Dari semua novel, cerita pendek, bersambung atau lepas yang sejauh saya ingat, beberapa orang yang mengalami keadaan hidup dan mati berakhir dengan kesedihan yang mendalam.
Teriakan orang-orang menggema, muncul dan hilang di telinga Ratih yang sedang sekarat di tangan Maludra.
Pandangannya mulai pudar dan perlahan segala yang ia lihat mulai menghilang perlahan. Ada sesuatu yang ditarik keluar dari dalam tubuhnya. Meski setiap sendi di tubuhnya menjerit kesakitan, namun Ratih tak dapat bergerak. Seperti dipaksa menerima takdirnya saat ini.
'bugh bugh bugh!'
Pukulan beruntun terdengar cepat mengenai beberapa titik di punggung Maludra.
"Kau perlu berlatih lagi."
Suara lembut seorang perempuan cantik membuyarkan apa yang Ratih rasakan.
Seketika, cengkeraman Maludra melonggar dan melepaskan Ratih terjatuh.
Lehernya menghitam, ia batuk berkali-kali sambil berusaha mengatur nafas.
"Sialan, seharusnya kau tiba lebih cepat."
Ratih mengutuk seseorang yang telah menolongnya.
"Katakan itu lain kali pada tubuhmu yang lemah."
Wanita itu membalas seraya menempatkan telapak tangannya dengan keras di punggung Maludra.
Lalu sebuah ledakan besar yang mampu membuat tubuh besar Maludra terlempar akhirnya terjadi.
Hal yang mengesalkan dari ledakan itu adalah, Maludra baik-baik saja.
Hanya jaket yang ia kenakan berlubang, ia dapat kembali bangun seolah tak ada apapun yang terjadi.
"Perlu ku bantu?"
Wanita itu mengulurkan tangannya pada Ratih.
"Aku kira kau mati disana."
Ratih menyambut tangan wanita itu.
"Haha dan jika itu terjadi, aku yakin ibu akan keluar dari liang kubur dan menghajarku habis-habisan."
Wanita itu membalas sambil tersenyum tipis.
"Selamat datang kembali, Dinda."
Ratih mengucapkannya sambil bersiap menghadapi Maludra kembali.
"Setelah ini selesai, mari kita berkumpul sekali lagi. Kudengar masakan Re lebih enak darimu."
Dinda bersiap dan meluncur sendirian menuju Maludra yang sibuk bertarung dengan Ayi.
"Harusnya aku tak banyak berkomentar pada mulut ember Ayi."
Ratih menyusul Dinda.
Sementara Ayi sibuk menghindar dan membalas pukulan Maludra.
"Ayo bocah besar, aku menaruh sedikit harapan padamu!"
Ayi menghindari setiap serangan berat dari Maludra.
"Gerakanmu seperti serangga!"
Maludra kesal karena tingkah Ayi dan masih berusaha mengenainya.
"Jika dibandingkan dengan pasukan Sinom dulu, kau seperti anggota pasukan terendah!"
Ayi merubah tubuhnya menjadi cairan hitam dan menyelimuti tubuh Maludra dengan itu.
"Sialan!"
Maludra yang panik berusaha melepaskan cengkraman Ayi di tubuhnya.
Lalu saat Dinda tiba tepat di hadapan wajahnya, serangan dengan diiringi ledakan bertubi-tubi menghantam tubuh Maludra yang tidak diselimuti oleh Ayi.
"Siang pak. Tampaknya anda butuh sedikit dorongan disini."
Ratih menempatkan telapak tangannya tepat di wajah Maludra sedangkan tangannya yang lain ia tempatkan di perut Maludra.
Lalu lagi-lagi sebuah ledakan besar terjadi yang menerbangkan tubuh besar Maludra ke arah Ratih yang sedang berlari menuju pertempuran.
"Bagus!"
Ratih melompat dengan kedua kujangnya terhunus.
Kali ini bukan lagi bagian tubuh sembarangan yang ia incar, Ratih menancapkan kujangnya hingga masuk ke dalam mulut Maludra, dan satunya menusuk mata kiri musuhnya.
"Kita lihat, apakah kedua bagian ini juga sama kerasnya?"
Ratih mendorong lebih dalam senjatanya dan menggerakkan ke kanan dan ke kiri dengan cepat.
Tepat saat keduanya mendarat, Ratih masih menduduki tubuh Maludra.
"Seharusnya ini berakhir lebih cepat."
Maludra berkata dengan susah payah, setengah kata-katanya hampir tak dapat terdengar karena kujang Ratih yang mengoyak lidahnya sendiri.
"Kamu benar."
Ratih terus mengoyak mata kiri dan mulut musuhnya.
Lalu beberapa langkah berat dan cepat terdengar mengelilingi mereka.
"Tiarap dan jangan bergerak!"
Suara seorang pria tegas terdengar dibantu mikrofon di tangannya.
"Kita harus mundur untuk saat ini."
Ayi bicara setelah tubuhnya berubah menjadi seekor kucing hitam.
"Ck! sialan!"
Ratih mencabut kedua senjatanya dengan cepat, lalu tepat ketika cahaya hijau menyala di kedua betisnya, Ratih lompat menuju atap gedung terdekat.
Suara tembakan dari para petugas terdengar saat Ratih melarikan diri.
Ayi yang berwujud kucing hitam menghampiri Dinda yang sedang berlutut dengan kedua tangan di belakang kepala.
"Ayo pergi."
Ayi berubah menjadi sosok anak kecil laki-laki, lalu menendang tulang kering polisi di belakang Dinda.
Dengan cepat, Ayi merebut senjatanya dan menembakkan ke atas.
Saat perhatian mereka teralihkan pada Ayi, Dinda mundur dengan cepat. Dinda lari ke arah gang kecil yang mengapit dua bangunan besar, beberapa petugas mengejarnya.
Lalu Dinda melompat ke kanan dan ke kiri zig-zag untuk dapat mendaki keatas gedung dengan cepat.
Setelah diatas atap, terlihat Ratih menunggu di gedung seberang. Dinda berlari menghampirinya.
"Bagaimana dengan Ayi?"
Dinda berkata saat mereka bertemu.
"Kau bisa melihatnya dari sini."
Ratih menjawab sambil menunjuk dengan bibirnya.
Dinda berbalik dan melihat ke arah yang ditunjuk.
Terlihat Ayi berkelahi dengan beberapa petugas. Ia dengan cepat merubah wujudnya berkali-kali menyerupai petugas terakhir yang memukulnya.
Keadaannya cukup merepotkan jika dilihat dari sini.
Sementara Maludra sedang diperiksa denyut nadi dan luka-lukanya oleh 3 petugas, mereka terlihat sedang berdiskusi mengenai apa yang seharusnya dilakukan terhadap Maludra.
Lalu secara tiba-tiba Maludra membuka matanya terbangun dan berdiri.
"Jawabannya adalah iya! Bagian itu juga keras dasar jalang sialan!"
Maludra berteriak menatap Ratih.
"Orang yang merepotkan."
Ratih tersenyum tipis mengejek dari jauh.
Kejadian selanjutnya adalah Maludra yang mengamuk dan membantai setiap anggota yang mengepungnya.
Sementara Ayi yang masih kerepotan, perlahan membawa lokasi pertempurannya mundur menuju tempat seorang gelandang tua yang sedang berjongkok gemetar kelaparan.
"Aku minta maaf padamu pak tua."
Ayi lalu meraih tubuh gelandangan tua itu ke tengah pertempuran, lalu merubah wujudnya dan menukar tempatnya dengan gelandangan tua tadi.
"Aku sedikit merasa bersalah padamu."
Dengan berpura-pura sakit dan susah berjalan, Ayi meninggalkan gelandangan tua itu yang sedang dipukuli.
Setelah tak ada yang melihat, tubuhnya berubah menjadi kucing hitam kecil dan berlari dengan cepat menyusul kedua kawannya.
"Apa kau tak bisa merasa kasihan?"
Hardik Dinda saat mereka bertemu.
"Hei! Kau harus lebih memperhatikannya."
Ayi menujuk ke arah gelandangan tua tadi.
Beberapa petugas tak lagi memukulinya, mereka malahan membantu gelandangan tua tadi berdiri dan memapahnya menuju mobil ambulan yang baru tiba. Aku bisa melihat wajah-wajah yang kesal dan merasa bersalah.
"Dia akan baik-baik saja, aku yakin."
Ayi berkata sombong dengan wujud kucingnya.
"Sebaiknya kita pergi."
Ucap Ratih berbalik.
"Aku setuju."
Balas Dinda.
Tepat saat mereka berlari menjauh. Teriakan-teriakan pilu terdengar dari para petugas yang mengepung Maludra.
Dinda berhenti dan berbalik untuk melihat apa yang terjadi.
Sepasang anak kembar berusia belasan tahun sedang menjulurkan kedua tangannya ke arah para petugas. Samar terlihat cahaya putih berpendar dari kedua tangan mereka, dan setiap petugas yang ia arahkan, petugas itu akan terjatuh kesakitan dan muntah darah.
Saat Dinda terpana karena anak kembar itu, salahsatu dari mereka melihat ke arah Dinda dan mereka saling menatap.
Dinda ambruk sambil memegangi perutnya, ia lalu muntah darah seperti para petugas.
"Bodoh! Jangan menatap matanya!"
Ayi sigap merubah tubuhnya seperti Maludra dan menggendong Dinda sambil berlari.
"Siapa mereka?"
Tanya Ratih sambil berlari di sampingnya.
"Mereka pangkur kedua. Kami dulu menyebutnya Durma."