Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#8
ii.


Di balik jendela hitam yang mataku masih bisa menembus, melihat apa yang ada di luar sana. Sayup sayup berusaha untuk sadar dan dengan bantuan cahaya mentari terik yang menembus masuk membantuku untuk bangun. Duduk di kursi yang empuk dengan udara yang dingin, ya aku baru ingat kalau sekarang aku sedang berada di dalam mobil. Dari belakang aku melihat Nadya dan Dito yang berada di bagian depan dan di sampingku sekarang Ardi sedang duduk termenung, aku tidak tahu apa dia sedang tidur atau terjaga dalam posisi tegapnya itu, walau sedikit terguncang mengikuti irama mobil yang sedang melintasi jalan berlubang.

Suara mesin yang berdengung di telingaku membuatku merasa bosan dan ngantuk sampai aku kembali memperhatikan pemandangan di balik layar kaca mobil yang dipenuhi dengan pepohonan, walaupun aku sudah biasa dengan pemandangan ini setiap harinya di rumah namun naluriku menyuruh untuk membuka jendela dan menghirup udara segar, dan ternyata hanya dikecewakan dengan udara panas dan penuh debu yang berdeburan.

“Jangan buka jendelanya!” perintah Dito.

Aku hanya bergumam dan mengangguk kecil kemudian kembali menutup jendela.

“Tidak ada udara segar di sekitar sini, daerah ini penuh dengan pabrik, disini tempat industri.”

“Memangnya kita sudah sampai mana sekarang?” tanyaku sambil berusaha mengingat ingat tujuan kami.

“Di daerah banten, kita akan sampai ke tujuan kita sekitar satu jam lagi.”

Aku memangkukan daguku pada telapak tanganku,mengingat ingat kenapa kita ke daerah banten. Dan gambarannya akhirnya cukup jelas melintas di ingatanku saat mataku terpejam dan mendapati rekam setelah Nadya menyedot darahku dengan sebuah benda semacam tabung yang terdapat semacam jarum kecil kecil di bagian bawahnya dan tanpa basa basi langsung ditancapkan ke tanganku. Sebuah bulatan hitam kini tertato di tangan kananku, tidak perih dan sakit namun yang kupikirkan saat ini adalah apakah jarum itu steril atau tidak.

Kemudian setelah darahku diambil, Dito langsung bilang kalau besok kita semua akan ke daerah Banten dan membuat pusakaku di sana dan menginap beberapa hari disana dan kalau bisa menunggu pusakanya kelar. Setelah itu, malamnya kami bersiap siap untuk pergi dan paginya kita semua berangkat. Tidak banyak pakaian yang kubawa karena Dito mengatakan kalau kurang pakaian, lebih baik beli saja disana. Ya jujur saja, saran orang kaya memang sangat sulit untuk ditolak.

Mataku tiba tiba melotot saat sesuatu yang sangat penting dan terlupakan melintas begitu saja dari kepalaku. “Dito,” sahutku. “Kau ingat kan kasus orang mati membengkak?”

“Ya … apa kau melihatnya?”

“Bukan ngeliat lagi, tapi bertarung melawannya,” aduku.

“Hah?! ... Bertarung? … apa anda mengigau?” ledek Dito.

“Kagak lah. Awalnya ia mengamuk, lalu beberapa saat setelah mencoba gua lawan, ia menjadi panas dan membengkak, lalu tewas di tempat.” jelasku terburu buru.

Dito bergumam. “Saya kira itu berita bohongan, ternyata sampai segitunya ya …. Kasus ini memang sedang diselidiki, tapi akan coba saya kejar sekarang kalau sampai separah itu,” lirih Dito dengan serius.

Sekejap sebuah kepala dari depan muncul, menoleh ke arahku dengan rambut mekarnya yang berguncang. “Seriusan kak?! ihhh … serem banget kalo gitu. Terus kak Dewi gimana?” kejar Nadya.

“Dia baik baik saja, tapi pas gua antar pulang, rasanya dia masih shock gegara ngeliat orang mati di depannya begitu,” keluhku memalingkan mataku ke arah lain.

“Iya pasti lah … terus kakak gimana?”

“Itu dia masalahnya. Saat gua bertarung melawannya, tangan gua menangkis serangan orang itu dengan tangannya yang besar dan bengkak. Kemudian sampe kemarin ini tangan terasa panas sekali, seperti terbakar dari dalam.”

Nadya menatapku tajam, lalu matanya dilempar ke arah Dito yang ikut menyambutnya. “Kakak tahu apa yang aku pikirkan?”

“Ada di laci. Ingat, selalu tembak di kepala,” ujar Dito.

Aku terputus sedikit, tidak paham apa yang mereka maksud hingga saat tangan Nadya meraih pintu laci. Kepalaku sampai maju tidak percaya dari sini bisa terlihat jelas sebuah pistol berada di dalam situ.

“Wow, WOW … tenang dulu!” teriakku panik.

“Kita tidak bisa ambil resiko, makhluk itu pasti sudah di perutmu.”

Nadya yang tidak peduli dengan peringatanku tetap mengambil senjata itu dan kemudian terdengar suara klik. “Ini yang paling cepat kak,” ucapnya santai sambil menodong pistol itu dengan lobang gelap dan kecil terlihat jelas di bola mataku. Pandanganku gelap, mataku tertutup dengan keringat yang mulai mengucur deras dari dahiku. Cepat sekali.

Bunyi klik terdengar nyaring masuk ke telingaku. Pandanganku tetap gelap dan takut membuka mata, sampai akhirnya aku bisa merasakan panas di area wajahku. Apakah ini rasanya mati. Sampai aku memastikan kalau tubuhku yang masih tegap mulai terombanga ambing dengan irama mobil. dengan wajah semakin panas akhirnya aku membuka mataku dan melihat sebuah kuncup api menari nari.

Tidak ada hal lain yang mengisi ruang mobil ini selain wajah mereka yang jelek dan tawa mereka berdua yang sangat kencang.

Telingaku berdengung dengan mendengar mereka memaksaku kembali membuka jendela dengan mencoba melihat suasana sepanjang jalan yang mulai berubah, memperlihatkan pantai berpasir putihnya dari jalan yang dipagari pepohonan kelapa yang menjulang tinggi. Sesekali pandanganku teralihkan oleh banyaknya bus bus dan villa yang memenuhi pantai, ini baru pertama kalinya aku ke pantai dan kalau tidak salah namanya Anyer, tapi aku yakin disetiap bagian pantai ini masing masing punya namanya sendiri sendiri, aku jadi merasa bodoh menyebutnya.

Pikiranku yang sedang kesal dengan diriku sendiri kemudian bebar saat Ardi menepuk ku dan membuatku sedikit terlontar karena kaget, namun aku tidak berkata apa apa dan hanya menoleh kesal ke arahnya.

“Apa kau pernah megang keris, Jaya?” tanya Ardi dengan posisi lurus menghadap bagian depan mobil, dan tentunya dia masih terpejam.

“Gak pernah, emangnya kenapa?”

Ardi bergumam sejenak. “Sedikit bocoran, setiap keris yang asli selalu memiliki sesuatu yang mungkin kita bisa bilang jiwa di dalamnya.”

“Terus?” kataku.

“Jiwa keris itu akan terikat pada pemiliknya dan akan begitu sampai yang punyanya mati, itu akan melambangkan sifat dan karakteristikmu.” lanjut Ardi.

“Kenapa malah cerita aneh begini? harusnya kita tidak percaya takhayul kan Ardi,” balasku begitu karena aku tahu Ardi dan aku sama sama muslim dan yang kupahami semestinya kita tidak percaya hal macam itu.

“Kalau masalah itu aku yakin kau jauh lebih pintar daripadaku, tapi aku hanya mengatakan hal yang memang intinya adalah kau dan kerismu itu bagaikan sebuah tubuh … itu saja,” balas Ardi santai.

“Saya tidak peduli masalah agama kalian, tapi … Ardi bilang begitu karena, ya … hal itu benar benar nyata,” ujar Dito mengikuti percakapan kami.

“Ya … gua pernah dengar ceritanya, tapi kalau beneran sampai seperti punya nyawa gitu, bukankah aneh?” tanyaku heran lalu kembali mengalihkan pandanganku ke jendela, mataku melebar, tidak sadar pemandangan sudah berubah menjadi hutan yang cukup lebat hingga matahari tidak bisa menembus ke tanah dan jalan yang kami lewati semakin berliku liku.

“Sulit untuk menjelaskannya sekarang, tapi intinya kau nanti akan paham sendiri saat kau pegang,” ungkap Ardi.

“Ya jangan spoiler lagi, biarkan si empu matre saja yang cerita. Sekarang kita hampir sampai.”

Setelah Dito berkata seperti itu, mobil kami masuk ke sebuah jalan yang cukup sempit dan disekelilingnya di selimuti oleh pepohonan rindang dan tinggi, sampai akhirnya mobil kami berhenti. Aku menoleh ke kaca depan dan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan terlihat sederhana dengan atap dari genteng tanah liat merah dengan rumah yang sepertinya keseluruhannya terbuat dari kayu dengan warna coklat, terlihat rumah ini sepertinya cukup tua namun terawat dan bersih.

Kami turun semua turun dari mobil, pemandangan kali ini menyambut kami dengan sejuknya udara di daerah hutan. Di bawah atap pepohonan yang rindang, rumah tua ini terlihat sangat sepi dan tidak terawat. Namun di bagian samping rumah berkata lain dengan banyak sekali motor yang terparkir dan kepulan asap dari arah belakang rumah terpampang jelas menerobos payung hijaunya pohon.

Aku melihat Dito yang sedang berusaha menelepon seseorang dan juga Nadya yang sedang sibuk melakukan peregangan setelah membeku selama beberapa jam di kursi sementara Ardi mematung di samping mobil.

Suara ketukan muncul dari pintu depan rumah. Mata kami menyatukan pandangan kami ke suara keras dari nada kayu yang seirama, suara langkah sendal bakiak dengan sosok orang yang kemudian muncul dari balik daun pintu hijau itu.

“Sibuk sekali sampai sulit di telepon, apa bisnis berjalan lancar?” sahut Dito dengan suara beratnya.

“Begitulah … tapi tetap saja bisa kau lihat rumah ini sudah tua dan ingin ambruk, menangis meminta dana untuk renovasi,” ucap orang itu dengan nada lembutnya dengan lidah seperti tertahan. Berpenampilan kepala lima dengan rambut yang terlihat di beberapa bagian sudah memutih, wajahnya kotak berbadan kurus menggunakan kacamata bundar, pakaiannya hanya mengenakan kaos dan celana pendek selutut dan kakinya dijinjing oleh sendal bakiaknya itu yang cukup tinggi.

“Ambrukin dulu, baru nanti saya kasih bantuan,” jawab Dito dengan pedas.

“Yakin? sejak kapan Dito jadi sangat murah hati,” balasnya.

“Itu urusan nanti, sekarang waktunya berbisnis.”

“Yah … kita suka bisnis.”


iii.

Langkah kami satu persatu memasuki rumah ronta ini sambil mendengar rencana Dito setelah ini kami akan pindah ke penginapan nanti malam dan bukan bermalam di gubug ini. Di atas kursi rotan kami berbincang bincang dengan bapak tua ini dengan ditemani teh hangat dan sepiring singkong rebus, dengan telinga kami yang sibuk mendengarkan Dito dan bapak tua itu mengobrol.

Dito memanggilnya Engkong Saman, dari cara bicara dan pakaiannya yang seadanya bisa kusimpulkan kalau dia orang yang baik dan sederhana. Tapi dari alur obrolan dia pada Dito dipenuhi dengan banyak sekali keluhan pada Dito masalah uang dan sebagainya, seperti anak mengeluh pada pada orang tua, namun Dito hanya Menatap kosong pak tua itu dan menghiraukan kata katanya.

“Cukup ngelanturnya kong,” sela Dito. “Kami kesini mau membuatkan bocah ini kerisnya, dia adalah anak terakhir,” ucapnya.

“Oh … jadi ini anaknya si Bagus ya … aku masih inget saat bapak kamu muda. Saat itu bapakku membuatkan keris untuknya … benar benar waktu cepat sekali ya, namamu siapa?” tanya bapak itu padaku.

“Nama saya Jaya … Jaya Tulus kimpoidra,” jawabku dengan gugup.

“Jaya ya …,“ gumam Pak Saman sambil ujung ujung jemarinya mengelus dagunya dan matanya mengarah ke langit langit. “Nama pasaran.”

Mataku menyerngit mendengar sesuatu yang tidak terduga itu.

“Sekarang ikut ke belakang,” tunjuk Kong Saman ke arah pintu gelap di belakangnya.”

“Untuk apa ya pak?” tanyaku bingung.

“Ya ikut saja,” ucap Kong Saman dengan mengambil langkah berjalan membuka pintu yang ia tunjuk tadi.

Aku sejenak memperhatikan Ardi dengan mata yang lelah melihatnya duduk terpejam dengan tenang dan disampingnya Nadya sibuk memainkan hpnya, sementara Dito yang duduk santai sofa sambil menyantap singkong rebusnya yang masih mengepul di mulutnya saat dia mengunyahnya. Dito yang sadar melihatku belum bergerak sama sekali mengepak ngepakan pergelangan tangannya, menyuruhku mengikutinya. Aku tidak bisa berkata apa apa lagi dan mengambil nafas berat, mengangkat langkahku ke tujuan Kong Saman.
brigadexiii
itkgid
simounlebon
simounlebon dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.