Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#32
iii.


Aku pernah membaca sebuah buku yang membahas tentang kalau panik, reflek dan rasa takut adalah mekanisme pertahanan manusia yang paling kuat. Tapi kali ini bagaikan bulu bulu kucing yang semuanya berdiri saat melihat musuh, tubuhku berdiri tegak dengan otot otot mengencangkan kakiku dan memastikan tanganku tetap kuat dan berada di posisinya. Sebuah pilar sudah mulia terbangun, tidak ada lagi rasa takut yang datang dan menghentikan kekuatan yang kupasang. Sisanya akan kuserahkan pada reflek akan bahaya yang datang padaku dan bersiap menghadapinya.

Jauh disana, sol sepatu itu akhirnya bergerak perlahan maju ke arah kami, mengepung dari dua arah. Suara langkah kali ini dibuat oleh hentakannya, tidak seperti saat pertama kali kami bertemu, sepertinya lawan kali ini langsung memutuskan untuk maju dan mengakhiri semuanya dengan cepat.

Paru paru ini berusaha sekuat mengatur nafasku agar tidak sampai terdengar oleh Nadya yang pastinya juga sedang menahan rasa takutnya dengan bibirnya yang bergetar. Setiap langkah mereka berdua yang serentak itu semakin terasa mendekati telinga seiring datangnya tubuh besar mereka yang dengan pelindung bajanya itu. Namun kali ini ada yang janggal, entah mengapa mata mereka tidaklah merah menyala seperti yang seharusnya. Langkah perlahan yang terus diberikan akhirnya membawa seluruh tubuhnya untuk terpapar cahaya lampu putih yang dingin, mengintimidasi kami dengan seluruh pandangan yang sejak awal kutunggu darinya dan matanya perlahan kembali memunculkan cahaya merahnya itu. Sesuatu yang baru, tidak bulat dan hanya mencuat sebuah garis vertikal kecil yang melengkung dari balik rongga matanya, tapi topeng besi abu abu itu sama sekali tidak berubah.

“Nadya,” sahutku, berusaha memanggilnya dari rasa takutnya.

“Iya kak,” jawab Nadya singkat sambil tetap menatap tajam lawannya.

“Ingat, kan? yang tadi gua bilang?”

“Ya, Pukul sekuat tenaga, ya kan?” tanya Nadya memastikan.

“Ya.”

Hentakan sepatu meledak memecah udara bagai halilintar, berlari dengan cepat menghampiri masing masing bagian kami. Tubuh besar itu bergeming dan sama bersemangatnya maju menyambutku yang sama gilanya. Suara hentakan kami memenuhi ruangan ditambah suara gedoran pintu yang menggema saat pak Raden telah masuk ke ruang perlindungannya. Tirai tirai berhamburan, terbawa angin kencang yang kami buat tanpa ragu melawan musuh kami.

Topeng itu mendadak berhenti sedetik sebelum langkahku sampai padanya, kuda kuda kakinya terpasang kokoh memijak lantai dan seketika itu juga dari tangan kanannya mencuat sebuah pedang yang panjang dengan bagian ujung yang besar melesat di depan wajahku. Namun dengan membuat kuda kuda sebelum menyerang sama saja menghilangkan efek kejutnya yang harusnya dapat membunuhku. Golokku yang sudah bersiap akhirnya menyambut serangannya, dengan kuat memukulnya ke sisi lain, berusaha membuka pertahanannya, kali ini dadanya sudah berada tepat di mataku.

Di tempat lain aku terkejut saat sebuah pedang kecil muncul dari arah bawah sesaat setelah pedangnya terpental, berusaha menyayat baju besiku yang dengan licinnya meluncurkan pedang kecil itu melewati perutku. Menyadari hal itu, reflek cepat memerintahkan tuk melompat mundur dan mengambil serangan sekali lagi. Tapi si topeng yang tidak mau memberikan kesempatan untukku dengan gegabahnya menarik kedua tangannya dan mengambil tenaga yang kuat berusaha merobek wajahku.

Tidak ada waktu untuk menghindar, bahkan tidak ada waktu untuk berpikir, sampai kedua tanganku bergerak sendiri membuka dari kedua sisinya dan menahan serangan yang sangat berat itu. Kedua mata pedang hampir saja mengiris telingaku jika saja tanganku tidak kuat menahannya. Namun suara dentingan itu tetap masuk dengan leluasa, menggoyangkan gendang telinga yang sepertinya mulai mengeluarkan darah saat mendengarnya.

Mataku melotot menatap jelas topeng yang menutupi ekspresi darinya aku tidak tahu apa yang harus kuberikan kepada nya selain wajahku yang memerah berusaha menahan tekanan serangannya itu. Udara pun mulai memanas ketika uap uap mengepul dan berhembus dari lobang lobang di topengnya itu. Layaknya nyala mesin uap yang keluar, tiba tiba tenaganya juga meningkat tajam sesaat setelah ia melakukan itu.

Aku menggeram, gigi gigiku saling menggigit dengan kuat. Aku bisa merasakan kedua otot lenganku saling bertumbukan dengan kencang menahan kekuatan gilanya itu entah sesaat aku berpikir kalau aku akan mati saat itu juga, bahkan lututku memastikan hal itu saat tumpuannya hampir jatuh ke lantai. Seakan mencoba menolak kematian, seketika kakiku malah bangkit dan tidak jadi memasrahkan kepalaku untuk dipenggalnya. Langkahku menapak dengan bagas, mendorong kedua tangan itu jauh jauh dari pandanganku dan mengangkat kedua senjataku tinggi tinggi yang disambut dengan melemparkan tebasan kuat langsung ke kedua tangannya itu yang gagal mengoyak parasku.

Paru paru mengempis seiring nafas yang keluar, menghembus kencang dan menariknya sekali lagi kuat kuat. Kemenangan mula beralih pihak saat getaran yang hebat telah berhasil kulancarkan ke kedua tangannya. Tentu saja usahaku itu berhasil menyelamatkanku sekaligus menghentikan gerakannya yang seketika terhenti. Untuk membalasnya tadi yang tidak memberiku sedetik untuk mundur, kepalan tanganku lekas kutembakkan ke dadanya, satu pukulan yang mantap sampai sampai tiap jemariku bisa merasakannya dorongan pada tubuhnya walau hanya berjarak satu langkah.

Dan kali ini pukulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Entah telingaku mulia kehilangan fungsinya atau adaptasinya yang cepat membuat suara suara itu bagaikan lagu saat tinju bertubi tubi melayang tanpa ada rasa lelah untuk terhenti. Gerakan tambahan kuberikan dengan menarik tangannya yang kaku itu dan melancarkan serangan siku ke topengnya itu, melibasnya kembali dengan tanganku yang kugunakan untuk menariknya. Mengambil langkah mundur sekali lagi dan langsung menendang bagian ulu hatinya dengan ujung kakiku diarengi tendangan kedua ke arah wajah dan ketiga ke telinganya. Tidak pernah merasa sehidup ini dalam seluruh umurku.

Sampai tanganku yang sejenak terdiam mulai membara lagi seraya menarik jarak sedikit lebih jauh dari pukulan pertamaku, dan melancarkan tinju yang mungkin paling kuat ini ke bawah lehernya. Berusaha menjatuhkannya, menghancurkan tulang tulang rusuknya di dalam sana.

Perasaan lega akhirnya mencuat, keringat telah terbayarkan dan pengalamanku kali ini jadi pemenangnya. Berhasil mengalahkan rasa takut yang mendalam dan mendapatkan hidupku adalah suatu hal yang membahagiakan saat ia terjatuh, terhempas di lantai dengan suara tubrukan yang kencang.

Tapi ini semua belum selesai. Seketika mataku menyerbu Nadya yang dari tadi menangkis serangan pedang si topeng itu dengan kedua tangannya. Omongannya selama ini bukan bualan belaka melihat gerakan tangannya yang cepat itu terus menerus berhasil menangkis serangan pedang itu yang tanpa hentinya diberikan si topeng.

Pesta kemudian dilanjutkan ketika langkah kaki ku datang membawa golok ku untuk ikut bermain, datang dan menangkis sambil menangkap semua serangganya. Nadya yang kaget melihatku memberikan senyum lebar yang mencuat dari wajahnya, bergejolak menyambut dengan bantuanku. Sikap defensifnya ia tarik dan langsung berubah ofensif saat itu juga. Pukulan cepatnya menepis lengan besar itu mendorongnya jauh disambung pukulan kecil yang bertenaga ia terus lancarkan, berusaha membuat efek getaran yang sama untuk menghentikan mahluk ini.

Mengetahui situasinya kali ini tidak beruntung, uap panas yang sama seperti lawanku tadi berhembus kencang keluar dari topengnya yang menyembunyikannya dan hanya menyisakan mata merah nyala nya dari balik kabut itu. Tenaganya seketika naik dan mencoba kembali menyerang balik kami yang tentu saja sudah kutunggu. Dengan perlahan ia membuat langkah mundur walau tetap dengan kedua pedangnya yang terus mencoba menusuk Nadya. Wajah yang berenergik dan mengkilap akan minyak yang terkumpul disana dengan semangat terus melemparkan pukulan cepatnya yang bertubi tubi tidak hentinya memberikan tinju besi padanya. Tiap pukulan selalu diiringi dengan guncangan pada rambut pendeknya yang berguncang bagai ombak menari nari. Suara ribut tidak terelakan, benturan besi menggema di seluruh ruangan, kami bertiga tidak berhenti membuat keributan itu.


Nadya yang mulia panas memutuskan mundur saat lawan kami berhenti bergerak. Mengambil waktu istirahatnya yang tidak sampai sedetik itu untuk mendinginkan lengannya. Sepatu bot itu tertegun maju, tangannya memegang kedua bahu si topeng dan melompat ke atas tubuh itu yang lebih tinggi darinya, berbalik arah dan menjepit lehernya dengan kedua pahanya. Tangan kecilnya meraih bagian dagunya, memiting lawan kami. Cekikan dan tarikan tanpa ampun ia tarik kuat kuat berusaha mencabut kepala lawannya itu yang tentu saja tidak mungkin ia lakukan.

Namun aku malah dikejutkan saat pitingannya ia lepas dan mulai menarik dagu dan ubun ubun kepala itu bersamaan. Kedua tangannya ia tarik layaknya memelintir buah kelapa dari pohonnya. Seperti suara patahan batangan ranting pohon yang sekejap lepas dari dahannya. Nadya dengan lincah melompat sesaat tubuh besar itu dibuat jatuh secara paksa olehnya, menambah skor kami menjadi dua untuk hari kemenangan ini.

Entah kenapa aku dan Nadya saling bertatapan, senyum bahagia tergambar di wajah kami berdua, sampai sampai ia memberikan tinjunya ke hadapanku yang tentu saja ku sambut dengan senang hati, pukulan kami beradu, tanda akhir dari pesta ini.

Kebahagiaan kami tidak berlangsung lama setelah itu saat melihat mata Nadya yang melotot. Aku yang melihatnya itu langsung berbalik dan sama terkejutnya menyaksikan apa yang ia lihat, mahluk itu bangkit lagi, berdiri dengan kokoh seperti tidak pernah terjadi apa apa. Saat itu juga kusadari kesalahan yang kubuat dan bergegas menyerbunya sekali lagi. Namun tidak kusangka bukannya melawan, ia juga berlari, kembali ke lorong itu dimana tempat ia muncul. Langkahku yang telat mengambil start kalah mengejarnya, aku yakin aku akan kehilangannya lagi kali ini.

Saat tubuh besar itu lenyap di dalam gelap, suara benturan baja yang amat keras muncul beberapa kali, disambung dengan suara gemericik air yang keluar dari sana. Seketika pijakanku terhenti, memandangi kegelapan itu dengan seksama, hingga muncul suara langkah perlahan datang dari arah sana. Irama kaki yang sudah sangat kuhapal membuatku lega. Ardi keluar dari bayang bayang itu, kali ini dengan noda ungu pekat terpercik sebagian besar di kaki dan juga beberapa di badanya.

Melihatnya begitu, aku sontak kembali mengambil langkah, mengetahui ada darah di tubuhnya, namun kakiku lagi saat melihatnya sekali lagi. Tidak ada satupun luka atau tanda tanda sayatan yang terlihat di tubuhnya. Tapi ada sesuatu yang aneh pada tanganya yang satu lagi yang tidak muncul dan masih bersembunyi dibalik bayang bayang yang entah mengapa terlihat seperti ditarik oleh sesuatu dari belakang sana. Kemudian jawaban pertanyaanku akhirnya muncul saat datang sebuah siluet tubuh wanita dari arah belakangnya. Ia bersama Rani yang menggenggam tangannya, berjalan menghampiri kami yang berdiri memandangi mereka berdua datang ke tempat kami.

“Kenapa kau membiarkan ia kabur?” sahut Ardi.

Sontak pertanyaan itu mengagetkanku, mengetahui kesalahanku yang fatal. “Ah .. ah … bukan begitu, tadi gua kira-”

“Kalau kau kerja begitu, kau harusnya sudah dipecat,” tegurnya sambil tetap melangkah maju kemari.

“Ah .. maaf, tapi-.”

“Ya, tidak apa apa, lawanku juga kabur kok,” ucapnya santai.

Mataku memicing mendengar kata katanya itu, bisa orang ini melakukan hal itu dalam situasi seperti ini.

“Kau tidak apa apa Nadya?” tanya Ardi yang sudah melangkah maju melewatiku.

“Ya, tadi aku kewalahan sampai kak Jaya bantuin.”

Ardi menepuk pundakku, meremasnya dengan erat sampai aku sedikit mengeluarkan jeritan. “Kerja bagus, Jaya,” ucap Ardi dengan nada beratnya.

Aku hanya tersenyum kecil mendengar pujiannya itu. Namun tentu saja setelahnya aku menyadari apa tujuannya memegangku. “Hei, jangan meper,” kesalku melempar tangannya yang berlumuran darah aneh ini.

“Oh iya maaf.”

Kesal melihat pakaianku yang kotor yang aku sendiri tidak ingin menyentuhnya dan akhirnya membiarkannya membeku disana. “Eh gimana dah?! kok bisa begitu, bagaimana caranya bisa tembus?” tanyaku yang seketika sadar mengetahui perisai itu tidak berguna bagi serangannya yang misterius itu.

“Bisa dibilang ... kalau aku menggunakan Jurus untuk menembusnya. Itu sebabnya juga lawanku kabur saat ia sadar kalau pelindungnya tidak berguna,” jelas Ardi.

“Oh … tenaga dalam kah?” kejar Nadya.

Ardi hanya terkekeh, menghiraukan pertanyaan Nadya dan kembali berjalan melewati kami.

“Heh pintunya bukan di sana,” sahutku menunjuk pintu tempat pak Raden berlindung. Aku tahu ia sedang ingin sok keren.

“Oh iya .. maaf,” ucap Ardi yang memberhentikan langkahnya dan memilih untuk diam bersama Rani.

Aku kemudian berjalan ke arah pintu pak Raden dan langsung mengetuknya. Sementara itu Nadya menghampiri sekaligus menanyakan keadaan Rani yang mungkin saja shock melihat kejadian malam ini. Beberapa detik berlalu, menunggu penghuninya sampai sampai aku yang mulai tidak sabar kembali mengetuk pintu kayu ini. Semua orang mulia mengalihkan pandangannya ke tempatku dan ketika mengetahui tidak adanya suara dari dalam, perasaan curiga telah datang menghampiri pikiranku dan dengan cepat mengetuk kembali, kali ini ku tambah dengan ketukan yang keras sambil memanggil pak Raden berulang kali.

Putaran kenop pintu bulat itu memberhentikan aksiku. Kemudian terlihat wajah pak Raden mengintip dari dalam, melihat seksama dengan bola matanya dan akhirnya memutuskan untuk membuka pintunya lebar lebar.

“Maaf kalau saya tidak sopan,” ucapku merasa bersalah saat melihatnya ketakutan begitu.

“Tidak apa apa, bagaimana dengan Rani?” serbunya.

“Dia disana, baik baik saja,” jawabku menunjuk mereka bertiga yang sedang beristirahat duduk kursi.

Pak Raden berlari ke arah anaknya, yang Rani sambut saat pelukannya duduk melekat di tubuhnya, wajah bahagia tampak pada mereka berdua, begitupun juga kami dengan kesuksesan besar ini. Aku harap selanjutnya akan lebih mudah dan seperti ini. Hanya itu doaku malam ini dan mungkin malam malam selanjutnya.
andir004
nalaadikara777
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.