Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#29
BAB XV


i.


Tidak selamanya air ditampung oleh lautan, dan tidak selamanya lahan padi selalu tergenang oleh air, tapi kalau daunnya sudah berubah menjadi merah gelap membeku di atasnya, sudah pasti ada darah yang tumpah. Percikan serta gumpalan kental yang mengental di atas tanah membuat bau anyir bersama amis menguap ke udara.

Kedua pola lika liku garis putih yang membentang, membentuk gambaran tubuh yang belum lama berada disana. Tidak ada tangisan atau jeritan yang mengitari tempat ini, hanya sunyi yang sama datang seperti sebelumnya. Tidak ada keluarga yang datang, saudara, teman atau kerabat lainnya, semua sibuk dengan urusan masing masing, begitulah yang akan terjadi kalau kita mati suatu saat nanti, semuanya itu tergantung pada diri sendiri.

“Apa yang kau lakukan? mendoakannya?” tanya Ardi.

Aku berusaha tidak menggubris ucapannya sambil sedikit meliriknya saat dia mencoba menggangguku lagi, dengan perlahan langkahnya menghampiriku seakan sudah hafal dengan tempat ini seperti rumah sendiri.

“Tidak, cumang kayak biasa, hanya merenung tidak jelas, memangnya apa lagi?” jawabku santai.

Tapak kakinya berhenti tepat di sebelahku yang disusul loncatan pundakku yang kaget saat ia tiba tiba menepuk tanpa aba aba, perasaanku semakin kesal serta kacau dibuatnya. Ia hanya terkekeh saat mengetahui responku yang terguncang. “Aku tahu kalau kau berdoa, tidak perlu malu, akui saja.”

Dari bibirku berhembus angin kencang menghela nafas. “Ya, gua tadi mendoakannya,” jawabku tertunduk.

“Aku tahu kalau kau kesal dengan orang ini, tapi biasanya orang yang kesal justru harusnya bahagia melihatnya mati dan bikin acara potong tumpeng sekaligus makan di depan mayatnya. Tapi tidak disangka, malah berdoa, apa alasannya?” tanya Ardi keheranan, wajahnya serius menghadap padaku, tidak biasanya dia keheranan seperti itu.

“Sebenarnya gua gak suka ceramah, tapi kalau lu memaksa,” jawabku dengan bibir menyamping. “Masalahnya itu gua paham kalau orang ini memang sepertinya lebih pantas mati, tapi kita tidak pantas mendoakan yang buruk padanya. Saat kita tahu apa saja yang ia lakukan, gua coba bersabar dan berusaha untuk tidak berbicara buruk padanya,” jawabku menjabarkan isi pikiranku.

“Baik sekali. Alasannya?” kejar Ardi.

“Ya … Allah menyuruh nabi Musa sabar ke firaun yang mengaku tuhan, melihat apa yang di lakukannya hanyalah sebuah kejahatan kecil, gua hanya berharap ia mendapatkan tempat yang adil di sana,” jelasku.

Ardi mengangguk perlahan sembari seringainya muncul dari bibirnya. “Ternyata begitu ya … “

Sebuah langkah kaki yang dalam terasa dari arah belakang, namun hentakannya bergerak dengan santai menghampiri kami. Ia berhenti bersama setoples lonjong yang panjang mencuat diantara kami. “Mau kripik?” tanya Dito dengan suara beratnya yang santai.

“Tidak terimakasih,” jawabku. Disisi lain tangan Ardi menjawab sebaliknya dengan meraba raba udara dan mencari cari posisi lubang toples itu yang beberapa kali meleset dari ‘penglihatannya,’ sampai akhirnya Dito berhenti sendiri saat ia kehilangan kekuatannya untuk menahan tawa dan berhenti mengerjainya.

“Sepertinya kalian berdua sangat kehilangan orang ini, tapi sepertinya para perempuan yang ia sekap itu berkata lain,” ujar Dito.

Aku hanya kembali terdiam, tidak berusaha menjawab seperti diriku yang biasanya, hanya melihat dan menatap ke rerumputan itu.

“Aku juga awalnya tidak percaya dan mengira perempuan yang kemarin itu pembantunya, eh ternyata di luar dugaan,” pukas Ardi.

“Sebenarnya bagus juga kalian gagal, kalau orang ini masih hidup mungkin kita tidak pernah tahu hal gelap apa yang terjadi disini.”

Pikiranku kembali dikacaukan dengan kata kata itu, aku tidak ingin lagi pikiranku membayangkan dosa dosa apa saja yang orang ini lakukan selama hidupnya. Sampai sampai entah secara tidak sadar kepalaku menggeleng geleng sendiri, berusaha menghapus isinya.

“Sudahlah tidak perlu dibahas lagi, itu urusan polisi sekarang,” ujar Ardi mengetahui kondisiku.

“Oke oke saya paham, sekarang pertanyaan-”

Ucapan Dito terhenti saat kami mendengar hentakan rumput yang datang dari arah belakang kami, kali ini langkahnya cepat dan dari suara daun daun yang terinjak menyebabkan bunyi kresek secara penuh dan dalam. “Dito, apa ini saja? tidak ada yang lain lagi?” ucap orang itu.

Kami bertiga serentak memberikan pandangan kami ke arahnya. Seorang pria dengan seragam coklat dan pin perisai dengan padi dan kapas di sampingnya yang menempel di dadanya. Wajah bersih persegi dengan sudut sudut yang tegas, tanpa kumis dan bertopi tugas, umur sekitar 30an.

“Ya itu saja, kecuali elu mau menggeledah lagi untuk kesekian kalinya?”

“Oh .. sepertinya itu tidak perlu, kami akan fokus ke orang ini saja, sisanya sudah jelas,” orang itu memiringkan kepalanya, melirik ke arahku dengan senyum dan sedikit mengangguk. “Senang bisa melihat anak baru,” ucapnya sambil mengembalikan lagi wajahnya pada Dito. “Kalau begitu akan kubawa dulu mayatnya ke tempatmu.”

“Sudah di cek ada alat pelacaknya atau tidak?” tanya Dito menaikkan dagunya.

Wajah polisi bersinar cerah dan gelap saat ia menyapu layar demi layar besar tangannya. “Untuk saat ini belum, namun tim kami tadi yang sudah mengecek menemukan sekeping bagian logam di bagian tulang belakang, tepatnya di bagian ruas tulang kedua.”

“Di dalamnya?”

“Ya, di dalam, di bagian sumsumnya.”

Wajah Dito nampak tidak terkejut mendengar itu, rautnya memastikan fikiran dari dalam kepalanya.

“Apa yang akan kau lakukan dengan mayat itu?” tanya polisi itu menaikan sebelah alisnya.

“Bukan urusan anda. Yang penting nanti setelah lu selesai periksa, bawa ke rumah saya, ya.”

Matanya berkedip kedip alisnya mengkerut, kemudian ia menelan ludahnya. “Apa tujuannya?”

“Sudah jangan nanya lagi, ada yang ingin saya lihat sendiri?” jawab Dito mengacuhkan wajahnya.

Mata polisi itu menatap aneh Dito sambil mengetuk ngetukan pensilnya ke layar besar di tangannya, tidak mengatakan sepatah katapun selama beberapa saat. “Kalau kau yang minta, baiklah.”

“Oke, terimakasih kalau begitu,” jawab Dito cepat.

“Sama sama, semoga ‘urusanmu’ ini cepat kelar,” pamit polisi muda memberikan senyum perpisahan pada kami kemudian mengambil langkah berjalan meninggalkan tempat ini.


Pria itu berjalan keluar bersama beberapa orang bersamanya ke rumah bagian depan dengan pakaian putih pelindung diri yang menutupi dari ujung rambut hingga bawah sepatunya. Aku tidak begitu menghiraukan keberadaan mereka disini, justru yang ku pikirkan adalah kenapa Dito sampai datang kemari dan membawa orang orang ini mengingat kalau saat ini kami sedang dilanda krisis kepercayaan

“Apa ini rencanamu membawa polisi kemari?” celetuk Ardi setelah langkah orang terakhir menghilang dalam kegelapan pintu itu.

Kata kata tajam itu langsung masuk ke telinga Dito dan membuat rahangnya jatuh sambil menundukan bahunya yang kokoh. “Ya … jujur saja tidak ada pilihan lain, kecuali kalau kalian bersedia menggali dua lubang di bawah pohon beringin.”

“Aku tidak keberatan,” jawab Ardi cepat.

Mereka berdua kemudian tiba tiba berhenti berbicara, entah karena Dito tidak mau lagi menjawab dan menggubris bualan Ardi lagi. Keheningan datang tanpa diundang, namun mataku tetap fokus ke arah garis putih itu bersama dengan pikiran suramku yang menyedihkan.

Suara hembusan angin yang masuk ke dalam, memenuhi rongga paru paru besar itu dan menghembuskannya kuat kuat, mengeluarkan perasaan lega yang tertahan. “Jadi … gimana rasanya?” tanya Dito.

“Apaan?”

“Ya, ngelawan mahluk itu … anda tahu, kalau kalian menang berarti tidak susah ya?” cetus Dito enteng.

“Sudah dua kali kami melawan yang seperti ini dan aku sama sekali tidak bisa mengambil kesimpulan apakah ini adalah lawan yang sulit atau mudah.”

“Begitu ya … kalo lu?” lanjut Dito menyambar pertanyaanya padaku.

Wajahku memaling pada Dito dengan alis merunduk. “Ya … buat gua pasti sulit, tapi rasanya kita mulai tahu kelemahan makhluk ini. Iya kan?” ucapku merujuk ke Ardi.

Dia terdiam dan hanya mengangguk. Alis Dito sontak menukik tajam melihat jawaban Ardi, wajahnya nampak kesal. Aku malah hanya bisa tersenyum melihat tingkah Dito yang mulai marah gak jelas lagi.

“Pas gua nebas kuat kuat, sepertinya dia tiba tiba saja bergetar dan lalu berhenti bergerak. Bukan hanya tangannya saja yang bergetar, namun seluruh tubuhnya juga,” imbuhku berusaha menghindari perdebatan tidak jelas.

Dito kemudian beralih fokus dan mulai mengangguk angguk dengan jari jarinya yang menempel pada dagunya. “Memang sebenarnya tidak begitu mengherankan, karena mahluk ini dibuat dalam waktu yang singkat, pasti ada kekurangan tersendiri. Bisa jadi sendi sendi mereka belum menempel dan rentan akan goncangan, begitu sih menurut saya.”

“Begitulah kalau kalian bermain menjadi tuhan,” celetuk Ardi. tentu saja Dito tidak tinggal diam dan kemudian matanya kembali memberikan ancaman padanya, kali ini kepalan tangannya sampai terangkat sampai di atas kepala Dito.

“Sepertinya sih begitu, tapi aku tidak begitu yakin. Masalahnya dia bisa melompat dengan sangat tinggi dan cepat, tidak mungkin engsel kakinya bisa begitu kalau memang tidak kokoh,” terangku. “Oh iya satu hal lagi, si gend- maksudnya Dia bilang pas sebelum tewas kalau ia telah ditipu.”


DIto bergumam. “Menarik sekali,“ lalu kembali mengangguk dalam dan matanya tenggelam dalam pikirannya yang dalam, hingga akhirnya terbuka kembali perlahan setelah mengurai benang kusut nya itu. “Jadi begitu ya,” balasnya singkat sambil menarik pandangannya ke langit. “Mungkin ini teori liar saja. Tapi saya rasa ‘mahluk yang sekarang’ ini adalah semacam umpan, kemudian ia mengirimkan yang asli untuk menghabisi targetnya,” ungkap Dito menjabarkan pikirannya.

“Terdengar masuk akal, tapi kenapa tidak langsung saja membunuhnya saat kita belum datang, kenapa harus saat kita sudah sampai,” timpal Ardi.

“Itu dia masalahnya, mungkin ia mengirim mahluk ini sebelum perintah pembunuhan ini berjalan, terus mahluk ini datang dengan tugas kosong yang mungkin sudah di desain begitu oleh pengirim aslinya. Anda pasti tidak paham,” tanya Dito mengejek. “Atau mungkin …”

Dito terdiam sejenak, bibirnya tergigit, pandangannya jatuh dengan rasa bimbang di dalamnya, tidak yakin apa yang ia pikirkan namun sepertinya ia berusaha keluar dari kotak pikirannya tersebut.

“Ya ... “ sosor Ardi.

“Yaelah diem napa,” geramnya sampai sampai matanya melotot. Kemudian pandangannya ia palingkan ke arahku. “Orang ini sedang melakukan uji coba produk,” papar Dito.

Mataku terbelalak. “Uji coba?” tanyaku keheranan.

“Ya … kau tahu. Mungkin ada alasan mengapa makhluk ini tidak menggunakan senjata api untuk membunuh atau melawan kalian, juga kenapa ia tidak bisa membedakan apakah saya hidup atau mati, terus juga yang kemarin kabur tanpa alasan yang jelas, padahal targetnya belum mati dan malah membunuh semua penjaganya, padahal sebelumnya semuanya sukses sampai yang sekarang,” jelas Dito.

“Sepertinya bukan tidak bisa,” tambahku. Dito kemudian memicingkan matanya semakin keheranan. “Tahu kan bos? mahluk ini sama seperti robot, harus di program agar bisa berjalan. Mungkin kalau emang dibilang testing, bisa saja algoritmanya belum finish yang bikin gak bisa menjalankan suatu perintah yang sulit. Contohnya kayak penghitungan jarak tembak ke arah lawan dan juga tidak bisa membedakan mana orang yang masih bernafas atau tidak. Tentu saja pasti itu akan berubah seiring waktu,” sambungku menjabarkan isi pikiranku yang kembali ter-iyang kembali akan tugas tugas kuliah.

Dito kali ini berhenti mengangguk, wajahnya menampakan seringai sambil menyambarkan tangannya ke punggung Ardi dengan kencang. “Kasian, ada yang otaknya sudah berhenti dari tadi,” ucap Dito terkekeh melihat Ardi yang mematung mendengarkan kami, kemudian matanya fokus kembali ke arahku. “Kita akan cek chip kecil itu.”

nalaadikara777
andir004
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.