Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#22
ii.

Bola kuning itu masih belum muncul, hanya awan hitam kebiru biruan yang menghiasi langit, bulan purnama dan planet venus tampak cerah pagi hari ini. Bayang bayang ingatan akan cerita kakekku dulu, saat ia masih kecil katanya udara pagi di kota ini berbau busuk dan pekat dengan comberan berwarna hitam, mungkin itu yang membuat ia selalu kesal, marah marah dan akhirnya meninggal lebih cepat dari perkiraan dokternya. Mungkin kalau udaranya bersih seperti sekarang ini, ia pasti sudah lari pagi pagi buta sampai pinggir laut dan menghirup angin asin dan bau bukan sampah.

Tapi, apakah aku kali ini akan menyusul mereka juga. Lebih cepat dari dugaan mereka yang disana, atau malah aku mati tua di kasur. Tidak perlu dimasalahkan lagi bagiku, mungkin mereka semua telah melalui pertarungan yang lebih berbahaya lagi dariku. Itu dia, mungkin sekarang mereka sedang mengejekku karena aku ini terlalu takut, kebanyakan berpikir yang tidak penting.

Suara ketukan muncul dari arah pintu. “Apa kau sudah selesai solat?” ucap Ardi.

“Ya … jadi gimana?” tanyaku langsung menyambar tujuannya.

“Dito sudah mengirimkanku alamat, tapi … kau tahu sendiri lah.”

“Oke oke tunggu sebentar,” jawabku sambil menutup al qur’an.


Langkahku berjalan dari kamar keluar kamar dan segera pergi berjalan ke ruang keluarga. Ardi sudah duduk di depan meja dengan memegang smartbandnya. Dia menoleh ke arahku kemudian memberikannya, sebuah notifikasi dari Dito dan belum dibuka

Pagi ini pergi ke daerah menteng, lengkapnya tekan alamat ini, disana kalian akan bertemu dengan seseorang yang akan mengantarkan kalian berdua kerumahnya. Sepertinya dia sudah punya penjaga sendiri. Yang kalian jaga hanyalah satu orang, dia anak muda, tidak berkeluarga. Itu saja,semoga beruntung.


“Jadi gimana?” tanya Ardi.

“Hari ini kita akan kesana, sepertinya dia sudah punya penjagaan duluan.”

“Kalau begitu kita juga siapkan senjata, masukan semua ke dalam tas dan kita baru pakai disana,” ujar Ardi mensiasati agar penampilan kami tidak mencolok.


iii.

Kami berdua turun dari taksi dan menapakan kaki pada lokasi yang Dito beritahu. Perempatan aspal yang cukup ramai, suara roda roda kendaraan yang melintas membuat daerah sub perkotaan ini menjadi hidup, pohon rindang yang meneduhkan jalanan dari matahari terik. Rumah rumah besar dan mewah bisa nampak terlihat di sepanjang sudut jalan, pagar rumah yang hampir setinggi pohon membuat kawasan ini memang dipenuhi orang orang kaya yang tidak mau kediamannya diusik.

Mataku menoleh ke segala arah mencari cari orang yang dimaksud sampai kemudian sebuah mobil sedan hitam melaju pelan dan berhenti tepat di depan kami. Jendela hitam legam bergeser turun menampilkan orang berwajah kotak kecoklatan dengan kacamata yang sama hitamnya dengan jendela mobilnya.

Wajah pria itu menjulur dan menengok ke kiri dan kanan sebelum bicara pada kami. “Tidak ada yang mengikuti?” ucap orang tersebut yang langsung mengenali kami.

“Kurasa tidak sama sekali,” jawab Ardi.

“Baiklah kalau begitu, segera masuk!”


Kami berdua pun akhirnya masuk ke dalam mobil mereka, kami semua duduk terdiam di dalam, tidak ada satupun bibir yang bergerak. Rasa bosan yang menghampiri membuatku menoleh ke arah kaca depan mobil, melirik supir serta temannya itu, yang tentu saja satu satunya yang hanya bisa lihat hanyalah kacamata hitam kotaknya yang menghalangiku membaca situasi di wajahnya.


“Berapa bayaran kalian?” ucap salah satu orang itu memulai pembicaraan.

Aku tersentak mendengar pertanyaan yang tidak terpikirkan olehku, padahal sebelum jauh kemari otakku sudah memikirkan percakapan percakapan yang mungkin bisa dipahami oleh aristokrat, dan ternyata malah yang muncul adalah masalah duit lagi.

“Jangan begitu, ini masalah privasi,” ucap supir membela kami yang tidak segera menjawab.

“Ayolah … kita ini sekarang rekan bisnis,” timpalnya dengan nada bersahabat.

Ardi bergumam. “Bayaran kami cukup tinggi, pekerjaan ini terlalu beresiko untuk orang yang terlalu santai, kuharap sebaiknya kalian juga begitu,” jawab Ardi ketus, membawa sikap serius kerasnya yang membuat kami malah menjadi gugup.

“Jujur saja pak. Saya sudah sering melakukan pekerjaan seperti ini, tapi pekerjaan semalam dengan bayarannya tidak setinggi ini,” jawab pria itu sambil merapikan rambutnya. “Sebenarnya berapa banyak orang yang ingin membunuh orang ini?” tanya orang itu sambil mengangkat sedikit kacamatanya dan melihat kami berdua dari kaca depan.

“Kami berdua juga tidak tahu, tapi sepertinya ada angin buruk hari ini, maksudku malam ini.”

Mataku melirik tajam ke Ardi. Apa maksudnya dia tahu ini bakal terjadi malam hari?.

Mobil akhirnya berhenti sejenak, diam dan menunggu gerbang hitam dengan tombak tombak di atasnya bergeser membukakan jalan untuk kami. Rumah bak istana dengan berdesain modern mewah nan elegan bersama keseluruhan warnanya yang didominasi hitam dan violet.

Mobil kami pun berhenti. Terlihat pintu depan rumah sudah terbuka lebar, sudah siap dengan kedatangan kami berdua. Kaki kami berdua keluar menapak aspal yang lembut, lalu kutuntun Ardi untuk masuk bersama ke dalam ruangan. Pandangan pertamaku mengenai rumah ini adalah betapa luas nan besarnya hunian ini untuk seorang. Hanya dengan melihat ruang tamunya yang dengan sofa, meja tamu, serta koridor rumah yang menggambarkan betapa mewahnya gaya hidup serta autentiknya pemilik rumah ini. Namun tidak tampak sedikitpun tanda tanda yang menampakan “rumah warisan” orang tuanya dan langsung masuk ke rasa modern yang kekinian dengan arsitekturnya yang hampir seluruhnya berbentuk hexagonal.

Mataku tertuju oleh aquascape dengan lampu terang yang memperlihatkan pemandangan ikan ikan kecil bercahaya dan air terjun pasir di atas karpet rumput hijau yang luas. Namun dibalik keindahan itu tampak sebuah siluet wajah yang sekilas kami dari balik bebatuan karang di dalamnya.

“Menarik sekali bukan, ikan ikan ini berenang tanpa tahu kalau yang kita lihat ini adalah surga yang indah, namun satu satunya konsep surga bagi mereka adalah hilangnya predator,” ucap orang itu dengan nada lembut. “Salam kenal, Namaku adalah Brata Bramantara, dipanggil Brama, kalian berdua pasti adalah Jaya dan Ardi.”

“Ya,” jawabku.

Kemudian orang itu menampilkan dirinya, mencuat dari balik aquarium dan menampakan wajah lonjong dengan rambut hitam gondrong tersisir ke belakang dengan sedikit garis cat perak di bagian atasnya. Mata yang dingin setengah terbuka ditambah hidung mancung serta bibir yang tipis. Tatapannya yang membeku di dalam kemeja hitam lengan panjangnya dengan gaya berjalannya yang elegan datang perlahan ke arah kami. Kemudian ia duduk di sofa dan langsung menyilangkan kakinya. Tidak seperti orang kaya yang kukenal yang selalu menaikkan dagunya ke atas, menurutku kemungkinan dia bukan tipikal orang sombong.

“Silahkan duduk dan nikmati jamuannya,” ucapnya sambil menyodorkan pelan tangannya ke arah kami dengan kedua telapak terbuka, ke arah meja bundar yang di atasnya tersaji makanan makanan ringan di dalam toples yang berisikan permen, sagu, coklat bungkus dan jajanan manis lainnya, di sampingnya juga ada sebuah teko dari beling putih bercorak lidah hitam dengan dua buah gelas yang menjadi tanda tempat duduk kami.

Aku menuntun Ardi untuk duduk diatas sofa kayu jati yang empuk dengan pinggiran ornamen melingkar lingkar. Dibalik meja bundar besar di hadapan kami terdapat sofa di sisi lain meja ini membuatku berpikir kalau tempat ini biasa dihadiri tamu besar dan bisa dipakai sebagai ruang rapat atau ngobrol santai.

Namun sebelum kami duduk, mataku sempat melihat ke arah orang itu, dia sama sekali tidak heran melihat aku menuntun Ardi layaknya kebanyakan orang lain yang melihat kami. Entah apa dia tidak sadar atau tidak peduli.

“Saudari Dito memberitahu sebuah berita buruk kalau mungkin ada orang yang mengincar saya, ini juga semakin membuat saya yakin dengan dua orang dari tempat kami yang sama meninggal dengan dalih “kecelakaan”, sepertinya kita bertemu dengan orang yang sangat ... profesional dan sangat bersih, bahkan tidak ada jejak yang tertinggal,” cerita pria elegan itu sambil mengangkat secangkir kopi hitam di atas meja. “Bagaimana menurut kalian berdua, apa dia menyuruh kalian datang kemari bukan hanya untuk balas dendam pada Dito bukan?” tanya pria dengan suara lembut dan dingin itu sambil menikmati aroma secangkir kopi di tangannya perlahan.

“Kami datang bukan hanya untuk balas dendam, kami lebih ingin tahu orang macam apa yang bisa membunuh Dito,” jawab Ardi.

Pria itu berhenti minum dan meletakan gelasnya ke atas tatakan, kemudian memejamkan matanya. “Well … Saya juga kenal Dito, dengan perawakan besar seperti itu, pasti sulit untuk membunuhnya jika satu lawan satu. Kalau pelakunya profesional maka pasti ia akan memilih menggunakan taktik lain untuk melawannya. Ya sama seperti “kecelakaan” yang lainnya. Kali ini rencana apa yang akan dia lakukan untuk membuats sebuah ‘kecelakaan’ ya ….“

Ardi bergumam. “Sejauh ini belum kami juga tidak tahu, jadi kita harus bersiap untuk serangan kejutan.”

“Apa kita tidak bisa menambah keamanan tambahan seperti ... kau tahu, polisi?” sahutku berusaha memberi saran yang logis.

Pria itu sedikit terguncang dengan sedikit saingannya. “Ya mungkin saja dengan menambahkan polisi ke tempat ini malah membuat orang itu akan dua kali berpikir untuk datang kemari, tapi karena saya sudah punya “polisi” sendiri dan ini juga karena sekarang urusan bisnis. Saya akan memastikan kalau kemenangan bisa didapatkan tanpa mengeluarkan “biaya biaya” yang tidak perlu,” jelasnya.

“Kenapa anda sangat yakin?” tanyaku.

Perlahan ia membuka matanya dan menatap ke arah gelasnya. “Saya sudah terlanjur membeli kantong mayat, jadi mau bagaimana lagi. Kita tidak ingin kantongnya terisi polisi dan mengundang media datang kemari kan, itu akan mengganggu jalannya bisnis,” ucap pria itu sambil kembali menghirup kopinya.

“Jangan terlalu sombong, kau bisa saja berakhir seperti Dito, atau lebih buruk,” gumam Ardi menggerutu.

“Saya tidak bisa memastikan, tapi mungkin Dito akan yang menjadi kematian yang paling baik daripada yang lain,” jawabnya sambil menurunkan gelas kosongnya. Dia kemudian berdiri, menampakan punggungnya dan berjalan pergi meninggalkan kami. “Silahkan kalian bersiap siap dan berjaga, bayaran kalian akan kuberi jika sudah selesai,” ucapnya tanpa menoleh, pergi menghilang dari hadapan kami.

“Hei! Sejak kapan kita dibayar?” bisikku.

“Selamat datang di wilayah orang kaya,” Jawab Ardi.
andir004
naufal2006
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.