Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#16
ii.

Mungkin wajar jika kau sendiri tidak pernah tahu ataupun sadar saat ada sebuah ruang bawah tanah seluas ini di bawah kasurmu yang kau tiduri setiap hari. Terdengar klise, tentu saja, tapi kenapa harus dibuat seperti brankas bawah tanah seperti ini.

“Apa lu tahu kenapa Dito membuat tempat ini?” tanyaku penasaran.

“Udah lama sekali sih, terus di rombak … ya karena Dito suka sekali dengan Batman jadi tidak perlu heran,” jelas Ardi.

“Oke, Itu menjelaskan semuanya,” kataku.

Tanganku kemudian perlahan meraih kedua buah golok yang terpampang di depan wajahku, mengelusnya perlahan dan menggenggamnya dengan erat. Kesan pertamaku adalah benda ini ternyata ringan, bentuk yang keren dan tidak seperti golok yang biasa kulihat, hitam legam dengan pegangan yang sangat pas di tanganku. Pada bagian bilahnya aku bisa menatap pantulan bola mataku sendiri yang berwarna coklat kehitaman, bagian gagangnya dibuat dengan ikatan tali berwarna abu abu kehitaman yang tergulung rapi dari bawah hingga pas di ujung gagang, menyisakan sedikit tali yang terbakar di ujungnya. Bentuknya dari bagian pangkal hingga tengah terlihat sangat padat, dan bagian ujungnya dibuat meruncing dengan sedikit kesan terpotong kecil di bagian atasnya, tidak seperti golok yang biasanya memiliki bagian yang membulat pada ujungnya.

Bagai jajaran pegunungan yang tersusun rapi sama tinggi, gerigi gerigi yang terbentuk pada bagian punggung golok ini membuatnya semakin mengintimidasi dan menambah kesan survival yang ditanam membuatnya semakin gagah. Dan bagian terakhir yang membuatku terkesima adalah sebuah ukiran keris terpecah seperti di pintu tadi pada bagian pangkalnya, tercetak sangat sempurna pada kedua sisi golok ini. Memandangi keindahan yang membuatku sampai lupa berkedip menatap benda keren ini. Lalu ada sesuatu yang terasa di pegangan ini, sesuatu yang sepertinya bisa ditekan di area telunjuk, dan kedua duanya punya tombol yang sama.

“Ardi … ada sesuatu yang aneh di bagian pegangannya, di bagian telunjuknya,” keluhku.

“Itu … entah, cumang Dito yang tahu,” jawabnya sambil mengangkat bahu. “Oh iya … tolong hubungi Dito sekarang!”

“Yaelah entar dulu lah, baru megang,” ucapku kesal sambil kembali meletakan kedua golok pada tempatnya kembali. Jari jariku kemudian menekan layar dan coba menghubungi Dito. Setelah itu langsung kuoper panggilannya ke band miliknya.

Lalu tangannya bergetar dengan panggilan masuk itu. “Halo Bos … Ah … sudah … sekarang ngapain lagi? … baiklah satu minggu dari sekarang. Hei Jaya … Dito ingin ngomong,” ucap Ardi sambil mencabut earphonenya dan menyerahkannya padaku.

“Ey B0ss …”

“Hari ini kalian pergi ke pemakaman saya siang ini nanti!” perintahnya langsung tanpa basa basi.

“What the ... dimana?“ mataku langsung menyerngit mendengarnya.

“Nadya sudah berada di rumah saya, rumah pribadi. Sepuluh menit lagi akan ada jemputan dari rumah tua itu, jadi ambil semua senjata itu sekarang lalu berganti pakaian, tapi jangan dibawa. Kalau untuk baju coba kalo bisa bisa serba hitam, tapi saya tidak melarang kalian makai kaos warna warni kalau mau coba,” paparnya dan sebuah nada tut muncul saat ia langsung mematikan teleponnya.

“Ini orang apa di matanya cumang ada tombol matiin telepon doang yak,” ucapku resah.

Ardi terkekeh kecil mendengarku.

“Hadeh … katanya sepuluh menit lagi kita akan dijemput,” aku sampai tidak sengaja melemparkan kekesalan ku pada Ardi.

“Santai santai … pertama ambil dulu rompi yang ada di loker bawah, terus ambil semua senjatanya,” tutur Ardi berusaha menenangkanku.

Jari jariku berusaha meraba rab dan mencari lokasi yang ia maksud dan benar saja, ada sela sela di bagian bawah meja ini yang saat kutarik berisikan rompi hitam dan juga sarung tangan di sebelahnya, tanpa banyak tanya langsung saja kuambil rompi dan memakainya. Rasanya tidak terlalu ketat, juga tidak kelebaran, pas sekali, menutupi seluruh bagian badan depan dan belakang sampai pergelangan siku. Pada bagian punggung aku bisa merasakan adanya benda keras yang saat kusodorkan badanku ke depan dan belakang tidak membuat badanku kaku sama sekali. Membingungkan sekaligus keren dengan badan bidangku yang cukup tampak menggunakan rompi ini.

Tidak lupa juga aku memakai sarung tangan di depan mataku. Terlihat banyak seperti pori pori kecil pada permukaannya, rasanya cukup kaku tapi nyaman dan tidak panas sama sekali, mungkin itu fungsi lubang kecil kecil itu. Tidak selebar yang kukira saat dipasang, dan rasanya seperti sarung tangan motor yang cukup tipis.

“Siapa yang nyuruh pake?” teguran saat mendengar suara resleting yang kutarik.

Aku kemudian terdiam dan menurunkan kembali resleting itu dan berusaha melepaskan semua yang sudah kupakai.

“Eh, entar dulu sekalian penjelasan,” sahutnya sambil mengepak ngepakan pergelangan tangannya untuk menyuruhku berhenti. “Jadi rompi bisa menahan peluru, tapi aku tidak pernah mengetesnya. Kalau tidak salah sarung tangannya juga, kalau yang itu aku pernah coba buat menangkap pedang tanpa terluka,” jelas Ardi.

Aku mengangguk angguk setelah mendapatkan pengalaman menariknya itu. “Terus dimana buat menaruh golok dan pisau … eh maksudnya wedhung ini?”

“Kayaknya dana di bagian punggung, di situ ada magnet di dalam rompinya, terus tinggal taruh saja goloknya di punggungmu, nanti akan menempel sendiri,” jelas Ardi.

Tanganku kemudian perlahan meletakan sebuah golok di belakang punggungku dan seketika golok itu tertarik dengan sendirinya dan menempel ke magnet tersebut, lalu kemudian kulakukan hal yang sama pada golokku satunya lagi, walau tidak terlalu menempel sangat kuat, tapi cukup untuk membuatnya tidak terlepas saat kucoba melompat lompat.

“Lalu wedhungya?”

“Hmmm … Kalau tidak salah dua taruh di bagian lengan terus dua lagi di bagian atas pinggang.”

Wedhung ini tidak memiliki gagang pegangan seperti goloknya dan hanya langsung gagang besi yang dibuat uliran ayng banyak sebagai pegangannya. Dan dengan bunyi suara klep, menandakan kalau belati ini telah menempel dengan erat pada semua bagian rompi ini. Benar benar rasanya seperti seorang pembunuh, pikiran negatif itu tanpa diundang datang kembali.

“Ah … Jadi, apa benar kita akan membunuh seseorang dengan semua ini … maksudku, kenapa kita harus seperti ini, apa ayahku juga seperti ini dulu?” gumamku.

Ardi menoleh ke arahku, kemudian dia meraih punggungnya, tidak , dia menggenggam pedangnya, mengangkatnya dengan satu lengan dan tanpa aba aba dia saat itu langsung mengayunkannya ke arah wajahku. Tubuhku seketika merespon dan bergerak sendiri, memasang kuda kuda dan menangkap tebasan itu dengan kedua tanganku sekaligus menundukan kepalaku. Bibirku terdiam tanpa kata saat detik itu juga untuk merespon tindakannya. Hanya menatapnya dengan mata terbuka lebar sambil menelan ludah, benar benar di luar dugaan dan sangat berbahaya.

“Buset dah bil-” belum sempat kutuntaskan kata kata kasarku, ia segera menarik kembali pedangnya dan kembali memainkannya ke sisi lain wajahku yang akhirnya dapat kutangkap juga.

“Orang yang menang tahu kapan untuk bertarung dan kapan untuk menurunkan senjatanya. Aku tidak berharap untuk berperang, Dito juga tidak ingin bertarung dan kau juga sama. Kita semua disini hanya sedang bertahan untuk hidup kita masing masing. Sama seperti yang tanganmu lakukan sekarang,” ungkapnya tandas mengeluarkan kesabaran itu dari mulutnya, tidak mengomentari perkataanku tadi, dan hanya langsung menyerangku baik fisik maupun batinku secara langsung.

Cengkramanku melemas melepaskan pedang berat itu, tertunduk malu dan merasa tidak berkata apa apa lagi, menyesal dan bingung sedang menyelimuti, dan mengingat betapa bodohnya aku berkata begitu di saat salah satu dari kami hampir kehilangan nyawanya. Seharusnya aku banyak belajar untuk tidak banyak berpikir.

“Ayo kita keluar dari sini segera,” ujar Ardi, lengannya kemudian menarik kembali pedangnya dan menggenggamnya kembali seperti sebuah tongkat.


iii.

Cuaca mendung yang menipu menyelimuti area pemakaman. Berbondong bondong orang orang berpakaian hitam datang dan mengerumuni pemakaman Dito. Terkejut melihat betapa banyak orang yang mengenalnya membuatku terpukau dengan koneksinya, berbanding terbalik saat melihat sifat konyolnya yang membuatku muak.

Orang orang itu menatap dan menunduk sepi di depan lubang besar itu. Semntara aku dan Ardi berada di barisan belakang memperhatikan mereka satu persatu dari sini. Di sisi lain Nadya dan seorang wanita lagi disampingnya berdiri persis di depan makam kakaknya itu. Dengan pakaian serba hitam dari atas hingga ke bawah ditambah topi yang lebar berusaha menutupi wajahnya yang dibaliknya itu terdapat air mata buaya berusaha berbaur dengan yang lainnya. Sementara wanita yang disampingnya itu tidak henti hentinya memegang tangan Nadya dengan erat erat dari awal pemakaman hingga peti mati itu dikuburkan

Dari kejauhan aku bisa melihat cukup banyak karangan bunga yang berbaris mengiringi sepanjang jalan. Mulai dari nama nama perusahaan yang terkenal hingga ke masing masing keluarga yang memberikan penghormatan terakhir mereka.

Kemudian tiba tiba aku teringat cerita Ardi tadi. Seorang bocah sepertinya benar benar membuat perusahaan milik ayahnya ini berkembang hingga namanya bisa dikenal oleh banyak orang seperti ini. Sukses dan kharismanya yang mengantarkannya sejauh ini, walau dimataku dia tetap brengsek.

Sesampainya jumlah para pelayat perlahan berkurang, berjalan meninggalkan tempat ini satu demi satu, dan hanya menyisakan beberapa kerumunan orang orang yang berusaha bertahan di sana.

Ada salah satu yang menarik perhatianku saat itu. Sesosok tubuh besar yang seperti Dito entah dari mana datang menghampiri Nadya dan wanita disampingnya itu. Perawakan besar dan mengenakan topi fedora hitam ala mafia. Walau wajahnya tidak begitu jelas terlihat tertutup topinya, aku langsung bisa tahu kalau orang itu adalah si singa hitam dari rambutnya yang terurai ke belakang topinya itu, Gading. Dia kemudian berbincang bincang sedikit pada Nadya dan bersalaman dengan wanita di sebelahnya. Walau begitu, aku tidak menaruh curiga sama sekali padanya.

“Itu Gadhing, teman Dito si Singa Hitam,” ujar Ardi merasakan keberadaan orang itu.

“Ya … gua tahu, gua dah pernah kenalan ama dia waktu itu,” ungkapku.


Setelah orang itu menghilang, kubuang wajahku dan kembali memperhatikan sekitar, sejauh ini tidak ada yang mencurigakan sampai mendadak aku bisa merasakan sesuatu pada bagian lenganku, aku sesuatu yang menyentuhku.

Badanku terlempar maju, kaget sambil segera menoleh ke belakang. “Jaya … kamu ngapain disini,” ucap wanita itu, suaranya sangat familiar di telingaku.

Aku mengucek mataku berulang ulang untuk memastikan apa yang kulihat bukanlah orang lain, tapi aku yakin itu adalah dia. Dewi? bagaimana bisa disini.

“Kok bengong aja sih … maaf salah orang aku ya?”gumamnya.

Mataku tidak henti berkedip kedip melihat wajahnya yang kurang familiar dengna pakaian serba hitamnya itu, namun wajahnya cantik nya sangat jelas kalau itu bukan orang lain lagi selain dirinya. “Ah … kagak kok Dew … gak salah orang kok … kaget aja gak nyangka,” ucapku terbatah batah.

“Kamu ngapain disini? ada sodara kamu ya?” tanya Dewi dengan polosnya.

“Ah iya … itu sodaraku … yang sudah dikubur barusan,” balasku sambil menunjuk kuburan Dito.

Dewi kemudian menutup mulutnya, matanya terbuka lebar, alisnya naik, tersentak mendengar jawabanku yang seperti anak tanpa beban. “Beneran? … maaf ya Jaya aku … aku gak tau,” ucap Dewi lirih.

Aku terkekeh kecil melihatnya begitu. “Santai saja Dew … gak masalah kok, tapi aku heran kenapa kamu juga disini?” tanyaku balik.

Dewi menurunkan tangannya kemudian bola matanya berputar keatas. “Jadi … kakekku dulunya menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan ayahnya Dito, lalu lanjut lagi kerjasamanya terus sampai ke anaknya sekarang, abis itu sekarang adiknya yang akan meneruskannya,” ceritanya singkat dengan nada melirih.

“Oh… Ada kakekmu ya …” ucapku sambil memiringkan badan mencari kakeknya itu. “Aduh jadi malu kalo ketemu kayak gini … kapan kapan saja deh,” ucapku malu malu sambil kembali menengok ke berbagai arah mencari memperhatikan sekitar.

“Iya tahu kok … yakali sekarang juga,”

Beberapa detik kemudian aku bisa menemukannya. Bersama kedua orang berbadan besar sedang mengawalnya, dengan memegang tongkat Kakeknya berjalan sendiri perlahan meninggalkan pemakaman.

“Itu kakekmu mau pergi Dew,” ujarku.

“Hah … yaudah deh aku balik dulu ya Jaya, Assalamualaikum,” pamit Dewi, dengan riangnya berlari belum sempat ia mendengarku menjawab salam, aneh juga girang begitu di pemakaman orang. mataku tidak berhenti memperhatikannya berlari perlahan mengikuti kakeknya, dan sampai masuk ke mobil mereka yang besar itu.

Ardi mendehem dengan kencang. “Tadi pacarmu?” sosor Ardi.

“Ya … hampir bisa dibilang gitu sih.”
nalaadikara777
brigadexiii
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.