Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#17
BAB IX

i.


Waktu terus berlalu tanpa adanya kesempatan untuk menunggu atau berusaha mengulang apa yang telah terlewat dan hanya menikmati masa masa kenangan yang tersia siakan itu, yang akan selalu menjadi pikiran buruk yang muncul untuk menggangguku sebelum waktunya tidur. Satu pekan terlewat, menunggu sebuah kabar yang entah kapan datangnya sambil berharap tidak tewas dalam kurungan waktu itu menjadi hal yang sangat mudah jika mengingat kesibukan yang memenuhinya.

Alasan itulah yang menjadi kunci untuk menghilangkan ketegangan yang tertekan pada tubuh ini. Supresi yang diberikan Ardi membuat efek negatif itu hilang dan memindahkannya ke bagian negatif lainnya. Membuat waktu itu berjalan sangatlah lambat, bahkan teknik rahasiaku untuk “tidak berpikir saat bekerja” ternyata tidak mempan dengan perasan keringat serta rasa payah yang selalu menghantui di hari hari itu.

Sepanjang waktu tanpa lelahnya Ardi mengajariku bagaimana caranya mengatasi kelemahanku, mulai dari jarak serang yang ku berikan pada musuh dan berusaha seminimal mungkin menghindari konflik jarak jauh. Seperti layaknya sebuah game, aku tidak memiliki kemampuan sihir ataupun teknik serangan jarak jauh yang membuatku harus beradu mata dengan lawan. Teknik untuk menghindari sekaligus melakukan pendekatan merupakan hal pertama yang harus kupahami kalau tidak membunuh diri sendiri dengan mencoba melawan musuh yang menggunakan senjata api atau senjata jarak jauh lainnya.

Namun bagian yang paling sulit dalam hal ini adalah saat ada sebuah rasa yang membuatku tidak begitu siap untuk memahami cara membunuh yang diajarkannya. Ardi sepertinya sudah tahu permasalahanku mengenai hal itu dan dan menyarankanku pada dua pilihan saat aku mengungkapkan keluhanku ini. Ia hanya memberikan dua buah solusi untuk masalah tersebut, lumpuhkan dan lari atau coba perbanyak untuk menonton film action, tentu saja pilihan pertama adalah suatu hal yang logis dan tepat untuk dipilih saat itu juga..

Ditambah saat ini dia kebut mengajarkanku cara menggunakan senjata ini dengan benar setelah sekian lama. Dalam seminggu ini ia bertindak layaknya seorang dosen yang berhutang materi dan menamparkan semuanya di depan wajahku.

Sampai tibanya pada sebuah senja akhir pekan yang memuakkan ini. Dengan sarung tangan hitam ditarik memanjang, membalut mulai dari ujung kuku hingga ke pangkal pergelangan, sampai pada akhirnya benda itu melekat erat menyatu dengan tanganku.

“Apa kau sudah menamatkan semuanya?” tanya Ardi sambil mengelus pedangnya itu, Mandau yang sejak tadi ia tidak ada hentinya untuk mengelus benda kesayangannya itu, melupakan dirinya yang hanya terbungkus kaos putih polos dan celana olahraga pendek.

Sejenak mataku berputar mengetahui maksudnya. “Ya, malam ini semuanya akan kelar … bagus juga filmnya, tapi ya lama lama juga bosan,” jawabku dengan menggenggam erat erat golok di tangan kananku yang lemas sambil mengayun ayunkannya perlahan dengan sebilah wedhung di tangan kiri yang kupengan terbalik.

“Ya … memang pada dasarnya alurnya terlalu tertebak dan intinya tokoh utamanya seperti superior. Sekarang akan ku coba hancurkan dari semua film yang sudah kau tonton,” ujar Ardi coba memanas manasiku sambil berjalan perlahan memutariku di atas rerumputan dengan kaki telanjang. Namun terlambat, aku sudah sama panasnya dengan segala bualannya itu.

“Ya ya ... sekarang sekarang ini emang film gak ada yang berakhir indah, endingnya rata rata cumang darah.”

Tumpuan kakiku menginjak injak tanah untuk sesaat dan sedetik kemudian rumput rumput itu tertekan bersama tubuhku yang melompat lurus langsung ke arah Ardi dengan kecepatan tinggi. Pedang besar itu sudah terpampang di depan wajahku, berusaha menahan serangan dadakan ini, namun sebelum sampai kesana ujung tumitku menancap pada tanah dan melakukan dorongan kejut ke sisi samping kurang dari sedetik. Ardi yang coba untuk tidak main main saat itu langsung mendongkrak ujung mata bilah pedangnya itu tepat ke depan wajahku untuk menghalau serangan serudukanku.

namun bukannya berhenti, mata runcing itu terus memburuku dan memaksaku mengambil langkah mundur lebih jauh lagi. Tenaga serta taktik ku telah terbuang sia sia dan satu satunya yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar aku bisa memberikan sebuah serangan masuk dan melawan pertahanannya itu.

Kedua alisku menukik tajam dengan sambil mengangkat bilah pisauku, menariknya hingga ke bagian belakang telinga dan secepat kilat tanganku terhempas, melemparkan pisau itu tepat menusuk tanah dan tertancap persis di sebelah pijakan kakinya. Namun dia sama sekali tidak bergeming dan tetap mengarahkan pedangnya itu kepadaku dengan kokohnya seperti tidak terjadi apa apa, mungkin dia sudah tahu kalau lemparanku sama sekali tidak serius.

Melihat perilakunya itu, kakiku terpaksa melompat mundur sekali lagi. Mencoba mencari cara dan akhirnya kucoba sebuah keputusan yang aneh baru saja keluar dari penggorang di otakku. Kutarik sebuah belati dari bagian lengan kananku, menatap tajam ke arahnya dan memperhatikan gerakan tangannya yang perlahan menurunkan serangan intimidasinya itu. Keringat akhirnya mulai membanjiri wajahku, dan jujur saja ini sangat berbahaya mengingat bisa saja air keringat masuk ke mataku. Namun kucoba buang pikiran bodoh itu lagi, menarik nafas dan kembali berfokus pada pertarungan ini.

Tidak begitu banyak pilihan saat itu dan hanya ada dua cara gila yang terbesit di dalam benakku, tidak ada salahnya mencoba keduanya. Lalu dengan mencoba kembali melompat sama seperti tadi kulakukan membuat ia merespon dengan sikap yang sama seperti sebelumnya. Pola yang datang kembali seperti itu tidak membuatku takut dan malah semakin bersemangat dengan meremas belatiku erat erat, langkahku berhasil masuk ke jarak serang dan saat perisai pedang itu sudah tepat di depan kepalaku, dengan cekatan ayunan tebasan kulemparkan ke tubuh pedang besar itu dan langsung membuat pertahanannya terbuka lebar saat pedangnya serta tangannya terlontar ke arah samping.

Dugaanku yang tepat dan sangat nekat membuatku mendapatkan peluang emas. Tubuhnya terpampang jelas bersamaan pedang di tangannya yang terlempar, namun tidak cukup kuat untuk melontarkannya dari genggamannya itu. Disitulah aku menyadari kesalahan fatalku yang hampir membuatku kehilangan anggota tubuhku. Tubuhnya bukan terjatuh dan malah merunduk, melanjutkan daya lontaran pedangnya yang menyamping itu menjadi putaran 360 derajat terbang di atas tanah, seraya satu kakinya yang dalam posisi jongkok memaku ke tanah dan kaki lainnya lurus meluncur di atas permukaan rerumputan.

Semua itu benar benar di luar perkiraanku dan tidak akan menyangka ia akan melakukan hal itu. Sadar tidak ada ruang untuk menghindar, akhirnya satu satunya cara adalah dengan menekan dalam dalam tangan kananku dan menusukkan golokku, menancapkannya ke tanah hingga akhirnya aku berhasil menepisnya. Suara dentingan yang sangat kencang memecah udara hingga membuat tangan kananku bergetar saking kerasnya tabrakan tersebut.

Kami berdua sedang berada dalam posisi yang menyulitkan, namun aku tidak mau mengambil resiko kembali untuk menyerangnya dengan kondisi saat ini. Tangan yang bertumpu pada sebilah golok di tanganku dan jika aku melempar belatinya sekarang, maka bisa bisa tubuhku malah tersungkur ke belakang karena daya lontar yang kuberikan. Tangan kiriku kemudian meninju tanah di bawahku dengan kencang dan lalu mendorong kuat kuat tubuhku, tidak lupa untuk menarik kembali golokku yang sudah masuk setengah ke dalam tanah.

Menarik kembali keseimbangan tubuhku saat itu juga membuatku malah bergoyang karena kehilangan pijakannya untuk sementara. Nafas berat serta adrenalin yang masih terpacu tidak menghentikan mataku yang mulai kabur dan lelah saat melihat tanah serta rerumputan yang terpotong potong menempel pada golok ini membuatku harus menghitungnya sebagai “kehilangan senjata” yang membuatku tidak bisa menggunakannya lagi saat ini. Sementara Ardi, dia kembali berdiri dengan satu kakinya yang digunakannya untuk jongkok tadi, kembali mengangkat tubuhnya perlahan lahan selama tiga detik, dengan anggun dan lembut kakinya menapak rumput.

“Yang tadi cukup bahaya, namun tidak kau malah nekat menyerang begitu,” ujar Ardi sambil kembali menurunkan pedangnya.

“Gua tahu kalau lu gak benar benar make pedang buat jadi tameng, makannya langsung di serang. Tapi gerakan tadi emang bener bener gak terduga,” jelasku sembari mengatur nafas.

Ardi terkekeh. “Itu ‘Teknik tarian pedang’, memang selalu bikin orang jantungan.”

Mataku terpejam, udara dingin masuk menembus pori poriku, perasaan yang selama Rasa segar itu mengalir dan berusaha meredakan panas tubuh ini. Dengan tatapan tajam ke arahnya, bersiap menerkam dengan kuda kuda yang sudah terpasang dengan mantap, kepalan tanganku ku keraskan dan posisi tubuh kutegakkan, kemudian semuanya kulepaskan saat itu juga.

Ardi tiba tiba memasang kuda kudanya dan menodongkan pedangnya sambil menaruh tapak tangannya yang terbuka di samping benda besar itu. Wajahnya menunduk, mengerutkan dahinya serta pejaman matanya yang semakin ke dalam.

Tubuhku masih lemas dan tanpa tenaga. Hanya nafas pelan dan satu satunya yang kurasakan saat itu juga adalah kepalan tanganku yang kokoh dan masih terus membungkus rapat pegangan golok dan belatiku serta kaki kakiku yang masih berusaha untuk berdiri tegak.

Semuanya kembali seperti normal beberapa detik setelah itu, kesadaranku kembali dan kali ini kakiku melakukan lompatan yang berbeda dari sebelumnya. Menerbangkan tubuhku ke arah samping dan melakukannya sekali lagi dengan arah yang berlawanan, secepat kilat kemudian menembakan belati pada tangan kiriku langsung mengarah ke wajah Ardi. Lehernya yang kaget langsung bisa menghindarinya dengan mengangkat rahangnya, membuat wajahnya menatap langit sore yang jingga dengan awan berwarna merah muda. Kemudian melihat gerakannya itu langsung saja ku hantarkan sebuah tinju ke arah pedangnya dan meninjunya dengan keras dari atas, membuat pedang tersebut terdorong jatuh ke rerumputan walau masih menempel terus pada genggamannya.

Wajahnya muncul kembali ke permukaan dengan kehilangan wajah seriusnya barusan, terkejut saat sadar tidak akan mengira kalau yang datang menyerang nya hanyalah sebuah tangan tak bersenjata. Rahangnya seketika menggigit udara, berusaha keras menarik senjatanya itu namun dia tidak mampu melakukannya karena kakiku sudah menginjak ujung mata pedang itu dan tenggelam ke dalam tanah, sementara tangan kiriku sudah mencapai belakang pinggangku dan menggenggam erat erat belati ketigaku.

Meremas erat erat gagangnya, menggenggamnya pada posisi terbalik, berusaha tidak melepaskan atau melontarkan yang satu ini dan menyerahkan sepenuhnya pada serangan terakhir ini. Walau mataku tidak fokus dan menatap tajam pada sisa satu tangannya lagi yang terus diwaspadai.

Tinjuku sudah hampir sampai pada bagian samping tubuhku, meluncur dengan kecepatan tercepat yang kubisa saat itu juga, bersiap mengarah ke lehernya. Namun suara seperti penutup botol kaca terbuka muncul entah dari mana, suara klep. Suara itu tidak datang sendirian, sebuah benda berbentuk kotak tiba tiba saja muncul di hadapan wajahku, ukurannya tidak besar, dan berbentuk persegi sama lurus setebal jari jempol, seraya dengan genggaman Ardi pada pedangnya yang ia lepaskan, dan langsung menyerbu dan menggenggam benda kotak itu.

Kami berdua sekarang sudah sampai pada ujungnya, di tanganku, belatiku sudah sampai berada pada ujung jakun tenggorokan Ardi yang sedang menahan ludah dengan keringatnya yang mengalir. Dan tepat di depan mataku saat ini, ujung tombak persegi yang cukup tebal dan runcing sudah menodongku, bersiap untuk menusukku kapan saja jika Ardi mau. Kuakui jika melihat semua yang kulakukan saat ini ini, posisi kami berdua sudah bisa kubilang seimbang.

Kami membeku beberapa saat hingga aku bisa melihat lidahnya menjulur membasahi bibirnya.

Tawanya kemudian lepas. “Aku tidak menyangka kau sudah bisa sejauh itu,” ucapnya dengan napas terengah engah.

“Well … ada aja kejutanya,” jawabku masih tidak percaya saat melihat tombak runcing yang keluar dari pedangnya itu.

Semua ketegangan yang barusan akhirnya kami sudahi dengan jabat tangan untuk mengakhiri latihan sore ini. Tidak begitu yakin saat itu, namun bisa kutahu kalau rasa puas kami berdua sudah terpenuhi. Bisa mendapatkan skor imbang merupakan hal yang sulit kuraih, walau kuakui dengan mata tertutupnya, ia sama sekali bukan orang yang bisa diremehkan apalagi kulawan saat ia membuka matanya nanti.
nalaadikara777
andir004
andir004 dan nalaadikara777 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.