TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
TS
User telah dihapus
TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
Hai agan dan sista sejagad Kaskus Raya, sudah lama saya menjadi pembaca setia SFTH. Dan pada kesempatan kali ini, saya merasa terpanggil untuk menghangatkan forum ini terutama cerita dengan kategori misteri.
Cerita ini adalah cerita pertama saya di forum Stories From The Heart, kritik dan dukungan gansis semua sangat mendorong saya untuk menyelesaikan cerita yang sudah saya mulai. Dan saya harap toleransi terhadap Hak Cipta dapat kita bangun dengan baik di forum terbaik milik kita ini.
Cerita direkomendasikan untuk 15+ ya gansis
Selamat membaca dan selamat menggelar tikar dengan nyaman gansis!
Yuka dengan kemampuan berlarinya yang di atas rata-rata meninggalkanku dengan jarak sekitar 3 meter di depan.
Keadaan semakin memburuk karena kabut tebal mulai turun dengan cepat membuat pandanganku semakin terbatas.
Dengan gerakan yang mendadak, Yuka berhenti berlari sehingga membuatku menabraknya dengan keras.
Aku dan Yuka terjatuh, kini giliran aku yang menindih tubuh Yuka dari atas.
Oh, Tidak! Jalan menuju pabrik di tutup oleh sebuah Bus yang terparkir melintang menutup jalan tanah bebatuan.
Aku bangkit, segera aku meraih lengan Yuka untuk memaksanya berdiri.
“Mampus ga, kita dijemput bus setan”, Yuka bangun dengan wajah memelas.
Yuka dengan spontan naik merangkak ke atas pagar pembatas antara jalan dengan hutan, kami memang tidak memiliki pilihan lain selain meloncat ke arah timur, antara masuk ke dalam bus yang pintunya terbuka, atau kembali ke mess bertemu si celana pendek.
Dengan cekatan layaknya seekor monyet, Yuka berhasil memanjat pagar tua yang terbuat dari besi itu.
Aku mengikuti setiap gerakannya, aku sudah berada tepat di atas pagar, kulihat Yuka berlari menjauh ke arah hutan.
Namun ternyata 5 detik kemudian Yuka kembali dengan senyum kurang ajarnya.
“Sorry ga, hehe”, sesal Yuka yang mencoba meninggalkanku yang masih berada di atas pagar.
“Sreeeet…”, telapak tanganku robek saat aku meloncat dengan tolakan yang kuat.
Darah segar mulai bercucuran, tapi aku segera menyeret Yuka menjauh memasuki hutan yang gelap tertutup kabut.
Kami terus berlari membelah hutan ke arah timur, sesekali tumbuhan yang lebat menampar wajah dan tubuhku.
Darahku terus mencetak jejak di sepanjang jalur yang kami lalui, dan aku sudah merasa lelah dengan pelarian ini.
“Yuka stop! Diem dulu!”, pintaku memaksa.
Yuka dengan cepat merobek bagian bawah bajunya dan membalutkan nya ke tanganku yang terluka.
“Beruntung baju gue putih ga, jadi keliatan kalo warnanya udah pekat, nanti gue ganti lagi balutannya”, Yuka menjelaskan apa yang dia perbuat.
Aku hanya terdiam melihat Yuka membalut lukaku dengan rapih.
Walaupun Yuka adalah sosok yang terkadang bertindak seenaknya sendiri, tapi Yuka adalah seorang yang pintar dan cekatan.
Wawasannya luas, cerdas dalam keadaan genting dan sangat kritis dalam memutuskan tindakan dengan cepat.
Yuka adalah seorang Pecinta Alam yang aktif, hampir semua puncak gunung di wilayah Jawa Barat sudah pernah dia taklukan.
Aku merintih dengan ikatan terakhir Yuka, tiba-tiba saja tangan Yuka membungkam mulutku agar terdiam.
“Diem ga! Ada yang dateng, tahan dulu”, perintah Yuka dengan suara lirih dan pandangannya menuju ke arah sebuah iring-iringan di depan kami yang hanya terhalang oleh daun pohon yang lebat.
Terlihat iringan orang-orang menggunakan baju berwarna hitam membawa sebuah peti yang ukurannya cukup besar untuk hanya diisi oleh tubuh manusia.
Mungkin jika aku tidak salah ukurannya seperti 3 kali lipat dari peti mati yang biasa dipakai untuk membawa jenazah.
Kami perhatikan orang-orang itu dengan seksama sampai mereka menghilang di tengah hutan yang berkabut.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku, aku mencoba menghubungi seseorang dengan tangan kiriku yang gemetar.
Sial! Tidak ada jaringan sama sekali.
Tapi aku lebih terkejut karena jam di ponselku menunjukan pukul 22.22.
Kuingat kembali ke belakang, aku ingat dengan baik bahwa kami baru saja 20 menit terjerat hutan ini.
Tapi dengan logika yang jernih aku berkeyakinan bahwa saat ini adalah siang hari, yang mana itulah keadaan yang aku ingat sebelum meloncat ke dalam hutan yang gelap karena kabut ini.
Aku melanjutkan pelarianku dengan Yuka memimpin di depan langkahku.
Dari kejauhan kudengar suara adzan berkumandang, Yuka mengubah arah lajunya, berbelok 45 derajat ke sebelah kanan dengan menarik lenganku.
“Pasti asalnya dari desa sebelah ga”, Yuka dengan bersemangat menambah kecepatan langkahnya.
Akhirnya kami menemukan ujung hutan ini, kami sekarang terdampar di sisi pinggir jalan beraspal.
Ahaa! Aku mengingatnya, ini adalah jalan penghubung antara desa sebelah dan kawasan industri.
Tergeletak lemas Yuka berbaring di atas aspal jalanan, sementara aku duduk tertunduk dan memperhatikan sepasang mata berwarna merah dari dalam hutan tempatku keluar.