bayubiruuuuAvatar border
TS
bayubiruuuu
Nyi Ratu "BLORONG" [Based On True Story]
KITA LANJUT UNTUK THREAD SELANJUTNYA, CERITA INI DIKISAHKAN DARI KAWAN LAMA SAYA YANG SEKARANG SUDAH TUA. AMBIL HIKMAHNYA SAJA..

.


INDEX


Part. 1

Part. 2

Part. 3

Part. 4

Part. 5

Part. 6

Part. 7

Part. 8

Part. 9

Part. 10 . END

Diubah oleh bayubiruuuu 20-11-2020 03:48
cheria021
fakhrie...
gendroyono
gendroyono dan 64 lainnya memberi reputasi
61
53.3K
298
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
bayubiruuuuAvatar border
TS
bayubiruuuu
#274
Part. 9. TAKDIR

Udin dengan rasa penasaran berjalan mendekati kedua jenazah temannya, kedua jenazah itu sedang dirapikan lagi dan mau dibalut dengan tikar. Sebelum terbalutnya jenazah Udin sekilas melihat kedua temannya menjadi sepotong batang pisang (debog; bahasa jawanya). "masya allah" ucapnya lirih. Orang-orang yang membalut mendengar ucapan Udin, seketika itu juga mereka menoleh dengan tatapan heran kepada Udin. Hanya senyumnya dan kepala sedikit menunduk ia lemparkan kepada orang-orang itu untuk meminta maaf, selanjutnya Udin kembali menemui moden diteras. Udin yang sudah berdiri disamping moden, mengarahkan bibirnya ke daun telinga moden serta berbisik lirih...

"Kok iso koyok ngunu cak?" (kok bisa seperti itu kak). Tanya Udin penasaran

"Iku hasile nek mujo pesugihan Din, tapi awakmu ora melu-melu to" (itu hasilnya kalau memuja pesugihan Din, tapi kamu tidak ikutan kan?). Jelas moden dengan suara pelan

"Ngunu yo cak, aku gak melu-melu koyo ngunu kui" ( Begitu ya kak, aku tidak ikut-ikut yang begitu itu ) Jawab Udin dengan tegas tapi tetap dengan suara lirih

"Sejatine kancamu iku wes digowo neng nggone kerajaane Blorong kabeh" (Sejatinya temanmu itu sudah dibawa ke tempat kerajaanya Blorong semua) Terang moden dengan berdiri tenang

"Terus piye cak nasipe konco-koncoku" (Terus bagaimana kak nasibnya teman-temanku) Tanya Udin polos

"Yo wes Din, iku pancen pilihane kancamu. sampek kiamat mbesuk yo panggah neng kono dadi budak'e Blorong" (Ya sudah Din, itu memang pilihannya temanmu. Sampai kiamat besok ya tetap disana jadi budaknya Blorong). Jelas moden dengan berbisik serta melihat jama'ah yang sudah bersiap dalam barisan shaf diruang tamu untuk menyolati jenazah Sarji dan Retno.

Jama'ah yang sudah siap langsung dipimpin oleh moden untuk segera disholati, beberapa menit acara selesai. Mereka semua bergegas segera memakamkan kedua jenazah ini. Mereka berdua dimakamkan disebelah ayah dan ibu Sarji.

Hari itu menjadi pukulan yang paling berat bagi Udin dan keluarganya, karena Sarji selama ini sebagai tumpuan utama ekonominya. Selama dua hari ia terlihat sering termenung dan melamun sendiri dirumahnya. Udin juga sejak saat itu sudah tidak bekerja lagi ditoko Sarji. Dihari ketiga setelah selesai acara rutin dirumah Sarji, Udin tiduran sendiri di ruang tamunya. Istri dan anak-anaknya kebetulan malam itu sedang ikut acara pengajian dikampung sebelah.

Jam delapan lebih Udin masih belum bisa tidur, tapi tubuhnya merasa sudah kelelahan. Sewaktu Udin rebahan di ruang tamunya, dari belakang rumah terdengar suara aneh. "Sreekkk...srekkkk...srekkk" Seperti suara gesekan rumput dan daun kering. Tapi suara itu terus berbunyi dan bergerak pelan dari belakang menuju samping rumahnya.

Udin yang masih diam diruang tamu sendirian lama-lama merasa curiga akan suara itu, Karena suaranya terus berbunyi. Udin yang penasaran akhirnya terbangun dan melihat sumber suara itu dari jendela kamar, dari kamarnya ada sebuah jendela kecil berlapis kaca bening. Dibalik jendela itu terpancar sinar kuning lampu neon diatasnya, saat ia membuka jendela mata Udin terbelalak seketika melihat sosok dibawah jendela yang terkena sorot sinar lampu kuning ada seekor ular hitam yang besar berjalan menggeliat pelan. Besarnya ular hitam ini sebesar tiang listrik, dengan kepala menyerupai manusia berambut ular. Desisan dan juluran lidah ular itu terdengar jelas saat ular itu meliuk-liuk disamping rumah.

"Astagfirullah" ucap Udin dengan kaget dan sedikit memundurkan tubuhnya dari jendela.

Sadar akan ada hal yang janggal Udin segera berlari keluar rumah lewat ruang tamu, tapi larinya Udin terhenti di jalan depan rumah dan menoleh sebentar untuk melihat rumahnya sendiri dari jalan. Ternyata Ular hitam yang besar itu sudah melilit rumahnya, tubuh ular hitam ini sangat panjang karena lilitannya sudah melingkarkan tiga lingkaran tubuhnya dirumah Udin. Sedangkan kepalanya tepat diatas bubungan genting sekilas menatap Udin dengan mata merah yang tajam yang penuh kemarahan. Ular itu dari atas bubungan genting masuk kerumah menembus gentingnya.

Udin teringat bahwa ini adalah seperti sosok Nyi Blorong yang pernah ia lihat waktu dikampung Ronald, sadar akan keselamatannya spontan ia langsung berlari sekencang kencangnya menuju rumah moden tanpa alas kaki. Sekian menit ia berlari menembus kegelapan malam sampai akhirnya dirumah moden, ia langsung menabrakkan diri kepintu rumah moden. "Braaakkk" Hentakan yang cukup keras tubuh Udin tidak bisa membukakan pintu rumah kakaknya, dengan kedua tangan yang sudah terkepal dan rasa ketakutan tinggi ia menggedor rumah kakaknya yang masih terkunci secara cepat.

"Brak...brak..brak...cak...tulungono aku cak...cak..cak..cepetan" (Brak...brak..brak...Kak...tolongi aku kak...kak..kak..buruan)

'hosshhh...hossshhh..hosshhh' nafas Udin yang cepat serta detak jantung berdegup kencang, dan keringat sudah membasahi bajunya.'

Kakaknya yang mendengar kegaduhan didepan rumah langsung berlari kecil kedepan dan membuka pintu, saat Udin sudah melihat sosok kakaknya sendiri ia langsung memeluk erat tubuh kakaknya dengan ketakutan.

"Cak tulungono aku cak...temen cak...hu..hu..hu..huu" (Kak tolongin aku kan...beneran kak...hu..hu..hu..huu). Pinta Udin mulai menangis ketakutan

"Enek opo Din...enek opo...enek opo?" (Ada apa Din...ada apa...ada apa). Jawab moden dengan merenggangkan pelukan Udin serta menatapnya penuh curiga.

"Blorong nang omah wes nggubet omahku sak iki cak...huuu..huuu...huuu" (Blorong dirumah sudah melilit rumahku sekarang kak......huuu..huuu...huuu). Jelas Udin yang terus menangis

"Menengo sek! Rungokno, sak iki ngene awakmu budalo nang nggone kiai Sofyan, terus bojomu neng ndi sak iki?" (Diamlah sebentar, sekarang begini kamu berangkat ketempat kiai Sofyan, terus istrimu dimana sekarang?). Kata moden menenangkan dan menanyakan anak istrinya Udin

"Bojoku melu pengajian neng kampung sebelah cak" (Istriku ikut pengajian dikampung sebelah kak). Jelas Udin dengan nafas berderu cepat

"Yo wes koen sak iki budalo neng nggone kiai sofyan, aku tak nyusul bojo karo anak-anakmu. Engko tak parani neng omae kiai Sofyan" (Ya sudah kamu sekarang berangkat ke tempat kiai Sofyan, aku yang menjemput istri dan anakmu. Nanti aku datangi dirumah kiai Sofyan). Pinta moden dengan tegas

"Lha kenek opo cak, kok bojo karo anak-anakku disusul" (Lha kena apa kak, istri sama anak-anakku dijemput). Tanya Udin yang tidak mengerti

"Matamu nek wes ngene koen sak keluarga diincer karo Nyi Blorong bodoh" (matamu, kalau sudah begini kamu sekeluarga diincar sama Nyi Blorong Bodoh!!!) bentak kasar moden yang tahan akan keluguan Udin

"Mlayuo ae cepetan ambi moco dungo seng wes tau tak gemei, cek gak nguber awakmu Nyi Bloronge" (Larilah saja yang cepat sama baca do'a yang sudah pernah kukasih, biar tidak mengejar kamu Nyi Blorongnya) Jelas moden singkat dan mulai panik

Dengan sisa tenaga dan tanpa tanya lagi Udin langsung berlari secepat-cepatnya menuju rumah kiai Sofyan yang berada didesa sebelah, sementara moden pergi kedesa sebelah yang lain dengan membawa motornya untuk menjemput anak dan istri Udin. Hawa dingin rintik hujan dan suasana gelap malam ia terjang, Kaki Udin yang berlari tanpa alas kaki melaju seperti kesetanan karena rasa takutnya yang luar biasa, lecet dan berdarah pada kakinyapun sudah tak ia rasakan lagi.

Tak berselang lama Udin melihat cahaya lampu rumah sesek (dinding anyaman bambu) kiai Sofyan dari kejauhan, saat itu ia semakin mempercepat laju larinya. Dari dekat rumah sang kiai, Udin mulai berteriak "...Kiai...kiai...kiai,". Kiai Sofyan yang sudah tua mendengar teriakan itu bangkit dari duduknya diruang tamu, ia berjalan pelan menuju depan rumah karena teriakan keras dimalam hari dari seseorang di luar. Sampai didepan teras kiai Sofyan berdiri seorang diri mencari sumber suara, meski dikegelapan malam pandangan beliau masih tajam. tak lama kemudian Udin berhenti tepat didepannya...

"Hosshhh...hoossshhh...hosshhh...kiai sampean tulungi kulo...huu...huuu...huuu" (Hosshhh...hoossshhh...hosshhh...kiai anda tolongi saya...huu...huuu...huuu). Pinta Udin dengan menahan nafas tersengal-sengalnya dan sedikit membungkuk serta kedua tangannya memegangi perutnya.

"Oalah awakmu to Din,tak kiroe sopo? Mrene ayo melbu sek neng omah. Keno opo kok nangis-nangis iki?" (oalah kamu to Din, tak kiranya siapa? Kesini ayo masuk dulu kerumah. Kenapa kok menangis ini?) Tanya kiai Sofyan sambil memegang bahunya Udin

Udin yang sudah bertemu dengan kiai, ia langsung bersimpuh di kaki kiai Sofyan dan hanya tangisan sedih dan ketakutan yang utarakan. Kiai Sofyan sendiri bingung sebenarnya apa yang terjadi, perlahan kiai Sofyan mengangkat bahunya dan membangkitkan Udin untuk berdiri lalu mengajak Udin untuk berpindah keruang tengah. Beliau mendudukan serta mendiamkan dahulu sampai tangisnya sedikit mereda dan tenang didalam rumah. Kiai Sofyan dengan tangan keriputnya segera memberikan minuman kepada Udin untuk meredakan dahaga dan rasa takut, panik bercampur sedih.

Kejiwaan Udin diruang tengah lama kelamaan mereda dengan perlahan, tapi Udin hanya tertunduk lesu disamping kiai Sofyan dengan hening. Jiwa dan batinnya masih terguncang hebat malam itu. Baju Udin yang sudah basah oleh keringat dan kaki sudah lecet penuh darah sudah tak dirasakannya lagi. Beberapa menit kemudian kedua wajah mereka terangkat naik seketika ada sumber suara didepan. Keheningan mereka pecah saat suara motor dua tak itu terhenti tepat di depan rumah kiai Sofyan. Motor yang diparkir moden dihalaman rumah kiai Sofyan tak berarah karena terburu-buru, Moden bersama anak istri Udin berjalan menuju rumah kiai Sofyan dengan panik dan gelisah. Tapi langkah mereka terhenti didepan pintu ruang tamu.

"Tok..tok..tok..Asssalamu'alaikum..." Salam Moden

"Walaikum salam,,,"Jawab Kiai Sofyan disertai langkahnya sedikit tertatih keluar dari ruang tengahnya menuju ruang tamu.

Sang kiai tua bertubuh ringkih dan berambut putih langsung membuka pintu, ingatannya yang masih tajam mengamati siapa yang datang. Setelah ia tahu bahwa tamunya ialah moden dan anak istri Udin, beliau langsung mengajak mereka berkumpul keruang tengah. Sang kiai mengajak semua bergabung diruang tengah untuk melihat kondisi Udin yang sudah memprihatinkan. Situasi rumah kiai Sofyan yang semakin ramai orang membuat bu nyai Sofyan juga ikut bergabung dengan mereka.

Udin yang sudah tenang tapi hanya diam dengan tatapan kosong dan wajahnya pucat layu, ia masih belum mampu berbicara. Istri dan anaknya mengerumuni Udin dan memeluk kepala keluarga itu yang ketakutan."Knek opo sampean pak" (kena apa anda pak) tanya istri Udin serta tetesan air matanya mulai jatuh. Udin hanya tetap diam membisu, sedang Moden sendiri langsung menceritakan kejadian yang dialami Udin dari awal sampai akhir secara detail, lalu moden yang sebagai kakaknya meminta bantuan kepada kiai Sofyan untuk membantu Udin yang terkena ancaman dari Nyi blorong.

"Ooohh ngunu ceritane den, ancen adekmu iki melu mangan dunyone Blorong. Yo mesti diuber den" (Oooh begitu ceritanya den, adikmu ini ikut makan hartanya blorong, ya pasti dikejar den). Terang kiai Sofyan

"Terus pripun yai" (terus bagaimana kiai). Tanya moden yang mulai bingung

"Yo engko di resik'i kabeh sak keluargane." (Ya nanti di bersihkan semuanya seluruh keluarganya). Jawab kiai Sofyan

Belum selesai berbicara ada suara yang keras dari luar, "Metuo kabeh"...,(keluar semua) dengan suara panggilan yang keras menggelegar dari luar, Udin yang mengenal suara itu semakin meringkuk takut, jiwanya yang sudah tergoncang bertambah takut. Udin yang duduk membenamkan wajahnya ditubuh istrinya dan kembali menangis. Anak istrinya saat itu juga memeluk Udin dan mereka semua ikut sedih serta meneteskan air matanya.

Tapi kiai Sofyan yang terkenal miskin dan ramah dengan tenang keluar dari rumah, Sedang moden mengikutinya dibelakang punggung kiai Sofyan sambil sembunyi. Sampai diteras rumah, kiai Sofyan berdiri memandang depan rumahnya sudah ada Nyi Blorong. Jarak antara keduanya tak lebih dari dua puluh meteran.

Kali ini Nyi Blorong bersama pengikutnya yaitu siluman ular dengan jumlah sangat banyak. Ular-ular dibelakang Nyi Blorong memang sangat aneh bentuknya, tidak seperti lazimnya ular didunia nyata. Ada yang berbentuk kepalanya ular tapi mempunyai rambut seperti manusia dan telinga seperti kelelawar. Ada juga telinga serta hidungnya mirip manusia tapi kepalanya ular, karena banyaknya jumlah sampai tidak bisa mengambarkan satu persatu bentuk para pengikutnya saat itu.

Nyi Blorong sendiri malam itu yang sedang berwujud manusia tak sempurna, karena seluruh tubuhnya bersisik ular. Ia berdiri diatas punggung ular yang besar sebagai kendaraannya. Tunggangannya yang berupa ular itu berwarna hitam, bermata merah dan berambut ular-ular hitam kecil. Dari remang cahaya yang tersirat dari teras kiai Sofyan, terlihat jelas Nyi blorong dengan wajah yang mengerikan sudah dipenuhi kemarahan.
Diubah oleh bayubiruuuu 20-11-2020 03:41
bonita71
mincli69
eni050885
eni050885 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.