Kaskus

Story

gitalubisAvatar border
TS
gitalubis
Drama Pernikahan
Drama Pernikahan
Oleh: Gita Lubis
Prolog ...

Pernikahan yang bahagia adalah impian setiap orang, termasuk aku. Mertua yang penyayang, serta suami yang tampan lagi mapan, membuat orang-orang mengatakan jika aku sangat beruntung.

Baca juga: Ternyata Setan itu Penakut

Aku hanya tersenyum saat orang-orang ingin menjadi sepertiku, mendapatkan suami layaknya seorang Raffa. Namun, hati kecilku menjerit, memohon agar mereka tidak bernasib sama sepertiku.

Kebahagian yang kami tunjukkan, bukanlah murni dari sebuah perasaan. Genggaman tangan yang selalu tampak saat di luar rumah, hanyalah sebuah formalitas belaka. Status suami-isteri yang telah melekat, tidak membuat kami untuk tidur seranjang, kecuali di rumah Bapak dan Ibu.

Aku tahu, pernikahan ini ada karena perjodohan. Namun, tetap saja itu tidak akan terjadi kalau salah satu pihak tidak menyetujuinya.

Tadinya aku berharap banyak pada pernikahan, tapi makin ke sini aku menyadari bahwa itu tidak pernah terbuka untukku. Semakin aku berusaha, semakin kuat pula ia menghindar.

Pernikahan ini, layaknya drama. Sungguh aku tak kuat melakoninya dengan peran protagonis, walau mendapat banyak pujian.

Apakah harus bertahan demi harapan orang tua kami, dengan membiarkan air mata terus mengalir hingga tak bersisa, atau memilih membebaskan diri dari luka yang membelenggu?

======================

Secuil cuplikan part 1


“Kalau sama dia, Bapak yakin hidupmu bakal terjamin.”

“Tapi, Pak. Aku tuh nggak cinta sama dia. Baru juga sekali ketemu, kok udah langsung mau main nikah aja.”

Aku tetap merengek, berharap Bapak mau mengabulkan permintaanku untuk membatalkan perjodohan ini.

“Seiring berjalannya waktu, kamu juga bakal cinta sama dia. Udah deh percaya sama Bapak. Pernikahan akan tetap segera dilaksanakan, keluarga Raffa juga udah mempersiapkan semuanya.”

Bapak tetap kukuh dengan niatnya untuk segera menikahkanku dengan anak temannya itu. Aku memang percaya dengan adanya cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu, toh orang jaman dulu juga kebanyakan nikah atas dasar perjodohan tanpa adanya cinta, tapi nyatanya hubungan mereka tetap awet sampai ajal memisahkan, Nenek dan Kakekku contoh nyatanya.


Bersambung ....
sambungan part 1
part II (A)
Part II B
Part III
Part III (B)
Part IV
Part IV (B)
Part V
Part V (B)
Part VIpart VII



Diubah oleh gitalubis 09-12-2020 09:38
MilkymeongAvatar border
pulaukapokAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 9 lainnya memberi reputasi
6
3.6K
103
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
gitalubisAvatar border
TS
gitalubis
#42
Wejangan Ibu
“Calon manten kenapa mondar-mandir mulu? Sini biar kululurin!”

“Nanti aja, Ki. Aku lagi nunggu Bapak,” jawabku sambil mengelak saat Kia hendak menarik lenganku.

Setelah lima hari menjalani rawat inap di rumah sakit, akhirnya Bapak diizinkan untuk pulang. Sebenarnya Bapak belum sepenuhnya pulih, tapi ia tetap kukuh meminta untuk pulang. Aku yang tak diizinkan untuk ikut menjemput, terpaksa harus menahan kerinduan lebih lama dengan cara menanti. Padahal, menunggu adalah hal yang tak pernah kuinginkan. Namun, sayangnya aku selalu berteman dengan keadaan seperti itu.

“Calon manten harus duduk manis di rumah, nggak boleh keluar-keluar sampai resepsi selesai.”

Begitulah kata Nenek saat aku meminta untuk ikut. Besok adalah acara resepsi pernikahan, tentu saja banyak sanak saudara yang telah datang. Ibu yang mendengar hanya mengangguk, mengisyaratkan agar aku menuruti apa kata Nenek. Padahal, akad nikahku, dan Raffa sudah lewat beberapa hari yang lalu.

“Jea, kamu masih perawan, ‘kan?”

Seketikan pandanganku kembali teralih ke arah Kia, tak percaya kalau pertanyaan itu keluar dari mulutnya yang memang terkenal tak beretika kalau sudah berbicara.

“Jangan salah paham dulu, maksudku kamu, dan Raffa belum melakukan malam pertama, ‘kan? Soal—“

Belum sempat lagi Kia menyelesaikan kalimatnya, aku sudah membekap mulutnya lebih dulu. Bagaimana jika pertanyaan Kia yang tidak sopan ini didengar oleh Nenek? Bisa-bisa ia akan disemprot habis-habisan.

Bagaiman mungkin aku dan Raffa melakukan malam pertama, sedangkan tidur kami saja terpisah oleh jarak berkilo-kilometer. Sejak menikah, kami memang belum tinggal seatap, baik aku maupun Raffa tak mempermasalahkannya. Karena seharusnya hal itu memang belum terjadi kalau saja Bapak tak mempercepat tanggal pernikahan.

Sebuah mobil Avanza putih milik Om Andi berhenti tepat di halaman rumah, seketika tanganku yang masih membekap mulut Kia terlepas. Aku berlari keluar menyambut kepulangan Bapak, tak lagi mempedulikan umpatan Kia yang terlontar.

Dengan hati-hati Bang Juan membantu Bapak untuk duduk di kursi roda. Pria yang umurnya sudah lebih dari setengah abad itu tersenyum menatap, betapa aku sangat menyayangi lelaki yang ada di depanku ini.

“Sudah, sampai sini saja.”

Bapak memintaku berhenti mendorong kursi roda saat masih sampai di ruang tamu, kurasa ia ingin berbincang dengan wanita tempatnya bermanja dulu, yakni nenekku.

“Jea, tukang mehndinya sudah datang!”

Kia datang memberitahu saat aku baru saja hendak mendudukkan diri di samping Nenek. Dengan berat hati, kutinggalkan mereka menuju kamar. Tampak Kia sedang asyik berbicang dengan seseorang yang akan menghias kulit tangan dan kakiku.

Obrolan mereka terhenti kala menyadari kehadiranku, dengan tak sabaran Kia menarik lenganku agar segera dilukis, karena semakin cepat tanganku dihias maka semakin cepat pula gilirannya.

===========

Malam mulai larut, tapi mata seolah enggan untuk terpejam. Di ruang tamu, sudah berjejer para sanak saudara yang terlelap, meski sebagian lagi terutama kaum bapak masih setia berbincang sambil menyesap kopi. Maklumlah, di saat-saat seperti ini atau hari raya keluarga besar bisa saling bertemu, jadi merelakan sedikit waktu tidur untuk menuntaskan rindu yang terpendam lama bukan sebuah masalah besar.

Tanganku sedari tak tak berhenti mengusap ranjang yang kebetulan memang sengaja dikosongkan karena sudah berhias. Esok tak lagi aku tidur di kamar ini seorang diri, akan ada sosok lelaki yang bahkan bayangannya pun tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mataku berpindah menatap setiap sudut kamar yang dipenuhi bingkai foto dari berbagai masa.

Pintu kamar yang memang sengaja tidak dikunci berderit, membuatku menoleh untuk memastikan siapa yang membukanya.

“Belum tidur?” tanya Ibu menyembulkan kepalanya.

Ibu melangkah masuk saat aku menggeleng, mendudukkan diri di tepian ranjang sepertiku. Kerut wajahnya yang sudah tampak banyak, menghilangkan kecantikannya sedikit demi sedikit, meski begitu ia tetap terlihat cantik mataku. Matanya yang berkantung menandakan tidurnya kurang, belakangan ini Ibu memang terlihat sangat lelah.

“Kenapa belum tidur, Bu?” tanyaku menyentuh punggung tangannya.

Ibu menatap lembut, tangannya yang tadi kugenggam kini telah mengusap rambutku pelan. Tatapannya sedikit pun tidak beralih dari mataku, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

“Saat kamu lahir, nenekmu bilang Ibu terlahir kembali.”

Setelah lama membiarkan keadaan membisu, Ibu berujar sambil mengenang. Kini, tatapannya tak lagi terfokus pada satu makhluk yang ada di depannya.

“Beberapa tahun setelah kehadiranmu, Ibu terbaring lemah tidak bisa melakukan apa pun selama seminggu. Kamu yang saat itu masih berusia tiga tahun, tidak mau meninggalkan Ibu walau hanya sejenak. Kamu menjaga Ibu layaknya seorang anak yang sudah dewasa, memijit pundak Ibu dengan hati-hati agar Ibu tidak menjerit kesakitan seperti saat diurut oleh Bi Lastri.”

Ibu menjeda, sedang aku masih setia untuk mendengar kelanjutannya. Tak ingin memotong dengan cara bertanya bagian masa kecilku yang bahkan tak ada lagi dalam memori ingatan.

“Dulu tanganmu masih sekecil ini saat memijit Ibu.”

Ibu mencontohkan seberapa besar ukuran tanganku dulu menggunakan telapak tangannya, sedangkan aku hanya tersenyum. Matanya yang mulai berkabut, membuatku ikut merasa sesak.

“Dulu setiap kali Ibu dan Bapak pergi karena suatu hal, Ibu selalu berpesan, ‘jangan pernah buka pintu selama kami belum pulang, jangan hidupkan kompor saat kami tidak ada’ atau hal lainnya. Bahkan sampai sekarang pun, nasihat-nasihat sejenis itu pun selalu Ibu lontarkan. Mungkin kamu pernah bertanya-tanya, atau bahkan terbesit rasa malu saat Ibu melakukannya di depan teman-temanmu. Namun, sedewasa apa pun anak, para orang tua akan selalu memandang jika anak-anaknya masih sama sekitar belasan tahun lalu.”

Mata Ibu yang tadinya berembun, kini telah menitikkan bulir bening setetes demi setetes. Tanganku yang sudah siap hendak menghapusnya, seketika digenggam Ibu kembali.

“Saat seorang pemuda menjabat tangan abangmu di rumah sakit beberapa hari lalu, saat itu Ibu sadar, bahwa pemilik tangan mungil yang dulu memijit Ibu dengan penuh cinta memang benar-benar telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Bahkan di saat Ibu belum ingin melepaskannya. Namun, jika Ibu lakukan itu, bukankah itu terdengar egois? Setiap anak kelak memang harus meninggalkan rumah orang tuanya, membangun kehidupan baru bersama pasangan. Begitulah hukum alam sebuah kehidupan.”

Ibu tersedu, membuatku juga berlinang.

“Namun, mengingat Raffa adalah anak yang baik, Ibu akan sedikit tenang melepaskan kepergianmu nanti. Jadilah isteri yang berbakti, jangan buat ia murka, karena surgamu ada bersamanya. Pakaian suami adalah pakaian isteri, begitu pula sebaliknya. Jangan bicarakan pada orang lain apa yang seharusnya hanya diketahui oleh suami isteri. Jika suatu saat hubungan rumah tangga kalian terjadi kesalapahaman, maka cepatlah selesaikan, jangan sampai ia menjadi besar.....”

Ibu tak lagi tersedu, seperti tadi. Malam sebelum resepsi, ia memberikanku wejangan tentang kehidupan rumah tangga. Hingga akhirnya, sebelum subuh menjelma barulah kami tertidur.
senja87
pulaukapok
rinandya
rinandya dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.