Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#30
ii.


“Kira kira berapa lama lagi kita begini?” tanya ku pada Ardi.

“Hah? apanya yang berapa lama.”

“Tugas begini …” balasku dengan mata terlukai, lelah perjalanan yang membuat nafasku menjadi pendek, ditambah angin AC yang dingin memenuhi paru paruku bukanlah suatu hal yang menyenangkan dibanding menghirup udara segar yang basah dan lembab.

Di balik kaca itu bergeser pemandangan yang sangat cepat sekali terlewat, namun gunung itu tetap jauh menjulang di sana, tidak berpindah dengan cepat seperti pepohonan dan lahan sawah di depanku.

“Kita baru dua kali berjaga, kata Dito sudah tiga yang duluan,” Ardi kemudian mengangkat jarinya. “berarti sisanya-”

“Tujuh, tujuh kali lagi kita akan berputar putar seperti ini.”

“Ya … segitulah, memangnya kenapa?”

“Gak kenapa kenapa, cumang rasanya kita seperti tidak ada tujuan dan malah jadi security tidak jelas begini,” geramku.

“Jangan mulai lagi bocah suram-”

“Bukan, bukan itu, jangan salah paham,” cegatku sambil merentangkan tanganku ke kursi. “Gua mikirin kata kata Dito, dan mungkin saja dia benar, kita ini sedang dalam rencana orang yang mengirim si topeng itu,” ujarku menatap Ardi serius.

“Terus … kalau begitu tidak menjadi begitu masalah bukan, kali ini kita tidak akan membiarkan makhluk itu kabur.”

Mataku naik ke langit langit, berputar putar mendengar jawabannya itu. “Tidakkah kau merasa aneh. Bagaimana Dito bisa tahu rencana orang yang mengirim si topeng, dalam waktu dan lokasi yang tepat, apa itu sangat tidak janggal?”

Ardi terdiam sejenak. “Menurutku tidak ada yang salah, mungkin dia punya orang dalam disana,” jawab Ardi enteng.

Aku melongo melihat dia dengan santainya bilang begitu. “Orang dalam yang mana yang bisa tahu sampai ke masalah seperti itu, lu tahu sendiri kalau orang yang tidak memihak mastermind ini bakal lenyap,” seruku.

Ardi merunduk, termenung dan diam, matanya terpejam tapi gerak gerik bola matanya bisa terlihat jelas kalau ada konflik di dalam sana. “Aku tidak suka berpikir terlalu jauh atau rumit, hanya saja yang satu satunya kita bisa lakukan adalah mempercayai Dito, itu saja menurutku,” jelas Ardi.

Punggungku yang tegak akhirnya terbaring lemas di sandaran kursi. Entah apa yang kupikirkan, tapi tetap saja aku bukan orang yang bisa diam tanpa berpikir apapun.

“Aku tahu mungkin kau tidak begitu percaya pada Dito, wajar saja karena kau memang tidak begitu mengenalnya,” Ardi lalu menyandarkan pipinya pada telapak tangannya. “Aku juga tidak begitu akrab, namun saat kami belajar beladiri bersama, aku bisa paham kalau Dito sangat loyal pada temannya, walau dengan kata kata kasarnya dan tingkahnya yang nyebelin. Makannya saat di pemakaman, temannya banyak sekali yang kehilangan dirinya. Kau tidak akan pernah menemukan teman se-brengsek dan sebaik Dito,” jelas Ardi.

Aku terdiam, memikirkan dan menyesalkan kata kataku yang mencurigainya. Ardi memang benar, tanpa dia, kita tidak mungkin akan bertahan hidup sampai sekarang.

“Tapi bukan berarti aku melarangmu untuk curiga padanya. Kau tahu, orang dengan punggung sebesar itu kadang menyembunyikan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa ungkapkan dan tertahan oleh dirinya sendiri,” ungkap Ardi. “Oh iya, sebenarnya kali ini tujuan kita kemana?” cetusnya melupakan arah tujuan kita.

Tentu kalau ini aku sama sekali tidak terkejut sama kalau ia lupa tujuan kami, bahkan mungkin ia tidak tahu karena kami juga tidak pernah tahu apakah ia memperhatikan percakapan kami atau hilang dari situ dan tenggelam di khayalannya.

“Tujuan kita kembali pulang.”

“Pulang, bukannya tadi aku tidak salah dengar kala-”

“Ya, ternyata lokasi rumahnya tidak jauh dari rumah kita juga, sekitar beberapa blok” potongku.




iii.


Hampir delapan jam kaki punggung kami bersandar di kursi, tertidur dan tidak melakukan apapun yang akhirnya membuat kakiku dapat merasakan remasan oleh makhluk gaib yang bernama keram. Kemudian memaksanya berjalan semakin menambah siksaan yang teramat bagi semua tubuhku, tidak terkecuali bagi wajahku yang makin rusak saat berusaha menahannya.

Perasaan asing yang tidak begitu menyenangkan menghantuiku kali ini saat melewati rumah kami, maksudku rumah Dito yang begitu saja terlewati dan langsung mengambil tongkat estafet ke tujuan kami selanjutnya. Namun aku teringat kalau pemilik rumah itu kenal dengan Dito dan ia bilang kalau keramahannya mungkin dapat mengurangi beban kita sejenak disana dengan jamuannya.

Benar saja, dengan rumah layaknya istana putih dengan beberapa pilar sintesis tebal dan besar yang menjulang di bagian depannya. Tidak membuat pemilik rumah ini seperti orang kaya yang ada dipikiranku dengan tingkah sombongnya. Pak Raden Somad, begitu ia memperkenalkan dirinya pada kami. Tubuh kurus dengan wajah lonjong tirus dan kumis tebal di bawah hidungnya yang rapi, mata kecilnya terlihat menyeramkan saat pertama kali melihatnya, namun tingkahnya pada kami lah yang membuat pemikiran itu berputar 180 derajat.

Beristirahat di kursi kayu coklat dengan bantalan kecil diatasnya. Kami bertiga duduk berhadapan di teras depan bersama langkah langkah kecil ayam kate miliknya yang sibuk mencari makan di rerumputan halaman rumahnya yang cukup luas.

Senyum ramah masih ia berikan pada kami sesekali saat kami meliriknya, terasa sangat aneh, namun melihat Ardi yang tidak memberikan sedikitpun sinyal kepadaku membuat senyum itu menjadi sesuatu yang sangat kami harapkan saat ini.

Pak Raden berdehem, kemudian punggungnya terangkat membungkuk dengan membukakan toples toples yang tertutup di depan kami satu persatu.

Aku hanya bisa senyum senyum masam melihatnya begitu. “Udah pak, tidak usah repot repot,” ucapku dengan nada lembut dengan telapakku sedikit terangkat.

“Nda usah malu malu. Silahkan de’ dimakan,” tawarnya ramah sebelum ia kembali duduk kembali di kursinya.

“Ia terimakasih pak,” ucap Ardi yang kemudian jarinya meyolekku. “Heh, ambilin pisang sale dong, kayaknya ada deh,” bisiknya menyuruhku mengambil sasarannya yang tentu saja ada di meja persegi itu.

“Maaf ya pak,” Aku berdiri mengambil toples pesanannya. Pak Raden hanya mengangguk kecil melihatku yang memberikan senyum seperti orang sakit padanya.

“Habis dari mana saja de’?” tanya pak Raden.

“Ah .. habis dari borobudur pak,” jawabku terkekeh.

“Wah … jauh sekali, langsung kesini, nda’ pegel sampeyan?” tanyanya dengan kepala maju sedikit.

“Sedikit sih pak, tapi kayaknya sudah biasa.”

“Pasti capek juga ya,” ungkapnya sambil menyisiri kumisnya dengan jari telunjuk dan jempolnya.

“Ya, begitulah pak,” jawabku dengan senyum masih terangkat.

Kemudian beliau mulai cerita berbagai macam hal, mulai dari hobinya memelihara ayam mungil tersebut hingga tentang bagaimana ia memulai bisnis hingga pensiun saat ini dan cerita alasan kenapa ia menginvestasikan hartanya ke Dito. Perasaan berkah yang ia dengar saat mengetahui ada perusahaan yang fokus dalam bioteknologi membuat ia tidak berpikir panjang dan langsung menyerahkan uangnya.

Namun semua berubah menjadi sedih saat ia mengungkapkan alasan sebenarnya di balik investasi itu itu saat beberapa tahun sebelumnya istrinya wafat saat karena gagal ginjal dan menolak transplantasi dengan alasan kemanusiaan. Ia berharap dengan perusahaan yang Dito cetus membuat orang orang mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama tanpa mengurangi nyawa orang lain.

Setelah itu, ia kembali bangkit semangat saat mendengar kesuksesan yang didapat dan menemukan mimpinya sudah menjadi nyata. Rasa senang itu tertuang di dalam wajahnya yang tidak ada habisnya tersenyum, ia seperti sudah menahan perasaan ini sangat lama dan menumpahkan semuanya pada kami layaknya pada anak sendiri.

Lalu Pak Raden berhenti bercerita sambil menghirup cangkir kopinya dengan perlahan, ia kemudian mengangkat wajahnya ke arah pintu. “Rani!, sini!” Teriaknya memanggil nama itu.

Tidak lama kemudian, keluar seorang gadis dari dalam pintu depan. Wajahnya cerah tersinar mentari, tirus dan cantik dengan berbibir tipis menawan, wajah ayahnya sedikit tidak begitu nampak di dirinya, namun senyum indah yang ia berikan pasti warisan yang tidak bisa hilang darinya. pakaian tertutup dengan hijab menambah kesan manisnya.

Wajah senyum putihnya seketika berubah kemerahan saat melihat ada dua tamu yang tidak terduga di depan ayahnya. Pandangannya tertunduk sedikit, berusaha memalingkan pandangannya dari kami. “Ada apa ya, yah?”

“Duduk sini, ada dua tamu khusus,” ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.

dengan langkah kecil perlahan ia menghampiri ayahnya dan duduk di sampingnya, masih tertunduk dalam tatapannya yang menatap lantai, sesekali mencuri pandangan melihat kami.

“Ini anak saya semata wayang, tolong kalian jaga ya.”

Ucapanya itu sontak mengagetkan kami, tidak disangka tanpa aba aba ia langsung mengarah ke pembahasan masalah ‘itu’. Bukan hanya ekspresi kami saja yang berubah, putrinya itu juga dibuat sama kaget dan bingungnya dengan kata kata ayahnya, bahkan matanya sampai melirik seakan lupa dengan rasa malunya yang besar tadi.

“Saya sudah dengar dari adeknya Dito. Jujur saja, prioritaskan anak saya, tidak berguna jika saya hidup dan selamat kalau-” ucapnya dengan wajahan teruntuk, perasaan muram mencuat dari dirinya.

“Apa maksudnya yah?” tanya Rina menyela penuh keheranan dengan semua hal yang tiba tiba berada di depannya.

“Ayah gak bisa jelasin, tapi mereka berdua ini akan menjaga kamu dari orang jahat,” ucapnya dengan mata mengkilat kilat.

Mata Rina menyerbu kami. “Siapa kalian?!” ucapnya geram.

Belum bibirku terangkat, suara gesekan besi dari arah gerbang muncul, mengheningkan suasana panas yang kami rasakan dan menaruh semua mata ke arah itu. Sosok kurus serba hitam datang masuk lewat gerbang begitu saja tanpa memberikan isyarat ia berlari ke arah kami. Aku dan Ardi sigap berdiri, menaruh pandangan kami ke arahnya, tubuh pendek itu membuat kami langsung lega sekaligus heran. Nadya, apa yang ia lakukan disini.

Langkahnya ia pacu dengan cepatnya sampai akhirnya sepatu tingginya itu menapak ke teras. Kami semua masih sepi melihatnya dengan nafas terengah engah berdiri lemas di depan kami. Anehnya si pemilik rumah dan anaknya tidak menyahut atau memarahi kelakuan Nadya yang tidak sopan ini.

“Pak Raden, Rina, Kak Ardi, Kak jaya … maaf gak sopan, bantuan baru saja tiba,” ucapnya sambil mengatur nafas.

“Bantuan? mana?!” kejarku saat mendengar berita baik darinya.

Nadya kemudian berdiri tegap dan langsung menodongkan jempolnya ke dirinya sendiri dengan dagu terangkat.

Bibirku terbuka seakan lupa cara untuk mingkem dan rasa kecewa langsung memenuhi tubuhku, lemas hingga mataku tidak sanggup menyerngit seperti biasanya. Mungkin ini malah bisa dibilang kerjaan tambahan untuk kami.
andir004
nalaadikara777
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.