Saya memikirkan bagaimana nasib orang-orang yang dilumpuhkan Jar. Mereka hanya menjalankan tugas tanpa terlibat seperti Diar, ada kemungkinan mereka tidak mengetahui dalang di balik perusahaan tempat mereka bekerja.
"Tinggalkan tubuh itu."
Ratih berkata pada Jar.
"Kenapa? Bukankah akan lebih mudah membawa seseorang untuk dikambinghitamkan?"
Ayi tak setuju, tangannya masih diatas kemudi.
"Jangan membawa kemungkinan yang tidak perlu, kita perlu menghilangkan jejak sebersih mungkin."
Ratih tetap dalam pendiriannya.
"Baiklah."
Ayi menepi, dan membiarkan Jar turun.
Tubuh pengawal itu pingsan dipinggir jalan, setelah asap putih tipis kembali merasuki boneka kayu yang rusak, Ayi kembali melaju.
"Kita kehilangan satu kekuatan tempur, kau tahu?"
Dengan dingin Ayi berkomentar.
"Jangan meremehkan Jar, ditempat tujuan kita banyak kayu atau batu yang bisa dibuat jadi tubuh sementara jika sesuatu terjadi."
Ratih membalas.
"Apa yang kau khawatirkan? Aku paham rencana ini berjalan kurang memuaskan karena Jar yang bertindak sedikit keterlaluan. Tapi apakah kau harus seperti ini?"
Ayi kembali mengomentari sikap Ratih yang tak seperti biasanya.
"Kau akan mengetahuinya nanti, kita terlalu lambat dan terlalu berantakan."
Ratih berkata dengan nada dingin dan tatapan kosong ke luar jendela.
"Apapun itu, sepertinya kita harus bersiap-siap."
Ayi membalas.
"Ya, dan aku jamin wajahku akan ada di halaman depan koran pagi."
Ratih menutup mata dan membuang nafasnya, mencoba beristirahat di sela-sela waktu perjalanan ini.
~oOo~
"Kita sampai."
Ayi membangunkan Ratih.
"Oke ini cukup."
Ratih yang telah turun dari mobil melihat ke sekitar.
"Mari selesaikan dengan cepat."
Ayi menggusur tubuh Diar dalam kain gorden dari bagasi belakang.
"Jar, gali tanahnya pakai ini, lakukan secepat mungkin."
Ratih melempar 2 buah batu pipih seukuran telapak kaki.
Jar keluar dari mobil, melayang dan melilit kedua batu itu dengan tali tambang di tangannya.
Jar mulai menggali.
Ratih melangkah agak menjauh dari mereka, mengeluarkan rokok dengan bungkus putih dan menyalakannya.
Baru saja satu hisapan, sebuah pisau kecil melayang ke arah wajah Ratih. Dengan cekatan, Ratih menghindar dan membuat pisau itu menancap tepat di punggung Ayi.
"Hey apa-apaan ini?"
Ayi mencabut pisau itu.
"Dari arah sana."
Ratih menunjuk ke arah pepohonan.
Siluet seorang pria mulai terlihat, ia memakai jaket kulit dan celana jeans, rambutnya rapi, tubuhnya tegap, langkahnya tegas, sekilas aku mengira orang ini pernah bekerja menjadi tentara atau sejenisnya.
Saat cahaya rembulan menerpa wajah pria itu, kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Rambutnya pirang pendek dan matanya berwarna biru muda.
"Bule?"
Ratih keheranan.
"Walanda?"
"Orang Belanda?"
Ayi ikut berkomentar.
"Wah wah wah, saya mendapat informasi bahwa nyonya Diar telah meninggal, tapi melihatnya berdiri dihadapan saya, saya tak habis pikir. Apakah suara anda bermasalah nyonya?"
Pria itu berkata pada Ayi yang memang wujudnya kini menyerupai Diar.
"Bukankah tidak sopan melempar pisau tanpa menyebutkan namamu?"
Ratih membuang rokoknya dan bersiap.
"Untuk orang yang sebentar lagi mati, anda adalah gadis kecil yang lucu. Saya Bima, malaikat maut anda."
Pria itu menerjang ke arah Ratih tanpa ragu.
"Sepertinya aku tak perlu mengenalkan diri."
Ratih ikut menerjang.
Keduanya beradu, Bima dengan belatinya dan Ratih dengan kedua kujangnya.
"Maaf jangan dendam, ini hanyalah pekerjaan."
Bima mengambil satu lagi belati dari belakang pinggangnya dan berusaha menyayat perut Ratih.
Ratih menahannya dengan kujang di tangan kirinya.
"Kalau begitu, anda tidak boleh protes jika mati disini. Benar?"
Kedua rajah di lengan Ratih bercahaya hijau, Ratih mundur dan melompat melakukan gerakan memutar berusaha menyerang leher Bima.
Bima menahan serangan Ratih, ia melipat tangannya yang masih menggenggam belati, serangan Ratih tertahan meski beberapa goresan berhasil ditorehkan.
Mengetahui pertahanannya kurang, Bima mundur, memutar pinggulnya dan berusaha menendang Ratih.
Ratih dengan cepat, menekuk lututnya dan menerima tendangan itu meski membuatnya terpental sedikit.
"Luar biasa! Tidak heran tuanku memasang 10 milyar untuk kepalamu!"
Bima kembali menerjang.
"Cih!"
Ratih membenarkan posisinya dan kembali bertarung.
Bima menghunuskan belatinya yang dengan cepat ditendang oleh Ratih, sebelum belati itu jatuh ke tanah, Bima menendangnya membuat belatinya terlempar, Ratih menepis dan membuat jalur belati itu berubah.
Lagi-lagi belati itu menusuk punggung Ayi.
"Hey! Bisakah kalian bermain dengan lebih tenang?"
Ayi berkomentar sambil mencabut belati itu.
"Katakan itu pada bajingan ini."
Ratih menjawab sambil memberikan tendangan beruntun di udara.
"Sepertinya dia bukan nyonya Diar."
Bima berkata sambil menahan tendangan Ratih.
"Ya, berhenti memperhatikan orang itu dan fokus pada tubuhmu."
Ratih berujar dengan nada mengejek.
Bima memeriksa tubuhnya, dan kini urat di tangannya terlihat menonjol dan aliran hijau terang membuatnya jelas.
"Bergeraklah lebih banyak lagi dan tubuhmu akan meledak."
Ratih berkata sambil menyarungkan kedua kujangnya.
"Wah wah wah, saya baru menyadari ada racun sehebat ini dalam senjata anda."
Bima menurunkan tangannya dan melepaskan kuda-kudanya.
"Ini racun yang susah kubuat, khusus untuk orang sepertimu."
Ratih dengan nada bangga nan sombong berkata pada Bima.
"Dan anda pun harus melihat tangan anda, gadis kecil."
Bima membalas ucapan Ratih.
Ratih dengan panik melihat lengan kirinya yang mulai menghitam.
"Sialan!"
Ratih mengambil kujang dengan tangan kanannya dan menebas lengan kirinya sendiri hingga putus.
Ratih memotong lengan kirinya hingga siku, lalu dengan susah payah ia membuat tali dari sisa-sisa kain di lengannya sendiri agar darahnya tidak mengucur deras.
Lengan kiri Ratih yang terpotong jatuh dan menghitam seluruhnya.
"Hahaha! Kau tidak bisa lagi cebok!"
Ayi mengejek dan tertawa dengan keras pada Ratih.
"Ck! Sialan kau! Berhenti tertawa atau kucabut lidahmu"
Ratih dengan kesal mengancam Ayi.
"Baik baik, jangan marah dan pakai punyaku dulu."
Ayi dengan mudahnya mencabut lengan kirinya sendiri dan melemparkan pada Ratih.
Lengan Ayi yang awalnya mulus seperti milik perempuan, perlahan berubah menjadi hitam kelam dengan duri-duri kecil di sekitarnya.
"Ah! Sial sial sial memang malam ini."
Dengan terpaksa Ratih mengambil lengan Ayi dan menempelkannya.
Lengan Ayi tersambung dengan baik meski jujur saya aku sedikit terganggu dengan beberapa benda mirip urat berwarna merah yang menancap di ujung siku Ratih.
Ratih berdiri, dan mengepalkan lengan barunya.
"Ukurannya terlalu besar untukku."
Ratih menurunkan lengannya dan mengukurnya dengan lengan kanannya yang ternyata memang lengan kiri barunya lebih panjang.
"Kau bisa mengaturnya, berlatih lain kali dan selesaikan urusan kita disini."
Ayi membalas Ratih.
"Lakukan sekarang, aku tidak bisa bertarung dengan baik."
Ratih berbalik dan memunggungi Bima.
Melihat kesempatan itu, Bima dengan cepat melemparkan belati lain pada Ratih.
Sebelum Ratih sempat menyadari, salahsatu duri kecil dari lengan kirinya memanjang dan menahan pisau itu menancap.
"Oh, fitur yang bagus."
Komentar Ratih saat berbalik dan menyadari serangan Bima.
"Anda adalah mangsa yang sulit."
Bima menggerakkan tangannya memutar, lalu menghempaskannya ke bawah. Ia memasang kuda-kuda dan menarik nafas panjang.
"Kau seperti kecoa!"
Ratih menerjang dengan lengan kirinya menghunus kedepan.
"Wow! Itu sedikit berbahaya!"
Bima melompat dan menghindari Ratih, dengan cekatan, ia menepis lengan kiri Ratih ke bawah, lalu menginjaknya.
"Oh, kau bisa bergerak?"
Ratih memutar lengannya, dan membuat tubuhnya juga berputar, belakang kakinya mengarah pada kepala Bima.
"Racunnya cukup sederhana."
Bima melompat dan menahan tendangan Ratih.
Sebelum Ratih dapat membenarkan posisinya, Bima melancarkan serangan dengan berusaha menancapkan belati pada paha Ratih.
Ratih melompat menghindar lalu mengarahkan kujangnya pada leher Bima.
Bima mengelak, namun ternyata Ratih menargetkan punggung tangan Bima dan kujangnya berhasil menusuk tepat menembus tangan Bima.
Dengan panik, Bima bangun dan mencabut kujang Ratih.
"Sangat licik."
Komentarnya sambil menahan luka pada tangannya.
"Sungguh, aku tak ingin mendengar hal itu darimu."
Ratih mengambil kujang dengan tangan kirinya yang memanjang.
Bima mengepalkan tangannya dengan kuat, darah mengucur deras dari lukanya seiring dengan racun hijau terang yang keluar dari situ.
"Sepertinya cukup untuk perkenalannya."
Bima berjalan mundur.
"Ayolah, kita mungkin bisa lebih akrab lagi."
Ratih mengayunkan tangannya.
Jar yang baru selesai mengubur Diar segera menerjang Bima, meski tubuhnya rusak namun lengannya yang masih menggantungkan dua buah batu pipih itu cukup untuk melawan Bima.
"Makhluk apa dia?"
Bima menerjang tubuh Jar dengan cepat, membuatnya hancur berantakan.
Lalu tanpa ia sadari asap putih tipis menempel di punggungnya.
"Sampai jumpa gadis kecil."
Bima berlari dengan cepat, ia kabur dari situ.
Ayi yang baru saja berlari berniat mengejarnya, dihalangi oleh Ratih.
"Biarkan."
Ratih merentangkan tangannya, dan menunjuk tubuh Jar yang tak bergerak.
"Kau yakin? Ini seperti pertukaran informasi."
Ayi mengernyitkan dahi menatap tubuh Jar.