Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#34
ii.

Aku sama sekali tidak pernah merasakan perasaan tertekan seperti ini sebelumnya, bahkan mungkin ini adalah yang pertama bagiku bisa merasakan sebuah aura kemarahan, kegelisahan dan kebingungan yang teramat besar dari Dito. Suara suara tulang yang mengelutuk dari masing masing jarinya yang mengepal. Mata menyala yang mengutuk ke arah layar itu, menahan sebisa mungkin untuk tidak menghajarnya seperti orang yang kehilangan akal, tapi kami tahu kalau kesabarannya ada batasnya.

“Bajingan, siapa kau sebenarnya?” hardik Dito yang naik pitam dengan suara yang tidak kalah sama beratnya.

Tidak ada satupun dari kami yang berani berbicara. Bahkan Nadya terlihat gemetar ketakutan sampai tidak bisa memejamkan matanya melihat kakaknya yang sedang murka tanpa satupun dari kami yang tahu sebabnya.

“BRENGSEK, CEPAT KATAKAN!”

Suara tawa malah muncul setelah melihat amarah yang akhirnya meledak, dan kali ini orang itu malah menambahkan bensin ke dalam api, mencoba sekali lagi membuat Dito meledak.

“Santai saja, aku tidak akan mulai bicara kalau kau tidak tenang Dito.”

Dito sama sekali tidak menuruti perintah orang itu dan tetap berdiri tegap sambil menatap tajam dengan mata merahnya itu.

“Sangat sulit menundukan seekor Alpha. Baiklah kalau begitu,” ucap pria itu dengan suara yang tiba tiba saja berubah menjadi lembut. Kemudian suara hentikan beling keluar dari speaker, layaknya seseorang yang habis minum dari gelasnya padahal wajahnya tidak bergerak sama sekali setelah tawanya itu.

“Begini saja, karena waktu kita tidak banyak dan kukira sudah cukup bermain mainnya, maka-” Kemudian layar berubah, menampilkan beberapa foto orang orang yang tidak kukenal tapi bisa kulihat dengan jelas ada sekitar enam barisan foto orang dalam masing masing bingkai dan dua kotak kosong lainnya berada di bagian bawahnya foto foto itu.

“Seperti yang kalian lihat, disini tinggal dua orang lagi yang kosong. Jadi sudah jelas kan kalau memang rencana ini sudah mendekati deadline. Sangat tidak profesional kalau lewat waktu, bukan begitu?” ucap pria itu dengan nadanya yang kharismatik.

Tangan Dito kali ini bergetar, memerah, bukan karena rasa takut namun karena tangan besar itu berusaha menahan kegilaan yang ada pada dirinya. Bibirnya terbuka menampakkan gigi giginya yang saling beradu. “Apa tujuanmu sebenarnya?”

“Bukan seorang professional kalau membocorkan info, bahkan ke tumpukan mayat yang sebentar lagi tidak akan berbicara.”

Seketika suara tawa pecah memenuhi ruangan, mata kami semua terbelalak melihat Dito yang kali ini malah tertawa lebar setelah sebelumnya seperti orang kesurupan atau malah kali ini ia benar benar kerasukan setan. “Jadi kau ingin menghabisi kami berdua? kau tidak bisa membunuh saya dengan mainanmu,” ejek Dito berusaha memancing musuh kami.

“Ah … mungkin kau sedikit benar. Namun kau lupa Dito, dalam perang, kuantitas adalah kunci mengalahkan kualitas.”

“Oh ya? apa kau masih yakin dengan hal itu?”

Suara seruputan kembali muncul. “Tentu saja aku sangat yakin, karena kuantitas yang ku miliki bukan berarti tidak berkualitas.”

Kami bertiga kemudian teralihkan oleh sesuatu, kami merasakan suatu hal yang janggal kali ini datang dari arah luar rumah. Telingaku sempat berusaha mencari cari darimana sumbernya namun indraku tidak sampai menemukan sesuatu itu.

“Apa kau yakin dengan kekuatanmu Dito? bisa kulihat dari sini kalau kau sendiri juga ragu dengan dirimu sendiri,” lanjut orang itu.

Dito kembali menaruh matanya pada layar, berusaha fokus kembali pada musuhnya. “Ragu? coba kau kirim kembali mahluk itu kemari dan kita lihat siapa yang meragukan.”

Hembusan nafas berderu keluar, memenuhi ruangan ini disambung dengan hentakan beling lagi. “Baiklah kalau begitu.”

Suara langkah kaki kaki kecil kali ini muncul dari arah lorong rumah, dari sana suara itu tidak datang sendiri. Hentakan kayu, rumput, lantai teras hingga suara dari atap mengelilingi rumah ini. Tubuhku bergetar hebat hanya dengan dihantui suara suara ini, aku bisa dengan sangat jelas mengingat ritme langkah kaki itu, mereka telah mengepung rumah ini.

“Maaf saja Dito, mungkin tidak biasa kalau di siang bolong begini. Tapi akan lebih menantang bukan kalau sesuatu berada di luar ekspektasi,” ujar pria itu sambil mengakhiri pesannya.

Layar itu kemudian menjadi hampa bersamaan dengan padamnya listrik di rumah ini. Lorong yang hanya mengandalkan lentera lampu seketika berubah menjadi gelap, suara baling baling kipas perlahan berhenti berputar menyisakan gesekan putarannya yang ia ingin tuntaskan. Dan dalam sekejap tempat ini dipenuhi dengan keheningan.

Tidak ada satupun bibir kami yang berani mengucapkan sepatah katapun. Hanya kaki kami saja yang berani bergerak membangunkan kami dari duduknya secara perlahan lahan berusaha tidak mengusik keheningan. Rasa sepi dan sunyi mengitari kami, namun kami semua tahu itu semua hanya ilusi yang dibuat kematian yang datang secara diam diam berusaha merebut nyawa kami sekaligus.

Mata jarum tampak terlihat seperti tidak bergerak sama sekali, membuat waktu ikut menjadi sangat lambat. Satu satunya yang membuatku sadar kalau waktu tidak terjeda hanyalah aliran keringatku yang mulai mengucur deras membasahi keningku.

Perlahan kami semua bergerak, bersiap dengan segala kemampuan dan senjata yang ada di dekat kami. Dengan tinju besi Nadya yang sudah terpasang, Ardi yang sudah melepaskan pedangnya dari sarungnya, sementara Dito dan aku hanya berbekal tangan kosong. Kemudian salah satu jari Ardi bergerak, memberikan sebuah kode pada pak Raden dan Rani dengan menunjuk mereka berdua untuk berjalan perlahan ke tengah ruangan. Sambil berpegangan pada ayahnya, alun alun mereka berdua menyeret langkah mereka ke tengah tengah kami yang diikuti dengan pergerakan kaki kami yang membuat lingkaran memutari mereka berdua.

Aku mulai bisa mendengar bisikan Rani mengucapkan doa dengan terburu buru dan berantakan karena saking cepatnya. Bibir yang tidak bisa seimbang dan mata yang digenangi banjir akan rasa takut. Sekedar melihatnya yang sampai begitu membuatku sadar kalau ini pasti mimpi terburuk yang ia pernah alami, tapi ini samas sekali bukanlah mimpi.

Sebuah tetesan air mata akhirnya jatuh ke atas lantai setelah terbendung hingga meluap dari sana, percikan itu menggema menandai dimulainya pertempuran. Retakan kayu datang dari lorong, dorongan yang sangat kuat datang dari arah pintu memaksa masuk, diiringi suara suara langkah tadi yang mulai berlari. Tangis yang diiringi jeritan kini merebak ke seluruh ruangan.

Gemericik rantai datang dari arah lorong, dengan suara langkah beberapa orang dari sana. Ardi dan Dito yang tidak tinggal diam kemudian langsung lari mengejar arah ke suara itu, membuat lingkaran kami terpecah dan dengan cepat aku dan Nadya memutari mereka berdua sambil mendorong mundur ayah dan anak ini menjauh dari pintu.

Langkah mereka berdua terhenti ketika tamu mereka telah tiba dan tanpa basa basi langsung menyerang mereka berdua. Suara gemericik tadi datang kembali saat salah satu dari mereka melemparkan serangannya itu. Dengan tangan kosong Dito menyambut dengan menangkap rantai itu hanya dengan satu tangannya. Tubuhnya yang besar itu bergetar saat rantai itu menggulung lengannya. Namun entah bagaimana caranya ia berhasil mengabaikan sengatan listrik yang pernah menyenai Ardi, lalu memasang kuda kuda dan seketika menariknya kuat kuat membuat lawannya terjatuh, memaksa makhluk itu melepaskan senjatanya itu dari genggamannya. Lalu dengan cepat Dito kembali menggulungkan rantai itu ke tangannya, dan lari menyerbu rekannya yang masih berdiri.

Tidak tinggal diam melihat kawannya yang terjatuh membuatnya ikut melontarkan rantainya itu dengan sebuah bandul bermata pisau besar menggantung di depannya. Bagaikan gorila yang sudah gila, Dito yang sudah kesumat sama sekali tidak gentar, kali ini tangan besarnya yang cekatan berhasil menangkap sekali lagi trik yang sama itu untuk kedua kalinya. Sekejap kakinya berhenti dan menghentaknya ke atas lantai kuat kuat sekaligus menerbangkannya sebuah pukulan bertenaga raksasa masuk tepat mengenai topeng baja itu. Suara jendela kayu yang hancur bersamaan dengan tubuh si topeng yang terpental keluar dari jendela bersama serpihan beling yang ikut melayang bersamanya.

Berusaha bangkit dari tidurnya, topeng yang terjatuh tadi kali ini mencoba mengangkat kembali tubuh besarnya itu. Tapi bukannya naik, wajahnya kali ini malah tenggelam masuk menembus lantai kayu. Kaki besar di atasnya sama sekali tidak memberi sedikit ampun. Tubuh yang meronta ronta meminta pertolongan itu semakin terperosok setelah Dito memberikan pukulan bulat bulat dengan satu serangan ke bagian belakang kepalanya sebagai penutup kehidupannya. Aku tidak bisa memastikannya tapi aku yakin dia pasti mati.

Di sisi lain, Ardi dengan kedua lawannya yang berpedang. Salah satu topeng memberikan tebasan ke wajah Ardi yang ia tangkis dengan mengandalkan satu tangannya sambil memposisikan mata pedang ke bawah, lalu melontarkan senjata lawannya dengan kuat ke langit langit. Belum selesai sampai situ, tangannya kemudian membuka aksi tariannya dengan melakukan putaran ke belakang. Taring tajam itu mengapung di udara, melewati Dito yang bertarung dengan lawan ketiganya, kemudian semua berakhir ketika sebuah sabetan terhempas tepat ke ulu hati lawannya. Pedang itu kemudian terpental meninggalkan bekas serangan yang sama sekali tidak dapat menembusnya, namun cukup kuat untuk membuatnya bergetar. Tapi dengan pedangnya yang kali ini terpental, menciptakan energi kinetik yang dahsyat. Ardi yang tidak menyia nyiakan semua itu berusaha mengendalikannya dan melakukan putaran sekali lagi, menari bersama pedangnya melawan arah jarum jam. Tangannya melepaskan cengkramannya ,menaruh tapaknya di pangkal pedangnya, dan langsung mendorongnya tepat kembali ke ulu hatinya.

Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Baju zirah itu tertembus oleh pedangnya itu hingga melewati isi tubuhnya keluar dengan leluasanya bagai melewati sebuah terowongan yang lebar. Gagang pedang yang masih lengket di tangannya lalu ia tarik, tidak sampai keluar dari tubuh malang itu dan menghentikan ujung mata pedangnya pas di tengah tengah tubuh lawannya mulai terduduk itu. Dengan darah dinginnya kemudian tangan itu kembali menikamnya, mendorongnya ke atas kuat kuat sampai membuat lawannya berdiri. Ardi sama sekali tidak memberikan waktu untuk sekarat baginya dan mencoba memberikan kematian yang cepat.

Kawannya yang berdiri di sebelahnya sama kagetnya denganku yang melihat betapa cepatnya Ardi menjatuhkan rekannya itu. Dengan sisa moral yang ada akhirnya ia mencoba menebas punggung Ardi dari belakang. Namun mata yang terpejam itu hanyalah sebuah tipuan, tanpa melihat serangan itu, satu tangannya yang tersisa dengan cekatan melindungi tubuhnya dengan sarung pedangnya, mementalkan tebasan kuat itu yang mungkin bisa saja mengirisnya dan memotongnya menjadi dua. Ia lalu menarik pedangnya dari dalam lawan tubuhnya, menyisakan mayat yang sudah ia pastikan mati dan menyerbu lawan terakhirnya yang kemungkinan akan bernasib sama.

Seluruh pandangan ku tidak kusangka telah terilusikan melihat gerakan cepat mereka berdua yang membuat lawan mereka layaknya sebuah sampah. Sampai dobrakan yang ku abaikan tadi akhirnya muncul dan berhasil menjebol pintu depan. Nadya yang sudah siap lalu menyambutnya dengan pukulan mantap dan cepat. Tidak menunggu lawannya itu untuk memberikan tebasan padanya dengan pedang besarnya itu dan mulai menghajarnya habis habisan, bunyi dentingan besi memantul di tembok menggema mengalahkan ributnya teriakan Rani yang histeris.

Hanya tinggal aku yang tersisa yang dengan seksama menunggu datangnya lawan. Suara patahan kayu datang sangat jelas dari atas, membuatku melebarkan kedua tanganku dan berusaha mundur tuk melindungi Rani dan ayahnya. Sampai akhirnya suara retakan itu semakin kencang, satu patahan datang disertai suara patahan lainnya yang mengekor, debu berterbangan di depan wajahku dan dari dalam situ siluet dua tubuh yang tinggi berusaha bangun dari lututnya.

Aku yang sama sekali tidak mempunyai senjata di saat seperti ini bukanlah menunggu untuk ditusuk tidak menyia nyiakan kesempatan ini. Kedua tanganku yang telah terbuka kemudian bergerak ke samping pinggang dan membuat kuda kuda cepat dan saat itu juga spontan meluncurkannya ke wajah mereka berdua sebelum sempat melihat. Tidak terpental begitu jauh namun cukup kuat untuk membuat tubuh mereka tidak seimbang dan jatuh tergeletak di lantai.

Bagai emas di depan mata, dua buah belati mereka ikut terjatuh tepat di hadapanku yang dalam sekejap lenyap berpindah ke kedua genggamanku. Kuputar salah satu belati tersebut dan tanpa ragu mencoba menikam salah satu lawanku yang berusaha bangkit. Mataku yang kali ini perih terkena debu berusaha mengabaikan rasa sakit itu sampai akhirnya aku bisa merasakan sesuatu yang lunak, sesuatu yang ganjil dan tidak keras seperti seharusnya terasa di pisau besarku ini. Bagian bawah bahunya tertembus pisau, tanpa ada satupun pelindung ataupun penghalang membuatnya masuk begitu saja tanpa kusadari, menusuk jantung lawanku.

Saking terkejutnya, sebuah hal yang berada di luar perkiraanku itu membuatku kaget dan malah menarik belati besar itu dari liangnya dan membawa darah keungu unguan bersamanya. Menatap heran keanehan ini, membuatku sadar akan sesuatu dan menoleh ke topeng satunya lagi yang masih terjatuh. Mereka berdua sama sama terbuka dan hanya memiliki pelindung di bagian dadanya, itu pun tidak seketat yang biasanya.

Tangan letih dan berdebu itu berusaha untuk bangkit dari jatuh payahnya. Merasa jantungku jatuh ke jurang melihatnya bergerak, dengan cekatan kakiku menyambar pilar lengannya itu dan menendangnya, membuatnya kembali terjatuh. Mendapatkan pengalaman buruk memaksaku untuk tidak membuat kesalahan untuk kedua kalinya dengan menanam kembali pisau mereka kembali ke jantung mereka masing masing serta membiarkannya tertancap disana.

Tensi yang mulai naik serta lonjakan situasi membuatku menjadi sama gilanya seperti mereka berdua disana. Layaknya menaruh asam pada luka, kubuka kembali kedua tanganku dan memberikan tinju ke masing masing kenop belati itu dan memasukkannya ke dalam tubuh mereka dalam dalam hingga tidak terlihat.


Semua kegilaan singkat itu akhirnya berhenti. Tubuhku yang masih bergetar berusaha untuk berdiri dan berupaya menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan cepat dan mengulanginya lagi berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi di dalam kelamnya debu. Mataku yang sayup sayup berkunang kungan mencoba melihat kembali ke sekelilingku dan melihat mereka semua telah menghabisi lawan mereka. Nadya dengan kakinya yang menginjak lawannya, lalu Dito dan Ardi yang terlihat sedang bertengkar.

“IDIOT,” bentak Dito.

“Maaf maaf, yang penting kan tidak kena,” jawab Ardi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dadanya.

“Jangan jangan kau mata mata.” terus Dito mengomel.

“Oy-oy, jangan sampai sejauh itu,” jawab Ardi kali ini ikut kesal.

Aku datang berjalan menghampiri mereka berdua. “Bertengkarnya nanti saja, sangat berbahaya kalau kita tetap disini,” ucapku berusaha mengakhiri pertengkaran mereka.

“Anda benar, kalian semua segera ke garasi sekarang juga!” perintah Dito.

Mendengar itu, aku langsung berusaha lari ke garasi, namun sebelum aku sempat melakukannya Dito menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya dan bisa dengan jelas melihat tangannya yang berlumuran sayatan dan darah menyentuh bajuku.

“Bisa kau lihat, sepertinya aku tidak bisa menyetir dengan baik kalau tangan saya seperti ini juga masalahnya tidak mungkin Nadya bisa menyetir dengan cepat, jadi … ” keluh Dito.

“Baiklah, tapi tujuan kita kemana?”

“Nanti saja di dalam mobil, yang penting kita harus keluar dulu dari sini.”

Dito lalu berlari mendahuluiku menuju garasi bersama mereka semua yang sudah keluar rumah terlebih dahulu. Entah mengapa aku malah terdiam, lalu menoleh kebelakang dan melihat lorong yang entah mengapa bisa kubilang indah tadi sekarang berubah dengan batang serta serpihan kayu dimana mana, berserakan di atas lantai serta tembok. Kemudian aku kembali menatap ke bawah, melihat kedua lawanku yang dengan tenangnya terbaring dengan sisa belati besar mereka masih di dalam kepalan tangannya yang belum sempat terpakai. Tanpa pikir panjang aku mengambil kembali benda dari mayat mereka dan membawa dua belati berlari keluar dari tempat ini.

Sampai aku berada di teras, aku melihat mobil SUV hitam legam terparkir di depan, menungguku disana. Nadya keluar dari pintu depan dan ia segera berpindah ke kursi tengah beserta Rani dan ayahnya. Sementara Ardi yang tidak tahu kemana asala membuka pintu dan masuk duduk di bagian belakang mobil, sementara Dito sudah berada di kursi depan.

Sebuah suara dari arah belakang mengejutkanku, mataku terbelalak melihat salah satu dari mereka bangkit dan berusaha berdiri dari kuburnya. Kakiku yang tidak perlu diperintah langsung lari secepat mungkin melupakan nafasku yang masih tertinggal disana sampai akhirnya tanpa disadari tanganku sudah berada di setir. Tanpa memanaskan mesin sekalipun, Seluruh otot lengan kutarik untuk menarik tuas rem, memasukan gigi dan langsung menekan pedal gas dalam dalam, membuat semua orang di dalam mobil terdorong ke belakang.

“Pakai sabuk pengaman kalian!” perintahku.

“TERLAMBAT SETAN!” balas Dito teriak.

Suara klik memenuhi mobil. Sambil menunggu gerbang terbuka penuh aku menggeser kaca depan untuk melihat mereka semua yang sudah dalam posisinya, sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah objek kecil berlari dari belakang. Mataku beralih ke spion untuk melihat lebih jelas apa itu dan benar saja, topeng itu berlari mengejar kami. Namun sayangnya ia telat dan gerbang sudah terbuka penuh. Suara mesin menggeram dan roda bergulir dengan cepat meninggalkan rumah ini.

Roda bergulir dengan cepat menggesek aspal jalan yang mengepul asap putih karena putarannya. Suara decitan roda tidak terelakan hingga menggetarkan seluruh isi dalam mobil.

“Kalau begitu sekarang gimana? Kita kabur, setelah itu baru memikirkan rencana untuk melawan balik orang itu,” ujar Dito yang mengeluarkan bunyi gemericik, melepaskan rantai yang melilit tangannya itu.

“Bagaimana bisa Gading yang berada di dalam layar?” tanyaku masih heran saat mengingat wajahnya yang berada di layar tadi.

Bibirnya serta alisnya mengkerut entah menahan rasa sakit atau karena mendengar pertanyaanku tadi. “Ya, saya tidak menyangka bagaimana caranya dia bisa melakukannya sampai sejauh itu. Juga motifnya ... sama sekali tidak ada yang saya ketahui,” ungkap Dito memejamkan matanya.

“Awalnya juga aku kira ini semua ulah Gading. Baiklah kalo begitu bos, sekarang kita kemana?” tanya Ardi mengikuti pembicaraan kami.

“Kita akan ke ‘Mbah’,” jawab Dito singkat.

“Terus kita semua sembunyi disana gitu?! Tapi kalian tahu kan siapa pelakunya? Kalau tidak berarti ini semua sia sia,” kejar Nadya yang masih panik.

Mata kami bertiga bersatu saling menatap di dalam kaca depan mobil yang kecil itu, bersepakat dalam sebuah mufakat yang sama akan segala teror ini. “Ya. Brama,” ucap kami bertiga secara bersamaan.

jawaban itu sekaligus mengakhiri momen sial ini. Tidak pernah kusangka kejadian ini akan berakhir dengan percobaan pembunuhan. hal ini kembali mengingatkanku pada kedua orang tuaku, sekarang aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Ketakutan akan hal yang sama sekali di luar perkiraan, diam diam memperhatikanmu dari dalam dan menerkam kami secara tiba tiba.

Orang itu, entah bagaimana caranya ia mengetahui keberadaan kami, bahkan sampai tahu kalau Dito masih hidup. Langkahnya benar benar sudah jauh dan mendahului kami, bahkan sudah siap membunuh kami tadi.

Ayah, apakah ini yang kau rasakan saat itu? Tidak tahu harus lari kemana dan hanya menunggu untuk dijadikan mangsa selanjutnya. Aku yakin kau pasti harap diriku cukup kuat untuk melawan musuhku saat ini. Perangmu mungkin telah berlalu, tapi tragedi ini masih tetap membekas sampai masaku.
mmuji1575
banditos69
simounlebon
simounlebon dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.