nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
219.9K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#66
Part 15
Terkadang kita terlalu senang mengikuti hingga lupa seharusnya kita berjalan di atas jalan sendiri


Setelah kejadian itu, sekolah gue cenderung kondusif. Tidak pernah lagi terdengar konflik-konflik internal antara sesama murid di sekolah gue. Mungkin hanya beberapa perselisihan kecil antara Renal dan Nata, itu pun hanya drama mereka berdua saja. Yang dibalik itu semua keduanya sama-sama tertawa.

Jika Pun ada konflik eksternal, mungkin hanya beberapa kali kami bersitegang dengan murid-murid dari smp lain. Itu pun paling terjadi hanya karena kebiasaan gue dan Nata yang sering sekali melakukan vandalisme; membuat graffiti di mana-mana, termasuk di tembok sekolah smp lain. 

Dan hubungan gue dengan teman-teman gue di rumah juga berjalan cukup baik. Gue lebih sering meluangkan waktu untuk nongkrong bersama mereka. Walaupun jarang sekali gue nongkrong bersama mereka, paling dalam sebulan gue hanya nongkrong bersama teman-teman di rumah gue sekitar dua atau tiga kali.

Kondisi itu terus berlanjut selama semester kedua gue di kelas 8 hingga gue naik ke kelas 9; gue masih sekelas dengan Nata, Abdul dan Renal. 

Di kelas 9 kami semua tidak lagi diperbolehkan mengikuti kegiatan ekskul. Dan saat itu entah sial atau beruntung. Sekolah gue menjadi sekolah pertama (percobaan) kurikulum baru yang hendak diterapkan Departemen Pendidikan kala itu; Bahkan di saat SMP lain masih ada yang belum menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, sekolah gue sudah meninggalkan kurikulum itu dan menjadi kelinci percobaan untuk kurikulum satuan tingkat pendidikan. Atau yang akrab disebut kurikulum; KTSP; KATE SIAPE!!

Yah walaupun gue harus mengakui, jika kami diuntungkan dengan perubahan kurikulum itu. Karena saat itu jam pelajaran berkurang cukup signifikan; biasanya dalam kurikulum KBK setiap hari kami belajar selama 5 jam, diluar waktu istirahat. Dalam kurikulum KTSP jam pelajaran kami dipangkas menjadi 4 jam setiap harinya, diluar waktu istirahat. 

Untuk anak sekolah jaman now: "Piye enak jaman ku toh?" 

ehh engga juga yah, anak sekolah sekarang sekolahnya daring terus UAN juga udah engga ada.

"Nadiem! Apa yang kamu lakukan itu, JAHAT!!  KAMI MILENIAL MENOLAK PENGHAPUSAN UAN!! KAMI NGIRI!!!!"

Namun walaupun kurikulum itu membuat kami harus terpaksa (bohong!) mengurangi jam pelajaran tapi setiap harinya kami harus mengikuti pendalaman materi UAN sepulang sekolah; dari jam 11.00 waktu sekolahan gue hingga pukul 12.30 waktu sekolahan gue. Jadi sesungguhnya KTSP menguntungkan kelas 8 di sekolah gue. Ya karena hanya kelas 8 itu yang merasakan keuntungan berkurangnya jam pelajaran. Sementara kelas 7, yah mereka kan sebelumnya belum merasakan kurikulum sebelumnya yang belajar 5 jam sehari.

Hari itu, di semester pertama gue di kelas 9, saat jam istirahat; bukan kebetulan saat itu gue mendapat kelas 9-H yang letaknya di pojok lantai 2 tepat di atas ruang kepala sekolah. Saat jam istirahat itu gue hanya sendirian berdiri bersandar di tembok pembatas di selasar kelas. Sementara gue melihat Nata, Karina, Abdul, dan (sebut saja) Vivi (pacarnya Abdul) duduk tepat di bawah gue; di tempat biasa gue duduk, di pinggir lapangan di ruang kepala sekolah.

Gue mengerti bukan salah mereka hingga membiarkan gue sendiri. Memang saat itu entah kenapa gue merasa malas jika harus melihat kedua sahabat gue itu bermesraan dengan pacarnya. Tapi entah mengapa saat itu gue seperti merasa lelah. Gue merasa sedikit lelah berada di tengah-tengah Abdul dan Nata.

"Tumben lo ga barengan?" Tanya Renal tiba-tiba menghampiri gue.

"Males gila njir jadi obat nyamuk!"

"Hahaha, ya mangkanya cari pacar lah. Banyak tau yang suka sama lo."

"MUKE!"

"Yah dibilanginnya gacayaan."

"Percaya lu musik, Nal!"

"Musyrik kamjing! Hahhaha. Eh lo kenal (sebut saja) Melody anak 9-A ga?" 

"Tau, yang pake jaket no19 kan?" 

"Nah. Dapet salam lo dari die."

"Taee!"

"Serius, Le. Sumpah. Ngapain gue bohong."

"Yaudah salamin balik."

"Yee sidongo. Deketin begok, die suka sama lo."

"Hmmm."

"Ah susah anjing kalo dibilangin, homo sih lo. Hahaha."

"Ye ngehe!" Sahut gue sambil menendang pelan bokongnya.

"OI JOMBSS!!" Teriak Nata dari bawah. Renal lalu meninggalkan gue setelah membalas menendang gue.

"TOLE SINI DONG!!" Panggil Karina. 

"Ga ah males!" Sahut gue.

"JOMBS JOMBS" Ledek Nata gue hanya mengacungkan jari tengah kepadanya. Lalu gue beranjak dari sana menuju ke toilet.

Di dalam toilet gue memikirkan; mengulas apa saja yang sudah gue lalui sejauh ini. Gue selalu berada di tengah-tengah orang yang berpacaran. Gue obat nyamuk!

Mungkin saat itu gue sedikit "ngiri" hingga akhirnya gue merasa sedikit lelah berada diantara Nata dan Abdul beserta pasangannya. 

Tapi gue sadar diri!

Selama ini gue selalu mengikuti Nata, Abdul atau Renal. Gue bahkan mengikutinya saat mereka sedang "ngedate" dengan pacar-pacar mereka. Selama mengikuti mereka itu gue mengerti untuk berpacaran haruslah memiliki modal; gue harus mempunyai uang untuk ngedate, entah itu nonton, atau sekedar makan malam di cafe atau warung makan amigos, sekalipun. Gue harus memiliki modal untuk itu semua.

Sedangkan hutang gue saja belum sepenuhnya lunas. Belum lagi gue hampir tidak memiliki waktu untuk mengamen selama ini. Karena Nata dan Abdul selalu saja meminta gue menemaninya sepulang sekolah.

Memang, jika sepulang sekolah gue ke rumah Nata. Pulang dari sana gue akan diberi uang oleh nyokapnya Nata, yang saat itu gue sudah memanggilnya, Mamah. Gue selalu diberi uang oleh Mamah untuk naik ojek, tapi sisa uang itu biasanya habis untuk keperluan gue. Jika pun menyisa setelahnya, uang itu akan gue tabung untuk membeli sebuah handphone. Karena hingga saat itu gue belum memiliki handphone untuk mempermudah komunikasi.

Dari itu saja sudah terlihat hambatan gue, Komunikasi. Bagaimana nanti gue berkomunikasi dengan pacar gue, (semisal) gue berpacaran. 

Gue menutup mata gue dari sebuah pernyataan "Kalau cinta harus menerima segala kekurangan." BULLSHIT! 

Mari kita bicara realita; dengan keadaan gue saat itu, seperti itu, bagaimana gue membangun hubungan percintaan?

Saling mengirim surat? Dan ngedate di taman-taman yang ada di sekitaran rumah pacar? Ngobrol berdua di bawah pohon lalu menuliskan nama di batangnya? 

Bahkan mengirim surat harus membutuhkan modal untuk membeli perangko, bahkan selama duduk berduaan di taman; lambung tetap harus diberi asupan, tenggorokan harus dialiri air yang menyegarkan. Sungguh tidak lucu jika ngedate di taman tapi gue dan sang pacar harus berpuasa. Maksud gue, bagaimana kami berbincang. You know dari mulut orang yang berpuasa akan tercium wewangian "SORGA(?)". Damn!!

Belum lagi jika di dekat rumah pacar tidak ada taman. Semisal taman terdekat itu harus dituju dengan naik satu kali angkot. Modal lagi, kan?

Gue bukannya pelit! Tapi gue benar-benar memikirkan itu semua saat itu; Memikirkan siapa wanita mulia yang mau ngedate di taman, berduaan, puasaan, dan setidaknya tidak pingsan!

Karena rasanya tidak akan ada wanita semulia itu yang akan tabah berhadapan dengan gue. Bahkan jika gue mencari itu di sekitaran rumah gue juga rasanya tidak mungkin ada. Mengutip perkataan Aini "Gue juga ogah sama cowo yang begitu!." Itu hanya Aini yang notabene-nya berasal dari kaum sudra sama seperti gue. Bahkan jika gue amati, sekelas Aini saja ngedate minimal ke Kalibata Mall, Atrium mall, atau sekeren-kerennya Blok-m plaza, Karokean Di karaoke koin, main dengan pacar di pusat permainan; bersenang-senang walaupun di depan layarnya tempampang tulisan "INSERT COIN." dan makan minimal di gerai fast food. 

Untuk sekelas "Aini" saja rasanya modal gue tidak akan cukup. Bagaimana gue bisa menumbuhkan keberanian (Red: Nekat) untuk mendekati perempuan di sekolah gue. 

Ahh, saat itu benar-benar gue merasa bersyukur tidak pernah berpacaran dengan Karina. Coba bayangkan jika gue berpacaran dengannya, ngedate seperti apa yang gue bayangkan tadi. Haaah! Bisa-bisa gue menjadi bahan olok-olok di sekolah karena Karina kecewa pacarnya tidak sesuai dengan maunya.

Belum lagi, gue adalah anak laki-laki biasa yang kebetulan ganteng. Apa sih! Kebetulan saat itu gue sudah mengerti Kaskus eh maksud gue BB++, gue juga sudah mengerti lalatx, bangbross, dan mofos! Maksud gue, gue memiliki kriteria. Setidaknya gue ingin memiliki pacar yang bisa diajak kondangan!

Dasar ga tau diri! Udeh suseh sombong!!

Gue bukannya sombong dan tidak tahu diri. Gue hanya sedang jujur pada diri sendiri. Karena gue yakin, sejelek-jeleknya lo, seganteng-gantengnya gue, sekere-kerenya kite pasti miliki angan memiliki pacar yang sesuai khayalan. 

Kalau menghayal saja sudah tidak jujur, bagaimana bahagiamu diukur?


"Cari pacar dongo lo! Kasian gue liat lo jombs!" Ucap Nata, saat itu gue sedang di warnet bersamanya tanpa ada Karina. Karena dia sedang mengikuti bimbel. Gue rasa saat itu cuma gue dan Nata anak di sekolah gue yang tidak mengikuti bimbel.

Kalau gue sudah jelas, tidak ikut bimbel karena tidak punya uang. Cukup saja pendalaman materi dari sekolah. Lain hal dengan Nata dia tidak mau ikut bimbel karena memang malas. Mungkin kalau sekolah tidak wajib, dia tidak akan pernah sekolah. Oh iya gue lupa dia pernah membuat tulisan tentang sekolah itu tidak wajib!

"Lo pikit nyari pacar kek beli kacang!!" Sahut gue.

"Yee si bodoh, udeh jelas itu Melodi demen sama lo. Udah sikat!"

"WC kali ah disikat."

Tidak lama orang yang sedang Nata bicarakan tiba-tiba saja masuk ke dalam warnet entah dari mana dan apa tujuannya. Saat itu gue sedang berada di warnet baru yang baru buka bukan di warnet tempat biasanya anak-anak sekolahan gue nongkrong.

"Hay Nat... Llleee." Sapa Melodi pada kami berdua.

"Hey Mel!" Sapa balik Nata.

"..."

"pssstt..." Nata menyenggol paha gue dengan pahanya.

"Haah?" Gue heran.

"Ye sibego!" Bisik Nata sambil memberi kode lirikan matanya.

"Oh, eh Mel."

"Iya Le?"

"Haaah"

"Kenapa?" Tanya Melodi.

"Emmm..." Nata menyelak. "Lo ngapain Mel?" Tanya Nata.

"Ini Nat, gue mau ngetik tugas. Komputer gue di rumah rusak." Jawab Melodi.

"Oh, tugas apa Mel?" Tanya Nata.

"Ini, tugas IPS. Emang kelas lo ga dikasih tugas juga sama Pak Je?" Tanya Melodi.

"Ohh dikasih, kok. Tapi santailah. Banyak Mel yang diketik?" Tanya Nata.

"Mayan, sih..." Melodi melihat seisi warnet. "Yah penuh yah?" Lanjut Melodi. Memang saat itu warnet dalam sedang penuh.

"Iyah lagi penuh. Atau ga sini yang mau diketik. Biar diketikin sama Tole."

"Haaah?" Sambar gue namun Nata kembali menyenggol paha gue dengan pahanya. "Ah iya." Sahut gue lagi.

"Ga usahlah Nat, makasih. Kayanya kalian lagi asik main begitu. Nanti gue malah ganggu." 

"Engga kok! Engga kan Le?" 

"..."

"LEE! Engga, kan?" Nata sambil melotot.

"Iiiyaaa eng eng engga."

Dan pada akhirnya gue harus menghentikan game yang sedang gue mainkan untuk mengetik tugas IPS-nya Melodi.

Melodi sebenarnya cantik; memang hampir semua perempuan di smp gue cantik jika merunut pada kriteria cantik gue. Selain cantik Melodi juga mahir memainkan beberapa alat musik. Bahkan dalam bermain gitar, Melodi mampu memainkan "Chord-chord" miring yang rasanya butuh seumur hidup untuk gue mampu melampaui skill-nya dalam bermain gitar. Suaranya juga merdu.

Gue pernah mendengarnya belatih. Kala itu dalam persiapannya untuk menghadapi sebuah perlombaan bernyanyi, gue mendengar Melodi sedang bernyanyi sebuah lagu yang entah apa judul dan penyanyinya; saat itu gue belum mengetahuinya karena lirik lagunya bahasa Inggris dan bahasa Inggris gue kacau sekali saat itu. 

Namun walau saat itu gue tidak mengerti lagunya. Tapi gue mengerti jika nyanyian dan permainan piano elektrik Melodi sangatlah indah. Sangat indah bahkan hingga detik ini getar-getaran perasaan yang gue rasakan saat mendengar nyanyiannya sungguh masih sangat terasa tiap kali gue mengingatnya.

Namun kembali lagi pada saat itu. Walau sudah didorong oleh teman-teman gue untuk mendekatinya, bahkan burung mengatakan hal yang membuat gue melayang; jika melodi menyukai gue. Tapi gue sadar diri akan kondisi gue saat itu. Rasanya tidak pantas untuk gue berpacaran dengan Melodi. Tidak! Bahkan rasanya gue tidak pantas berpacaran dengan perempuan mana pun.

Dan saat itu gue mengetik semua tugasnya, Melodi. Dia duduk di belakang gue, sesekali dia mengoreksi jika terdapat typo pada ketikan gue. Dan jujur, saat itu jantung gue berdetak cepat dan kencang. 

Hingga sekitar satu jam, tugasnya Melodi sudah gue ketik seluruhnya dengan baik. Melodi lalu menuju ke meja operator warnet untuk mencetak tugasnya yang baru saja gue ketik. Namun sialnya, printer di warnet itu sedang mengalami kendala. Melodi pun menjadi bingung karena itu.

"Lo ga bawa disket?" Tanya Nata.

You must know, saat itu disket masih menjadi primadona untuk menjadi media penyimpanan dokumen. Tapi jangan berharap bisa menyimpan sebuah film di dalamnya. Karena kapasitasnya hanya beberapa MB saja.

"Engga." Melodi menggelengkan kepala wajahnya terlihat murung.

"Yaudah bentar gue ambil disket gue dulu di rumah." Sahut Nata.

"Lama ga?" Tanya Melodi.

"Engga..." Nata kemudian hendak bangkit namun gue menahannya.

"Lo butuh tugasnya besok kan?" Tanya gue pada Melodi. Dia hanya murung menganggukan kepala.

"Yaudah besok gue kasiin tugas lo, ini udah ga ada lagi yang salah kan? Tinggal print ajah?" Tanya gue lagi memastikan. Melodi kembali hanya menganggukan kepala.

"Yaudah." Sahut gue. Melodi hanya diam.

"Yaudah." Sahut gue lagi dengan maksud agar Melodi kembali pulang karena gue ingin melanjutkan permainan. Namun melodi tetap bergeming dengan raut mukanya yang sedikit lesu. 

"Mel lo masih mau di sini? Mau nontonin gue main?" Tanya gue sambil menyimpan file hasil ketikan gue. Melodi masih bergeming. Sementara Nata memelototi gue.

"Ngape sih lo ngai?" Tanya gue. 

"Asshh si bego bego...!!" Nata menggelengkan kepalanya. "Yaudah, Mel. Lo tenang ajah, besok pasti tugas lo dikasiin. Pasti. Sumpah! Sekarang lo mau pulang apa mau gimana?" 

"..." Melodi terlihat menimbang. Sementara gue menyulut sebatang rokok. "Lo ngerokok, Le!" Sambar Melodi. 

Gue tidak tahu apa ucapan Melodi adalah sebuah pertanyaan atau sebuah pernyataan terkejutan atau apapun. Tapi gue menganggap ucapan Melodi adalah sebuah kalimat pertanyaan yang gue jawab hanya dengan satu kata, "IYA!"

"Ish! Yaudah gue pulang, deh!" Sahut Melodi dengan nada bicara yang seperti orang sewot.

"Dih." Ucap gue saat Melody beranjak meninggalkan warnet.

"PEKOK!!" Ucap Nata sambil menjitak gue.

"Yee bodoh!"

"Elu bodoh! Lo masa ga paham kalo Melodi mau ngobrol sama lo, mau disini sama lo, dia engga suka liat lo ngerokok. Begok lo! Dia suka sama lo, tolol!"

"Au ah!"

"Ahh emang lo jombs jombs. Terus itu tugasnye mau pegimane?" Tanya Nata.

"Di print di rumah lo ae ntar."

"Mindahin ke komputer gue gimana? Lo bawa disket emang?" 

"Pekok pekok. Ini gue lagi upload dulu ke 4shared. Ntar di rumah lo tinggal download terus print. KELAR!"

"Eh iye, pinter juga lo kadang-kadang."

"Kadang-kadang?"

Gue dan Nata pulang dari warnet menjelang magrib. Kebetulan saat itu Baba sedang pergi ke luar Negeri jadi kami bisa libur mengaji. Sesampainya di rumah Nata gue langsung mencetak tugasnya Melody.

Sambil menunggu semua halaman tercetak, gue mengambil gitarnya Nata dan memainkanya pelan.

"Magrib bego! Malah maen gitar." Protes Nata yang sedang berbaring di kasurnya.

"Nah lo magrib malah tidur."

"Gue engga tidur, cuma tiduran."

"Tiduran merem!?"

"Meremin mata doang."

"Semerdeka lo ae dah, Nat."

"Hmmm..." Nata bergumam lalu gue merasakan gerakan Nata yang sedang beranjak duduk di kasurnya. "Le Melody cakep begok, Le..."

"Lo pacarin ae kalo cakep!"

"Ye si dongok! Gue kalo engga pacaran sama Karina mau deh, Le. Die udah cakep, maen gitarnye jago, tajir, sexiest kurang apa coba, Le. Dia?"

"Engga kurang, Nat! Sedikit ajah engga kurang die mah. Gue nya Nat yang kurang. GUWE!"

"Yaelah itu lagi. Le engga gitu..."

"Sekarang gini Nat..." Gue memutar kursi hingga menghadap Nata."... Kalo dia tau kondisi gue? Anggaplah gue kegeeran kalo dia emang suka sama gue..."

"EMANG TOLOL! JELAS!" Sambar Nata.

"Tapi kan dia engga tau kondisi gue. Terus dia suka sama gue juga ga tau dari mananya. Terus kalo dia tau kondisi gue, apa dia tetep bakalan suka sama gue?" 

"Le, engga semua itu bisa dinilai karena harta. Gue yakin Melodi engga begitu. Gue yakin dia punya penilaian sendiri dan gue yakin dia punya alesan sendiri suka sama lo?"

"Apa? Yang bisa bikin dia suka sama gue? Kenal gue ajah engga!"

"Ya kalo itu ga tau, deh. Kalo gue jadi cewe sih. Gue juga kayanya engga bakal suka sama lo!"

"Nahkan!"

"Gue engga bakal suka sama lo karena sifat lo minderan!" Sahut Nata.

"..." Gue terdiam.

"Lo tau? Karina pernah ngomong sama gue. Kalo ajah lo saat itu oranganya pedean. Mungkin gue engga bakal pernah pacaran sama Karina."

"..." Gue diam lagi.

"Karina ajah bisa suka sama lo, tapi untung ajah lo begok. Nah lo inget-inget dah tuh kenapa Karina bisa suka sama lo. Gue engga bisa kasih tau lo. Soalnya Karina masih pacar gue! Gue engga mau ajah muji-muji cowo yang pernah didemen pacar gue. Kesel gila! Hahaha."

"Kambing!!"

Walaupun saat itu gue mengerti apa yang dimaksud Nata. Namun tetap saja gue ini seorang newbie untuk masalah ini; gue bisa mencerna dan secara teori gue mengerti apa yang harus gue lakukan. Tapi yang ada di kepala gue itu bukan bagaimana mendapatkan pacar. Tetapi bagaimana setelah pacaran? 

"Yaelah jalanin ae dulu. Belom jalan udah takut gimana mau jalan?" Ucap Nata menanggapi pikiran yang ada di kepala gue.

"Bukan takut, tapi udah kebayang!" 

"Ah susah deh. Le, begini. Lo pikir gue tau apa itu pacaran, terus gimana itu pacaran? Karina juga yang pertama buat gue, Le! Awalnya gue juga bingung, kalo pacaran harus ngapain ajah..."

"Terus setelah lo pacaran, kegiatan pacaran itu apaan? Yah kaya lo sama Karina, kan? Nonton, diner, jalan-jalan, hangout berdua. Buat itu semua gue engga bisa, Nat. Engga mampu!"

"Dongo!" Nata menyambit gue dengan bantal yang ada di sebelahnya.

"..." Gue menghindar.

"Pacaran tuh engga cuma nonton, makan, jalan-jalan, grepe-grepe-an! Cetek banget otak lo!? Pacaran itu gimana lo bisa saling mengenal, saling support, saling bertukar perasaan, saling nyenengin, saling nenangin, saling belajar ngerti masing-masing, saling lengkapin masing-masing. Intinya saling bahagiain, Le. Kan, engga mesti bahagia itu karena nonton atau jalan kemana gitu berdua."

"Iya sih. Tapikan... Ah taulah."

"Intinya lo jalanin dulu, Le. Lo engga bakal tau kalo apel itu manis atau asem kalo lo engga cobain."

"Tau gue!? Tanya ajah sama yang udah makan tuh apel."

"Apa selamanya lo mau tau itu dari orang? Mati penasaran iye lo, Le!"

"Hmmm, untung gue engga doyan apel, sih. Gue doyannya duren!"

"Le, berantem lagi yu?"

"Hahahaha."
anonymcoy02
ZenCrows
MFriza85
MFriza85 dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.