Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#7
BAB IV

i.


Di dalam perjalananku kembali, melewati butiran butiran kecil sisa hujan yang mencoba untuk tidak berhenti turun. Pandanganku sesekali terlihat saat melangkah dengan kumpulan kilauan yang menggantung di alisku, berusaha mengusapnya. Angin dingin yang mulai mengalir, berusaha membawa rasa panas di tanganku yang sejak tadi belum pergi.

Aku hanya termenung selama di jalan, seakan lupa saat saat dengan Dewi dan malah memikirkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku memang pernah mendengarnya, namun saat mengetahui dan merasakannya sendiri, bagaimana bisa orang itu menggila seperti itu, apakah ini sebuah virus baru, atau malah bisa saja rasa panas ini bisa menular dan membuatku sama sepertinya. Keadaan ini boleh ditutup tutupi, aku yakin Dito tahu sesuatu tentang hal ini yang bisa membantuku.

Perasaan tidak enak ini terus berlanjut hingga tanganku meraih gerbang yang dengan gerbang yang basah dan penuh dengan perasaan berpasir di tanganku. Mataku terpejam dan berusaha menenangkan diri sebisa mungkin, berharap ini bukan sesuatu hal yang buruk, sampai akhirnya pendengaranku mulai dipenuhi dengan celotehan orang orang dari dalam pagar yang terdengar sampai kesini.

Saat aku memasuki gerbang rumah, aku sudah bisa melihat mereka sedang duduk di kursi kayu jati besar itu, dibawah sinar lampu pijar yang hangat serta beberapa cemilan. Saat aku menutup gerbang, Dito langsung memakiku dengan teriakannya, aku tidak begitu mendengar dan menghiraukan apa yang ia katakan karena rintikan distorsi hujan masih saja turun dan membuat telingaku kedinginan.

Aku berjalan dengan cepat melewati menembus cahaya cahaya bersama rintikan hujan yang membuat pakaianku cukup kebasahan. Namun setelah sampai sepatuku menginjak teras, sesosok yang tidak kusangka malah muncul di tengah tengah tempat ini dengan mata terpejam dan batang hidungnya yang menghirup secangkir kopi di tangannya.

“Kenapa anda pulang malam malam begini. Apa ini karena seseorang tidak becus melatih anak didiknya?” sindir Dito.

“Dia itu bukan anak kecil,” jawab Ardi santai.

Aku hanya terdiam dan melangkah pelan, meraih kursi kosong dan mengistirahatkan badanku disana. Bukannya ini belum sampai setahun.

Aku melihat wajah Dito yang dengan sedikit seringainya yang menatapku, dia tampak senang menganggapku sebagai anak kecil, aku hanya bisa membalasnya dengan tatapanku yang tajam.

“Jadi … karena Jaya sudah datang maka apa kita bisa mulai wahai saudara Ardi,” kata Dito dengan nada beratnya itu.

Ardi yang dari tadi duduk dan berdiam diri saja sekarang merebahkan punggungnya dan menyandarkan sikunya pada sandaran kursi, berusaha menutupi wajahnya dengan tapaknya. Tanganku mulai menarik secangkir teh yang masih penuh tersisa di atas meja. Sebelum bibirku menyentuh gelas yang panas, mataku tertegun pada sebuah gulungan kain putih yang agak lebar, pipih dan panjang tergeletak di atas meja. Melihat panjangnya hampir mencapai kedua ujung meja ini yang sekitar satu setengah meter.

“Jadi bisa kita mulai dari mana tuan tuan dan nyonya.”

Jiwaku yang penasaran tidak bisa berhenti menatap benda asing itu. “Ah … sebelum itu … ini apaan dah di meja? benda keramat?” kejarku. Ucapanku membuat Ardi memalingkan wajahnya ke arah Dito dengan mata tertutupnya itu.

“Seperti biasa, sok sok an misterius?” ucap Ardi dengan nada lembutnya itu, sepertinya tidak ada yang berubah darinya, selain tingkahnya yang memejamkan matanya itu.

“Ya kau tinggal ceritakan sendiri saja lah ... kau juga tahu bukan hobi saya untuk banyak cerita,” sanggah Dito.

Ardi hanya bisa termenung dan sambil mengusap usapkan jemarinya ke kedua alisnya, nampaknya pening meladeni kata katanya. “Baiklah begini saja, intinya aku pulang bukan karena mempermasalahkan tentang Jaya yang belum mendapatkan pusakanya,” Ardi hening sejenak dan mengarahkan wajahnya ke Dito yang dia juga memalingkan mukanya ke langit langit sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan besarnya, merasa tidak bersalah. “Atau karena mempermasalahkan tentang penemuan baru yang kau buat bersama perusahaan temenmu itu, tapi aku pulang kembali karena sebuah mimpi buruk dan firasat buruk, itu saja.”

Dito langsung terlempar ke depan, matanya melesat ke arah Ardi dan dengan cepat menampar pangkal betisnya sendiri cukup kencang hingga suara tepukannya menyapu suara rintikan hujan di telingaku. “BODO AMAT. Maksudnya apa, hah? kabur selama setengah tahun ... terus pulang pulang jadi sarjana dukun gitu?!” pekik Dito sembari menahan tawanya.

Ardi bergumam, kali ini dia mengelus elus alisnya. “Jadi begini … aku tidak akan menceritakan secara panjang tentang mimpiku dan perasaan burukku dan intinya adalah sebuah musibah besar akan menimpa kita semua.”

Dito mengerutkan dahinya, menanggapi perkataan Ardi kali ini lebih serius. “Apa ini masalah sahamku? atau perusahaanku?”

“Aku tidak yakin.”

“Kalau begitu tidak penting,” sambung Dito.

Ardi mengambil nafas dalam dan mengangkat sedikit senyumnya. “Baiklah baiklah mungkin memang tidak masuk akal dan aneh, berarti aku simpan sendiri saja di otakku. Berarti sekarang adalah kenapa Jaya belum mendapatkan pusakanya?”

“Ya … tahun ini sedang sibuk, jadi …” Dito memalingkan pandangannya padaku. “Apakah kau pernah donor darah sebelumnya?” tanya Dito dengan nada seperti menawarkan dagangan.

“Hah, Apaan dah?” tanyaku kebingungan mengikuti pembicaraan semakin melantur ini.

“Baiklah kita cepat saja. Nadya ambilkan sayajarum besar?”

“Siap kapten,” seru Nadya yang langsung melompat dari kursinya dan ke melesat dalam rumah.

“Eh apa apaan dah, kebiasaan banget orang mah jelasin dulu,” erangku kesal.

“Jadi ...untuk membuat sebuah pusaka kita butuh darahmu,” kata Ardi. “Setiap dari kita harus membuat … maksudku memiliki pusaka sesuai dan juga kita akan memiliki senjata kita masing masing sesuai warisan kita,” jelasnya.

Aku hanya menggeleng sambil menghela nafas. “Serius dah ... dari awal datang kenapa omongannya gak jelas banget dah,” lirihku. “Coba tolong jelaskan baik baik ... dan perlahan, baru nanti aku ambil kesimpulan,” rintihku perlahan.

“Kau masih ingat kan bahwa kita ini apa?”

“Apa?” tanyaku balik.

Ardi kali ini menepuk wajahnya lagi. “Kita ini Wiro Keris … dan setiap dari anggota Wiro Keris harus memiliki masing masing satu pusaka dan setelah pusakanya jadi … kau akan diberikan senjata khususmu … maksudku senjata yang dari turun temurun digunakan keluargamu,” balas Ardi dengan gamblang.

“Keluarga lu kan katanya keluarga gua,” jawabku balik makin heran dengan akhir kalimatnya.

“Itu sebabnya kau jangan minta penjelasan dari dia … maksudnya senjata warisan itu adalah senjata yang pernah digunakan keluarga inti anda misalnya dari jaman ayah lu, kakek lu, buyut lu dan seterusnya,” sosor Dito.

Aku bergumam, berusaha mencerna kata katanya. “Oke … gua paham, jadi yang di meja itu senjatamu Dito?” tanyaku sambil melihat Dito yang malah melempar telunjuknya ke arah Ardi..

“Ini adalah senjataku.” Ardi sambil tangannya meraba raba, mencari di tengah meja yang luas dan berhasil mengambil gulungan panjang itu dalam kondisi matanya masih tertutup, ia mengangkatnya dengan satu tangannya, benda itu memenuhi cengkramnya, dan ia lalu berdiri dan tangan kanannya meraih ujung gulungan itu, seketika ia langsung menghempaskan benda itu dan menarik dengan cepat ujung gulungannya ke arah kirinya, benda itu dengan cepat berputar putar di udara sampai seluruh tali gulungan itu terurai, tangannya melesat dengan cepat menangkap kembali benda itu dengan keadaan masih berputar putar dan tepat saja cengkramannya menangkapnya.

Sebuah sarung pedang dari kayu yang mengkilap memantulkan lampu sinar pijar dengan beberapa ornamen kecil di bagian badan sarung pedang itu.

“Ini bukan anime woy, jangan di atas meja mahal,” murka Dito.

Seperti tidak menghiraukan kata kata barusan, Ardi kemudian memutar pedang itu dan menggenggam gagangnya secepat kilat. Bisa kulihat dari bagian ujung gagang pedang itu terdapat semacam seperti ada tonjolan panjang yang sepertinya fungsinya untuk melindungi tangan dan di bagian ujungnya seperti ada bulu ekor kuda yang panjang kehitaman. Kemudian Ardi memasang posisi miring sambil sedikit membungkukan badannya dalam posisi kuda kuda dan menarik pedang itu dengan cepat, mengarahkan ujung bilahnya keatas, membuat mataku tidak bisa berkedip bahkan dengan sinar kilauan dari mata pedang itu yang memantulkan cahaya terang tidak dapat menghentikanku untuk memelototi benda keren itu.

Dito meredupkan matanya sambil mengerutkan pipinya. “Baru pulang sudah belagu,” cibir Dito.

Ardi kemudian menurunkan pedang itu ke depan dadanya. ”Pedang ini disebut Mandau dan sarungnya disebut Kumpang, kedua benda ini tidak boleh terpisahkan,” ucap Ardi. Pedang itu memiliki satu mata pedang dengan ujung bilahnya seperti terpotong dan lancip pada akhir mata pedangnya, sementara bagian pangkal hingga ke ujung agak lebih besar dibandingkan dengan bagian dekat gagangnya. Aku masih belum bisa bicara dan mataku masih belum berkedip. Pedang ini keren sekali.

“Maaf tapi, bisa kita lihat sekarang kau sudah memisahkan mereka berdua,” sosor Dito berusaha merusak suasana.

“Apa ini pusakanya?” tanyaku terpukau. Sedikit aku melirik Dito dan dia hanya merespon biasa saja dan terdiam bersandar di kursinya.

“Bukan … ini bukan pusakaku, in adalah senjata warisan garis keluargaku,” jawab Ardi sambil mendekatkan pedang itu ke hidungnya dan mengendus bagian bilah pedang itu. “Kalau pusaka kita semua sama … yaitu keris,” tambahnya.

“Jadi pusakanya itu keris dan senjatanya itu Mandau,” kataku berusaha menyimpulkan.

“Pusakanya keris, iya … tapi senjatanmu bukan mandau, karena keluarga anda bukan memegang mandau, tapi golok dan wedhung seingat saya sih,” terang Dito.

Mataku menyerngit, sedikit kecewa namun tetap diburu rasa kagum. “Golok dan wedhung? maksudnya gua memegang dua senjata begitu? tapi senjata apa itu wedhung?” tanyaku makin penasaran.

“Ya nanti juga anda bakal tahu dan megang sendiri … saya juga tidak sabar melihat hasil jadinya,” kata Dito.

“Jadi kau tidak lupa ya?” sambung Ardi.

“Kalau yang satu itu sebenarnya sudah dipesan jauh jauh hari … cumang anda tahu kalau saya tidak suka bercerita ke orang,” balas Dito.
brigadexiii
itkgid
simounlebon
simounlebon dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.