Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#10
ii.

Bokong mulat terasa gatal dengan tanah yang mulai menggerogoti celanaku. Duduk di dekat sebuah lubang besar dari batu bata yang tersusun membulat dengan bongkahan bongkahan bara api menyala yang panas menyengatnya sampai sampai membuat wajahku kembali berkeringat kembali hanya dengan duduk di sampingnya. Telingaku ikut menjadi panas dengan suara dari mesin pompa angin yang berderu.

Dengan wajah lesu dan cahaya merah memantul dari matanya yang redup menatap tenagn setiap klidah api yang mencuat dari tungku itu. “Apa kau baru pertama kali melihat yang kayak begini bocah?” tanya Pak Saman sambil merapikan posisi sebuah panci yang dimasak di dalam perapian itu dengan capitan besi yang besar.

“Ah … iya pak,” jawabku pelan.

“Ah … sebenarnya aku masih sulit membayangkan pusaka jenis apa yang harus kubuat, tapi percaya saja lah nanti juga jadi,” katanya sambil mengusap keringat yang mulai bercucuran mengalir di keningnya.

“Memangnya bukannya keris semuanya sama saja, atau ada varian lainnya?”

Pak Saman bergumam. “Sepertinya memang anak jaman sekarang tidak ada yang tahu tentang warisan kebudayaan negara ini. Tapi ... YA, setiap keris punya ciri khas masing masing, bahkan setiap diantaranya mungkin beda.”

Aku terdiam, mendengarkan sambil terpaku dan terhipnotis melihat bara api yang menyala, sampai aku dikagetkan saat sebuah benda tiba tiba jatuh ke pangkuanku, ternyata ini sebuah kayu, tidak ini adalah sarung pisau. Aku mengambilnya dan langsung mencabut belati tersebut dari rumahnya dan melihat sebuah bilah keris hitam pipih dengan ujungnya yang sangat lancip.

“Perbedaan yang paling penting pada sebuah keris terdapat pada bagian pangkalnya dimana kau bisa melihat ada sebuah semacam gerigi disitu, itu disebut dengan greneng dan pada bagian satunya lagi yang tidak terlalu panjang dan melingker itu disebut kembang kacang, sisanya kau pelajari sendiri saja,” jelas Pak Saman sambil menambahkan beberapa butiran butiran ke dalam panci di tengah bara api itu.

Mataku berbinar binar menatap benda langka ini. “Mungkin ada makna tersendiri di dalam setiap ukiran detil ini ya …,” bisikku sambil mengangkat keris yang ukurannya sama dengan lenganku ini.

“Ya … itu lebih lengkapnya nanti kau lihat sendiri saja katalognya di depan.”

Sontak pandanganku menyerbunya dengan rasa kebingungan sekaligus jengkel.

“Ya … tapi kalau keris khusus macam ini mah emang tidak tersedia di katalog,” ucapnya menjawab kekesalanku.

“Jadi kapan kelarnya? malam ini?” tanyaku penasaran seperti anak kecil.

Pak Saman terkekeh sambil menggelengkan kepalanya secara perlahan. ”Untuk pengerjaannya butuh satu bulan.”

Mataku terbelalak tak percaya kata katanya. “SATU BULAN!?”

“Ya … memang wajar, punya Dito saja hampir delapan minggu.”

Ragaku seketika kehilangan semangatnya, kecewa dan menyesal terlalu cepat gembira, tidak menyangka pembuatannya akan selama itu. “Kenapa bisa lama begitu pak?”

Pak Saman memicingkan matanya, sambil tersenyum masam ke arahku. “Kau mungkin sudah tau atau pernah dengar ada semacam hal mistis yang kalau dijelaskan juga susah. Bahannya saja pakai darah dan batu meteor … wajar saja kalau ini tidak biasa. Masalahnya adalah kalau hasilnya jelek, Dito tidak akan mau bayar,” lengkapnya.

Aku mulai paham saat dia berkata begitu, aku mulai kembali melihat keris yang masih di genggamanku dan memperhatikan kembali pola dan serta bentuknya yang sangat rumit ini, mungkin aku terlalu meremehkan pekerjaan ini, dan karena itu juga Dito jauh jauh kemari cumang buat benda ini.

Pak Saman menggaruk kepalanya yang basah dengan kuku kukunya yang kuning itu. “Sekarang paham? daripada nunggu mending pulang saja … kalau sedang sibuk begini aku tidak suka diganggu,” ucap Pak Saman menggerutu.

Aku mengangguk dan bergumam pelan. “Oke oke … maaf ya pak, saya pamit dulu,” ucapku sopan sambil berdiri dan meninggalkannya sendiri dan masuk kembali ke ruang tamu melalui lorong gelap yang tadi sore kami lewati. Langit mulai menghitam, memang kami seharusnya cepat cepat ke penginapan sebelum malam.

Langkahku masuk kembali dan melihat Nadya yang masih bermain game dan Dito yang sedang mengobrol dengan Ardi, aku tidak sempat menguping pembicaraan mereka karena Dito tiba tiba memanggilku saat langkah kakiku masuk ke ruangan ini.

“Hei, sudah kelar?” tanya Dito.

“Yep,” jawabku singkat.

“Saya tadi tidak lihat, tapi kayaknya lawan si engkong udah terlalu gampang dikalahin ya. Nah sekarang waktunya ke hotel,” pungkas Dito.


iii.


Guliran roda memutar melewati jalan beraspal di gelapnya malam dalam perjalanan menuju penginapan, sesekali bunyi lampu sein yang berdetik detik berusaha merusaka konsentrasiku yang sedangasik mengkhayal tentang pusaka itu. Rasa penasaran ini terlalu besar untuk di tahan dan mungkin waktu sebulan bisa menjadi setahun, hanya ada senyum seringai kecil yang ada di wajahku saat ini membayangkan benda itu.

“Apa tadi gampang?” kata Dito dengan matanya yang terpantul dari kaca mobil sedang memperhatikanku.

“Ya … awalnya kaget saja saat diserang, tapi rasanya badanku gerak sendiri pas disitu,” jawabku dengan mata mengarah ke atas, beusaha membayangkan kejadian tadi.

“Bagus … berarti latihanmu tidak sia sia.”

Ardi menghembuskan udara kencang lewat hidungnya bersamaan dengan seringai kecilnya. “Tumben sekali sang Bos cepat sekali menilai … biasanya komentar pedes kayak cewe,” cibir Ardi.

Dito menyambar Ardi dengan kesal mendengar jawabannya itu. “Weh, oke oke, tidak ada puji puji lagi.”

Ardi tertawa mengetahui jawabannya membuat Dito marah. “Santai santai … kan tumben tumben aja gitu.”

“Ya … ya … ini kan sekalian momen liburan … sesekali saya coba tidak terlalu serius,”

Suara putaran roda berhenti dengan suara gemericik pasir yang saling bergesekan. Perhentian kami telah sampai di tujuan dengan rumah rumah kecil yang berjarak satu sama lain. Dari sini aku bisa merasakan angin sore yang mulai dingin bersamaan dengan suara ombak yang menyejukan telingaku dari sini. Mataku terpaku pada guliran air laut yang terlihat cukup besar menghantam karang, sementara Dito dan Nadya sibuk melihat lihat rumah rumah kecil ini. Seketika aku jadi penasaran apa saat ini Ardi sendang memebuka matanya. Dengan melangkah lembut kakiku berusaha tidak membuat suara saat menapakan langkahku, perlahan ku berjalan mengambil jarak ke arah sampingnya dan dia tetap tidak membuka matanya.

“Yep … kalian semua ambil masing masing barang barang kalian dan ambil tempat yang kalian mau …” sahut Dito dengan lantang melawan suara ombak.

“Ah … aku mau ambil rumah itu …” tunjuk Nadya sambil berusaha menyeret nyeret kopernya yang besar itu.

“Baiklah, saya ambil yang tengah,” ucap Dito santai melangkah ke tujuannya.

“Kalau aku-”

“Bisakah kita satu rumah Jaya?” potong Ardi saat telunjukku nyaris terangkat pada pilihanku.

Mataku menyerngit, ada seperti perasaan jijik. “Apa tidak bisa kau tinggal sendiri?” balasku dengan dahi mengkerut.

“Sebenarnya inginnya begitu … tapi sepertinya kondisinya tidak memungkinkan,” ucap Ardi tenang.

Paru paruku kosong menghela nafas panjang. “Terserah deh,” tanganku meraih pedang yang Ardi ia genggam sebagai tongkat berjalan dan menariknya ke rumah tujuanku.

“Tolong jangan ngambek.”



Mata kiriku bereaksi menahan kesal dengan ucapan barusan.

“Benar kan?”

“Diam ... !”


iv.

Malam sejuk dibawah lentera kuning yang teduh, memandangi siluet pohon pohon kelapa yang sedang menari nari menahan angin kencang dari laut yang gelap. Sesekali bola mataku menangkap cahaya cahaya putih kecil yang berada di ujung sana. Walau terasa aneh, tapi kali ini sedikit merasa beruntung saat membayangkan diriku yang saat ini bisa bersantai dan tiduran diatas kasur yang sangat empuk dari jendela yang lebar ini pula aku bisa mengintip bintang bintang di langit yang terlihat jelas dari sini, tidak seperti saat aku berada di kota.

“Apa kau punya hobi berkhayal Jaya?” tanya Ardi duduk santai mengelus elus Mandaunya itu di pangkuannya.

“Ah … bisa dibilang begitu.” jawabku sambil menerka nerka kalau ia sebenarnya mengintipku dan pura pura terpejam.

“Aku sebenarnya tidak suka mengkhayal,”

Mana peduli suka menghayal atau tidak. “Ya … terus?” jawabku cuek berusaha mengikuti obrolannya.

“Mungkin tidak nyambung. Tapi kau paham kan saat orang tua kita terbunuh? saat itu aku menyaksikannya sendiri dan … itu membuatku jadi suka berkhayal yang tidak tidak jika membayangkannya,” jawabnya tenang.

Ucapannya yang tidak kuduga itu membuatku jadi merasa iba, mungkin aku terlalu egois jika merasa paling menderita. “Apa kau melihat pelakunya?” tanyaku lirih menatapnya.

“Ya … SANGAT jelas. Membuat pikiranku berisikan dendam melihatnya. Aku tahu itu tidak baik, tapi aku butuh itu.”

Jawabannya membuatku bisa sekilas paham betapa gelap hidupnya, mungkin dia sangat dendam hingga membuat pikirannya rusak, mungkin itu sebabnya juga dia melakukan pelatihan aneh itu. “sampai sekarang apa kau masih dendam?” tanyaku sambil berusaha membuang wajahku.

Ardi menghentikan usapannya. “Dendam? tentu saja … tapi kata guruku dendam hanya membuatku jadi rusak. Aku memang jadi kuat tapi intiku jadi kacau,” jawabnya dengan seringai kecil dan melanjutkan gerakan tangannya tadi.

Aku berusaha berpikir positif. “Tapi untung saja semua sudah berakhir ya … tidak ada lagi yang mengganggu kita sekarang.”

“Mau damai ataupun tidak … tidak ada alasan untukmu untuk kabur dari latihan.”

Menyerngit mendengarnya, tidak terpikir ceritanya bisa melompat seperti itu, dia maniak kalau masalah latihan. “Adeh … bukannya gak mau latihan … cumang, adeh …,” jawabku muak mendengarnya.

“Oh … maaf kalau begitu, berhubung membahas latihan, sebaiknya kau istirahat sekarang karena besok kita akan latihan lagi,” ucap Ardi dengan sedikit gigi terlihat dari senyumnya.

Damn it ... katanya berlibur, malah latihan lagi. Wajahku langsung mengkerut mendengar berita buruk darinya lagi.
brigadexiii
itkgid
simounlebon
simounlebon dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.