Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#12
iii.


Waktu waktu terlewat menunggu pusaka sialan itu jadi, dengan mata tidak berhenti menatap monitor laptop dan mencari beberapa bentuk keris keris yang ada dari dulu hingga sekarang dari keris para raja raja hindu budha terdahulu hingga keris milik sultan sultan, membuatku semakin tidak sabar dan menjadi jadi layaknya anak kecil yang melihat gambar dinosaurus di buku bergambar. Tapi kadang rasa sabar itu tidak tertahan sampai ada rasa yang ingin meledak dalam diriku menahan dan betapa sulitnya dan lamanya menunggu benda itu jadi.

Terutama untuk masalah darah yang dibutuhkan dalam pembuatan keris, aku tidak menemukan sama sekali redaksi atau tulisan yang menjelaskan tentang kaitan serta fungsinya. Namun spekulasiku selalu mengarah ke hal mistis terus kucoba singkirkan. Sangat sadar bahwa tidak ada salahnya jika aku bertanya dan mungkin saja ini waktu yang tepat untuk menanyakan itu pada Dito, berhubung tadi aku sedang melihatnya minum minum, mungkin kalau ia setengah sadar mulutnya jadi terbuka dan bisa diajak bercerita.

Pukul 8 sore, tanganku membuka pintu dengan perlahan dan mengambil langkah mengendap endap dengan suara gesekan pasir sulit dihindari. Tujuanku kali ini sudah berada di depanku, rumah pantai yang didesain dengan pondasi batu yang tinggi sekiranya sampai di atas kepalaku, menjaga bangunan ini jika ada ombak besar atau air pasang.

Sebelum masuk, entah kenapa malah berusaha mengintipnya dari bawah jendela dan bukan langsung ke pintu, tepatnya di depan jendela kamar yang tertutup gorden. Kepalaku berusaha mencari celah dan posisi yang tepat untuk mengintip, menampilkan Dito yang sedang berjalan mondar mandir di depan sofanya dengan tv menyala dengan layarnya yang tidak bergerak, sepertinya ia sedang menghentikan tontonannya. Langkahnya kecil namun cepat, hal yang jarang sekali melihatnya melakukan itu, kecuali dia sedang berpikir keras, dan sepertinya mungkin ini itulah yang ia sedang lakukan. Kemudian kucoba mendekatkan kepalaku ke jendela untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas dan mencoba mencari suara suara yang keluar.

“Apa maksudmu mereka ingin melakukan hal itu,” ucapnya lantang..

“Tanpa persetujuan saya?! Apa mereka gila … saya sudah lama sekali melarang hal itu bukan … Hah?! prototype?! bagaimana caranya … itu bukan prototype lagi namanya, itu sudah sempurna ... Bajingan, tidak akan saya biarkan,” perkataan itu berhenti bersamaan dengan siluetnya yang hilang, namun langkah terburu buru muncul mengarah ke pintu depan dan kemudian suara pintu terbuka dengan kencang memunculkan sosoknya. Aku memperhatikan Dito yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana jeans.

Melihat wajahnya yang kesal, kuhentikan niatanku dan mencoba bersembunyi dan tetap di bawah bayangan, berusaha tidak terlihat olehnya. Kemudian ia membuka pintu mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, lampu mobil menyala disambut suara mesin yang keluar cukup keras. Segera mobil itu berputar menuju gerbang keluar lalu kemudian melaju dengan kencang di jalanan.

Suara pintu lainnya terbuka dengan kencang merespon suara mesin mobil yang nyaring itu. Nadya keluar dari kamarnya dengan baju tidur, wajahnya cekatan berusaha dari mana suara itu menghilang dan kemudian berlari tanpa mengenakan sendal menuju rumah Dito, kemudian dia berhenti sejenak melihat ke arah suara mobil kakaknya yang hilang dan berusaha menggedor pintu rumah Dito dengan kencang.

“KAKAK! KAKAK! MALING!” teriak Nadya memanggil Dito.

Aku yang tidak tega melihatnya seperti itu akhirnya keluar dari persembunyianku. “Itu tadi dia yang pergi, kayaknya sih terburu buru,” jelasku.

Nadya langsung memicingkan matanya mengetahui keberadaanku yang muncul dari kegelapan. “Ngapain disitu?”

Tanganku meraih rambut belakangku, menggaruknya sambil menunduk ke bawah malu. “Ah … tadi gua ingin bicara sesuatu ke Dito tapi dia malah pergi.”

“Tahu gak kemana?” kejar Nadya.

Wajahku kembali datar menghadap Nadya. “Gak, gak tahu sama sekali,”


iv.


Sudah lima jam berlalu semenjak Dito pergi, kami bertiga berkumpul di kamar rumah Ardi, duduk di sofa sambil melihat Nadya yang entah kenapa panik mengumpulkan kami semua di rumah kakaknya dan terus terusan berusaha menelepon kakaknya itu yang sejak dari tadi tidak menjawab.

“Ish … kenapa gak dijawab sih,” gerutunya.

Mataku berkaca kaca, menguap sambil menggaruk garuk kepalaku. “Yaelah, biarin aja kali mah si Bos lagi sibuk kali,” ucapku sambil berusaha menahan ngantuk.

“Kenapa aku malah ikut ikutan dipanggil juga?” kata Ardi kesal.

“MASALAHNYA ... kakak menghilang,” pekiknya.

“Aku tidak peduli mau dia hilang lalu mobilnya meledak atau semacamnya, aku ingin tidur,” balas Ardi yang malah memanas manasi suasana.

Melihat mata Nadya yang ingin sekali menyerbu Ardi membuatku seketika mencoba membuat pengalihan perhatian. “Ah … baiklah sambil kita menunggu, aku ingin menonton tv sebentar. Siapa tahu dia sengaja matiin bandnya biar fokus,” kataku sambil menekan nekan remot dan berusaha mencari siaran yang menarik malam ini, kemudian entah kenapa tanganku berhenti pada siaran berita, mungkin berita malam ada sesuatu yang menarik seperti orang mabuk atau penggerebekan anak anak nongkrong.

Sambil menyandarkan daguku dan menikmati berita, aku mencoba memperbesar volume suara untuk mengalihkan perhatian. “Berita terkini. Sebuah mobil dengan plat nomor kendaraan B 16 BOS terbakar hebat ditemukan di lahan sawah, belum diketahui pasti penyebab kecelakaan namun polisi memperkirakan bahwa mobil tersebut melaju dengan kecepatan tinggi dan oleng ke arah bahu jalan dan terpental hingga 15 meter. Petugas pemadam dengan cepat datang dan memadamkan si jago merah, namun anehnya polisi tidak bisa menemukan jasad pengemudi dan untuk sementara tempat diblokir untuk dilakukan proses olah TKP dan ditemukan beberapa gigi di dalam mobil yang diperkirakan milik korban. Menurun olah DNA cepat, korban teridentifikasi berinisial H.A.H. Itu saja breaking news malam ini, selamat malam sampai jumpa.”

Belum aku sampai terkekeh mengangkat pipiku melihat berita itu, Nadya kemudian berteriak kencang, dia menjerit jerit, berdiri sambil menaruh kedua tangannya di depan bibirnya, matanya banjir disertai menangis histeris. Aku yang melihat itu kemudian memperhatikan Ardi yang juga sedang menunduk memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Hampir saja dengan bodohnya sempat berpikir untuk bertanya pada Nadya kenapa dia menangis kejar begitu, sampai aku menyadari sesuatu tentang plat nomor yang disebutkan tadi, itu adalah plat nomor mobil Dito. Oh shit … REal shit … .

Suasana menjadi kacau, rasa kesal, sedih, bingung dan tidak percaya hal barusan kebetulan muncul dan mengagetkan kami semua. Melihat Nadya yang semakin menjadi jadi, aku berusaha mengangkat tubuh Nadya yang sudah bersujud di atas karpet, dia sangat lemas, wajahnya sudah sangat merah padam, tangisan dan keringat sudah mengalir deras membasahi wajahnya, bahkan mulutnya tidak bisa berhenti menganga dengan nafas yang kacau balau. Aku mengangkat kedua bahunya dan menaruhnya di atas sofa yang memelukku dengan erat dan sekarang bajuku malah jadi basah karena target tangisannya.

“Ini semua salah kak Ardi … INI SALAHMU!” jerit Nadya.

“Itu kebetulan aja … jangan salahkan aku kalau dia mati karena aku menyumpahinya, tapi aku tidak pernah menyangka dari sekian banyak doaku, malah yang satu itu malah yang terkabul paling cepat,” balas Ardi yang tahu alasan Nadya mengamuk padanya.

Aku tidak bisa tertawa dan mencoba ikut dalam kesedihannya, walau tidak tahu kenapa aku tidak sedih sama sekali, tapi ini malah membuatku merasa sangat bersalah.

“Sudah sudah … jangan bersedih … pasti dia akan kesal jika melihat kita sedih semua sekarang kalau dia mati. Mungkin … dia malah akan menyuruh kita tertawa terbahak bahak sekarang,” ucapku berusaha menenangkan nadya sambil menepuk nepuk punggungnya, tapi sepertinya aku baru sadar ucapanku tadi salah dengan reaksinya yang menjadi jadi.

Dan benar saja bukannya malah mereda, Nadya masalah semakin menangis dengan kencang, dia meremas kedua lenganku dengan sangat erat dan semakin memendamkan wajahnya ke dadaku kemudian memukul mukulku.

Suasana berkabung sekarang menyelimuti kami semua, aku ikut menundukan kepalaku, berusaha mengingat sosok Dito, tidak bisa dipercaya itu terjadi begitu cepat, aku bahkan seperti merasa bahwa Dito tidak mati, dia baru saja berada disini, bercengkrama bersama kami. Sudah beberapa tahun berlalu dia nememani kami, walau terasa sebentar bagiku.

Kemudian suara ketukan pintu terdengar di tengah tangis dan erangan ini yang malah membuatku lupa akan kesedihan dan ingin segera membukanya. Merasa menjadi orang satu satunya yang bisa meraih pintu saat ini disaat yang lain sedang bersedih adalah kewajibanku untuk membukakan pintu, Nadya sudah lemas tidak berdaya, Ardi yang tenang menundukan kepalanya tanpa terangkat sedikit pun ataupun merespon. Aku lalu menyandarkan tubuh Nadya di ujung sofa dan menaruh bantal besar untuk dia peluk lalu menyelimutinya.

Lalu suara ketukan itu muncul lagi. “Sebentar …” ucapku membalasnya, sambil menahan kesal kenapa dia orang itu tidak sabaran sama sekali.

Kemudian aku berjalan perlahan ke depan pintu, aku sedikit mengintip dari lubang pintu, tidak menemukan siapa siapa, lalu dengan was was aku memegang katup pintu perlahan lalu membukanya. Setelah pintu terbuka, penampakan yang di depanku membuatku langsung tertawa terbahak bahak saat itu juga, melupakan segala kesedihan dibelakang. Aku sangat yakin mungkin ini kali terakhirnya aku bisa tertawa sekeras itu seumur hidupku. Hal yang benar benar di luar perkiraanku dan juga sekaligus membuatku ingin sekali menghajar orang ini, aku benar benar harus menghajarnya tanpa ampun suatu saat nanti, aku berjanji.

“Ei liat … sejak kapan ada tukang paket malam malam begini,” aku kemudian sedikit menggeser badanku ke samping dan menunjukan sosok orang yang berada di depanku pada mereka.

Tangis Nadya langsung berhenti lalu dia langsung berdiri dan melemparkan bantal yang ia peluk tadi sekencang kencangnya yang malah mengenaiku.

“Emang jelek banget kalau cewe lagi nangis,” ledek Dito.
nalaadikara777
brigadexiii
simounlebon
simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.