Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#27
BAB XIV


i.


Langit jingga yang cerah sedang terbenam dari balik perbukitan, lautan sawah yang memantulkan cahayanya, menembus dari balik celah celah padi yang masih muda, memasuki jendela kamar sepi ini. Dari balik sana sudah terlihat awan beserta langit gelap yang dibawanya melebarkan selimut malam di langit. Suasana damai itu sangat kontras saat letih ini duduk tenang di ruang pesinggahan dari “baiknya hati” sang pemilik rumah, sangat heran kalau dia mau memberikan kamar yang bagus ini untuk kami, atau mungkin saja ini kamar terjelek yang ia punya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Ardi.

“Gak banyak, entah ngerasa kita diperlakukan buruk atau kitanya aja yang sensitif,” jawabku yang masih duduk di pinggir jendela, menatap langit senja.

Ardi terkekeh. “Aku pada dasarnya juga jengkel, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin saja dia mengira kita malah pelakunya dan berusaha menjauh dari kita. Kita tidak pernah tau pola pikir orang lain seperti apa.”

“Kalau memang dia mengira kita algojonya dia, kenapa malah diberi masuk, bukannya sama saja bunuh diri?” pekikku heran.

“Mungkin dia ingin mencari tahu lebih, makannya sejak dari tadi orang tua itu tidak ada habisnya memelototi kita.”

“Ya mungkin aja … tapi ternyata orang yang seperti itu masih banyak ya, Tak kira karena udah jaman modern kayak begini, kayak begituan udah gak jaman lagi.”

“Ya … kadang senjata paling mengerikan adalah senjata yang tidak terlihat.”


Rasa hampa menyelimuti kamar saat kedua mulut kami terkunci, setelah kata katanya itu kami tidak berbicara apapun, hanya tangan kami sibuk melakukan urusannya masing masing. Kalau kesibukanku saat ini hanya berfokus pada jemariku yang menari menyusun kata tuk menjawab pesan dari Dewi, seperti kata Ardi sebelumnya, aku harus menjauhkan pikiranku dan beralih ke arah positif, satu satunya yang membuat pikiranku positif ya hanya ini.

Sudah tidak terasa sekitar satu minggu lebih kami tidak bertemu, entah rasanya kehilangan atau kesepian padahal dengan adanya alat komunikasi di depan mataku secara teori dapat membuat rasa itu hilang, namun tetap saja berkomunikasi dengan cara seperti ini sangatlah tidak bisa memuaskan perasaanku. Entah kenapa pikiranku masih ingat terakhir kali kami berbicara masalah yang sepele dan menjadi serius seperti apakah yang terjadi jika orang menemukan antiseptik yang menghilangkan 100% kuman dan bakteri dan apakah ada sikat gigi yang 10 dari 10 dokter setuju. Entahlah, walaupun terkadang telingaku penuh mendengarkan ocehannya, tapi itu membuat kepalaku menjadi tenang.


Khayalan indah itu mendadak hilang saat suara langkah terdengar jelas dari luar, tepatnya dari arah depan kamar kami, orang itu masih mengawasi kita.

“Denger gak?” tanyaku sambil menundukan kepalaku dan bersiaga.

Ardi hanya mengangguk dan mengacungkan kedua buah jarinya menandakan kalau orang itu tidak sedang tidak sendiri.

Perlahan tapak kaki ini meletakan langkahnya satu demi satu ke lantai sambil berusaha mengambil langkah lebih jauh dengan mendorongnya lembut untuk menghilangkan suara langkah. Sampai akhirnya kepalaku berhasil menempel ke ujung sisi tembok yang dingin ini dan menyatukan daun telingaku dengannya.


“Apa kau tahu apa yang mereka lakukan?” ucap orang itu dengan suara cemprengnya.

“Sejauh ini sepertinya tidak ada yang mencurigakan, mereka memang berniat datang untuk melawannya,” jawab orang satunya lagi dengan suara beratnya.

“Begitu ya, kalau begitu sudah siap?”

“Ya, santai saja, benda itu tidak terkalahkan.”

Suara cempreng itu tertawa. “Kalau begitu kita tinggal menonton saja ya.”

“Baik gus.”

“Perkiraannya nanti gimana?”

“Saya mendapat pesan kalau ada dua orang yang akan tewas gus.”

Kemudian suara cempreng itu kembali tertawa, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Suara langkah itu ini terdengar perlahan menjauh bersama sisa sisa perbincangan mereka yang hampir lenyap terbawa, setelah itu telingaku sudah samas ekali kehilangan apa yang didengarnya tadi.

Aku menoleh ke arah Ardi dengan tangannya yang membeku memegang pakaiannya yang baru saja keluar dari kopernya, tidak bergerak sama sekali dari posisinya itu dan fokus berusaha mendengarkan semuanya. “Bagaimana menurutmu?”

“Bagaimana? Aku heran kenapa mereka malah berbincang di depan kamar kita, apa dia tidak takut kalau obrolan mereka ketahuan, atau mereka malah sengaja? Menurutku ini adalah umpan,” ungkapku berusaha mencerna tujuan mereka. “Seperti ‘sengaja’, tapi sebenernya apa maksudnya? apa dia ingin membunuh kita begitu setelah kita bunuh makhluk itu?” tanyaku dengan wajah mengkerut, ketakutanku mulai masuk lagi.

“Aku tidak paham sama sekali, tapi sepertinya tebakanmu bisa ditampung dulu, setidaknya kita tahu kalau mereka bukan berada di pihak kita, atau di pihak lawan.”

“Terus apa yang kita bakalan ngapain kalo gitu? kita sama sekali gak ada rencana,” jawabku panik.

Kami berdua termenung, tanganku yang sibuk meremas remas udara yang ada ditanganku, urat kepalaku sampai menonjol berpikir dalam dalam dari rencana maut ini. Sementara Ardi masih dengan santai melipat kembali pakaiannya yang ia ambil tadi.

“Sebenarnya aku punya dua ide,” sahut Ardi.

“Serius?” tanyaku dengan girang yang habis keluar dari jurang kepanikan.

“Ya … ide yang pertama, kita telpon Dito sekarang, tapi aku yakin dia juga masa bodoh dengan hal ini dan suruh kita meneruskan misi ini.”

“Terus yang kedua?”

“Kemarilah!” Dalam sekejap, kakiku terbang dan duduk tepat di samping Ardi. ”Intinya kita harus menggiring makhluk itu ke arah si kakek tua, kemudian pasti makhluk itu akan mengincar orang tua itu dan dia harus balik melawan.”

“Maksudmu kita mendorong makhluk itu agar membunuh kakek itu? Begitu?” tanyaku menyerngit.

“Ya … seperti yang kau tahu, kakek itu berbahaya dan kita tidak bisa melawan dua musuh sekaligus bukan, kita tinggal giring saja agar kakek itu tidak punya kesempatan untuk menusuk kita dari belakang, gimana hah?” jelas Ardi.

Aku hanya bisa menggeleng dengan narasinya itu, tapi aku tidak punya pikiran lain, musuh dari musuhku adalah sekutuku, mungkin itu yang ada dipikirannya saat ini. “Ya ya … paham. Asal jangan sampai terkena si gendut, semua baik baik saja sih menurutku.”

“Bagus kalau begitu,” jawab Ardi dengan anggukan kecilnya bersama seringainya yang hanya setengah.

“Lu dendam banget ya ama tuh kakek kakek?” tanyaku meraba raba pikirannya.

“Jujur saja, sejak awal aku sudah muak dengan orang orang ini.”
“Tapi gimana kalo si gendut punya senjata?”imbuhku masih ragu.

“Kita punya kecepatan, kita lumpuhkan dia sebelum tangannya sampai ke senjatanya itu.”

wajahku hanya mengangguk kecil mendengar kata kata logisnya, layak dicoba, tapi tentu saja sangat tidak waras dalam pengaplikasiannya. Ya kondisi saat ini juga sedang tidak waras.


ii.


Separuh perjalanan tugas hari ini akan berhenti pada malam ini, penentuan yang telah kami tunggu, apakah orang ini adalah kawan atau lawan yang selama ini kita cari. Dilema yang menghadang membuatku kesulitan berpikir jernih jika penuh dengan khayalan yang tidak baik, terutama jikam memang benar rencana mereka adalah untuk membunuh kami.

Disisi lain, entah mengapa aku sedikit meragukan kemampuan fisik dari pak tua itu, mungkin saja dia sama atau bahkan lebih gesit dari mbah di banten. Tapi tentu saja menganggap musuh enteng dan lengah malah sama saja menyerahkan nyawa, ini bukan hanya perang fisik tapi juga adalah masalah kekuatan mental, dia yang akan membunuhku atau aku duluan yang akan menghentikannya, kita lihat saja nanti.

Namun dibalik kusutnya setiap neuron yang dipikiranku yang saling beradu argumen. Alam tetaplah berjalan seolah tidak peduli apapun yang terjadi saat itu juga dan konsisten beroperasi sesuai kodratnya. Rerumputan taman yang berembun seperti bintang yang berada di lantai, memantulkan cahaya lampu yang cukup menerangi sekeliling padang rumput ini. Badan kami sudah berdiri tegak berpelindung dan senjata senjata yang menempel di tangan kami, memperhatikan sekitar dan tetap menempel, menuruti setiap instruksi yang diperintahkan Ardi untukku.

Tentu saja sangatlah logis meningkat jika saja kami berpencar seperti kemarin, kemungkinan akulah yang akan tewas duluan mengetahui musuh kami sangat lihat dalam mengendap endap. Hal semacam itu tidak baik, dan ini satu satunya cara meminimalisir serangan itu, berada di bayang bayang pohon besar sambil memperhatikan sekeliling kami.

Mataku berputar, kembali lagi, dan berputar lagi tanpa henti, menatap genteng dan setiap sudut gelap yang ada di area rumah ini. ruang teras yang gelap mengitari taman ini, penglihatan yang terbatas hanya mengandalkan pada cahaya dari tempat kami. Firasatku mengatakan kalau mahluk itu pasti ada muncul dari sana, menunggu kami dari balik topengnya dan merencanakan teknik yang paling efisien untuk membasmi kami berdua.

Waktu demi waktu, jam dan posisi bulan yang semakin meninggi, membuat kami seakan digantungkan oleh si topeng ini. Layaknya kontes ketahanan tubuh, orang itu seakan benar benar menunggu kami hingga lelah dan akan menyerang saat itu juga yang tentu saja latihan bertahun tahun itu memuat staminaku jauh lebih kuat ketimbang di masa masa mataku menatap laptop hari demi hari hingga lulus. Layaknya kata orang tua, mungkin memang bukan rejekinya jadi seorang teknisi.

“Kau mengkhayal apa lagi?” tanya Ardi.

Bibirku melebar mendengar gangguannya itu. “Ya … biar gak bosen aja, kalau terlalu lama bengong gua juga bakal ngantuk nungguin,” ucapku dengan seringai.

“Jadi kau sudah menantikannya ya?”

“Tentu saja.”

Ardi terkekeh. “Kau semangat sekali ingin melawannya. Asal kau tahu ya, satu satunya alasanku tidak kabur dari rumah ini karena aku ingin menyamakan poin.”

Mataku melongo melihat ekspresi wajah cerah ceria yang ia tampakkan. “Sebenarnya alasanku cumang ingin cepat cepat pulang, bukan ingin lawan si topeng sih,” ucapku dengan bibir melongsor.

Ardi hanya menggeleng kecil disana, sepertinya dia kecewa, tapi aku yakin dia maklum saja dengan alasanku itu.

Tanpa diundang, tiba tiba suara decitan datang dari arah sebuah kamar, daun pintu terbuka sedikit demi sedikit, menampakan sosok gelap yang keluar dari ruangan itu. Si gendut dan orang tua itu keluar bersamaan dari kamar gelap itu.

“Hei … apa yang kalian lakukan, masuk ke dalam ruangan dan jangan keluar! disini berbahaya,” perintah Ardi dengan nada yang cukup keras.

Kedua orang itu tidak menggubris perkataan Ardi dan maju perlahan lahan hingga wajahnya mulai tampak dari dalam bayangan ke arah cahaya yang terang, wajah mereka semua datar, menatap kami dengan perasaan yang tidak mengenakan. Mata mereka bahkan tidak berkedip sama sekali, sampai sampai kengerian itu bertambah saat sebuah seringai muncul dari wajah mereka berdua.

Aku menatap mereka dengan ketakutan, bibirku bergetar dan pandanganku buyar, perasaan yang tidak mengenakan masuk dan meremas remas seluruh tubuhku. Orang tua itu melakukan kemampuan itu lagi, tekanan aneh itu membuat kepalaku tidak bisa memproses apalagi rencana yang ia lakukan.

Sampai tiba tiba dorongan yang sangat hebat datang dari arah belakang mementalkan tubuhku. Ardi, dia mendorongku dengan kedua sikunya. Kumpulan rasa sakit membengkak di punggungku, saking kerasnya aku bahkan hampir jatuh terpental jika saja aku tidak menyeimbangkan badan.

“Anjir, ada apaan?” teriakku bersamaan dengan kepalaku yang kesal segera menoleh ke arahnya.

Bibirku tidak bisa berkata apa apa lagi setelah itu, mungkin habis ini aku harus minta maaf padanya, atau bahkan berterimakasih untuk kesekian kalinya. Alasan ia mendorongku sekarang sudah berdiri tegak di depan mataku.
nalaadikara777
andir004
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.