- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#112
Kebohongan, kebencian, kemarahan...

Pagi masih terlalu awal bagi matahari menampakkan wujudnya. Aku memilih duduk di taman rumah sakit ini yang berada tepat di belakang ruang intensive di mana biasanya aku mengurung diri.
Meskipun ada sedikit rasa takut akan di hampiri oleh sosok-sosok lain di rumah sakit ini, aku memberanikan diri untuk keluar toh hari sudah menjelang pagi dan aku juga sudah sangat bosan berdiam diri di kamar. Akan aku coba memberanikan diri memperlihatkan diri dan melihat ‘mereka’.
Seperti yang aku lihat saat ini, sesosok mahluk, sepertinya sosok itu adalah seorang laki-laki tanpa kepala hilir mudik di koridor yang ada tepat di depanku. Entah apa yang dilakukannya, entah apa yang tersisa dalam ingatannya sehingga dia terus melakukan hal itu.
‘Nak?’
Aku terperanjat kaget. Tiba-tiba sesosok nenek duduk di sampingku. Dia menatapku dengan pandangan mata sedih, matanya yang sudah terlihat mengabu, tampak berkaca-kaca.
‘Ya?!’ sahutku.
Sebenarnya tidak ingin menyahut tapi kalau diam saja terasa tidak nyaman terlebih lagi dia memandangiku sedemikian rupa.
‘Kamu ada lihat anakku?’
Aku bingung harus menjawab bagaimana. Jadilah aku hanya menggeleng.
Dia melengos. Berdiri lalu berjalan pelan, tertatih-tatih menuju koridor yang menghubungkan taman ini dengan ruang rawat inap.
Aku duduk diam, menenangkan diri.
Gara-gara nenek tadi aku merasa sedikit takut. Oscar bilang mereka tidak akan bisa mendekatiku, ternyata apa yang dia bilang tidak sepenuhnya benar.
Anak kecil yang pernah masuk ke ruanganku dan nenek tadi bisa mendekat dan bahkan bisa berkomunikasi denganku.
‘Hei!’
Astaga. Aku melompat, berdiri, terkejut.
Baru saja aku berpikir tentang anak kecil itu dan sekarang dia benar-benar muncul.
Dia tersenyum, bukan, lebih tepatnya nyengir. Lucu sebenarnya, hanya saja wajahnya yang terlalu pucat membuat wajahnya terlihat aneh.
‘Kamu siapa?’
Aku mencoba berkomunikasi dengannya. Tapi dia hanya diam dan memandangiku saja.
‘Ibu…’ ujarnya masih dengan wajahnya yang tampak sumringah.
‘Ibu?’
‘Ibu…” ujarnya lagi
Apa dia pikir aku ibunya?
‘Aku bukan ibu kamu,’ sahutku
Dia tertawa cekikikan yang langsung membuatku kaget. Kenapa dia malah tertawa?
‘Tante cantik bukan ibu,’ ujarnya lagi sambil menggerak-gerakkan kakinya.
‘Bukan,’ sahutku
‘Nunggu ibu,’ ujarnya lagi.
‘Ibu kamu ke mana?’ tanyaku.
‘Ngga tau,’
Wajahnya tiba-tiba muram. Aku bergidik ngeri ketika melihat setetes darah jatuh perlahan di pelipisnya.
‘Jangan ganggu, pergi sana!’
Aku mendengar suara Oscar, tapi aku tidak melihat wujudnya.
Si gadis kecil itu meloncat dan berlari kecil sambil terkadang melompat-lompat gembira.
Aku melihat Oscar berjalan di koridor dari balik gedung dan mendekatiku. Aku kembali duduk di bangku tadi sambil menunggunya.
‘Jangan berkomunikasi sama mahluk-mahluk di sini,’ ujarnya begitu duduk di sampingku.
‘Bukan aku tapi dia yang nyamperin duluan,’ ujarku membela diri
‘Ngga usah di ladeni.’
Aku terdiam tidak menyahutinya.
‘Pagi-pagi sudah ke sini, ada apa?’ tanyaku
‘Bagaimana dengan Lisa?’ tanyanya
‘Heh? Maksudnya?’ tanyaku tidak mengerti.
Dia melihatku.
‘Kamu masih belum jawab, pertanyaanku tentang Lisa.’
Aku masih belum bisa mengerti dengan apa yang dimksudkannya
‘Setelah apa yang dia lakukan padamu, apa kamu bisa menerimanya? Memaafkannya?’
Baru aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
‘Mungkin… aku ngga akan bisa… menerimanya,’ ujarku.
Aku bingung bagaimana harus mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
‘Mungkin…kalau aku tahu saat itu, aku ngga akan memaafkannya, tidak bisa terima, dan pastinya persahabatan pun bisa bubar. Tapi, karena aku tahunya sekarang, di saat orang yang aku cintai memilih pergi, terlepas karena Lisa atau bukan, aku tidak akan ambil pusing. Memang aku ngga bisa terima apa yang sudah dia lakukan, aku kecewa, tapi aku bisa memaafkannya. Tapi, mungkin ngga akan bisa sama seperti dulu lagi.’
Yah, itulah yang aku rasakan.
‘Ikhlas memaafkan?’ tanyanya
Aku menoleh menatapnya yang juga memandangku.
‘Iya, aku ikhlas.’
Dulu, aku berpikir, menjadi seperti seorang Lisa pasti sangat menyenangkan. Tapi kini, aku menyadari, hidup seperti Lisa tidaklah seperti yang aku pikirkan.
Apa lagi yang bisa membuat hidup menderita selain selalu ingin memenuhi keinginan diri.
‘Aku pernah berpikir, kalau hidup Lisa itu menyenangkan, membahagiakan. Apa pun yang dia inginkan bisa dia dapatkan. Aku ngga pernah berpikir, kalau apa yang dia lakukan untuk memenuhi keinginannya itu bisa saja membuat orang lain menderita. Dan bisa saja membuat dirinya sendiri juga menderita karena keinginan-keinginan itu.’
Dia mengalihkan pandangan kearah pohon kenanga besar yang ada di depan kami. Bunga-bunganya sedang bermekaran dan menebarkan samar-samar aroma wangi yang terbawa angin.
‘Dia melakukannya karena itu membuatnya bahagia. Kalau kamu ingin merasakan kebahagiaan, kamu harus tahu apa yang bisa membuatmu bahagia. Kamu dan hanya dirimu sendiri yang bisa membuat hidupmu bahagia. Orang lain tidak akan bisa melakukannya.'
Aku memandangnya dalam diam. Memperhatikan wajahnya yang tanpa senyum, menatap datar pada pucuk-pucuk pohon di atas sana.
‘Ibumu akan ke sini,’ ujarnya lagi tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku sedikit kaget, ‘darimana kamu tahu?’
‘Ngga usah bertanya, percaya saja padaku.’
Dia berdiri dan melangkah pergi
‘Mau ke mana?’ teriakku
‘Ke ruanganmu, mau ketemu ibumu,’ sahutnya tanpa menoleh lagi.
***
Benar kata Oscar, sekitar 15 menit setelah aku dan Oscar berada dalam ruangan perawatanku. Mamaku datang. Benar-benar datang. Dia datang bersama Tante Agnes dan Monica.
Mereka bertemu dengan Ardi di luar, aku tidak melihat Fandra apa mungkin dia sudah pulang ke kost? Sedangkan Oscar masih berdiam diri di dalam ruanganku.
‘Bagaimana kamu bisa tahu mamaku datang?’ tanyanku padanya
‘Terkadang aku bisa melihat masa depan.’
Aku melonggo.
‘Oh ya?’
‘Kamu percaya?’ dia balik nanya
Aku terdiam sejenak.
‘Percaya.’
‘Terpaksa percaya?’ dia tersenyum sinis
‘Ngga. Beneran percaya.’
‘Kenapa percaya?’
‘Yah… kamu sudah ngelakuin sesuatu yang orang lain ngga bisa lakuin, kadang-kadang muncul dengan wujud seperti ini, kadang-kadang muncul tanpa wujud seperti aku. Memperlihatkan masa lalu orang lain, mungkin kamu juga bisa melihat masa laluku. Kalau ada keanehan lain yang kamu tunjukkan padaku, bagaimana bisa aku ngga percaya.’
Dia terdiam.
‘Aku juga tahu semua masa lalu kamu.’
Aku terdiam.
‘Semua, tanpa terkecuali.’
Dia menatapku tanpa ekspresi
‘Semua, tidak hanya 29 tahun yang lalu, tapi 100 tahun, bahkan 500 tahun yang lalu.’
‘Maksudmu?’
Dia berdiri dari duduknya di samping tempat tidurku.
‘Ibumu mau masuk, aku keluar dulu.’
Begitu Oscar membuka pintu, mamaku berdiri tepat di hadapannya.
Oscar memberi jalan pada mamaku dengan menyingkir dan membuka pintu lebih lebar. Mama hanya memandangnya sekilas, pandangannya lalu tertuju pada tubuhku yang terbaring.
Sudah hampir dua bulan aku tidak melihat wajah mama. Dia masih tampak seperti biasanya, hanya saja wajahnya yang putih tampak lebih pucat dan kantong matanya tampak lebih menghitam dari biasanya.
‘Ma, aku kangen dengan sikap dinginmu. Apa mama tahu aku sudah tahu semua tentang papa? Apa Tante Agnes sudah cerita? Pastinya sudah. Pastinya mama sudah tahu. Ma, aku sakit hati sama mama. Kenapa mama ngelakuin ini sama aku? Mama kan tahu bagaimana berat hidupku meskipun mungkin ngga seberat hidup mama, tapi apa mama sadar, seandainya mama memberitahuku kalau aku masih punya papa dan membiarkan papa menemuiku, hidupku dan hidup mama ngga akan seperti ini. Kenapa mama egois?’
“Vio… maafin mama, nak…”
Mama menangis mencium tanganku. Pertama kali dalam hidupku dengan sangat jelas aku melihat mama menangis. Mama yang kutahu sangat tegar dan tegas. Bahkan saat aku menjadi korban pelecehan, tidak kulihat dia menangisi keadaanku. Seberapa parah pun aku berontak, menangis, berteriak, seperti orang gila, dia tetap di sisiku dengan tenang menenangkanku. Mungkin dia ingin menunjukkan, memberi contoh padaku, bahwa seperti inilah harusnya aku bersikap pada dunia yang tidak pernah ramah pada hidup kami.
Tapi kini wanita yang kulihat di depanku, seperti bukan mamaku.
“Maafin mama…”
Berkali-kali kalimat itu meluncur di sela-sela isak tangisnya.
Kenapa hatiku tidak tersentuh. Aku tidak merasakan kesedihan atau haru biru di dadaku. Aku tidak ingin larut dalam tangis. Hatiku justru tambah sakit dan benci melihatnya.
Tidak ingin panas hati ini membuatku semakin kehilangan kewarasan dan berpikir semakin buruk tentang mama, aku memutuskan keluar dari ruangan itu.
Mataku langsung terpaut dengan pandangan Oscar. Dia memandangku datar. Di sebelahnya duduk Fandra, di deretan bangku di depan mereka duduk Tante Agnes, Monica, dan Ardi.
Ada Fandra di sana, duduk menyendiri di deretan bangku paling belakang. Aku memandang ke arah Fandra yang sedang menatap layar ponselnya.
Oscar melirik ke arah Fandra.
Aku berjalan menjauh, kembali ke taman tempat aku duduk tadi. Beberapa menit kemudian tampak Oscar datang menyusul dan duduk di sampingku lagi.
‘Sampai kapan aku seperti ini?’ tanyaku
‘Kamu kenapa?’
‘Apa?’ tanyaku bingung.
‘Ada mamamu kenapa kamu ngga di sana dengannya?’
Aku terdiam.
‘Aku ngga ingin bertemu dengannya.’
‘Kenapa?’
‘Kenapa bertanya? Kamu pastinya tahu apa sebabnya.’
‘Kenapa harus membenci? Dia wanita yang melahirkan kamu, berbuat segalanya untukmu. Menyayangimu dari kamu kecil hingga seperti saat ini, sayangnya tidak pernah berubah. Apa kamu tidak merasakannya?’
Aku terdiam
‘Sayang? Lalu kenapa menyembunyikan sebagian identitas dari hidupku?’
‘Kalau pun kamu tahu, apa kamu yakin bisa merubah hidupmu? Bagaimana kalau itu justru menyakiti hati kamu. Kamu tahu kan papa kamu sudah memiliki keluarga yang baru. Dan pasti kamu juga sudah tahu kalau nenek kamu tidak mengakui kamu sebagai cucunya. Apa kamu pernah memikirkan itu? Bagaimana rasanya tidak di akui oleh keluargamu sendiri?’ Apa kamu yakin bisa hidup tenang jika mengetahui semua itu? Lalu apa kamu memikirkan bagaimana perasaan mama kamu melihat kamu, anaknya, diperlakukan buruk oleh keluarga mantan suaminya, sedangkan kamu berharap besar untuk dianggap sebagai keluarga?’
Aku memandangnya yang terus saja bertanya tentang semua hal yang belum terpikirkan olehku
‘Bagaimana kamu tahu semua?’
‘Apa kamu juga sudah hilang ingatan?’ tanyanya dengan sinis
Aku terdiam, mengingat. Oh iya dia tadi bilang bahwa dia bisa melihat masa lalu
‘Aku lupa.’
Dia menghela nafas.
‘Apa kamu juga bisa melihat masa depan?’ tanyaku kemudian
‘Hanya sekilas, tapi itu tidak jelas terlihat saat ini.’
‘Kenapa?’
‘Aku juga tidak tahu.’
‘Masa depan yang kamu lihat....apa pasti akan terjadi?’
‘Sebagian besar, tapi saat ini aku tidak berani melihatnya terlalu sering.’
‘Kenapa?’
‘Entahlah. Sepertinya apa yang aku miliki ini bisa kulakukan dengan tujuan tertentu saja.’
‘Apa?’
‘Melepaskan ayahku.’
‘Ayahmu?’
Dia memandangku.
‘Iya, ayahku, dan saat itu kamu harus menolongku. Itu janjimu padaku.’
Aku terdiam dan memandang lurus ke matanya yang juga sedang menatapku.
‘Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu bisa menemukanku ketika aku kehilangan kesadaranku seperti ini?’
Dia mengulurkan tangannya padaku.
‘Aku William Oscar Hadinata.’
Aku menyambut uluran tangannya dan menjabat tangannya yang terasa dingin
‘Aku datang ke Bali karena aku tahu kamu akan datang ke sini. Karena di sinilah, aku akan bertemu denganmu.’
‘Kenapa harus bertemu denganku?’
‘Aku ngga bisa beritahu kamu sekarang. Kamu harus selesaikan dulu masalahmu. Kamu harus berdamai dulu dengan hati dan dirimu sendiri, baru kamu bisa menepati janjimu untuk membantuku.’
Sebelum aku menyahutinya, kulihat Fandra muncul dan berjalan ke arah kami. Dia mendekati Oscar dan kemudian duduk di tempat aku duduk. Spontan aku berdiri dan berdiri di depan mereka, memperhatikan apa yang mereka bicarakan.
Oscar tampak sekilas melirik ke arahku sebelum dia menyapa Fandra.
“Kamu tidur di sini?” tanyanya pada Fandra
“Iya, semalem pulang kerja aku langsung ke sini.”
“Oh…”
“Boleh aku nanya sesuatu?” tanyanya kemudian pada Oscar
“Tentu.”
“Bagaimana kamu tahu Pak Damar adalah papanya Vio? Dan kamu juga tahu Vio akan terjatuh dari tangga pada hari itu? Kamu bisa meramal?” tanya Fandra dengan wajah yang sangat serius menatap Oscar.
Oscar mendesah pelan dan memalingkan wajahnya dari tatapan Fandra.
“Apa itu penting sekarang?”
“Iya, sangat penting. Kalau kamu bisa meramal, berarti kamu bisa tahu apa yang terjadi pada Vio kan? Kapan dia akan sadar? Apa dia bisa sembuh?”
Oscar tertawa sinis.
“Kamu pikir aku Tuhan?!” desisnya pelan tapi cukup terdengar jelas di telinga Fandra
“Bukan begitu, siapa tahu kamu bisa membantu Vio supaya cepat sadar dari komanya.”
“Yang bisa membantunya adalah dirinya sendiri bukan aku.”
Kali ini Oscar berbicara sambil menatapku tajam.
“Apa maksudmu?” tanya Fandra
“Dia memiliki hati yang penuh dendam dan benci. Menyalahkan orang lain atas semua penderitaan yang dialaminya. Justru saat ini adalah kesempatan yang di berikan padanya untuk memperbaiki diri dan merenung, mungkin di alam atau dimensi lain, tanpa ada campur tangan orang lain yang bisa meracuni pikirannya. Terserah dia saat ini, memilih untuk hidup dengan pribadi yang lebih baik atau mati bersama rasa bencinya.”
Aku menelan ludah mendengar perkataan Oscar.
Apa maksudnya itu?
‘Apa maksudmu itu? Kenapa kamu ngga bilang yang sebenarnya padaku?’
Oscar memandangku tajam.
‘Aku hanya mengeluarkan opiniku saja. Aku hanya bisa memberitahu kamu apa yang aku ketahui. Selebihnya adalah kamu yang harus melakukannya. Kamu yang bisa merasakan, kamu yang harus mendengarkan kata hatimu, bukan aku!’
Sama halnya denganku, Fandra pun terdiam mendengar kata-kata Oscar.
Tiba-tiba Oscar berdiri dan melangkah pergi.

Pagi masih terlalu awal bagi matahari menampakkan wujudnya. Aku memilih duduk di taman rumah sakit ini yang berada tepat di belakang ruang intensive di mana biasanya aku mengurung diri.
Meskipun ada sedikit rasa takut akan di hampiri oleh sosok-sosok lain di rumah sakit ini, aku memberanikan diri untuk keluar toh hari sudah menjelang pagi dan aku juga sudah sangat bosan berdiam diri di kamar. Akan aku coba memberanikan diri memperlihatkan diri dan melihat ‘mereka’.
Seperti yang aku lihat saat ini, sesosok mahluk, sepertinya sosok itu adalah seorang laki-laki tanpa kepala hilir mudik di koridor yang ada tepat di depanku. Entah apa yang dilakukannya, entah apa yang tersisa dalam ingatannya sehingga dia terus melakukan hal itu.
‘Nak?’
Aku terperanjat kaget. Tiba-tiba sesosok nenek duduk di sampingku. Dia menatapku dengan pandangan mata sedih, matanya yang sudah terlihat mengabu, tampak berkaca-kaca.
‘Ya?!’ sahutku.
Sebenarnya tidak ingin menyahut tapi kalau diam saja terasa tidak nyaman terlebih lagi dia memandangiku sedemikian rupa.
‘Kamu ada lihat anakku?’
Aku bingung harus menjawab bagaimana. Jadilah aku hanya menggeleng.
Dia melengos. Berdiri lalu berjalan pelan, tertatih-tatih menuju koridor yang menghubungkan taman ini dengan ruang rawat inap.
Aku duduk diam, menenangkan diri.
Gara-gara nenek tadi aku merasa sedikit takut. Oscar bilang mereka tidak akan bisa mendekatiku, ternyata apa yang dia bilang tidak sepenuhnya benar.
Anak kecil yang pernah masuk ke ruanganku dan nenek tadi bisa mendekat dan bahkan bisa berkomunikasi denganku.
‘Hei!’
Astaga. Aku melompat, berdiri, terkejut.
Baru saja aku berpikir tentang anak kecil itu dan sekarang dia benar-benar muncul.
Dia tersenyum, bukan, lebih tepatnya nyengir. Lucu sebenarnya, hanya saja wajahnya yang terlalu pucat membuat wajahnya terlihat aneh.
‘Kamu siapa?’
Aku mencoba berkomunikasi dengannya. Tapi dia hanya diam dan memandangiku saja.
‘Ibu…’ ujarnya masih dengan wajahnya yang tampak sumringah.
‘Ibu?’
‘Ibu…” ujarnya lagi
Apa dia pikir aku ibunya?
‘Aku bukan ibu kamu,’ sahutku
Dia tertawa cekikikan yang langsung membuatku kaget. Kenapa dia malah tertawa?
‘Tante cantik bukan ibu,’ ujarnya lagi sambil menggerak-gerakkan kakinya.
‘Bukan,’ sahutku
‘Nunggu ibu,’ ujarnya lagi.
‘Ibu kamu ke mana?’ tanyaku.
‘Ngga tau,’
Wajahnya tiba-tiba muram. Aku bergidik ngeri ketika melihat setetes darah jatuh perlahan di pelipisnya.
‘Jangan ganggu, pergi sana!’
Aku mendengar suara Oscar, tapi aku tidak melihat wujudnya.
Si gadis kecil itu meloncat dan berlari kecil sambil terkadang melompat-lompat gembira.
Aku melihat Oscar berjalan di koridor dari balik gedung dan mendekatiku. Aku kembali duduk di bangku tadi sambil menunggunya.
‘Jangan berkomunikasi sama mahluk-mahluk di sini,’ ujarnya begitu duduk di sampingku.
‘Bukan aku tapi dia yang nyamperin duluan,’ ujarku membela diri
‘Ngga usah di ladeni.’
Aku terdiam tidak menyahutinya.
‘Pagi-pagi sudah ke sini, ada apa?’ tanyaku
‘Bagaimana dengan Lisa?’ tanyanya
‘Heh? Maksudnya?’ tanyaku tidak mengerti.
Dia melihatku.
‘Kamu masih belum jawab, pertanyaanku tentang Lisa.’
Aku masih belum bisa mengerti dengan apa yang dimksudkannya
‘Setelah apa yang dia lakukan padamu, apa kamu bisa menerimanya? Memaafkannya?’
Baru aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
‘Mungkin… aku ngga akan bisa… menerimanya,’ ujarku.
Aku bingung bagaimana harus mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
‘Mungkin…kalau aku tahu saat itu, aku ngga akan memaafkannya, tidak bisa terima, dan pastinya persahabatan pun bisa bubar. Tapi, karena aku tahunya sekarang, di saat orang yang aku cintai memilih pergi, terlepas karena Lisa atau bukan, aku tidak akan ambil pusing. Memang aku ngga bisa terima apa yang sudah dia lakukan, aku kecewa, tapi aku bisa memaafkannya. Tapi, mungkin ngga akan bisa sama seperti dulu lagi.’
Yah, itulah yang aku rasakan.
‘Ikhlas memaafkan?’ tanyanya
Aku menoleh menatapnya yang juga memandangku.
‘Iya, aku ikhlas.’
Dulu, aku berpikir, menjadi seperti seorang Lisa pasti sangat menyenangkan. Tapi kini, aku menyadari, hidup seperti Lisa tidaklah seperti yang aku pikirkan.
Apa lagi yang bisa membuat hidup menderita selain selalu ingin memenuhi keinginan diri.
‘Aku pernah berpikir, kalau hidup Lisa itu menyenangkan, membahagiakan. Apa pun yang dia inginkan bisa dia dapatkan. Aku ngga pernah berpikir, kalau apa yang dia lakukan untuk memenuhi keinginannya itu bisa saja membuat orang lain menderita. Dan bisa saja membuat dirinya sendiri juga menderita karena keinginan-keinginan itu.’
Dia mengalihkan pandangan kearah pohon kenanga besar yang ada di depan kami. Bunga-bunganya sedang bermekaran dan menebarkan samar-samar aroma wangi yang terbawa angin.
‘Dia melakukannya karena itu membuatnya bahagia. Kalau kamu ingin merasakan kebahagiaan, kamu harus tahu apa yang bisa membuatmu bahagia. Kamu dan hanya dirimu sendiri yang bisa membuat hidupmu bahagia. Orang lain tidak akan bisa melakukannya.'
Aku memandangnya dalam diam. Memperhatikan wajahnya yang tanpa senyum, menatap datar pada pucuk-pucuk pohon di atas sana.
‘Ibumu akan ke sini,’ ujarnya lagi tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku sedikit kaget, ‘darimana kamu tahu?’
‘Ngga usah bertanya, percaya saja padaku.’
Dia berdiri dan melangkah pergi
‘Mau ke mana?’ teriakku
‘Ke ruanganmu, mau ketemu ibumu,’ sahutnya tanpa menoleh lagi.
***
Benar kata Oscar, sekitar 15 menit setelah aku dan Oscar berada dalam ruangan perawatanku. Mamaku datang. Benar-benar datang. Dia datang bersama Tante Agnes dan Monica.
Mereka bertemu dengan Ardi di luar, aku tidak melihat Fandra apa mungkin dia sudah pulang ke kost? Sedangkan Oscar masih berdiam diri di dalam ruanganku.
‘Bagaimana kamu bisa tahu mamaku datang?’ tanyanku padanya
‘Terkadang aku bisa melihat masa depan.’
Aku melonggo.
‘Oh ya?’
‘Kamu percaya?’ dia balik nanya
Aku terdiam sejenak.
‘Percaya.’
‘Terpaksa percaya?’ dia tersenyum sinis
‘Ngga. Beneran percaya.’
‘Kenapa percaya?’
‘Yah… kamu sudah ngelakuin sesuatu yang orang lain ngga bisa lakuin, kadang-kadang muncul dengan wujud seperti ini, kadang-kadang muncul tanpa wujud seperti aku. Memperlihatkan masa lalu orang lain, mungkin kamu juga bisa melihat masa laluku. Kalau ada keanehan lain yang kamu tunjukkan padaku, bagaimana bisa aku ngga percaya.’
Dia terdiam.
‘Aku juga tahu semua masa lalu kamu.’
Aku terdiam.
‘Semua, tanpa terkecuali.’
Dia menatapku tanpa ekspresi
‘Semua, tidak hanya 29 tahun yang lalu, tapi 100 tahun, bahkan 500 tahun yang lalu.’
‘Maksudmu?’
Dia berdiri dari duduknya di samping tempat tidurku.
‘Ibumu mau masuk, aku keluar dulu.’
Begitu Oscar membuka pintu, mamaku berdiri tepat di hadapannya.
Oscar memberi jalan pada mamaku dengan menyingkir dan membuka pintu lebih lebar. Mama hanya memandangnya sekilas, pandangannya lalu tertuju pada tubuhku yang terbaring.
Sudah hampir dua bulan aku tidak melihat wajah mama. Dia masih tampak seperti biasanya, hanya saja wajahnya yang putih tampak lebih pucat dan kantong matanya tampak lebih menghitam dari biasanya.
‘Ma, aku kangen dengan sikap dinginmu. Apa mama tahu aku sudah tahu semua tentang papa? Apa Tante Agnes sudah cerita? Pastinya sudah. Pastinya mama sudah tahu. Ma, aku sakit hati sama mama. Kenapa mama ngelakuin ini sama aku? Mama kan tahu bagaimana berat hidupku meskipun mungkin ngga seberat hidup mama, tapi apa mama sadar, seandainya mama memberitahuku kalau aku masih punya papa dan membiarkan papa menemuiku, hidupku dan hidup mama ngga akan seperti ini. Kenapa mama egois?’
“Vio… maafin mama, nak…”
Mama menangis mencium tanganku. Pertama kali dalam hidupku dengan sangat jelas aku melihat mama menangis. Mama yang kutahu sangat tegar dan tegas. Bahkan saat aku menjadi korban pelecehan, tidak kulihat dia menangisi keadaanku. Seberapa parah pun aku berontak, menangis, berteriak, seperti orang gila, dia tetap di sisiku dengan tenang menenangkanku. Mungkin dia ingin menunjukkan, memberi contoh padaku, bahwa seperti inilah harusnya aku bersikap pada dunia yang tidak pernah ramah pada hidup kami.
Tapi kini wanita yang kulihat di depanku, seperti bukan mamaku.
“Maafin mama…”
Berkali-kali kalimat itu meluncur di sela-sela isak tangisnya.
Kenapa hatiku tidak tersentuh. Aku tidak merasakan kesedihan atau haru biru di dadaku. Aku tidak ingin larut dalam tangis. Hatiku justru tambah sakit dan benci melihatnya.
Tidak ingin panas hati ini membuatku semakin kehilangan kewarasan dan berpikir semakin buruk tentang mama, aku memutuskan keluar dari ruangan itu.
Mataku langsung terpaut dengan pandangan Oscar. Dia memandangku datar. Di sebelahnya duduk Fandra, di deretan bangku di depan mereka duduk Tante Agnes, Monica, dan Ardi.
Ada Fandra di sana, duduk menyendiri di deretan bangku paling belakang. Aku memandang ke arah Fandra yang sedang menatap layar ponselnya.
Oscar melirik ke arah Fandra.
Aku berjalan menjauh, kembali ke taman tempat aku duduk tadi. Beberapa menit kemudian tampak Oscar datang menyusul dan duduk di sampingku lagi.
‘Sampai kapan aku seperti ini?’ tanyaku
‘Kamu kenapa?’
‘Apa?’ tanyaku bingung.
‘Ada mamamu kenapa kamu ngga di sana dengannya?’
Aku terdiam.
‘Aku ngga ingin bertemu dengannya.’
‘Kenapa?’
‘Kenapa bertanya? Kamu pastinya tahu apa sebabnya.’
‘Kenapa harus membenci? Dia wanita yang melahirkan kamu, berbuat segalanya untukmu. Menyayangimu dari kamu kecil hingga seperti saat ini, sayangnya tidak pernah berubah. Apa kamu tidak merasakannya?’
Aku terdiam
‘Sayang? Lalu kenapa menyembunyikan sebagian identitas dari hidupku?’
‘Kalau pun kamu tahu, apa kamu yakin bisa merubah hidupmu? Bagaimana kalau itu justru menyakiti hati kamu. Kamu tahu kan papa kamu sudah memiliki keluarga yang baru. Dan pasti kamu juga sudah tahu kalau nenek kamu tidak mengakui kamu sebagai cucunya. Apa kamu pernah memikirkan itu? Bagaimana rasanya tidak di akui oleh keluargamu sendiri?’ Apa kamu yakin bisa hidup tenang jika mengetahui semua itu? Lalu apa kamu memikirkan bagaimana perasaan mama kamu melihat kamu, anaknya, diperlakukan buruk oleh keluarga mantan suaminya, sedangkan kamu berharap besar untuk dianggap sebagai keluarga?’
Aku memandangnya yang terus saja bertanya tentang semua hal yang belum terpikirkan olehku
‘Bagaimana kamu tahu semua?’
‘Apa kamu juga sudah hilang ingatan?’ tanyanya dengan sinis
Aku terdiam, mengingat. Oh iya dia tadi bilang bahwa dia bisa melihat masa lalu
‘Aku lupa.’
Dia menghela nafas.
‘Apa kamu juga bisa melihat masa depan?’ tanyaku kemudian
‘Hanya sekilas, tapi itu tidak jelas terlihat saat ini.’
‘Kenapa?’
‘Aku juga tidak tahu.’
‘Masa depan yang kamu lihat....apa pasti akan terjadi?’
‘Sebagian besar, tapi saat ini aku tidak berani melihatnya terlalu sering.’
‘Kenapa?’
‘Entahlah. Sepertinya apa yang aku miliki ini bisa kulakukan dengan tujuan tertentu saja.’
‘Apa?’
‘Melepaskan ayahku.’
‘Ayahmu?’
Dia memandangku.
‘Iya, ayahku, dan saat itu kamu harus menolongku. Itu janjimu padaku.’
Aku terdiam dan memandang lurus ke matanya yang juga sedang menatapku.
‘Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu bisa menemukanku ketika aku kehilangan kesadaranku seperti ini?’
Dia mengulurkan tangannya padaku.
‘Aku William Oscar Hadinata.’
Aku menyambut uluran tangannya dan menjabat tangannya yang terasa dingin
‘Aku datang ke Bali karena aku tahu kamu akan datang ke sini. Karena di sinilah, aku akan bertemu denganmu.’
‘Kenapa harus bertemu denganku?’
‘Aku ngga bisa beritahu kamu sekarang. Kamu harus selesaikan dulu masalahmu. Kamu harus berdamai dulu dengan hati dan dirimu sendiri, baru kamu bisa menepati janjimu untuk membantuku.’
Sebelum aku menyahutinya, kulihat Fandra muncul dan berjalan ke arah kami. Dia mendekati Oscar dan kemudian duduk di tempat aku duduk. Spontan aku berdiri dan berdiri di depan mereka, memperhatikan apa yang mereka bicarakan.
Oscar tampak sekilas melirik ke arahku sebelum dia menyapa Fandra.
“Kamu tidur di sini?” tanyanya pada Fandra
“Iya, semalem pulang kerja aku langsung ke sini.”
“Oh…”
“Boleh aku nanya sesuatu?” tanyanya kemudian pada Oscar
“Tentu.”
“Bagaimana kamu tahu Pak Damar adalah papanya Vio? Dan kamu juga tahu Vio akan terjatuh dari tangga pada hari itu? Kamu bisa meramal?” tanya Fandra dengan wajah yang sangat serius menatap Oscar.
Oscar mendesah pelan dan memalingkan wajahnya dari tatapan Fandra.
“Apa itu penting sekarang?”
“Iya, sangat penting. Kalau kamu bisa meramal, berarti kamu bisa tahu apa yang terjadi pada Vio kan? Kapan dia akan sadar? Apa dia bisa sembuh?”
Oscar tertawa sinis.
“Kamu pikir aku Tuhan?!” desisnya pelan tapi cukup terdengar jelas di telinga Fandra
“Bukan begitu, siapa tahu kamu bisa membantu Vio supaya cepat sadar dari komanya.”
“Yang bisa membantunya adalah dirinya sendiri bukan aku.”
Kali ini Oscar berbicara sambil menatapku tajam.
“Apa maksudmu?” tanya Fandra
“Dia memiliki hati yang penuh dendam dan benci. Menyalahkan orang lain atas semua penderitaan yang dialaminya. Justru saat ini adalah kesempatan yang di berikan padanya untuk memperbaiki diri dan merenung, mungkin di alam atau dimensi lain, tanpa ada campur tangan orang lain yang bisa meracuni pikirannya. Terserah dia saat ini, memilih untuk hidup dengan pribadi yang lebih baik atau mati bersama rasa bencinya.”
Aku menelan ludah mendengar perkataan Oscar.
Apa maksudnya itu?
‘Apa maksudmu itu? Kenapa kamu ngga bilang yang sebenarnya padaku?’
Oscar memandangku tajam.
‘Aku hanya mengeluarkan opiniku saja. Aku hanya bisa memberitahu kamu apa yang aku ketahui. Selebihnya adalah kamu yang harus melakukannya. Kamu yang bisa merasakan, kamu yang harus mendengarkan kata hatimu, bukan aku!’
Sama halnya denganku, Fandra pun terdiam mendengar kata-kata Oscar.
Tiba-tiba Oscar berdiri dan melangkah pergi.
JabLai cOY dan 7 lainnya memberi reputasi
8