Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#23
BAB XII


i.


Tiupan kencang angin dingin datang berhembus, tanpa penghalang memasuki pintu depan rumah yang besar, menerpa wajah serta menembus bajuku yang dari serat baja ini. Tidak ada kata lain selain ketat dan tidak nyaman, membuat postur tubuhku terbentuk sangat jelas dari pakaian yang berat ini namun dibalik itu semua yang terpenting adalah tidak membuatku merasa kesulitan bergerak. Semua senjataku sudah tertempel di pakaian ini, yang sekaligus menjadi pelindung dari serangan yang mungkin bisa saja masuk lewat situ. Menatap belati yang berada pada lengan kananku, berusaha menggoyangkannya sedikit untuk membuatku terasa cukup menempel dengan kencang.

Tiap menit dan jam telah kami lewati, terhipnotis oleh putaran lambat jarum jam besar yang berada di dalam rumah, yang tiap satu putarannya menyanyikan nada nada yang tidak enak didengar. Ruangan dalam yang luas namun kosong membuat suasana malah menjadi mencekam saat menatap masing masing dari lorong koridor yang kosong. Ketakutan akan melihat kilasan mahluk gaib adalah hal pertama yang kutakutkan, namun yang paling terakhir kuinginkan adalah saat yang melintas itu bukan bayang bayang atau setan lagi, tapi sosok manusia.

Semua penjaga berjaga ketat di luar, hanya mengizinkan udara kosong yang lewat dan menyisakan kami berdua yang di dalam rumah dan Brama yang sedang menonton televisi tanpa panik atau bahkan peduli sama sekali seakan akan hal ini tidak pernah terjadi. Aku yang hanya bisa melihatnya dari sini dan tetap fokus melihat sekitar walau sesekali mencoba menatap keberadaannya yang mungkin saja kami lengah dan menemukan ia terdiam dan sudah tewas di kursinya.

Terkadang sesekali mataku melirik Ardi yang tentu saja dia terpejam fokus mendengarkan suara suara asing televisi yang pastinya sangat mengganggunya. Seketika sebuah hentakan terasa di punggungku, melontarkanku sedikit dari tumpuan kakiku.

“Hei … jangan panik!” imbuhnya.

“Anjer, justru lu malah yang bikin kaget!” pekikku kesal menoleh ke arahnya.

Ardi terkekeh. “Kau tahu kenapa aku minta kau ikut denganku?”

“Tidak, palingan cumang buat bantuin jalan, kan?” tebakku.

Ardi terkekeh lagi. “Bukan … bukan, karena aku sendiri tahu kalau aku tidak akan bisa melawannya,” jawab Ardi sontak membuatku semakin panik dengan pernyataanya itu sampai akhirnya ia terkekeh lagi. “Bercanda … usahakan jangan lengah saja,” sambungnya.

Nafasku mencuat keluar lega saat mendengar kalimat terakhirnya itu. “Tapi kita sendiri tidak tahu musuh kita seperti apa, jumlahnya, juga kemampuannya. Malah menurut gue ini sama kayak ayam di dalem kandang menunggu dimakan musang,” ujarku sambil meremas kencang gagang golok yang melekat di kedua tanganku.

Ardi menaruh tapaknya pada pedangnya yang berkilat karena memantulkan cahaya lampu gantung yang teramat terang di atas dan kemudian mengelus elusnya perlahan. “Jarang sekali aku dengar kata kata puitis darimu, apa setelah latihan kau berubah jadi bijak?”

Aku tidak menjawabnya, hanya wajahku saja yang memasam kesal dengan kata katanya itu.

“Baguslah kalau kau kesal, tidak baik kalau kau kita berbicara kata kata puitis di saat begini.”

“Memangnya ada apaan?”

“Biasanya orang yang ngomong kayak gitu kalo di film, bakal jadi orang yang pertama mati,” jelas Ardi.

Kami kemudian terdiam sejenak, bahkan beberapa menit kami tidak berbicara lagi. Kemudian suara hembusan angin datang dan masuk kembali melewati pintu, kali ini ada aroma yang aneh masuk dari depan, dan bukan aneh, aku sangat mengenalnya namun entah kenapa aku sendiri tidak tahu aroma familiar apa ini.

Kemudian Ardi kali ini menghentakan sikunya lebih kencang lagi dari sebelumnya padaku, membuat mataku semakin terbuka lebar dan terjaga. “Dia sudah datang, bersiap!” perintahnya sambil mengangkat kedua tangannya menggenggam dengan erat pedangnya tanpa getaran sama sekali di kedua lengannya itu. Tidak sepertiku yang semakin ketakutan, dan semakin menjadi jadi dengan sikapnya barusan.

“Brama!” sahut Ardi.

Bram membalas dengan sebuah suara yang familiar datang darinya, suaranya seperti kokangan senjata. “Ya … akhirnya dimulai.”

Hembusan angin kembali datang dari arah pintu dan masih membawa bau yang sama, dengan cepat kami berdua berpencar dan bersembunyi di balik pilar besar yang berada di ruang tengah. Hal ini sudah kami rencanakan sebelumnya agar menghindari serangan senjata Api dari lawan dan memancing musuh untuk mendekat.

Dan benar saja, suara hentakan kaki datang dari koridor, menggema dari segala arah dan membuat kepalaku berputar putar mencari keberadaannya. Kebingungan serta rasa panik yang membengkak mencari cari dari koridor mana arahnya datang, bagi telingaku setiap sudut rumah ini memiliki suara yang sama..

“JAYA AWAS!”

Bayangan hitam datang dari arah atas, bola mataku yang tidak berani memutuskan untuk mundur dengan cepat ke arah Ardi. Namun belum selesai menapak ke lantai, sol sepatu boot besar itu menekan pilar disampingnya dan meluncurkan tubuhnya ke arahku sekali lagi. Secepatnya kudorong tubuhku ke arah kanan, ke sisi lain tempat jatuhnya yang membuatku berhasil menghindarinya. Belati mencuat keluar dari kedua lengannya yang kemudian disambung dengan tusukan bertubi tubi ke arahku yang sedang berjongkok layaknya mengambil start berlari. Semua serangan cepat itu dapat kutangkis dibantu adrenalin yang terpacu kencang. Sadar diriku tidak bisa tertembus membuatnya menghentikan serangannya sambil melompat mundur.


Melihat kesempatan itu aku dan Ardi lantas menempel hingga bahu kami saling bertubrukan. Menatapnya yang sedang bersembunyi di balik bayang bayang, berjalan perlahan memutari pilar, bersama suara hentakan senyap itu yang membuatnya seperti hantu. Namun mataku tidak bohong dan dapat melihatnya dengan jelas dari sini, siluetnya membalas tatapan kami berdua. Perlahan tapi pasti, langkahnya yang maju akhirnya memperlihatkan wajahnya itu, tapi itu bukanlah wajah kulit manusia yang kami harapkan, dia mengenakan topeng.

Sebuah topeng yang terlihat sangat aneh, keren dan unik dengan bentuknya seperti wajah robot yang sedang murka. Entah salah lihat atau mataku mendapatkan sekilas cahaya merah muncul dari rongga mata topeng itu lalu redup kembali. Langkah kakinya kemudian berhenti dan menampakan sosok dirinya yang sepenuhnya.

Pakaian yang tidak memberikan kami celah untuk melihat kulitnya dengan pelat pelat besi tebal yang menempel dan menutupi keseluruhan letak otot lurik manusia. Satu satunya pikiran yang terlintas saat melihatnya adalah seperti sosok ninja, namun tanpa jubah atau katana di punggungnya. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dariku, mungkin 180 cm dan dengan tubuh yang kekar dan jikalau mengingat gerakannya yang sangat lincah seperti tadi, aku yakin dia sudah sangat kuat dan terlatih. Kali topeng itu membenarkan penglihatanku tadi dengan matanya kembali bersinar dan meredup. Entah kenapa aku merasa terintimidasi saat dia melakukan itu, sosok yang benar benar menakutkan.

“SIALAN,” hardik Ardi. “Dia benar benar seperti bukan manusia. Dito benar, bukan sesuatu yang bisa terbaca.”

Bahkan Ardi tidak bisa merasakan hawa keberadaannya dan harus sangat dekat untuk bisa “dilihatnya”, aku harus mengcover Ardi sebisa mungkin kalau begini. “Dia mengenakan pakaian pelindung, di seluruh tubuhnya tepatnya di area otot ototnya, namun tidak sepenuhnya menutup, mungkin masih bisa kita tembus,” sahutku memberikan hasil analisaku.

Makhluk itu terdiam menatap kami sampai akhirnya tangannya bergerak perlahan ke arah dadanya, sedang mempersiapkan sesuatu. Aku hanya bisa bersiap dan tidak bisa melihat arah tujuannya karena matanya yang tertutup topeng. Kemudian dia melemparkan sesuatu. Badanku melompat ke arah samping berusaha menghindar namun ternyata yang ia incar adalah Ardi yang sedang tidak bergerak. Lemparannya mengarah dan mengenai pedangnya, bunyi gemericik terdengar dari sasarannya, sebuah bola besi dengan rantai kecil yang sekarang sudah menggulung pedang itu.

Ardi menarik pedangnya yang disadari sudah terikat oleh rantai itu, namun ia tidak berhasil menariknya kembali dan malah tertarik oleh si topeng besi itu. Mataku mencari cari alasannya dan menemukan kalau rantai itu tersambung dan menggulung di pilar besari tempatnya tadi. Orang itu mengikatnya di tiang saat dia memutarinya, dari awal dia mengincar pedang itu. Suara besi yang berdentang sangat nyaring saat pedang besarnya terpental di atas lantai, dengan tangan Ardi yang kosong tanpa senjatanya kemudian menarik sarung pedang di punggungnya yang dari kayu itu dan menggenggamnya seolah itu adalah pedangnya.

Tubuhnya meluncur, berusaha menyeruduk topeng itu dengan seluruh tenaganya. Makhluk itu menghindar ke sisi lain dan tentu saja aku yang tidak tinggal diam melompat maju ke arah tujuannya dengan kedua golokku yang sudah kokoh di depan wajahku bersiap menebasnya. matanya yang tertutup itu membuatku tidak bisa membacanya dan entah dari mana ia bisa tahu akan posisinya buruk dan memilih melompat mundur lebih jauh lagi ke dalam koridor yang panjang, dengan wajahnya yang kaku itu tidak sedikitpun menoleh ke arah belakangnya dan fokus menatap kami.

Kami berdua yang tidak gentar tetap maju sampai akhirnya tangannya itu meraih bagian punggungnya dan dua buah belati itu kembali muncul. Langkah kaki kami yang tetap berusaha menyeruduknya dikejutkan saat ia seketika berhenti melangkah mundur dan malah menyambut serudukan kami yang tentu saja dengan semangat Ardi yang tak gentar membuatku tetap melangkah maju.

Tangan kananku menyerangnya, berusaha ke bagian dadanya, semenatara Ardi melepaskan sebuah tusukan dengan sarung pedangnya dengan dorongan kuat telapak tangannya ke wajahnya, menyerangnya sambil berusaha menjaga jarak. Walau begitu serangan kuatku dapat ia tangkis dengan punggung tangan kirinya berperisai baja keras itu, dan sekaligus serangan Ardi yang berhasil ia hempaskan ke udara dengan lututnya.

Tidak berhenti sampai di situ, ku tarik kembali golokku yang ia berhasil elak dan melompat dari bawah dengan golok di tangan kiriku yang kugenggam terbalik. Bunyi benturan besi terdengar menyakitkan telingaku yang berusaha menembus pelindungnya. Disisi lain, Ardi menangkap kembali sarung pedangnya yang di udara dan melakukan tebasan memutar khasnya itu. Topeng yang berusaha menangkisnya kembali dengan tangan kanannya gagal karena kalah cepat oleh tebasan memutar itu dan akhirnya mengenai bagian pelipisnya, membuat kepalanya terhempas.

Kakiku melompat mundur setelah serangan itu, di sisi lain Ardi masih berusaha menempel dengannya dan melakukan serangan memutarnya sekali lagi ke sisi kirinya, namun serangannya kali ini bukan hanya ditangkis, melainkan sarung pedangnya menancap di belati si topeng yang sudah bersiap. Sekali lagi memaksa Ardi berusaha menariknya kembali senjatanya itu sama seperti pedangnya tadi, setelah itu keluar bunyi retakan kayu memecah udara, bersama dengan langkah kakinya yang berhasil menarik senjatanya yang tidak lengkap itu dengan patahan pada bagian ujungnya.

“Maaf, seharusnya tadi aku mundur, hebat juga kau bisa tahu ia sudah siap.”

Sebenarnya aku tadi mundur ingin memijat mijat telingaku karena rasanya mau meledak, tapi tidak apalah dapet pujian.

“Mungkin ia punya senjata lain, tapi bukan senjata api, namun kita tidak boleh lengah. Bisa pinjam golokmu sebentar?” pintanya sambil menadahkan tangannya ke sampingku.

Aku menaruh golokku ke tangan Ardi dan mengambil pisauku sebagai gantinya.

“Terimakasih, lebih baik daripada tanpa senjata.”

Kenapa ia tidak mengambil kembali pedangnya dan malah mengambil golokku, tapi tidak apa lah. “Gua punya ide konyol.”

Aku maju mendahului Ardi dan bersiap melemparkan pisauku, sembari melihat responnya sudah kuduga akan memilih mundur, sesaat sebelum memasuki jarak serang kulakukan gertakan dengan mencoba melempar pisau di tanganku yang disambut dengan tangannya yang berusaha melindungi wajahnya. Sepertinya topengnya ia paham kalau lobang besar di topengnya adalah titik terlemahnya. Namun kesempatan muncul saat tubuhnya yang terbuka membuatku langsung mengambil pijakan mantap dan melakukan tendangan T(tendangan kaki menyamping dengan memiringkan badan) sekencang kencangnya ke arah tangannya itu yang membuatnya terpental mundur dan menjatuhkan perisai tangannya itu.

Di saat posisinya terbuka seperti itu, badanku malah tidak berdaya untuk menyerangnya kembali dengan cepat karena mencoba berusaha memulihkan kembali keseimbanganku yang kuhabiskan untuk mendorongnya. Kendati kehilangan emsa didepan mata, sebuah siluet menyerbu cepat dari belakangku, Ardi dengan sigap maju berlari dengna serudukannya lagi dan kali ini sambil menggenggam goloknya kebelakang. Tubuhnya terbang melompat disambung tendangannya yang melayang di udara. Sebuah tendangan yang sangat indah dan menakjubkan sekaligus mematikan dengan mengenai tepat di wajah si topeng yang membuatnya kali ini benar benar mengapung di udara disambut suara pecahan beling saat ia terjatuh. Sementar itu Ardi yang masih di udara segera menarik kembali goloknya dan menggenggamnya dengan erat dan menusuknya tepat di lehernya.

Nafasku menyembur lega setelah melihat aksinya itu dan penutup gerakannya itu, tapi kebahagiaanku langsung hilang saat Ardi yang berdiri menginjak badan besar itu menarik kembali golokku dan melompat mundur, tanpa noda darah, tanpa rasa puas dari dirinya. Makhluk itu benar benar melenyapkan semua mimpi kami saat badan besar itu kembali berdiri dengan mudahnya. Sebelumnya aku bisa mengendalikan nafasku namun kali ini sekarang sudah kacau.

Kami berdua kebingungan serta takjub saat melihat ia berdiri. Namun ada yang aneh dengan kepalanya, posisinya yang terangkat, dengan wajah menghadap ke langit langit dan tidak kembali lagi, kemudian lehernya berputar ke samping dengan sangat lentur, memberikan tampilan topengnya itu lagi. Tatapan yang kali ini seperti seorang psikopat geram bersama rasa murka dengan tindakan kami. Jujur saja kali ini aku sudah tidak ada ide lagi dan gerakan apa yang harus dilakukan untuk melawannya, walau banyak sela sela yang bisa dibuat tempat untuk menusuknya tapi mendapatkan momen untuk melakukannya benar benar sulit untuk kami berdua.

Keenam mata tetap terdiam saling menatap dengan mengeluarkan perasaan membunuh sebisa kami. Tapi yang di hadapan kami sekarang berada di luar pengetahuan. Entah mengapa langkah kakiku berjalan mundur sendiri walau tetap mempersiapkan senjata di depan sementara topeng itu berjalan perlahan maju. Terbesit ide gila, tapi itu adalah ide bunuh diri, sebaiknya aku menuruti naluriku dan tetap mundur sambil bertahan sebisa kami, berharap sampai ke arah pedang Ardi.

Hentakan kaki kaki yang menggema, merusak keheningan koridor yang terang benderang dengan lampu putih yang menyengat mata. Perlahan tapi pasti langkah kami sudah hampir sampai di sana, akan tetapi yang kami takutnya akhirnya tiba saat ia menyadari tujuan kami dan langsung menggila berlari ke arah kami dengan kepala masih miring seperti itu.

Suara puff keluar disertai hentakan besi datang kuat datang dari arah belakang kami, disambung dentingan beling kemudian muncul, lagi dan lagi. Kami berdua tidak melakukan apapun saat itu keheranan, sampai akhirnya kami menoleh kebelakang. Brama yang berdiri dengan menggenggam mantap pistolnya yang menggunakan peredam membuat kami berdua segera menunduk. Sisa sisa peluru berterbangan saat ia menembak kembali si topeng berkali kali dan membuatnya sedikit tersentak walau si topeng itu tetap maju secara perlahan, sampai pelurunya habis dan dengan lihai tangan Brama yang cepat itu mengisi kembali senjatanya. Mataku menatap kembali si topeng yang berhenti bergerak dan entah kenapa malah memutuskan untuk berlari kabur ke belakang dengan cepat dengan kepala masih miring, melompat menembus jendela. Suara pecahan kaca yang lebar itu membuat seisi ruangan dibuat sunyi saat kehilangannya.

Makhluk itu lari meninggalkan kami. Nafas lega keluar dari lobang hidung serta tekanan darah yang turun drastis saat pada akhirnya kami diselamatkan oleh orang yang seharusnya kami lindungi, ini benar benar memalukan.
andir004
simounlebon
simounlebon dan andir004 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.