Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#25
BAB XIII


i.


Terkadang beberapa orang tidak pernah menyadari kalau hidup itu sangat singkat, begitu mereka adalah orang orang beruntung, tidak merasakan rasanya dihantui oleh kematian setiap saat sepertiku ini. Aku selalu berpikir apa yang terjadi jikalau aku akan mati sekarang, apakah aku akan terlupakan, seperti mereka yang telah melewatinya, atau hidupku akan membawa sebuah arti untuk orang orang di masa mendatang. Entahlah, semua itu hanyalah pikiran gelapku, seharusnya aku membuang itu jauh jauh setelah berada di keluarga ini, tapi kenapa hal itu tetap melekat di pikiranku lah yang membuatku selalu terjaga, ingat kepada tuhan.

“Menghayal hal yang sedih lagi?” tanya Ardi yang sedang menyisiri rambut panjang layaknya putri kerajaan itu.

“Ya begitulah ... “ jawabku singkat tidak mengacuhkannya.

“Sepertinya kau sangat hobi ya.”

“Itu bukan hobi, itu sesuatu yang keluar dengan sendirinya,” jawabku menghela nafas.

“Sepertinya kau harus sering latihan.”

Mataku menikam tajam ke arahnya, lebih kesal dari pada melihat si topeng.

“Itu maksudku, kalau kau diam dan tidak melakukan apa apa, inti kepalamu langsung depresi tanpa diperintah.”

Mendengar alasan yang cukup logis itu membuat marahku mereda. “Bukan berarti harus latihan lagi lah,” Gerutuku. “Normalnya, pria muda seperti kita akan memikirkan masa depan, berpikir apa yang kalau lakukan jika jadi orang kaya, memikirkan wanita yang kau akan nikahi, dan seterusnya. Tapi anehnya aku tidak bisa berpikir seperti itu terus, enatah kenapa rasanya hidup ini sia sia,” lanjutku lirih.

“Hidup ini panjang bagi orang yang berjalan, dan singkat bagi orang yang berdiam. Aku mungkin tidak begitu peduli kalau kau mati, tapi bagaimana dengan orang tuamu yang marah disana saat melihat kau mati saat masih bujang. Setidaknya menikahlah terlebih dahulu.”

Mendengar ocehannya yang tidak biasa membuatku merasa janggal, sejak kapan dia jadi membahas masalah begitu. “Hei - hei, lihat diri sendiri dulu, emangnya si bapak sudah menikah?”

Ardi berhenti menyisir rambutnya dan tertawa lepas seperti tidak pernah tertawa sebelumnya, sampai akhirnya ia bisa mengontrol kembali nafasnya yang sudah dihabiskannya. “Kalau kau kesal mendengarnya itu dariku, kau akan lebih kesal lagi kalau Dito yang bilang begitu.”

“Hah, Dito bilang begitu padamu? bukannya dia juga sama ya?”

Ardi mengegeleng geleng dengan tawanya yang tertahan. “Awalnya kupikir begitu, tapi aslinya dia sudah menikah, sebelum kau datang dan saat aku sedang pergi latihan, dia bahkan tidak mengundang satupun dari kita untuk datang.”

Kepalaku maju setiap mendengar kalimatnya yang diluar pengetahuanku itu, anehnya orang itu sama sekali tidak pernah menunjukan dirinya seperti orang dewasa yang sudah menikah, apa karena karena ia malu. “Seriusan die udah nikah? gak keliatan kayak orang udah nikah. Terus kenapa dia gak pernah pamerin istrinya, tau die sombong gitu, apa karena istrinya jelek kali ya … “ jawabku sambil menghayal nenek nenek yang ia nikahi karena warisannya.

“Wah … kalau lihat istrinya, mungkin kau akan kesulitan melihat perempuan lain saking cantiknya, istrinya itu udah kayak model.”

“Jadi itu sebabnya kau masih jomblo? sibuk liatin istri orang?” ledekku.

“Bah, aku hanya belum menemukan yang tepat saja, lagipula kita masih muda, masih banyak pilihan,” jawab Ardi riang.

Aneh sekali melihatnya bicara tentang perempuan, namun mungkin Ardi benar juga, bicara seperti ini menghilangkan pikiran negatifku itu, ini mungkin tujuan dia dari awal.

“Kalau kau, gimana pacarmu?”

Aku semakin heran mendengar pertanyaannya itu, mungkin sedikit aneh, tapi mau bagaimana lagi. “Ya … kadang kita chatting, ngobrol santai, begitulah, tidak begitu banyak yang kami bicarakan. Sebenarnya juga aku tidak bisa bilang ia pacarku, karena aku tidak pernah menembaknya,” jelasku menggaruk kepala, tersipu malu dengan ketidak jantananku.

“Begitu ya kalau pacaran, sepertinya membosankan. Tapi sepertinya ia perempuan yang baik.”

“Darimana kau tahu?”

“Ingat saat berada di pemakaman, mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi dia senang sekali bisa melihatmu.”

Mendengar penjelasannya itu, aku jadi semakin tenang, sampai tidak kusadari seringai keluar dari lubang tergelapnya. Sedikit kebahagiaan datang dengan percakapan yang santai di pagi hari memang harusnya sering kulakukan, mungkin ini memang bawaan kalau manusia adalah makhluk sosial.

ii.

Tidak begitu banyak hal yang dilakukan saat menanti titah selanjutnya dari Dito, sudah sekitar dua hari kami berdiam di rumah dan menunggu dan menunggu. Kami sesekali latihan di sore hari ditambah Nadya yang ikut ikutan bersemangat ingin bergabung di tempat selanjutnya. Aku tidak yakin dengan dia, namun melihat Ardi yang tidak mencegahnya membuatku cukup bisa percaya sedikit dengan kemampuan Nadya, mungkin juga aku sesekali harus mencoba tanding dengannya.

Langit jingga yang membawa angin darat yang kering bersama awan dan juga keringat kami ke arah lautan rasanya sangat melegakan sekali, ditambah pikiranku yang tidak berhenti memikirkan makanan enak apa selain pizza untuk makan malam dengan hasil uang kemarin yang bisa buat makan enak setahun lebih mungkin. Orang aneh itu terlalu menghargai kami berlebihan, atau mungkin karena sudah standarnya orang kaya begitu, entahlah, mental orang biasa sepertiku paham apa.

Tapi karena tidak ada pikiran lain akhirnya box box itu datang juga. Sepotong segitiga putih dengan bulatan bulatan merah di atasnya sangat menggiurkan lidah, rasa lapar setelah olahraga adalah hal yang tidak bisa ditahan lebih lama lagi. Mentraktir Nadya dan Ardi adalah rasa banggaku sendiri tahu mereka berdua punya uang lebih banyak dariku. Dan melihat keadaan lengan Ardi yang sedang menggapai kotak kedua membuatku mengeri kalau bukan hanya aku yang lapar, namun ia tidak sampai saat mendengar suara terdengar dari tangannya itu. Ia langsung mengangkatnya dan mengeraskan suaranya.

“Oh sialan, lagi pada makan enak … “ sahut Dito dari telepon.

“Mlangshung sadhja kakha,” sahut Nadya dengan sekepalan roti di dalam kunyahnya.

“Oke oke, besok pagi kalian harus ke rumah orang ini, Nadya kau tidak boleh ikut.”

Ia langsung berhenti mengunyah makanannya dan menelannya bulat bulat mendengar perintah kakaknya itu. ”Ish apaan dah … emangnya kenapa sih, kamu itu lemah, kamu itu gak kuat,” gerutunya.

“Orang yang kali ini dilindungi adalah orang gendut, kepala botak, berkacamata, jelek, dan doyan cewe cewe muda. Masih mau ikut?”

Wajah Nadya langsung sepat. “Mbueehh … kayaknya gak deh kak, jadi pengen muntah.”

“Bagus kalau gitu, Ardi dan Jaya akan kesana dari pagi pagi. Walau jam segitu adalah waktu yang aneh, namun kita tidak bisa membiarkan makhluk itu melakukan serangan kejutan lagi,” jelas Dito. “Oke, kalau sudah jelas kalian besok pergi dengan tiket yang sudah saya berikan, lokasinya orang ini sekarang ada di tempat yang kutuliskan, lumayan kan sekalian kalian berdua jalan jalan. Oh iya ... jangan lupa bawa oleh oleh,” pinta Dito dengan menutup telepon dengan basa basi yang tidak mengenakan, tapi kalau dia minta begitu pasti aku harus serius membawa pulang oleh oleh, itu juga kalau kami selamat.

“Emangnya kemana tujuannya kak?”

Bola mataku berputar membayangkan sepanjang apa daftar belanja yang akan diminta anak ini. “Biar kulihat dulu … ke daerah Magelang, sepertinya ada gambar candi di dekat lokasinya.”

Layar di tanganku menghilang dalam sekejap dan berpindah ke kedua tangan Nadya yang melotot dengan wajahnya yang putih terang menatap kaca lentur itu dengan hidung yang hampir menempel. “Wah … borobudur, pulang pulang ke malioboro dulu ya … plisss …” pinta Nadya bagai kucing kelaparan melihat santapan di piring.

“Sebenarnya kami tidak ingin lama lama di sana, kita tidak tahu kapan sasaran selanjutnya akan dilakukan,” sanggah Ardi.

“Yah … kak Ardi mah gak asik …,” rilihnya yang mengarahkan mata lebarnya dan bibir mengkerutnya kali ini kearahku sebagai sasarannya. “Kak Jaya, bisa kan …”

“Ah … begini, sebenarnya ada apaan sih disana malioboro itu, bukannya jalan raya doang yak?” ucapku dengan mencoba menolak permintaanya, walau sebenarnya aku jujur juga.

Ucapanku tadi disambut Nadya dengan matanya yang meredup kehilangan harapannya. Sementara Ardi disana hanya bisa menggeleng geleng, entah maksudnya kukuh menolak pinta Nadya atau malah khawatir dengan perkataanku barusan.

“Anak rumahan,” cela Ardi.
nalaadikara777
andir004
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.