Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#14
ii.


Sejak malam hari itu aku selalu berpikir tentang sesuatu yang membuatku hampir tidak bisa tidur. Genangan air yang pedih menatap jam, tiap waktu dan tiap detik yang terlintas di benakku adalah saat ini adalah bayangan, sosok yang mengingatkanku pada kedua orang tuaku, konspirasi bergejolak mengatakan bahwa apakah orang ini yang sama, atau orang yang lain, atau suruhan yang dari dahulu sedang mengawasi kami, menunggu hingga kami dewasa dan mempreteli kami satu persatu seperti batang lidi hingga habis. Takut, keresahan melanda pikiran, batin yang tidak semakin tidak bisa tenang, berpikir kalau aku akan mati sebelum menikah, menyedihkan sekali.

Semenjak malam yang makin gelap itu, entah kenapa aku mulai merasa sesuatu yang aneh saat mentari pagi menyinari telapak tangan ini, anging yang masuk memberikan perasaan yang beda pagi hari ini. Bukan rasa benci, melainkan rasa penasaran apakah hari ini aku akan masih hidup atau kematian akan menjemput. Rahangku bahkan tidak kuat lagi untuk menahan kedua bibirku agar tetap tertutup, rasa sesak nafas yang kurasakan, sampai sampai gigiku berpikir dan bertindak sendiri, menggigit gigit udara kosong.

Bahkan saat sholat subuh pun yang sewajarnya adalah waktu pikiran kosong ternyata malah terisi penuh. Aku tidak bisa tenang sama sekali, hanyalah perasaan panik yang tiada habisnya, raga ini hanya bisa duduk lemas di atas sajadah, berdoa dan meminta agar menghilangkan perasaan takut ini dan meminta keselamatan, untuk kami semua.

Mataku menyipit, menatap mentari yang datang bersamaan dengan ombak putih yang menyisir pasir pantai, bersama kapal kapal kecil di malam hari mulai berlabuh dan kapal kapal besar masih mengambang dan berdiam diri menyusuri lautan yang jauh disana.

Kemudian suara ketukan kayu yang keras muncul dari pintu, apakah aku sedang bermimpi, tanpa pikir panjang otak panik ini mengatakan kalau pembunuh itu datang dan sudah mencapai pintu kamarku. Kelopak mataku tiba tiba terbuka lebar, merasakan insting bahaya, dan entah kenapa merasakan ancaman yang besar. Kemudian aku kembali mengingat cerita yang diucapkan Dito semalam, tentang sesuatu yang mengatakan bahwa dia bukanlah manusia, dan yang bisa mengeluarkan aura semacam ini hanyalah orang, dan mahluk yang dikatakan si sialan itu bukanlah termasuk kategori tersebut.

Suara ketukan datang kembali, kali ini lebih kencang dari sebelumnya, hingga telingaku saja kaget walau mendengar kembali suara tersebut. Melihat daun pintu yang terkena sinar matahari, langkahku mulai berjalan perlahan mendekat dengan tapakan lebar yang menyentuh lantai perlahan satu persatu, pelan pelan namun pasti berusaha untuk tidak bersuara. Saat itu lalu aku berpikir bisa menggunakan cahaya matahari pagi yang mengarah ke pintu untuk coba membutakannya saat aku membukakan pintunya, lalu mendaratkan pukulan tepat di wajahnya bahkan sebelum ia bisa menutup matanya dengan tangannya. Ya, aku yakin pasti berhasil.

Dengan punggung melekat pada tembok kayu, jemariku menyentuh permukaan bulatan besi yang licin tersebut, mengusapnya perlahan sambil mengambil pijakan yang kuat. Bagian belakang ubun ubun kutempelkan pada tembok, kemudian memutarkan wajahku dan menempelkan telingaku pada tembok kasar ini berusaha mendengar dan memastikan jika ada kemungkinan terburuk kalau dia tidak sendirian.

Begitu kedua bibirku merapat, menahan nafas dan berusaha menghilangkan suara semaksimal mungkin, hingga yang tersisa hanyalah suara suara menggila di pikiranku dan suara detak jantungku yang menggema menembus tebalnya batang batang kayu. Tidak ada suara sama sekali, mungkin orang ini datang sendirian. Kemudian perlahan tanganku mencoba memutar gagang pintu dan satunya lagi sudah bersiap dan memasang tinju tepat di samping kepalaku.

“Kau ini terlalu penakut …” sebuah suara pelan dan halus masuk ke telingaku. Dia sudah mengetahui keberadaanku.

Tanganku langsung memutar gagang pintu dengan cepat dan menariknya sekencang kencangnya. Pukulan maut yang sudah kusiapkan sekarang melaju dengan kecepatan tinggi, rencanaku berhasil.

Selanjutnya hanya ada suara tepakan tangan yang keras, disambung suara gagang pintu yang menabrak tembok kayu yang sampai Cumiikan telinga. Mataku melotot saat melihat pukulanku telah berhasil ditangkap dengan sempurna dengan sebuah tangan, jantungku sudah terbanjiri dengan aliran darah dan sudah tidak ada perasaan lagi yang bisa terucapkan selain kata putus asa.

Jiwaku yang sudah pasrah mulai bingung dan tanpa ada balasan yang masuk ke tubuhku atau benda apapun, hanya tangan itu dan kami berdua akhirnya saling menatap, lebih tepatnya hanya aku yang menatapnya.

“Santai saja Jaya,” ucap Ardi dengan seringainya.

“Santai - santai matamu … kenapa harus mengetuk kamar orang sambil mengeluarkan aura setan begitu,” kataku kesal.

“Ya … sekalian ngetes, apa kau sudah siap?”

Tangan dinginnya melepaskan jeratannya itu. Melihat dia yang sudah berpakaian rapi dengan rambut terikat klimis. Dengan tubuh kekar besarnya berbalut baju pantai bercelana pendek itu menurutku aneh. “Stess benget malem gak tidak bisa tidur, ngelipet baju saja sampai gak konsen,” keluhku.

Ardi tidak berkata apa apa dan hanya mengungkit sedikit bahunya.

Mataku menyipit. “Oke gua sudah siap.”

“Baiklah kalau begitu, waktunya pulang.”



iii.


Perjalanan kami berdua saat pulang memang tidak seperti yang awalnya kukira banyak orang yang akan memperhatikan kami saat melihat Ardi yang membawa gulungan kain putih pada punggungnya itu, namun hal itu nihil. Mungkin sekarang mata orang cukup sibuk dengan kegiatannya masing masing dan tidak mempunyai waktu sedikitpun untuk memperhatikan sekitarnya, semua sibuk merunduk memperhatikan gadget miliknya, oh ada juga yang tidak menunduk, tapi dia sedang menggunakan VRnya.

Kami tidak banyak bercakap cakap saat berada di kereta. Entah kami memang berdua sama sama orangnya pendiam atau tidak ada pembicaraan menarik untuk dimulai.

Mataku juga tidak bisa berhenti fokus melihat sawah sawah yang terhampar luas, hamparan ombak hijau yang bergelombang bersama kencangnya angin. Suara mesin diesel yang kencang membuat pikiranku menjadi mulai sedikit tenang. Walau akhirnya otak bodoh ini tanpa alasan mulai mengorek orek ingatan masa masa lalu, saat aku kecil bersama ayahku, tidak banyak yang kuingat saat itu pula selain pemandangan yang sama yang tidak membuatku bosan. Semakin aku memandanginya, semakin berat mataku untuk tetap berada pada posisi siaganya, mengantuk dan rasa nyaman mulai menyelimuti telingaku dengan suara kereta khas jedeg-jedeg yang tidak dapat kutemukan dalam kendaraan lain.

Semua itu langsung sirna seketika saat tubuhku keget, merespon sebuah tekanan yang terpusat pada bagian pahaku, mataku terbuka lebar dan sekarang hanya ada rasa kesal memenuhiku. Satu satunya yang kulihat hanyalah jari Ardi sudah tertancap, jujur saja aku selalu berpikir kalau dia diam diam membuka matanya saat aku tidak memperhatikannya.

“Jangan sampai tertidur,” ucap Ardi pelan.

Mataku sipit sebelah, otot otot di pipiku bergetar melihat tingkahnya. “Bisakah aku santai sedikit,” ucapku kesal.

“Santai? mungkin itu lah yang musuh tunggu … dimana saat kita bersantai.”

“Bukannya dengan tidak membuka pedangmu berarti kita sedang dalam kondisi santai … lagian kalau terlalu terjaga dan mencolok, mungkin saja kita malah dicurigai dan musuh bisa menemukan kita dengan mudah,” bisikku melepehkan semua itu dari mulutku dengan bumbu bumbu alasan agar dia bisa melunak sedikit.

Ardi bergumam sejenak. “Baiklah … mungkin terlalu tegang juga tidak bagus,” disambung kakinya kemudian ia silangkan.

Belum sampai semenit perkataan kami barusan melakukan obrolan kecil, datang seorang pelayan dengan pakaian rapi berwarna biru dari ujung kerudung hingga bawah.

“Apa ini kursi mas … Ardi?” tanya pelayan itu dengan nada lembut.

“Oh iya … sudah datang ya,” ucap Ardi dengan seringainya.

Sikut ku secara reflek membentur tubuh Ardi yang mau menyosor dengan tangannya yang hampir salah memegang cangkir teh yang ingin diberikan padanya, dan malah mau lemeset ke tubuh pelayan tersebut yang dia juga bersamaan merespon mundur dengan wajah terkejut saat tangan sialannya itu berani beraninya bergerak dengan mata tertutup. Cangkir coklat itu bergoyang dan terlihat beberapa tetes mengalir keluar dari bibirnya. Untung saja aku cepat menyadarinya. Sontak Ardi berhenti dan menarik kembali tangannya.

Aku memaksakan senyum aneh di wajahku sambil memicingkan mata, merasa tidak enakan pada pelayan tersebut. “Maaf ya … saudara saya punya masalah ... dengan pengelihatannya ... “ ucapku gemetaran sambil menyambut secangkir teh yang ia pesan, melihat wajah pelayan tersebut dengan wajah cantiknya yang dengan dahi mengkerut dan matanya melesat tajam ke arah Ardi, siap untuk menikamnya atas kelakuannya itu.

Kemudian wajahnya langsung melunak dan ia menutupi mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya yang ditutupi sarung tangan putih, sepertinya ia kaget dan merasa kasihan mendengar penjelasanku barusan. Lalu dia memberiku senyum kecil dan pergi dari hadapan kami berdua.

Sekarang hanya tinggal Ardi, secangkir teh dan alisku yang menukik tajam mengarah pada orang inii, dipikiranku saat ini adalah betapa bodohnya dan betapa pedenya ia saat melakukan hal itu.

“Heh … tadi hampir saja salah megang,” ucapku dengan mengapit rahangku sambil membuka setengah bibir dengan geram dan geregetan.

“Ah … maafkan aku, seperti yang kau lihat kan kalau aku-”

“Kalau lu udah tahu kenapa malah mau ngambil.”

“Ok ok maaf, kebiasaan.”

Ardi membuka telapak tangannya. Sambil berusaha tenang, aku menaruh dengan perlahan cangkir teh di tanganku lalu menaruhnya pada telapak tangan Ardi yang terbuka, kemudian ia mengangkat cangkir teh itu dan menyeruputnya dengan perlahan. Uap mengebul dari panasnya teh tersebut sangat cocok dengan suhu ruangan kereta yang dingin ini. Bersamaan dengan kondisi yang mulai tenang, mataku kemudian berusaha untuk kembali beristirahat, sampai kemudian mataku terbuka lebar kembali saat rasa tekanan yang sangat membuatku geram muncul lagi pada bagian pahaku.

“Ah … tadi bagian apa yang hampir kusentuh?” sebuah pertanyaan yang mengagetkanku muncul dari mulut Ardi, aneh dan tidak biasanya dia berkata seperti itu. tapi mungkin bagi laki laki itu adalah hal normal.

Tenggorokanku terasa terdorong dari dalam, menahan rasa geli saat pertanyaan bodoh muncul dari dirinya. “Bokong,” satu kata itu saja yang terlontar dari mulutku.

Ardi lalu menyeruput kembali tehnya dan lalu ia meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Suara bunyi dentingan pada kedua benda keramik yang bersentuhan serta sikap Ardi yang tiba tiba saja membeku membuatku berkira kira kalau sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang liar.

Bibirnya bergetar menggumam. “Nice, sesaat pikiranku jadi tidak jernih, ini tidak bagus.”

Akhirnya kekehanku keluar, tidak kuat mendengar perkataan konyol yang keluar dari mulutnya itu. “Jika kau tadi tidak kuhentikan … pasti cangkir mu sudah kosong dan pakaian kita semua basah sambil menjerit terkena air panas.”

Ardi menoleh sedikit ke arahku. “Sepertinya saranku untuk tetap terjaga adalah hal yang bagus,” ucapnya dengan bangga.

Aku hanya bisa menggeleng pelan mendengarnya dan membuang pandanganku, kembali memperhatikan pemandangan yang sekarang berubah menjadi hutan kayu jati. Tidak lama setelah itu muncul suara kereta kembali menjadi bising, pemandangan sawah sekarang telah kembali ke layar. Punggungku bersandar pada sofa yang empuk dan tidak lama berselang mataku sudah terlelap dan kali ini tidur tanpa ada gangguan sedikitpun.


iv.

Setelah beberapa jam berlalu, kami akhirnya sampai di depan rumah. Kembali ke rumah dan hanya kami berdua bukan lah hal yang bagus melihat rumah seluas ini. Dengan teras yang berdebu dan beberapa dedaunan kuning dan coklat yang berserakan di atas lantai kayu membuat rumah ini benar benar seperti rumah tua dan angker.

Kemudian kami berdua duduk di kursi untuk sementara, dan sesuai atas perintah Dito, aku menghubunginya disaat aku sudah sampai di rumah.

“Halo halo …” ucapku.

“Halo halo,” balas Dito, entah kenapa aku jadi kesal mendengar ia membalas begitu juga padaku.

“Kami berdua sudah sampai rumah.”

“Kalau begitu titah pertama yang saya berikan sekarang adalah, ambil sapu lalu sapu seluruh rumah,” ucap Dito lantang.

Mendengar itu mataku langsung sipit sebelah, tersenyum setengah berdiam dan tidak menjawab kata katanya barusan.

“Halo halo,” kata Dito saat mengetahui tidak ada balasan padanya.

Aku masih diam dan tidak membalas perkataannya barusan, hanya ada awan hitam yang lebat di atas kepalaku sekarang.

“Iya iya … baru saja saya menyuruh Nadya untuk memesan pengurus rumah agar segera datang dan membersihkan rumah, kalian tinggal bersantai dan menunggu perintahku saja nanti.”

Dengan lega nafasku menyembur keluar dengan sangat lancar. “Jadi, berapa lama kita akan berada disini?” tanyaku setelah mendiamkannya tadi beberapa saat.

“Entah lah … mungkin tiga atau seminggu, saya sedang melihat situasi dan kondisi saat ini setiap jamnya,” jawab Dito.

“Apa gak aneh kalau gua berpikir sebenarnya kita di taroh di rumah untuk dijadikan sebagai umpan untuk memancing orang itu keluar,” ucapku melontarkan isi benakku..

“Makannya saya awalanya cumang suruh si kampret biar modar. Tapi ya, 20% ucapanmu itu ada benarnya … hanya saja sekarang saya menyuruh kalian ke rumah bukan karena untuk memancing mahluk itu keluar,” jelas Dito.

“Terusss?”

“Yang sedang saya lakukan adalah memisahkan atau memencarkan kita semua agar orang itu kesulitan untuk mencari kita satu persatu.”

“Jadi lu tidak mau mengambil resiko untuk menghajarnya bersama sama dan malah menyelamatkan masing masing dari kita, begitu?” tanyaku menerka perkataanya tadi.

“Saya terkejut kalau kau bisa mencerna dengan cepat, tapi begitulah yang saya maksud. Dengan begitu keselamatan kita semua terjaga, dan jika dia tahu kalau saya belum mati dan kembali kesini, hanya saya dan Nadya saja yang tewas,” ujar Dito. kemudian diiringi dengan suara ketukan keras dari benda logam dari telepon. “Aw, iya iya, sakit,” ucap Dito lagi.

Kemudian mataku menyipit kembali saat mulai memahami sesuatu yang tidak beres. “Bukannya malah aneh ya kalau niatnya buat misahin tapi disuruh balik ke rumah, bukannya sama aja bunuh diri kalo gitu ye?”

“Ya … kalau itu saya juga tidak tahu, tapi seenggaknya kalau di kota kalian biasa dapat pertolongan jauh dan akses senjata lebih mudah daripada disini,” imbuh Dito.

Terpikirkan senjata, kemudian aku teringat kerisku yang seminggu lagi jadi. “Eh … seminggu lagi keris gua kan jadi, bisa nitip gak?” tanyaku dengan riang dengan sedikit nada memohon.

“Nitip? kalaupun saya bisa ambil juga tidak bakal diambilin, hanya kau saja yang boleh mengambilnya langsung dari itu engkong.”

“Et dah, sakral banget … masa gak bisa sih?” tanyaku memastikan.

“Iya … ada sesuatu yang bakal diomongin secara langsung, dan tidak bisa pakai video call ataupun hologram,” jawab Dito.

Mendengar jawaban itu membuatku kecewa, semoga saja kejadian ini cepat berakhir.

“Oh iya, saya ingin bicara pada Ardi.”

Kemudian aku mengoper earphoneku pada Ardi.

“Kau masih hidup? … Ada apa? … Hah? … Gapapa nih? … Oke deh kalo begitu, toh mau gimana lagi,” pembicaraan singkat mereka berdua lalu berakhir dan Ardi kembali memberikan earphoneku.

Aku kembali memasangkannya pada kupingku. “Si kampret bakal nunjukin sesuatu padamu. Sebenarnya sih itu saya yang buat dan harusnya saya yang ngasih … tapi, masa bodo lah kondisinya lagi darurat,” ucap Dito.

“Ngasih apaan?”

“Satu benda lagi yang harusnya kau punya … kalau benda itu sih gak butuh seremonial ato upacara segala.”

“Apaan?” tanyaku dengan nada makin kutekan.

“Ya … liat aja deh sendiri,” ucapnya mengakhiri pembicaraan kami.

“Benda apaan dah?” tanyaku melanjutkan rasa penasaranku kali ini padanya.

Ardi tidak berkata apapun, dan kemudian dia mengetukan pedang besarnya itu dengan ujung telunjuknya. Sesaat kemudian seringai besar muncul dari wajahku, otot ototku pipiku naik membayangkan sesuatu yang jauh lebih keren daripada keris membosankan itu sedang menungguku di sana.
nalaadikara777
brigadexiii
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.