Katakanlah saya menghibur diri dengan mengubur semua keresahan dalam kesibukan yang masih belum mencapai akhir.
Dan mungkin, saat Ayi menceritakan hal ini di masa depan, saat semuanya telah rampung tanpa sisa, sedikit mengobati keresahan saya sendiri.
Sebuah rumah susun tua yang temboknya terkelupas di berbagai sudut terlihat berdiri kokoh dengan malas.
Sementara di ujung barat, matahari baru saja memulai peristirahatannya. Berbanding terbalik dengan om Rio yang baru terbangun dari tidurnya.
Bangunan 5 lantai terlihat sedikit menyeramkan tanpa perawatan yang layak. Sementara ruangan no 36, terlihat lampu menyala dan seseorang tinggal disana.
2 lantai ke bawahnya kosong, juga 2 lantai keatasnya. Satu-satunya penghuni di gedung itu hanya om Rio.
"Sewa disini hanya 300 ribu perbulan, kamu boleh memilih sendiri ruangan mana yang ingin kamu tempati."
Suara serak seorang wanita tua menawarkan pada Om Rio saat itu.
"Lantai 3, kamar 36. Saya cocok dengan ruangan itu."
Balas om Rio sambil menyerahkan uang sewanya bulan itu.
"Ini kuncinya. Sebulan sekali akan ada petugas yang membersihkan gedung ini, ibu harap kamu betah ya."
Wanita tua itu bergegas pergi tanpa mengucapkan apapun lagi.
Dan sudah empat bulan sejak pertemuan pertama mereka.
Om Rio bekerja sebagai petugas keamanan di salahsatu karoke di kota ini. Dengan tubuh tinggi kekarnya, pengunjung yang ingin berbuat macam-macam akan berfikir dua kali.
Sementara istri dan seorang anaknya telah tenang berbeda alam. Dan karena itu pula ia sempat mendekam di penjara 15 tahun, namun beruntung 10 tahun kemudian ia dibebaskan karena berperilaku baik.
Sebagai mantan narapidana bukan hal mudah untuknya mendapatkan penghasilan. Dan hanya inilah satu-satunya kesempatan yang ia punya.
Pulang ke kampung? Jangan harap ia masih mempunyai muka untuk bertemu orangtuanya.
Bekerja di perkotaan adalah apa yang tersisa yang dapat ia lakukan.
Seorang pria kurus kering lusuh namun beberapa orang mengikutinya dengan tunduk, adalah pemandangan yang menurutnya cukup aneh.
Pria gondrong itu mirip pengemis, namun orang-orang di belakangnya berpenampilan rapi seperti petinggi perusahaan.
Meski ia ingin sekali berkomentar, namun ia menahan diri untuk tidak membuat masalah. Bagaimanapun ia masih membutuhkan pekerjaan ini. Jangan sampai kecerobohannya berujung pada pemecatan dirinya.
Subuh tiba, orang-orang itu keluar. Bau alkohol menyeruak, masing-masing dari mereka membawa mobil dengans supir pribadinya.
Saat 3 orang tersisa dengan pria gondrong itu sebagai pusatnya, om Rio mendapatkan perbincangan yang tak masuk di akal.
"Aku menyukai tatapan dan masa lalumu. Cari aku disini."
Pria aneh itu memberinya kartu nama.
Om Rio menerimanya dengan penuh rasa keheranan.
"Saya mungkin terlihat seperti ini, tapi saya tidak bodoh. Perusahaan ini adalah perusahaan besar, dan apa yang bisa saya lakukan disana sementara anda telah mendapatkan para pengawal yang jauh lebih baik dari saya?"
Om Rio menjawab perkataan pria itu.
"Hahaha, aku akui kecerdasanmu. Tapi saat ini aku tak bisa berbicara lebih banyak. Terima ini sebagai tip, jika kau ingin mengetahui lebih banyak, maka datanglah. Jika kau ingin melupakan kejadian ini, aku takkan memaksa."
Pria aneh itu memberinya satu gepok uang seratus ribuan dan meninggalkan om Rio dengan perasaan yang semakin tak dapat ia jelaskan.
Saat matahari setinggi kepala, om Rio menatap uang dan kartu nama di hadapannya.
Ruangan tempatnya tinggal terasa lebih dingin dengan semua kemungkinan pikirannya yang bergelut tanpa henti. Sejuta pertanyaan terlintas karena kejadian semalam.
Lalu nafas terbuang dengan keras, ia membulatkan tekad. Persetan dengan apa yang akan terjadi setelahnya, namun dengan uang sebesar ini ia yakin akan hidup lebih baik. Jaket kulit ia raih, dan dengan uang itu ia menghentikan taksi untuk pergi ke tempat yang tertera di kartu nama pria itu.
Bangunan tinggi pencakar langit menjulang menampakkan kesan angkuh yang membuat matanya kesal.
Seorang perempuan muda berdiri di belakang meja dengan tulisan 'RESEPSIONIS' terpampang berwarna perak.
"Ada yang bisa saya bantu pak?"
Perempuan itu bertanya ramah.
"Saya diminta datang setelah diberikan kartu nama ini."
Om Rio mengeluarkan kartu nama yang ia maksud.
Raut wajah perempuan muda itu berubah pucat, dengan terburu ia menghubungi seseorang dan menyampaikan maksud dari om Rio.
Tak lama kemudian seseorang keluar dari lift dan menjemput om Rio.
"Beliau menunggu, silahkan ikuti saya."
Hanya kata-kata itu yang terucap dan om Rio menurutinya dengan waswas.
Pria aneh yang ia temui tempo hari duduk tenang di sebuah kursi dengan meja mewah di lantai teratas.
"Ada sebuah ajian yang memerlukan tubuh kekar dan kekuatan mental luar biasa. Kau cocok untuk itu."
Pria aneh itu berkata.
"Apa untungnya untukku?"
Balas om Rio dengan pertanyaannya.
"Apapun yang kau inginkan."
Jawaban pria itu singkat.
"Baik, akan aku terima penawaranmu."
Om Rio menyanggupi tawaran pria aneh itu.
"Bagus."
Pria aneh itu berdiri lalu melompat dengan cepat, seiring dengan sebuah keris tanpa pegangan menusuk dada om Rio dengan telak.
Om Rio yang tak sempat mengelak hanya dapat merasakan tubuhnya perlahan menjadi dingin dan membeku.
Penglihatannya perlahan pudar dan menghilang.
Udara pagi kembali membawa hari baru yang lain. Tak ada yang berubah hari itu, matahari masih seperti biasa. Udara riuh kota masih sibuk mencari upah bergelut dalam jam kerja dan keluhan tanpa batas.
Tubuh yang tertidur itu bangun dengan perlahan diiringi sejuta pertanyaan.
Om Rio duduk diatas ranjang dan melihat sekitarnya. Ruangan asing baginya. Ia memeriksa tubuhnya sendiri kemudian, teringat bahwa sebelumnya ia ditusuk hingga tak sadarkan diri.
Alih-alih luka, namun yang ada di dadanya adalah sebuah batu berwarna merah delima. Tertanam dan sepertinya takkan bisa dilepaskan.
"Pawilasan pertama dari babak Pangkur, Maludra adalah nama batu dan ajian yang kau terima."
Pria aneh yang tempo hari om Rio temui datang dan menyampaikan kata-katanya.
"Ajian?"
Om Rio keheranan.
"Pukul tembok itu sekuat tenaga."
Pria aneh itu memberi perintah.
Meski tak masuk akal, namun om Rio berdiri dan mengambil ancang-ancang.
Tembok tebal itu ia pukul seperti yang diperintahkan.
'Bugh!'
Lalu hancur.
Om Rio keheranan sendiri atas apa yang dapat ia lakukan sekarang.
"Hebat!"
Om Rio terkesima, ia membayangkan apa yang akan terjadi apabila pukulannya mengenai tubuh manusia.
"Sekarang, ada hal yang harus kau lakukan."
Ucap pria itu dengan nada tegas pelan setengah berbisik.
"Saya mendengarkan."
Jawaban tegas dari om Rio menutup.
Seorang pembunuh, mantan narapidana telah bergabung sebagai babak pertama pangkur. Rio yang kini dipanggil Maludra mulai bergerak!