lalu mengernyit , aku mengeram; mendongak ke atas dan terpejam— sepertinya ini dimana dimana kata ‘oh God’ ditemukan.
Kami keluar bersama.
*
Aku menyiapkan kopi dan segelas air putih di meja samping ranjang, membenarkan selimut Indira yang menyingkap sebelah payudaranya.
Aku turun dan mendapati Alex sudah dalam keadaan siap untuk berangkat sekolah dan aku menawarkan untuk mengantarkannya dan aku harus membeli kacamata baru karena aku menginjaknya semalam.
Salah satu efek dari sakaw adalah mood swing. Siapa yang menyangka air beras bisa berubah menjadi susu. Dan aku mulai membandingkannya dengan kesan pertamaku.
Setelah menghabiskan satu ranjang bersama Sabila, pagi harinya dia mengecup lembut bibirku— bukan ciuman pertamaku. Dan malam berikutnya tidak hanya kecupan dan ciuman, Kemudian kami tinggal bersama layaknya suami istri. Selama dua bulan.
Setiap malam diluapi hasrat yang sudah tidak bisa dibendung lagi, dan dalam setiap prosesnya aku mempertanyakan apakah ini hal nyata atau imajinasiku saja, aku memangkunya, menyembunyikan tanganku yang bergetar— dimulai dari ciuman saja aku sudah menegang, aku meraba punggungnya dengan lembut turun kebawah bokongnya dengan ciuman lembut di tengkuknya; Sabila meliar, dia memelukku sangat erat, kukunya menggoreskan luka di punggung, rasa nikmat mengebalkan rasa perih.
Kenikmatan itu bergulir tidak mengenal waktu; pagi, siang atau sore, selama ada kesempatan kami melakukannya. Siapa saja bisa memulai, dia yang menggerayangiku lebih dulu atau sebaliknya.
Sampai satu malam ketika aku menciumnya dia mengejutkanku, aku menarik kepalaku, bibirku digigitnya, dan ketika aku hendak turun dia mencegahku dan menarik kepalaku, melumat bibirku yang berdarah itu. Pergumulan terjadi, kukunya semakin dalam tertanam di punggungku. Setelah dua bulan memang jarang sekali ada kata yang tertukar, aku juga tidak suka membuka masalah pribadiku, tapi malam itu sangat berbeda, punggung dan bibirku sangat perih. Dan saat aku membuatkannya kopi aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.
“Sabila,” aku memanggilnya lembut.
Sabila sibuk memandang keluar jendela menyisipkan kopi secara perlahan dan hanya bergumam, “hem.”
“Sabila.”
Sabila menoleh, memandang sebentar lalu seperti diingatkan sesuatu olehku, dia meletakkan kopinya di meja samping ranjang, tersenyum kemudian beranjak menghampiriku yang duduk di lantai, meraih wajahku dengan kedua tangan, mencium pipi dan aku menarik kepalanya sebelum dia menyentuhkan bibirnya di bibirku, aku menahan tangannya. Sabila berhenti dan memandang.
Dia bertanya, “kenapa?”
“Semalam ka—”
Dia menepis tanganku dan bergegas ke kamar mandi, aku bangkit dan mengetuk pintunya.
“Sabila!”
Suara air mengalir dari pancuran menanam suaraku, aku terus mengetuknya dan aku kaget saat mendengar ketukan balasan dengan sangat kencang. Dan itu kode untuku meninggalkannya. Karena aku tidak berniat mengisi perasaanku di hatinya.
Lalu aku menghubungi Irvan melalui facebook dan bertukar nomor, merencanakan pertemuan. Di kosan aku kembali sendiri.
Persamaan antara Sabila dan apa yang terjadi semalam adalah tidak adanya hubungan perasaan.
Teleponku berdering dan yang menelpon panjang umur.
“Halo… Baik,... boleh, ...temui aku di taman sempur jam delapan, ...bye!”
“Halo?”
Aku percaya bahwa jika ingin sukses, aku harus tidak bergantung pada apapun dalam hidupku. Termasuk hal-hal yang bersifat emosional.
Oleh karena itu aku memilih jalan yang baru, dengan tabungan seadanya aku membuka usahaku sendiri.
Konsepnya sederhana, karena aku suka membaca jadi semua koleksi bukuku aku jejerkan di rak memanjang sekeliling tembok sisi kiri cafe, sisi kanan dan depan di tutup oleh kaca, suasana friendly, teras cukup besar, aku membaginya menjadi dua bagian; sisi kanan untuk area merokok, dan sisi kirinya aku sewakan ke pedagang kaki lima, pelanggan jadi punya banyak pilihan. Aku pun menggunakan jasa seorang konsultan marketing yang diperkenalkan oleh temanku; Indira.
Dia tinggi semampai, bukan keturunan cina tapi bermata sipit, bibirnya tebal, rambutnya panjang hitam, dan selalu berpakaian formal casual, menyetir mobilnya sendiri dan tidak pernah absen setiap hari Kamis di salah satu klub malam di daerah Elos.
Hubunganku dengannya sudah berjalan tiga bulan, dan sekarang sudah masuk bulan keempat, kafeku sudah mulai sepi dan harus ada strategi pemasaran baru.
Indira berjanji akan menemuiku di jam delapan malam di kafe, aku sudah menunggu selama dua jam.
“Halo,” suara Alex.
“Alex, tumben kamu di rumah, tidak sama nenek?”
“Aku lagi mau menemani mamah.”
“Mamah kamu mana?”
Alex, putri Indira, dia gadis yang baik, dan suka sekali membaca kalau mampir ke kafeku. Buku favoritnya The Cat in The Hat karya Dr. Seuss.
“Ada.”
“Aku mau bicara.”
Aku mendengar lolongan dan suara kaca pecah, “Bunyi apa itu?”
“Mamah,” jawabannya datar, biasanya dia selalu ceria ketika berbicara denganku membahas Ben Ten.
“Ada siapa di sana?”
Dia seperti termangu sesaat lalu berkat, “Sebentar, Om Niko.” Telepon diputus.
Aku meraih kunci mobilku, pamit dengan anak-anak yang sedang closing.
“Uang sales tidak dihitung dulu, Pak?” tanya Agus
“Kamu simpan saja dulu di brankas.”
Aku menancap pedal gasku ke rumah Indira yang berada di kawasan Cimanggu, untuk jam sepuluh jalanan sangat kosong, hanya diperlukan waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai.
Aku menekan bel, mobil Honda Jazz putihnya di pinggir jalan, Alex membuka pintu, mukanya terlihat masam, dia menunjuk ke arah lantai dua, aku membuka sepatuku, mengacak rambut Alex, dan masuk menaiki tangga dengan tiga anak tangga sekaligus dalam setiap langkah, sebelum sampai ke atas, lolongan itu muncul lagi, kali ini nama Alex disebutnya meminta air, aku kembali turun, Alex menunjuk lemari penyimpanan gelas, kembali ke atas, aku berpesan pada Alex untuk masuk ke kamar, karena sudah waktunya istirahat.
Indira tertegun saat melihatku, dia meringkuk di sofa dengan posisi seperti janin, tangannya memeluk gagang telepon, wajahnya pucat, mata berair dan terisak seperti orang ingusan. Asbak tumpah di lantai debu rokoknya sudah beterbangan kemana-mana. Dia mengenakan celana pendek hitam, kaos polos putih, tapi rambutnya masih terlihat rapi. Aku mendekat, berjinjit untuk tidak menginjak rokok yang masih menyala, menaruh gelas minum di meja, menarik gagang telepon yang sudah berbunyi tut panjang, dan membenarkan posisinya. Aku menyentuhnya keningnya; hangat. Kemudian memberikannya minum. Dia mengusap-usap hidungnya, aku memandang matanya melompat kesana kemari, aku menyibakkan rambutnya, menarik gelas dan dia kembali tertegun.
“Are you ok?” tanyaku.
Dia tidak menjawab tapi menutup mulutnya sendiri dengan tangan lalu menyemburkan air yang belum sempat sampai ke lambung ke wajahku. Aku yang tidak siap terlambat menarik mundur kepalaku.
Dia merengek, “I’m sorry.” dan merebahkan tubuhnya kembali, satu tangan menopang kepala, dan satunya lagi dijepit kedua paha. Matanya terpejam.
Aku menghela nafasku, membuka kacamataku yang basah, dan melap wajah dengan kemeja.
Alex berdiri di tangga, aku menghampirinya, “kamar mamah yang mana?”
Dia menunjuk ke ruangan di sebelah kiri. Alex mungkin baru sekitar sebelas tahun tapi dia sangat pintar, aku kasihan melihatnya kaget saat diteriaki oleh ibunya, aku paham bagaimana rasanya.
“Ok, aku masuk ke kamar mamah mau ambil bantal sama selimut, dan kamu…” aku menyentuh hidungnya, “kembali ke kamar untuk tidur, besok sekolah kan?”
Dia mengangguk tapi masih memperhatikan ibunya yang meringkuk di sofa. Aku mengikuti pandangannya.
“Seberapa sering mamah seperti ini?”
“Sering.”
Aku menghela nafas, “sudah jangan khawatir, ada Om Niko disini, nemenin kamu sama mamah. Dia perlu istirahat. Oke?”
Dia mengangguk kemudian turun menuju kamarnya.
Aku mengambil selimut dan bantal ke kamar Indira, aku tertegun sebentar karena melihat sebuah pipa bong, dan lembaran aluminium foil dengan sisi yang menghitam oleh jelaga.
Aku menyelipkan bantal di kepalanya dan menyelimutinya. Layar handphone yang berada di meja menyala, aku penasaran dan melihat ada pesan masuk dari pria bernama Roman.
Aku tidak punya BI, dan sudah dibilang jangan menghubungi Rudi.
Blue Ice? Tidak heran dia terkadang bersikap impulsif, terutama terhadap Alex. Tanganku terasa selalu menegang jika melihatnya.
Aku mulai membersihkan kekacauan kecil itu kemudian mematikan lampu, menutup pintu pintu balkon dan gordennya. Aku duduk di sofa berlengan di depan Indira memperhatikan dadanya yang naik turun.
Why am I here?
Mungkinkah Indira seperti ini karena gagal dalam pernikahannya atau dari sebelumnya. Aku merasakan apa jadinya seorang anak berada di tengah kekacauan ini. Dia kalau berbicara sangat blak-blakan, dan vulgar sehingga aku terkadang susah menebak apakah dia menggodaku atau tidak. Berbeda dengan Sabila.
Seperti empat bulan lalu setelah aku mengajukan surat pengunduran diri yang tidak bisa ditolak Pak Lutfi, karena di surat itu aku juga menuliskan catatan akan perbuatan tercelanya, dia terlihat ingin berkomentar dan menepis tuduhan itu tapi urung karena putranya datang dan duduk di sisinya, sehingga dia hanya melipat surat itu dan mengantonginya. Aku tidak mengancamnya, juga tidak memerasnya dan tidak ingin sama sekali berpentas dalam drama ini. Aku sadar tidak bisa melawan uang dan para korban menerima uangnya.
Aku menelpon Sabila untuk mengajaknya ke bioskop di hari liburnya, dia menerimanya. Dia terkejut saat mengetahui kalau aku mengundurkan diri. Dan aku pun menjelaskan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pemotongan upahnya. Yang aku ingin tahu adalah kehidupan pribadinya. Dia selalu menghindar dari hal itu.
Tanganku digandeng olehnya, dan ketika di motor, dia juga memelukku. I couldn’t believe it. Cincinnya yang biasanya tersemat di jarinya tidak terlihat, hanya garis putih melingkar. She loves games.
Di perjalanan pulang dari bioskop, Bogor diguyur hujan, dramatisnya tidak ada jas hujan di motor Sabila, aku sudah bilang untuk naik mobilku saja, dia tetap memilih untuk mengendarai motor, terhindar macet dan bisa pulang lebih mudah. Dia menyarankan untuk singgah di tempatku, dengan dalih sudah larut dan takut pulang sendirian. Aku tidak menolaknya. Di kosan aku meminjamkannya sweater dan celana basket. Aku menyiapkan ranjangku ketika dia berganti pakaian. Dan otakku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Tapi biarkan dia yang memandu permainannya. Ketika aku selesai mengganti pakaian dia masih duduk di samping ranjang.
“Kamu tidur di ranjang.”
“Pak Niko tidur di mana?”
Aku menunjuk lantai di depan ranjang, “dan tolong jangan panggil ‘pak’ aku sudah bukan atasanmu lagi,” dia masih tetap di posisinya, “Dan kalau kamu menganggap masih, tidur di ranjang. Itu perintah.”
Dia tersenyum lalu membungkus dirinya dengan selimut. Aku mengeluarkan selimut-selimut cadangan, dia memperhatikanku saat menggelarnya di lantai. “kenapa?”
Tangannya menepuk kasur.
“...kamu...boleh di sini kalau mau.”
Dan seperti itu yang aku harapkan, tapi ini tidak akan mudah karena kenakalan dirinya. Aku rasa harus memancingnya.
“Bagaimana kabar Irvan?”
“Siapa Irvan?” jawabnya tak acuh.
“Lalu Feri?” —ok, aku harusnya diam dan tidak membawa si tengik itu.
Dia membalik badannya dan menutup seluruh kepalanya dengan selimut. Aku mematikan lampu dan merebahkan tubuh di lantai menatap langit-langit melihat kebodohanku sendiri. Jendela mengembun, irama hujan semakin berderap, walau tidak menyalakan ac udara terasa menusuk tulang, aku menuju lemari mencari sweater dengan perlahan.
“Nyalakan saja lampunya, aku belum bisa tidur. Hujannya semakin besar,” Sabila berujar.
“Cuaca seperti ini memang enak…” bantal meluncur ke kepalaku, aku melanjutkan, “minum kopi.”
Aku berbalik dari lemari. “Mau?”
Kami beradu pandang, lalu dia menggeleng. Hidungnya mungil tapi bukan pesek, rambutnya yang dicat pirang disibakkannya kebelakang menampilkan seluruh paras wajahnya. Aku menelan ludah dan tidak jadi menggunakan sweater tambahan, aku meraih bantal yang dilemparkannnya, mematikan lampu dan naik ke ranjang secara perlahan, dia menggeser tubuhnya memberikan ruang, aku mengulurkan tanganku ke bawah kepalanya, dia berbalik, aku menarik selimut, dan melingkarkan tanganku di perutnya, terasa halus, dia menekan punggungnya ke dadaku, jantungku berdegup cepat. Petir menggaung, kaca diketuk oleh air, tubuhnya hangat, dan aku memejamkan mata.
Aku menarik tanganku dan mengerjapkan mata, terkejut dengan sentuhan tangan Indira. Dia sudah bangun dan terlihat sepenuhnya sadar berdiri di depanku yang sepertinya aku hampir terlelap.
Dia duduk dipangkuanku, aku hendak bangkit tapi dia mendorongku, kakiku membentur meja aku mengeram. Jarinya memalang bibirku—sshh—dia melumatnya—aku tidak mengharapkan ini tapi apa boleh buat, aku membalas lumatan itu, jari-jarinya menyisir rambutku, aku mencium lehernya, dia menggeliat; mendesah, aku mencium payudaranya, darah mendesir dengan cepat kebawah, bokongnya maju mundur, tanganku masuk ke dalam kaos meraba punggungnya, dia mengangkat kepalaku dan melumat bibirku lagi, aku membuka branya dan tanganku berpindah ke payudaranya yang seukuran buah persik aku merasakan putingnya mengeras kemudian menyingkap kaosnya dia mengangkat tangannya, mulut kembali beradu, jari-jarinya melepas kancing kemejaku, kedua payudaranya kuremas, desahannya semakin cepat, aku melumat putingnya yang samar berwarna pink, punggungnya naik, aku menggendongnya ke kamar, aku merasakan menginjak sesuatu, mulutnya tetap menempel dan menghisap leherku seperti drakula, tanganku membanting pintu, kami terkejut sendiri olehnya, khawatir membangunkan Alex, jeda sebentar dan tidak ada tanda- tanda, aku menjatuhkannya di ranjang, aku melepaskan kemejaku, melumat bibirnya, tangannya menggerayangi dadaku turun ke perut dan meremas kejantananku, aku membuang branya, ciumanku turun ke leher, ke dada—aku merasakan detak jantungnya yang cepat, lalu ke perut, aku melepas kancing celana pendeknya dan menariknya sekaligus dengan celana dalamnya, aku melihat keindahan sahara, dan menciumnya lembut, paha mengapit kepalaku dan tangannya menjambak rambutku, ia mendesah, pinggulnya terangkat tinggi, tanganku tidak berhenti menggerayangi dadanya dan mencubit lembut putingnya, kemudian dia menarik kepalaku dan kembali mencium bibir tebalnya, tangannya sibuk membuka sabukku, aku membantunya melepaskan celanaku, aku menindihnya secara perlahan, matanya terpejam, aku memeluknya, dia menggigit pundakku dan kaki yang jenjang dengan mudah memeluk pinggulku, aku mempercepat gerakan, dia menggigit telingaku, aku bangkit dan menopang tubuhku dengan tangan berpegangan ke kepala ranjang dari kayu, mempercepat gerakanku. Aku mendesah membalap desahannya, ranjang berderit seolah melantun, dia basah.
Aku menutup mulutnya, matanya mendelik lalu mengernyit , aku mengeram; mendongak ke atas dan terpejam— sepertinya ini dimana dimana kata ‘oh God’ ditemukan.
Kami keluar bersama.
*
Aku menyiapkan kopi dan segelas air putih di meja samping ranjang, membenarkan selimut Indira yang menyingkap sebelah payudaranya.
Aku turun dan mendapati Alex sudah dalam keadaan siap untuk berangkat sekolah dan aku menawarkan untuk mengantarkannya dan aku harus membeli kacamata baru karena aku menginjaknya semalam.
Salah satu efek dari sakaw adalah mood swing. Siapa yang menyangka air beras bisa berubah menjadi susu. Dan aku mulai membandingkannya dengan kesan pertamaku.
Setelah menghabiskan satu ranjang bersama Sabila, pagi harinya dia mengecup lembut bibirku— bukan ciuman pertamaku. Dan malam berikutnya tidak hanya kecupan dan ciuman, Kemudian kami tinggal bersama layaknya suami istri. Selama dua bulan.
Setiap malam diluapi hasrat yang sudah tidak bisa dibendung lagi, dan dalam setiap prosesnya aku mempertanyakan apakah ini hal nyata atau imajinasiku saja, aku memangkunya, menyembunyikan tanganku yang bergetar— dimulai dari ciuman saja aku sudah menegang, aku meraba punggungnya dengan lembut turun kebawah bokongnya dengan ciuman lembut di tengkuknya; Sabila meliar, dia memelukku sangat erat, kukunya menggoreskan luka di punggung, rasa nikmat mengebalkan rasa perih.
Kenikmatan itu bergulir tidak mengenal waktu; pagi, siang atau sore, selama ada kesempatan kami melakukannya. Siapa saja bisa memulai, dia yang menggerayangiku lebih dulu atau sebaliknya.
Sampai satu malam ketika aku menciumnya dia mengejutkanku, aku menarik kepalaku, bibirku digigitnya, dan ketika aku hendak turun dia mencegahku dan menarik kepalaku, melumat bibirku yang berdarah itu. Pergumulan terjadi, kukunya semakin dalam tertanam di punggungku. Setelah dua bulan memang jarang sekali ada kata yang tertukar, aku juga tidak suka membuka masalah pribadiku, tapi malam itu sangat berbeda, punggung dan bibirku sangat perih. Dan saat aku membuatkannya kopi aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.
“Sabila,” aku memanggilnya lembut.
Sabila sibuk memandang keluar jendela menyisipkan kopi secara perlahan dan hanya bergumam, “hem.”
“Sabila.”
Sabila menoleh, memandang sebentar lalu seperti diingatkan sesuatu olehku, dia meletakkan kopinya di meja samping ranjang, tersenyum kemudian beranjak menghampiriku yang duduk di lantai, meraih wajahku dengan kedua tangan, mencium pipi dan aku menarik kepalanya sebelum dia menyentuhkan bibirnya di bibirku, aku menahan tangannya. Sabila berhenti dan memandang.
Dia bertanya, “kenapa?”
“Semalam ka—”
Dia menepis tanganku dan bergegas ke kamar mandi, aku bangkit dan mengetuk pintunya.
“Sabila!”
Suara air mengalir dari pancuran menanam suaraku, aku terus mengetuknya dan aku kaget saat mendengar ketukan balasan dengan sangat kencang. Dan itu kode untuku meninggalkannya. Karena aku tidak berniat mengisi perasaanku di hatinya.
Lalu aku menghubungi Irvan melalui facebook dan bertukar nomor, merencanakan pertemuan. Di kosan aku kembali sendiri.
Persamaan antara Sabila dan apa yang terjadi semalam adalah tidak adanya hubungan perasaan.
Teleponku berdering dan yang menelpon panjang umur.
“Halo… Baik,... boleh, ...temui aku di taman sempur jam delapan, ...bye!”
mmuji1575 memberi reputasi
1