Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#9
BAB V

i.

Aku memang jarang sekali berinteraksi dengan sebuah keluarga, tapi menurut kesimpulanku sepanjang kuhidup sampai sekarang, sebuah keluarga itu adalah kebersamaan. Tapi kalau mereka menyebut diri mereka adalah sebuah keluarga, dengan tingkat ketidak pedulian dan urusan masing masing yang mereka miliki saat ini, bagaimana bisa mulutku menyebut mereka keluargaku sendiri.

Langkah kakiku mengikuti Pak Saman, menyusulnya melewati lorong gelap dengan penerangan yang hanya mengandalkan cahaya matahari senja yang masuk dari lorong, akhirnya mataku sampai dimana cahaya matahari yang masuk menusuk mataku bersamaan dengan bau dari kepulan asap yang cukup hitam, dari arah asap itu aku bisa mendengar suara dentingan logam yang dipukul dengan keras dan aku bisa lihat beberapa orang sedang duduk bekerja disana dan beberapa lagi memperhatikan kami berdua. Sebelum tempat suara suara ketukan palu itu muncul, terdapat sebuah lapangan kecil yang beralaskan tanah merah dimana debu debu berterbangan saat pak saman berjalan menuju ke tengah lapangan berbentuk persegi ini.

Pak saman melambai lambaikan tangannya berusaha menyuruhku untuk berdiri bersamanya di tengah padang pasir merah itu. Aku yang tidak tahu rencananya hanya berusaha mengikutinya dengan langkah pelan sambil bernafas agak berat karena perasaanku yang seketika menjadi tidak enak.

“Ada apaan pak?” tanyaku merunduk, menghindari kontak mata dengannya.

“Cumang ingin memberitahumu sesuatu saja,” jawab Pak Saman.

Aku hanya terdiam, bertanya tanya kenapa tidak bercerita dengan duduk manis di atas kursi dan malah memilih berdiri di tengah lapangan voli. Kemudian ia membusungkan dadanya dan mengadahkan pangadannnya ke langit dengan telunjuknya menggaruk garuk garuk padi putih di dagunya. Seketika dia makin meinggikannya lagi dan lagi, berusaha menyentuh langit dengan seluruh wajahnya terpapar cahaya sore yang berwarna merah muda gelap. Tanganku tiba tiba punya keinginan untuk menyentuhnya, berusaha menegurnya karena takut lehernya kecengklak, tapi rasa ingin tahuku datang mencoba melihat sejauh mana dia bisa melakukannya.

“Untuk membuat sebuah keris yang sesuai kalian ini memang selalu membuatku sakit, untung saja ini kegiatan kegiatan terakhir yang dilakukan badan tua ini,” ujar Pak Saman dengan suaranya yang berubah menjadi serak serak dan tidak jelas.

“Oke … itu saja?” tanyaku.

“Jangan memotong perkataan orang tua, bocah … masih belum selesai,” ucapnya lehernya yang semakin serak. Mungkin jauh lebih baik jika aku suruh dia tidak menempelkan wajahnya ke langit langit saat bicara

Kali ini tanganku yang sudah mengumpulkan keberanian mencoba menepuknya. Namun baru setengah jalan, wajahnya sudah terlebih dahulu turun dari tempatnya tadi dan menghadapku dengan tatapan yang tajam, berbeda dari wajah sebelumnya saat kami berada di ruang tamu. Melihatnya begitu, dengan cepat kutarik kembali tanganku te tempat asalnya.

“Namun karena kalian punya bocah kaya raya itu makannya sepertinya aku jadi tidak punya banyak pilihan lain dan menuruti kepentingan keluarga kalian,” lanjutnya menghiraukan tindakanku tadi.

Mataku melebar sejenak sebelum memicing saat sadar apa maksud dari perkataannya tadi. “Jadi … Bapak ada masalah uang?” tanyaku memastikan.

Wajah kerutnya pun tertawa kecil, mata tajamnya terlukai, kembali seperti semula. “Ah bukan begitu … ya lebih tepatnya bisnis, tapi tentu saja semua orang suka dengan uang bukan,” ucapnya bangga tanpa rasa menyesal. “Tapi tujuan kita kali ini bukan bicara masalah itu, aku akan membuatkan pusakamu nanti, tapi sebelum itu aku harus bisa merasakan pusaka yang cocok untukmu seperti apa,” kata Pak Saman sambil menodongkan telunjuknya.

“Ada list pilihannya?” tanyaku penasaran, membayangkan keris seperti apa yang keren untukku sendiri.

Pak Saman terkekeh. “Tidak tidak … bukan seperti itu,” ucapnya. Lalu langkahnya terbang, melompat kecil dan mendaratkan kedua kakinya yang telanjang dengan mulusnya menghamburkan debu merah di tanah ke udara dan langsung mengarahkan tinjunya ke arah dadaku. Walau sudah terlambat, namun tanganku bergerak sendiri berusaha meraih tinjunya yang ia kemudian tarik dengan cepat.

Kemudian tangannya datang lagi dan kali ini melesat ke arah kepalaku. Mataku yang takut langsung terpejam dan berusaha menangkap tangannya lagi tanpa melihat. Setelah itu hanya ada panas menempel di pipiku dengan kepala yang mulai ikut sama panasnya.

“What the … sial-,” belum selesai lidahku mengumpat, langkah kaki kanannya orang tua ini maju sedikit sampai berada di antara kedua kakiku dan bersamaan dia melontarkan tapak tangannya ke dadaku, masuk telak mengenaiku sebelum sempat tangan kiriku menangkapnya lagi. Serangan tadi begitu tiba tiba dan memaksaku sampai melangkah mundur, berusaha fokus dan kali ini aku tidak bertanya tanya lagi dan langsung menyiapkan kuda kudaku dengan tangan kiriku membuka kedepan dan bersiap mencengkram dan sisanya sudah bersiap dengan tinjunya di dekat pinggangku.

“Benar benar masih hijau ya … ,” ucapnya dengan kerutan dahinya yang menampilkan rasa tidak puas, namun matanya tidak berhenti menatap posisi kakiku.

Aku berusaha tidak meresponnya kali ini dan tetap berfokus saat kemungkin dia akan menyerangku lagi saat aku mencoba membuka mulutku. Dan benar saja, belum setengah detik ia selesai bicara, langkah kaki kirinya maju dengan cepat disambut dengan kaki kanannya terbang mengarah ke wajahku. Aku sudah bersiap dan mulai panas dengan berhasil mencengkramnya, menangkap tulang keringnya tua itu menahan posisinya tetap berada di atas sambil susah payah ia menariknya. Nafsuku yang sudah berapi api tidak berpikir panjang dan kulontaran tinjuku kali ini tepat ke perut pak tua ini.

Lagi lagi belum sampai pada tujuannya, tinjuku ditangkapnya tangan kirinya dan kali ini dia melontarkan tangan kanannya untuk kedua kalinya ke arah wajahku, dan memukulku lagi tepat ke bagian perut. Konsentrasiku hilang dan tidak sadar tanganku melepaskan kaki kurus itu ke tanah.

Akan tetapi kakinya jatuh dengan posisi tidak sempurna, membuat Pak Saman kehilangan keseimbangannya. Melihat kesempatan emas ini, aku mengambil tendangan tepat ke arah tumitnya yang merobohkannya seketika, debu debu berhamburan saat tubuh tua kurus itu terjatuh dengan posisi tangan masih menggenggam tinjunya.

Itu terjadi begitu cepat dan aku masih tidak menyangka aku merobohkannya, perasaan tidak enak dan serta puas bersamaan mengalir dari otak hingga ke ujung kakiku. Nafasku kemudian menjadi tidak beraturan semakin menyadari kalau aku sepertinya terlalu keras pada orang ini.

Mataku semakin melebar melihatnya yang masih terlentang di atas tanah. Niatku kemudian timbul dan mencoba mengulurkan tangan, namun terlambat saat ia melompat, menghempaskan tubuhnya ke udara dan kembali pada kuda kuda seperti tidak terjadi apa apa. Kaget dan bingung melihat gerakannya itu cukup bagus di umurnya, pasti di masa emasnya aku sudah habis dari awal saat berhadapan dengannya.

“Tadi ada kerikil namcep, tapi tidak menyangka akan jatuh saat itu juga. Pasti latihanmu berat ya bocah dengan kuda kuda kokoh seperti itu,” kata Pak Saman sambil mengatur kembali nafasnya yang mulai terengah engah sambil mengibas ngibaskan pakaiannya yang kotor dengan tanah merah menempel dimana mana.

“Saya suka tipe yang diam saat bertarung, sama seperti Dito. Namun sepertinya kau tidak kuat seperti bocah kaya itu,” ucap Pak Saman dengan kondisi yang mulai rileks.

“Tolong pak jangan disamakan,” pintaku.

Pandanganku teralihkan saat mendengar orang orang yang tadi bekerja sekarang sibuk menontoni kami berdua, suara suara dentingan besi sudah hilang berubah menjadi suara gosip gosip kecil yang bergeremang di telingaku, melihat beberapa dari mereka mulai merogoh kantongnya dan mengoper ke temannya. Analisisku mengatakan sepertinya sudah terjadi pertaruhan kecil disini.

“Biarkan saja mereka sementara, kita fokus dulu,” ucap Pak Saman.

Menuruti perkataanya, akhirnya kami saling menatap tajam dengan melempar segala intimidasi dari bola mata kami. Dengan gertakan langkah langkah maju mundur yang cepat, kaki lesu itu kembali membentuk ototnya yang berusaha menakut nakutiku. Aku hanya terdiam tanpa berkata apa apa, bersiap serangan selanjutnya. Kemudian sesuatu mencuat dari benakku, entah kenapa aku tidak suka dengan ide ini tapi tidak ada salahnya mencoba.

Kaki lincah itu masih menari di atas pasir merah dengan debu yang mulai berterbangan di udara berusaha menghalau pandangan serta nafasku. Namun semakin lama gerak gerik itu berubah menjadi tarian yang terdengar jelas berirama di kepalaku.

Suara kaki itu seketika menghilang dengan sambutan dari arah bawah datang, sebuah sapuan kaki yang lincah itu datang dan langsung tepat mengarah ke bagian samping dengkulku. Mataku melebar mengetahui ini bukan lagi serangan orang yang sama seperti sebelumnya, tenaga ini luar biasa dan bahkan aku bisa merasakan tempurung kaki ini bergeser dari tempatnya.

Sontak kaget merasakan serangan itu, aku berusaha melompat dari serangan keduanya yang datang kali ini ke arah tumitku. Dengan kuda kuda yang goyah kakiku berusaha menopang tubuh berat ini agar tidak jatuh. Kesadaranku yang terlalu sibuk memperdulikan kaki bodoh ini tidak sadar ketika sebuah pukulan tiba tiba menembus kabut debu yang berhamburan, sebuah tinju melayang tepat masuk ke perutku. Kehilangan semua kendali akhirnya badanku menyerah dan jatuh tergeletak di tanah dengan rasa sakit seperti ingin memuntahkan semua isi perutku ke atas tanah.

“Sudah?” sayup sayup suara dari gelap sana.

Nafasku yang mulai tidak beraturan berusaha kembali mengumpulkan fokusnya. Tangan yang tertusuk tusuk gundukan tanah mencoba menopang dan mengangkat badanku. Pikiranku telah menyerah namun kenapa hatiku malah mengambil kendali badan ini dan mencoba bangkit.

“Satu lagi,” ucapku yang semangat meminta bunuh diri dengan berdiri mengambang di atas tanah, berusaha menyeimbangkan badanku yang terombang ambing akibat serangan tadi.

Langkah kakiku yang mulai tidak waras maju terlebih dahulu dan bersiap mengarahkan tinjuku ke arahnya, kaki kananku menapak dekat dengan posisinya lalu mengarahkan pukulan tangan kananku ke wajahnya, ini kulakukan untuk mengecohnya agar ia menangkap tinjuku dan membuka pertahanannya dan benar saja dia berusaha menangkis tinjuku dengan tangan kirinya. Dengan perangkap yang telah termakan itu, cepat aku menarik pukulanku dan langsung mengarahkan tinju tangan kiriku yang sudah kusiapkan dan menembakannya ke arah wajahnya, tapi tapak sudah bersiap dan berhasil melontarkan tinjuku ke udara yang disambut tapak kirinya langsung mengarah kembali ke dadaku. Namun sepertinya orang tua ini tidak sadar bahwa kakiku sudah berada di antara kuda kudanya dan benar saja saat tapaknya melaju dengan cepat, kakiku mencongkel kuda kudanya dengan kencang hingga melontarkannya kembali ke udara dan untuk kedua kalinya tubuh yang kurus kering itu terbaring di tanah.

Aku kali ini menatapnya dengan sedikit seringai, melihatnya jatuh kembali membuatku merasa puas. “Apa sudah selesai pak?” ejekku.

Pak Saman menyipitkan matanya dan raut wajahnya menjadi masam, mungkin dia kesal karena telah dipermalukan di hadapan anak buahnya itu yang kulirik beberapa dari mereka cemberut dan beberapa dari mereka bersorak ceria sambil tertawa. Bukan hanya aku saja yang sepertinya sudah puas disini.

Mendengar suara teriakan dari anak buahnya itu membuat orangtua yang sedang terbaring ini makin kesal. “Hei kalian pulang sana, waktunya bubar,” perintah Pak Saman dengan gerundelannya yang disambut dengan gerakan cepat anak buahnya yang berhamburan dan berlarian ke arah samping rumah.

Aku lalu berusaha mengangkat tubuh Pak Saman yang sepertinya mulai linglung saat kucoba angkat. “Maaf pak?” tanyaku berusaha meredakannya.

Pak Saman mengambil nafas dalam dan raut wajahnya berusaha kembali bugar saat ia mencoba berdiri. “Aku kalah karena umur. Harusnya aku pemanasan dulu, sepertinya malam ini aku harus telpon tukang urut,” jelas Pak Saman.

Aku hanya mengangguk dan membantu mengantarkannya berjalan yang mengarah ke tempat yang dari sini terlihat sebuah tungku api menyala.
brigadexiii
itkgid
simounlebon
simounlebon dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.