Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#20
iii.

Diatas sebuah kursi kayu bulat berkaki empat badan kami beristirahat pada sebuah bar yang lokasinya masih sama di dalam ruangan yang penuh uap asam ini. Sebuah tempat minum yang cukup rapi dengan botol botol bening yang berbaris pada rak mereka, di bawahnya jajaran tong minuman yang terbuat dari besi kokoh menopang rak rak tersebut agar tidak jatuh karena banyaknya botol yang menimpa pondasinya. Aroma alkohol sering mencuat saat keran tong itu dibuka, walaupun aku tidak pernah minum minuman seperti itu, namun sepertinya hidungku tidak mungkin salah menebaknya sengatan baunya.

Tak lama berselang seorang pria besar berkumis tebal dengan kaos tanktop dan celemek dapur melewati kami, melihat pakaiannya yang sangat tidak sinkron untuk pekerjaanya membuatnya terasa asing, namun mungkin sangat tepat saat keributan yang datang sewaktu waktu. Bartender itu kemudian menutup keran itu dengan dua buah gelas besar berisikan air berwarna biru menyala diangkutnya sampai ke depan dua orang yang sebelumnya memesan yang tentu saja tidak begitu kupedulikan. Mataku hanya fokus pada apa yang dilakukan bartender itu, bagiku ini adalah sebuah pengalaman pertama melihat hal hal seperti ini selain di film.

Saat pesanan kedua orang itu telah kelar, ujung telunjuk Ardi mengetuk dengan keras meja bar, beberapa kali untuk memperingati keberadaan kami pada sang bartender. Benar saja, mata lebar orang besar itu menyorot dan datang menghampiri kami yang sedang termenung.

“Pesan apa?” tanya bartender dengan suara beratnya yang bergetar seperti pukulan drum.

“Dua buah gelas susu soda,” jawab Ardi santai sambil mengangkat kedua jarinya.

Bartender itu terdiam sejenak, dagunya dinaikan sedikit. “Oke baiklah,” jawabnya sambil melangkah pergi dari hadapan kami.



Mulutku terkunci dan hanya bisa bisa menatap heran ke arah mereka berdua, sampai kemudian rasa bingung mulai menghantui pikiranku yang memaksaku mendekatkan wajahku ke kepala Ardi. “Sebenarnya apa tujuan kita datang kemari? Apa kau ingin menanyakan sesuatu pada orang itu?” bisikku ke melontarkan pertanyaan itu ke telinganya.

“Bisa dibilang iya … dan semoga saja semua berjalan lancar.”

Tatapanku tidak bisa berhenti mengamati bartender itu, tangannya sibuk dengan mengelap gelas yang sudah mengkilap namun entah mengapa tatapan tajamnya tidak berhenti diarahkan pada arah kami. Sesekali ia membuka matanya yang besar dan kembali mencoba menusuk nusuk kami dengan pengamatannya, menaruh waspada pada kami berdua.

Tidak kuat merasakan intimidasi tersebut, leherku berputar berpura pura mengalihkan pandangan ke sekeliling, walaupun kutahu satu satunya yang akan kulihat di tempat ini hanyalah orang orang berbadan besar yang berkeliaran kesana kemari dan mengobrol, dan entah mengapa sekarang melihat mereka malah membuatku semakin tidak menambah rasa tidak enak, isi perutku yang sudah mencapai batas akhirnya membuatku terpaksa bertanya lagi padanya. “Memangnya apa yang terjadi kalau tidak lancar, terus kelihatannya dia mencurigai kita?” tanyaku lagi sambil melirik ke arah bartender yang sedang menyiapkan minuman untuk kami.

“Kalau tidak lancar maka pakai rencana kedua,” jawab Ardi enteng.

Mataku langsung menyala saat mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya. “Rencana kedua? W.T.F ... mana tahu ada rencana kedua kalua rencana pertama aja gak ada,” geramku sambil menjambak jambak rambutku yang mulai gatal menahan emosi mendengar kata katanya itu.

Sesaat kemudian aku sadar apa yang kulakukan mungkin menarik perhatian. Dalam sekejap kepalaku kembali ke posisi semula layaknya anak sekolah dasar yang siap ingin pulang. Saking stresnya bola mataku yang melotot bergerak sendiri ke arah bartender dan melihatnya tertawa terbahak bahak sendiri saat menuangkan botol ke gelas hingga soda meluap dari gelas tersebut. Dengan tangan besarnya itu ia mengangkat kedua buah gelas dengan busa soda yang berpesta dan mengantarkannya pada kami hanya dengan satu tangannya berjalan ke arah kami dengan sisa lengannya yang ia gunakan untuk menyisir nyisir kumisnya itu.

“Masih bikin orang emosi?” sahut bartender tiu dengan tawanya yang bergemuruh.

“Sama sekali tidak salah,” jawab Ardi.


Rasa tegang dan panik semua seketika meleleh begitu saja, hilang saat mendengar tawa dari bartender itu, dia tertawa dengan perut besarnya yang terkocok terguncang ke atas dan ke bawah. Suara hentakan keras kemudian meledak saat ia membanting gelas ke arah meja, membuat suara benturan yang cukup kencang sampai sampai mementalkan kedua bahuku.

“Ardi … oh Ardi … siapa lagi yang bicara menjelimet kayak gitu,” ujar bartender.

“Sampeyan ngerti yen Indonesia iku angel.”

“Iku mergo sampean ora bisa adaptasi. Pundi kabare Dito cah kirik?”

“Dito … dia sudah mati… “ lirih Ardi.

Seketika pria besar itu membuka lebar matanya, mengangkat tinggi tinggi alisnya yang kemudian perlahan meredup. “Orang itu bisa mati juga ya … orang kayak gitu bukan tipe orang yang mati karena sakit, pasti dia dibunuh,” ungkap bartender dengan lugas.

Sebuah colekan terasa pada bagian tempurung kakiku, sampai saat ini isyarat itu masih masih menjadi misteri buatku.

“Ya … kami datang untuk mencari tau siapa pelakunya,” sambung Ardi dengan jujurnya mengiakan tebakan bartender itu.

Bartender tersentak lagi terkejut akan jawabannya itu. “Begitu ya … walau Dito orangnya sangat menjengkelkan, namun ia sudah layaknya saudara bagiku dan tempat ini. Tapi saat ini aku tidak bisa memberi kalian jawaban.”

Sontak jawaban itu mengherankan. Jika memang saudara, kenapa kau tidak mau membantu kami.

“Begitukah?” tanya Ardi sambil menyeruput seteguk soda berwarna merah muda itu.

“Tapi bisakah aku minta sedikit bantuan?”

“Katakan saja,” jawab Ardi santai.

Jantungku berdebar debar sejak orang itu menolak memberikan jawaban, entah apakah ia berada pada pihak kami atau pihak lawan saat ini. Kami tidak ada pilihan lain.

“Aku minta tolong untuk menghajar si botak itu,” ucap bartender sambil menunjukkan jarinya ke arah pria botak kekar yang masih berdiri di atas ring sejak kami masuk. “Dia banyak berhutang minuman padaku dan menghajar orang orang tanpa henti, orang macam itu harus diberi pelajaran akhlak dengan tinju di wajahnya.”

Gelas yang setengah penuh itu menghentak meja. “Untuk itu aku sedang tidak bisa,” jawab Ardi.

“Hah? apa karena sudah tidak memukul orang lagi? apa Dito menasehatimu agar jadi orang baik sebelum ia mati?” jawab bartender itu resah.

“Ah .. dia sedang ada masalah dengan matanya,” tiba tiba kata kata itu muncul dari mulutku tanpa sadar.

Bartender itu memiringkan kepalanya sedikit, menatap aneh padaku dengan alis menukik.

“Ah … tenang aja dia sodara Dito juga, dia membantuku mengantarkanku sampai sini,” ucap Ardi membantu menjelaskan tingkahku tadi.

Jemari besarnya kemudian memelintir kumisnya itu. “Oh … begitu ya … kalau begitu kau gantikan Ardi saja, aku yakin saudara Dito semua orang kuat,” imbuh Bartender dengan nada keyakinannya sambil melemparkan tangannya ke udara.

“Ah … sebenarnya saya juga ti-” tusukan jari Ardi menghentikan ucapanku. Mataku melirik ke wajahnya, kepalanya menggeleng dengan pelan hingga yang terlihat hanyalah goyangan pada dagunya.

“Ah … maksudku baiklah … tapi saya tidak janji bisa menang,” ucapku mencoba melanjutkan perkataanku yang sebelumnya.

Bartender itu tidak merespon jawabanku saat itu dan kemudian ia menghimpitkan kedua bibirnya lalu muncul suara siulan yang kencang.

Sontak aku dibuat panik sekaligus gugup, jujur saja aku tidak pernah bertarung dengan serius melawan orang lain.

Ardi kemudian menggenggam bahuku dengan erat yang bagiku itu berarti hal yang buruk dan serius akan terjadi. “Kalau kau kalah kita tidak akan mendapatkan apa apa, usahakan jangan sampai jatuh,” bisiknya, lalu bahunya mendorongku melontarkan tubuhku dari kursi.

Aku hanya bisa menelan ludah dan berjalan seperti anak perempuan, menunduk perlahan ke arah panggung, sesekali mataku mencuri pandang orang orang di sekitar, melihat mereka yang keheranan dengan tingkah yang tidak biasa. Tapak kakiku sampai dan berakhir pada sebuah kursi yang disampingnya sudah ada pria besar yang memberi isyarat untuk masuk dari tempat itu.

“Buka kaosnya,” perintah orang itu.

Mataku mondar mandir kikuk dengan permintaannya. “Apa tidak bisa …” ucapanku terhenti saat melihat wajahnya yang mulai mengkerut. Langsung pikiranku yang semakin tidak waras membuatku membuka kaos ini dan langsung memanjat kursi memasuki panggung.

Suasana kemudian berubah menjadi sangat hening saat kakiku berada diatas, tidak ada satupun kata kata yang keluar dari kerumunan orang orang tadi, aku bahkan tidak bisa mendengar apapun selain suara jantungku yang berdebar kencang saat melihat semuanya memfokuskan pandangannya ke arahku. Kesadaranku berusaha kukumpulkan sekuat tenaga untuk mengembalikan pandanganku ke arah lawanku yang dengan matanya yang menatap tajam, alisnya mengkerut memperhatikan aneh sikapku yang masih gugup berdiri tegap tanpa memasang kuda kuda ataupun sekepalan tangan ke arahnya.

Kedua kepalan tangannya naik membentuk perisai menghalangi kepala botaknya yang kemudian salah satu tinjunya diayun ayunkan. “Angkat tinjumu bocah!”

Tidak lama akhirnya suara jentikan jari mendentang di seluruh ruangan, diikuti suara gemuruh kerumunan yang tenang tadi. Layaknya sebuah robot badanku tanpa kusadari langsung memasang kedua tinjuku bersama kakiku telah memasang posisi bertarungnya.

Pria botak itu tersenyum dan melangkah maju ke arahku dengan membuka semua sikap bertarungnya, arogansi bisa terlihat dari langkah berjalannya dan tanpa basa basi langsung melontarkan tinjunya ke arah wajahku. Pukulan itu terjun tanpa sempat ku tahan, sebuah bogeman yang sangat kuat, badanku yang terbujur kaku dan membeku malah sama sekali tidak bisa bergerak dan satu satunya yang kutahu setelah itu adalah pandanganku yang langsung gelap untuk beberapa saat sampai akhirnya aku merasakan isi perutku yang mau keluar pukulan kedua datang meninju perutku.

Tanpa adanya sebuah kompromi antara pikiran serta badanku membuatku hanya bisa terpejam, terdiam dan benar benar tidak bisa berbuat apa apa saat itu selain menjadi samsak tinjunya. Benda itu terus datang bertubi tubi sampai akhirnya mendadak kedua tangannya yang sudah meremas kepalaku. Dengan bodohnya mataku malah terbuka saat itu juga, melihat sekilas sebuah gumpalan kulit besar di depan wajahku yang kemudian lenyap saat kelopak mataku memutuskan untuk kembali terpejam secepat kilat. Namun yang kurasakan setelahnya adalah gigi gigiku saling beradu, pandanganku langsung melayang ke langit langit saat tulang tempurungnya menghantam daguku dengan keras.

Leherku rasanya mau lepas dari tempatnya, kehilangan segalanya dan layaknya lenyap dari eksistensi kehidupan yang tiba tiba semua itu muncul kembali saat kusadari tubuhku sudah bersandar di pojok panggung. Telingaku yang mendengung kencang hanya bisa mendengar suara sorakan dari para penonton yang merasa kasihan melihatku. Pelan pelan mataku yang terlukai bangkit kembali menyerap cerahnya kehidupan yang menyajikan pemandangan yang tidak mengenakan dengan sambutan punggung pria botak itu, maju berjalan menjauh dariku. Sejenak aku berpikir dia akan berbaik hati untuk memberikanku waktu beristirahat, sampai akhirnya mataku berkedip sekali lagi dan melihat ia sudah membalikan badan dengan mata menyala.

Ragaku yang terasa sudah menempel tidak mau bangun dari tempatnya, di saat itu juga pria botak itu berlari ke arahku. Rasa kesal dan tidak berdaya sudah masuk kedalam tubuhku, namun entah kenapa aku ingin sekali melawannya, melawan penghinaan ini hingga akhirnya tiba tiba entah dari mana aku bisa merasakan kembali semua otot otot kaki dan lenganku. Tanpa pikir panjang langsung saja ku lontarkan kedua tumitku ke arah wajahnya. Tidak ada waktu untuk menghindar baginya saat badannya yang cepat itu datang menyeruduk, seranganku masuk ke wajahnya membuat kepalanya terpental, tubuhnya kemudian melayang perlahan di udara kosong yang kemudian mendarat mendarat keras di atas panggung. Suara gemuruh kemudian bertambah riuh saat pria botak itu terjatuh, aku bahkan bisa mendengar suara tawa dan hardik yang yang bermuncul dari kerumunan.

Beberapa detik kemudian ia terbangun dan dari tidurnya. Wajahnya merah menyala, entah rasa marah atau pendarahan dalam yang dirasakannya saat ini, beberapa kali ia berusaha mengedipkan matanya yang berjuang mengembalikan kesadarannya, namun apa mungkin karena otaknya yang terpental itu malah membuatnya bergerak maju ke arahku dan yang ia lakukan adalah malah kembali mencoba meninjuku.

Layaknya orang yang mabuk badan itu bersikeras maju walau dengan pandangan yang buruk seperti itu dan kecepatan pukulannya yang tidak lebih baik dari bocah sekolah dasar dapat dengan mudah kuhindari yang diteruskan dengan beberapa pukulan bertubi tubi darinya yang bisa kutangkis. Sampai akhirnya badan itu mencapai batasnya dan dengan satu tinjunya pamungkasnya itu meluncur bersama sepenuh tenaganya yang tersisa. Suara tepakan memecah ruangan saat tanganku menangkap pukulan yang cukup berat itu. Bersama badannya ia berusaha mendorong senjata terakhirnya itu sebisanya, berharap bisa menembus pertahananku

Dengan mata sebelah terbuka dan wajahnya yang menatapku dengan kesadarannya yang tersisa, membuatku langsung berpikir kalau sudah waktunya ia pulang malam ini. Tanpa menyia nyiakan waktu lagi lenganku kutarik ke belakang, memposisikan tinjuku ke sebelah pinggang dan membukanya, tidak sampai sedetik kemudian kutembakan pukulan tongkok (pukulan dengan posisi kepalan terbuka) ke bagian tengah dadanya. Tenaga dorongan dari tangannya sudah hilang bersamaan kesadaran pria botak ini yang jatuh tersungkur di atas panggung. Untuk kesekian kalinya orang orang itu bersorak melihat lawanku terjatuh.

Aku langsung melompat keluar meninggalkan panggung, tidak lupa mengambil kembali kaosku lalu berjalan kembali ke arah Ardi sambil mengenakan kembali pakaianku. Ardi rupanya sudah mengarahkan pandangannya ke arahku dengan senyuman kecil di wajahnya.

“Aneh sekali,” ujarnya.

“Apanya yang aneh,” balasku dengan suara yang cukup lantang, tidak sadar semangatku masih terbawa saat turun dari panggung.

“Tidak apa apa … kita bersantai dulu.”

Nafasku masuk berbondong bondong memenuhi paru paruku yang terisi dengan asam. Perlahan duduk dan mencoba bersantai sambil mengatur nafas yang akhirnya malah menjadi kacau balau saat sebuah cubitan datang tepat menusuk bagian pahaku. Panik dan kesal mataku membara melihat Ardi yang dengan santainya masih meminum susu sodanya yang kedua dengan semua tangannya memegang gelas. Sadar kalau itu bukan kelakuannya membuatku langsung menjadi ngeri dan tidak betah berlama lama disini.

“Heh … udah gak ada apa apa lagi kan, waktunya balik sekarang,” bisikku meminta.

“Yaelah sa-” sontak badannya terlempar dari kursi bersama isi gelasnya yang meluber keluar. “Oke waktunya pergi.”
nalaadikara777
simounlebon
simounlebon dan nalaadikara777 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.