Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#15
BAB VIII

i.

Aku selalu bertanya tanya kenapa hal hal yang tidak jelas tiba tiba muncul dan terjadi di sekitarku. Entah walau tidak tahu tujuan dan arti dari setiap kejadian itu, tapi aku tetap mencoba untuk melogiskan semua ini dan berusaha semampuku untuk mengikutinya, tidak peduli masalah itu besar ataupun kecil bahkan bisa membunuhku sekalipun. Mungkin rasa kehilangan arah dan tujuan hidup bukan lah hal yang dialami diriku saja, mungkin banyak orang yang sama sepertiku, maksudku tidak benar benar sama seperti sekarang ini, tepatnya melakukan sesuatu karena tidak ada pilihan lain selain melakukannya, layaknya mayat hidup yang hanya mengikuti langkah yang ditentukan virus tanpa bisa berbuat apa apa lagi.

Pikiran pikiran buram itu seketika sirna saat suara langkah kami berpijak pada lantai kayu yang kering dan berdebu, berjalan menyusuri lorong gelap dan hanya berbekal cahaya matahari yang menembus jendela. Diam terpaku, mencoba melihat dari balik sela sela jendela sambil berjalan, menatap kosong dan memikirkan sesuatu yang sekiranya tidak perlu kupikirkan, namun selalu saja pandangan ini terus muncul dari diriku.

Ardi bergumam. “Suram sekali? ada masalah?” tanya Ardi.

Terkejut menyadari kalau akulah yang ia maksud, kemudian kucoba menarik sedikit seringai kecil dari bibirku. “Ah …cumang mikir gak jelas, yang gak penting,” kata kata itu keluar perlahan dari mulutku.

Ardi bergumam. “Mau dengar cerita yang membuatmu masalahmu terlihat kecil?” tanya Ardi lagi.

“Gua gak suka cerita sedih …” jawabku menolak tawarannya.

Ardi menolehkan sedikit wajahnya ke arahku. “Entah cerita sedih ato bukan, intinya cerita bagaimana cara mengatasi beban pikiran.”

Hidungku melebar, menarik nafas dalam dalam. “Yaudah terserah,” jawabku resah.

Langkahku kemudian sedikit melambat, mengikuti gerakan Ardi yang berjalan perlahan, dia sepertinya tahu betul tujuannya kemana tanpa bantuanku. Tapi kenapa langkahnya malah melambat begitu membuatku kesal.

Ardi membasahi bibirnya. “Dulu … ada seorang anak kecil, kedua orang tuanya sangat sayang padanya,” ujar Ardi memulai kisahnya. “Dia juga sayang kepada kedua orang tuanya, sampai sampai dia dijuluki bocah cengeng oleh keluarganya sendiri.”

Mendengar kisah yang bernada sedih itu sontak kucoba palingkan wajahku darinya.

“Sayangnya suatu hari dia harus berhadapan dengan ketakutan terbesarnya. Dia harus kehilangan kedua orang tuanya,” ucap Ardi, merunduk dan merendahkan suaranya.

Aku tidak menoleh ke arahnya, berusaha mengabaikan ceritanya yang mulai berkaitan dengan entah yang kuduga itu kehidupanku atau dirinya. Tidak terasa langkah kami terhenti sampai di ujung lorong dengan sebuah kain batik coklat besar menutupi seluruh bagian temboknya. Ardi lalu menggenggam kain yang mulai ditutupi debu dan jaring laba laba itu kemudian menariknya. Sebuah pintu dari kayu jati besar menjulang dari lantai sampai ke langit langit lorong dengan dua buah daun pintu memenuhi ruangan, emas kecoklatan mengkilap di semua sisinya, di sisinya terpahat ukiran senjata senjata dengan bentuk yang tidak kukenal tergambar memadati semua bagian pintu, dengan bagian yang paling besar dan mencolok berada di bagian tengahnya, sebuah ukiran keris raksasa yang terpecah, terbagi menjadi sembilan bagian.

Silau mataku menatap kagum pintu ini, keindahan serta detail yang matang terukir indah. Bergeming bola mata ini memandang sebuah bagian belati yang kulihat satu persatu dan berakhir pada sebuah pedang yang sama persis bentuknya dengan yang menempel di punggung Ardi saat ini.

Jemari kakunya kemudian menyentuh dan meraba raba ukiran pintu tersebut, lalu dia berhenti pada suatu tempat dan menekannya. Suara keluar dari dalam, suara kunci yang terbuka, kemudian diiringi suara bising seperti putaran roda gigi yang berderu dari balik sana. Kemudian Ardi menempelkan pundaknya pada daun pintu lalu mendorongnya sekuat tenaga, mataku yang masih terpana tidak hanya melihatnya dan sama sekali tidak membantunya dan masih terkesima gambar gambar pada pintu ini sampai tidak sadar pintunya sudah terbuka setengah.

“Ayo masuk!” sahut Ardi.

Jajaran barisan rapi anak tangga yang menurun dengan lampu kuning yang cukup redup di masing masing kedua tembok dari awal kami masuk hingga menampakan lantai di bagian ujung tangga ini.

Kami berdua berjalan perlahan turun disambung suara benturan pintu yang tertutup kencang dari arah belakang kami diikuti suara putaran logam yang sepertinya kembali mengunci lorong ini.

“Hanya ada satu jalan masuk dan satu lagi jalan keluar,” ujar Ardi yang menggema ke seluruh lorong.

Aku hanya terdiam dan teringat cerita yang belum diselesaikannya tadi. “Terus kelanjutan ceritanya gimana?” tanyaku dingin.

“Oh iya, tentu saja.” Kemudian ia bergumam sambil menyisir rambutnya dengan jari jarinya. “Anak malang itu kehilangan orang tuanya yang ia sayangi selama ini. Walaupun bocah itu cengeng, tapi ternyata ia sama sekali bukan penakut dan tidak satupun rasa gentar di dalam hatinya,” kata Ardi melanjutkan ceritanya.

Otakku mulai mereka reka kalau yang ia ceritakan mungkin adalah pengalaman pribadinya sendiri. Perasaanku malah semakin tidak enak jika mendengar cerita atau bualan orang yang percaya diri setelah keluar dari lubang gelap macam itu, terdengar seperti motivator payah di telingaku.


“Anak itu sangat kuat, bahkan saat orang tuanya mengatakan kalau mereka akan mati pada besoknya, atau tepatnya ia menceritakan ke anaknya kalau besok mereka berdua akan mati. Bocah itu sama sekali tidak berkecil hati atau menggila saat itu juga”

Mendengar ucapannya barusan membuatku tersentak kecil. Apa maksudnya?.

“Tapi tetap bocah cengeng itu tetaplah bocah biasa saat itu. Mendengar orang tuanya yang bilang begitu, bocah itu memeluk kedua orang tuanya sangat erat, hingga akhirnya mereka bertiga menangis bersama dalam pelukan. Entah bagaimana tiba tiba anak itu berubah seketika ia mendengarkan ucapan ayahnya itu.”

Akhirnya telapak kami sampai di ujung anak tangga ini. Membentang sebuah ruangan besar yang gelap berada di depan kami, hanya terlihat sekelebat cahaya yang membuat jarak pandangku mengetahui betapa luasnya ruangan ini.

Ardi yang berhenti setelah itu menarik pedang besar dari punggungnya, kemudian bersandar pada tembok, meletakan ujung mata pedang itu ke lantai dan menggenggam gagangnya dengan satu tangannya. Sementara aku hanya bisa berdiri santai dengan menopang tubuhku pada satu kakiku sambil mengarahkan pandanganku pada orang aneh ini.

Ia kemudian menarik nafas dan menelan ludahnya. “Orang tuanya mengira anaknya itu akan menangis dan lari ke kamarnya, namun yang mereka dapatkan adalah seorang anak yang tiba tiba menjadi dewasa hanya dengan beberapa kalimat tersebut.”

Mataku merunduk, membayangkan betapa beratnya orang tuanya berkata seperti itu pada anaknya sendiri, cerita ini mulai tidak masuk akal sama sekali di otakku. “Apa gak aneh kalo anak bakal ngira kalau orang tuanya bercanda?” berusaha mengikuti kisahnya yang ia seriusi tersebut.

“Tidak, anak itu juga malah tersenyum sejenak saat mendengar kalimat tersebut sebelum mereka saling berpelukan.”

Apa anak itu psikopat atau senang mendengar orang tuanya bakal mati?

“Dan setelah mereka berpelukan, anak itu kemudian mengucapkan kalimat yang juga tidak terbayangkan keluar dari mulut bocah SMA saat itu.”

Kelopak mataku terbuka lebar, berusaha mendengarkan dan mengingat kata kata ini agar otakku yang suka lupa tidak akan pernah lupa lagi akan kisahnya ini.

“Dia bilang. ‘Aku akan menjaga keluarga ini dan juga kepercayaan Ayah padaku’,” ucap Ardi tenang berusaha meniru suara bocah dalam ceritanya itu.

Kepercayaan apa? “Bukannya tadi mereka cumang pelukan doang?” tanyaku heran.

“Ya … disitulah hebatnya bocah itu, dia sudah paham situasinya dan langsung paham maksud kata kata ayahnya itu, tanpa mengiranya bercanda seperti kau tadi,” ujarnya menimpalkan kata kataku tadi.

“Ya, ya sorry … terus?”

“Dan kemudian tidak sampai seminggu setelah itu. Ia mendapat kabar orang tuanya telah tewas dalam kecelakaan. Kemudian anaknya meneruskan seluruh warisan orang tuanya dan kembali melanjutkan tugas orang tuanya seperti tidak terjadi apa apa.”

Tanpa ada debu yang jatuh arau angin yang berderu, tiba tiba mataku terasa basah, berkedip kedip berusaha menahan dan menyerap kembali air mataku. Aku membayangkan cerita barusan sangat mirip yang terjadi padaku. Tidak bisa dipungkiri betapa beratnya kehilangan sosok orang tua saat kecil, dan kali ini mendengar ada orang tua yang langsung mengabari sendiri jadwal kematian mereka pada anaknya. Semakin tidak terbayang beban psikis apa yang ditanggung anak tersebut.

Mata yang tadinya banjir mulai surut bersama kelopak mataku yang meredup. “Jadi … begitu kisahmu saat kau masih kecil?” tanyaku pada Ardi yang terpuaskan dengan kisahnya itu.

Ardi terkekeh kecil. “Itu bukan kisahku,” ucapnya sambil mengangkat tangannya ke tembok, meraba rabanya sebentar hingga kemudian ia berhenti. Sebuah benda kotak menonjol di tembok menempel di telapaknya yang kemudian ia tekan.

“Itu kisahnya Dito.”

Mataku melebar, terbelalak mendengar jawaban akhirnya itu. Kemudian pandangan ku seketika terbutakan oleh serbuan cahaya lampu putih yang terang benderang, menyinari seluruh ruangan hingga ke ujungnya. Ruangan yang lebar, dengan beberapa pilar besar menopang lorong bawah tanah ini. Tidak kusangka ada ruangan sebesar ini di bawah rumah ini, sekarang aku tahu jawaban mengapa Dito mempunyai tanah yang luas.

Kepalaku berlarian ke segala arah, tidak berhenti bergerak sembari menatap seluruh isi ruangan ini. Tembok besar berwarna putih bersih dengan kotak kotak kaca seperti di museum yang menampilkan beberapa pakaian pakaian layaknya baju zirah di jaman dahulu, juga ada pusaka pusaka besar seperti keris dan pisau berbentuk aneh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tulisan tulisan dengan ukiran ukiran melengkung seperti cacing yang sepertinya pernah kulihat pada saat aku berjalan jalan ke daerah jawa dengan ayahku.

“Kata ayah Dito, aksara yang dipakai di kata kata itu berbeda dengan aksara yang dipakai pada jaman sekarang, bahkan sebelum aksara lahir di nusantara” ujarnya sambil berjalan ke arah tulisan itu sambil mengelus elusnya.

“Mungkin kita bahas sejarah lain waktu saja,” jawabku berusaha menolak halus penjelasan darinya dan berusaha menghayati dan mencari tahu sendiri.

Layaknya sebuah museum sejarah yang berisi lengkap dari pakaian, baju perang, hingga senjata senjata kuno yang terawat dengan sangat baik. Walau terdapat beberapa penyokan dari senjata tersebut namun tidak dengan karat yang menempel. Bisa kuduga ruangan ini menggunakan dengan teknologi vakum yang dapat menjelaskan kenapa masing masing senjata yang berada di sini sangat awet. Tanpa sadar langkah kakiku sudah berada jauh dari tempat Ardi berdiri, merasa malu dengan sifat kekanak kanakan yang muncul membuatku kembali berjalan kembali ke posisi semula.

“Sudah puas sejarahnya?” ledek Ardi.

“Puas? baru saja napak disini, bagaimana bisa puas,” pekikku.

Langkah sepatunya maju berjalan, menghentakan kaki dan menghiraukanku yang baru saja diajak ngobrol olehnya. Lalu dia melangkah lurus kedepan sambil menggunakan pedangnya sebagai tongkat sampai akhirnya hentakannya terhenti di tengah ruangan mewah ini dan setelahnya tiba tiba muncul sebuah meja dari lantai. Meja berlapis logam hitam yang mengkilat, naik perlahan hingga sampai setinggi pinggangnya. Sebuah meja yang lebar berbentuk hexagonal dan nampak seperti kotak besar yang menyimpan banyak harta di dalamnya.

Kakiku terhipnotis dan ikut perlahan maju mendekat di belakangnya. Belum sampai tanganku menyentuh meja sebuah suara kunci kali ini keluar lagi dari kotak tersebut. Bagian atas meja itu membelah menjadi dua buah, bergerak ke samping saling berlawanan. Rasa penasaran yang makin memburu membuatku semakin cepat maju untuk melihat isi benda tersebut, perlahan sepatu ini menapak hingga menampakan harta yang ada di dalam kotak tersebut. Dua buah golok dan empat buah benda belati yang tersusun rapi sejajar.

Mulutku tidak bisa berhenti bergetar. “Jadi ini ... senjataku?” pertanyaan bodoh itu mencuat dari mulutku yang aku sendiri sudah tahu jawabannya, namun dengan naifnya tetap saja belum kupercayai pikiranku sendiri.

“Iya … dua buah Golok dan empat buah Wedhung.”
nalaadikara777
brigadexiii
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.