Akhirnya Update Juga nih penulis yang ngeselin
okay selamat membaca di malam minggu Gansis
ayo kita ramaikan lagi kisah ini
Quote:
Sudah 2 bulan sejak kedatanganku di daerah ini, kejadian yang aku dan Yuka alami tidak menyurutkan semangatku untuk memulai pekerjaan dengan baik.
Semua sudah berjalan normal seperti yang diharapkan.
Sejak saat itu jugalah tidak pernah ada kejadian mistis dan aneh yang kami alami.
Malam ini pabrik seperti biasa beroperasi dengan lancar dan aku telah selesai dengan pekerjaanku di ruang kerja.
Semua staf kantor sudah pulang bekerja, termasuk teman-temanku yang sepertinya sudah beristirahat di mess karyawan.
Terkecuali 2 orang supervisor yang bertugas untuk memantau para operator pabrik yang sedang bekerja.
Suasana mess memang selalu mencekam, walaupun sekarang sudah bertambah ramai dengan beberapa karyawan yang mengisi kamar-kamar mess bagian belakang.
Sebelum pulang menuju mess, aku sempatkan untuk menyapa orang-orang yang sedang mendapat shift malam.
Aku menuju ruang cutting, dimana tempat para pekerja memotong beberapa bahan baku tekstil sebelum masuk proses quality control.
Di lorong pabrik menuju ruang cutting, aku melihat dengan samar ada seseorang yang berlari kecil keluar dari ruang cutting.
“Mas! Tunggu!”, aku berteriak memanggil pekerja berbaju kuning itu.
Orang itu melambatkan langkahnya, kemudian tak lama berhenti dan terdiam dengan posisi masih membelakangiku.
Aku kembali memanggilnya, responnya cepat, orang itu menengok dan membalikan badannya sekarang.
“Pak Erga! Syukurlah pak, Pak Erga ada masalah di ruang cutting”, pria itu menjelaskan dengan wajah penuh keringat dingin.
“Pelan mas, pelan…ada masalah apa?”, aku mencoba menenangkan pemuda itu dan bertanya apa yang terjadi.
“Gawat Pak! salah satu mesin cutting di dalam tidak bisa berhenti!”
Aku dengan cekatan membuka pintu ruang cutting, memasukinya dan seketika disajikan pemandangan dimana semua pekerja di dalam ruangan kebingungan melihat sebuah mesin potong raksasa yang menurut mereka aneh.
Kepala Regu yang memimpin shift menjelaskan, jika mesin potong yang hendak dimatikan karena akan di isi dengan bahan tekstil baru untuk dipotong tidak bisa berhenti.
Kejadian yang masih masuk dalam logika tentunya, karena secara teknis mungkin terjadi kerusakan pada saklar pemutus arus daya.
Namun, semua orang menjadi panik ketika generator pembangkit listrik untuk mesin potong dimatikan, seakan menemukan hal ganjil, semua pekerja dibuat kebingungan dengan mesin yang terus menyala.
“Arus daya sudah dimatikan pak, sampai kabel penghubung sudah dicabut paksa, tapi mesinnya ndak mau berhenti”, Sang Kepala Regu merinci di dalam suasana berisik oleh suara yang dihasilkan mesin.
Aku memang bukan ahli mesin, tapi semua orang tahu jika hal ini sangat tidak masuk akal.
Teknisi pabrik yang memang sudah pulang bekerja tentu sangat dicari kehadirannya, namun kita harus menunggu sampai besok pagi karena rumah sang teknisi berada di desa sebelah sana.
Aku sejenak berpikir, kemudian kami yang berjumlah sekitar 10 orang di dalam ruangan berunding untuk mencari jalan keluar.
Kami akhirnya memutuskan untuk mematikan sumber utama listrik pabrik dari saklar daya di belakang pabrik, walaupun itu adalah keputusan bodoh atas keputusasaan kami semua.
Saklar daya pusat yang juga menjadi tempat saklar yang menghubungkan daya ke mess dan lingkungan di sekitar kawasan industri.
Kepala Regu mengirim dua orang pekerja untuk pergi ke belakang pabrik yang menjadi area yang jarang terjamah aktivitas manusia disini.
5 menit kemudian semua lampu mati, beberapa orang menyalakan cahaya dari ponsel mereka.
Namun keadaan semakin mencekam karena mesin tetap bergerak memotong tatakan kosong dibawahnya.
Lampu kembali menyala, tetapi kali ini terdengar suara seseorang meminta tolong dari area belakang pabrik.
Serempak kami semua berlari ke arah tempat itu dengan aku yang menjadi inisiator di depan.
Kubuka pintu keluar di belakang pabrik dan “bruuukkkkk…!!!” kami bertabrakan dengan tiga orang yang berlari memasuki pabrik.
“Aduh, Yuk! Maneh nanaonan ?! (kamu apa-apaan?!)”, kumaki Yuka yang datang berlari dengan dua orang pekerja yang diutus oleh Kepala Regu.
Kami semua terjatuh karena bertabrakan hebat tepat saat aku membuka pintu.
Mereka bertiga bergerak cepat memasuki pabrik dan menutup pintu dengan keras.
“Ada tangan putus nempel di saklar pak!”, salah seorang utusan Kepala Regu menyela keributanku dengan Yuka.
Semua terdiam dan saling memandang, termasuk Yuka yang entah kenapa memegang pergelangan kakiku dengan tangannya yang bergetar.
Aku mencoba bangkit dengan dibantu seorang pekerja yang berada dibelakangku, namun sayangnya percobaanku gagal karena Yuka memegang kakiku dengan erat.
“Yuk lepas bego!”, umpatku menyuruh Yuka melepas cengkramannya.
Kepala Regu tiba-tiba membuka pintu penghubung kembali, seakan mencoba mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh anggota shiftnya.
“Gun, wis murub! (Gun, sudah nyala!), teriak Kepala Regu ke arah kotak saklar di belakang pabrik.
Semua menjadi sehening mungkin, kita sadar bahwa mesin cutting sudah berhenti.
Ada cerita lama lain yang aku ketahui dari Sang Kepala Regu, cerita tentang tewasnya seorang pekerja muda karena tangannya putus di atas tatakan mesin potong.
Gungun adalah anak yang rajin dalam bekerja, hal itu sangat disukai oleh semua Kepala Regu yang ada dipabrik.
Kenangan yang cukup indah ketika listrik ruangan mati karena daya listrik tidak kuat mengaliri, Gungun selalu menjadi orang pertama yang lari ke belakang pabrik untuk menyalakan saklar.
Dan tentu menjadi kebiasaan rutin para Kepala Regu yang bertugas berteriak memanggilnya jika listrik sudah menyala kembali,seperti hal yang sama baru saja dilakukan oleh Kepala Regu ketika memanggil Gungun yang lama sudah tiada.
Disaat-saat terakhir hidupnya, Gungun sangat rajin bahkan mengambil jatah lembur setiap hari yang membuatnya lelah dan tidak fokus pada malam terakhirnya bekerja.
Semua sudah tertebak, pemuda yang berasal dari desa sebelah itu meninggal karena kehabisan darah di perjalanan.
Tapi yang memilukan bukan karena proses kecelakaan itu, melainkan bagaimana Gungun meregang nyawa di jalanan penghubung kawasan industri dan desa sebelah yang melewati hutan Setra Sembarani.
Mobil pabrik mengantarkan Gungun yang sekarat harus segera sampai di Puskesmas desa sebelah melesat cepat di jalanan yang sepi.
Tetapi naas, mobil yang di bawa oleh Sang Kepala Regu ini seperti tersesat dan tidak kunjung sampai tujuan.
Keadaan sekitar selalu menunjukan hutan Sembarani yang gelap, waktu normal yang biasanya ditempuh sekitar 20 menit menjadi perjalanan semalaman suntuk dan Gungun meregang nyawa di penghujung malam.
“Saya sampai ambil cuti 2 minggu Pak, karena saya stres, rasanya saya yang salah karena tidak membawa segera Gungun cepat ke rumah sakit”, tutur lirih Kepala Regu saat mengingat kenangan pilunya.
Hal pertama di benaku adalah betapa mengerikannya Hutan Sembarani, dan pula sebagai penyebab nyawa Gungun tidak bisa terselamatkan.
Cerita ini ditutup dengan hembusan nafas panjang Kepala Regu mengingat tragisnya kisah 5 tahun silam.