Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:





KERIS 13 IBLIS


Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#5
BAB III

i.


Musim seiring berganti, dengan daun daun yang berguguran dan tumbuh lagi. Dua setengah tahun telah berselang lama, terhitung sejak aku pertama kali masuk dan tinggal di rumah ini. Tidak begitu banyak yang terjadi pada waktu sepanjang itu. Penyebab utamanya adalah latihanku yang benar benar membuat jari jariku menjadi sangat keras dan kaku hingga aku sendiri sangat kesulitan menggunakan handphone bahkan tanganku sangat sakit untung mengangkat secangkir teh. Namun untungnya aku hampir bisa mengingat semua kejadian itu, semuanya seperti baru saja terlintas di hadapanku.

Pekerjaanku disini hanyalah menjadi seorang supir bagi sang Bos saat pergi ke kantornya sewaktu waktu ia menginap di rumah ini. Sangat janggal melihat orang orang memperhatikanku saat berjalan ke dalam kantor Dito, entah apa yang mereka pikirkan, tapi kuharap bukan aku yang menjadi bosnya disini sementara si gorila ini menjadi pengawalku.


Bulan pertama saat aku menjalani latihan, aku diberitahu oleh Dito bahwa ia akhirnya telah sukses menjalankan program kerjasama perusahaannya dengan PT Sampurna seperti yang ia bicarakan beberapa waktu lalu. Katanya ini bertujuan untuk revolusi dalam dunia medis. Aku tidak pernah peduli dengan hal itu, tapi saat mendengar apa yang mereka raih dengan menyingkirkan penyakit, kecacatan tubuh dapat diperbaiki, ketakutan dengan hilangnya anggota tubuh dapat dihilangkan.

Hal itu mengingatkanku dengan kata kakek dahulu saat ia bercerita kalau manusia dan robot akan bersatu dengan sistem robotisasi manusia seperti yang media lain beritakan. Aku yakin dengan hal itu mungkin suatu saat nanti kita dapat menghidupkan orang mati.

Aku mulai akrab dengan situasiku yang sekarang, bahkan aku mulai bisa mengenal beberapa orang yang sering berkomunikasi dengan Dito dan tidak sadar kalau sekarang aku jadi sekretaris pribadinya saat ini. Namun dari semua orang yang berbicara padanya, hanya satu orang yang paling menarik perhatianku. Sahabat serta kawan yang sering dibicarakannya juga. Gading, sang singa hitam, sebutan yang tidak salah melihat rambutnya yang layaknya bunga mekar di belakang kepalanya.

Wajah kotaknya serta hidungnya yang mancung dan lancip dengan rahang yang tegas ditambah matanya yang terbuka lebar dan selalu menatap tajam bersama intimidasi yang kuat saat datang menemui Dito yang juga dibalas olehnya dengan mata yang sama. Awalnya aku menganggap aneh tatapannya itu, namun saat Dito bercerita kalau mata itu adalah semacam ‘cara kami saat ini untuk bertarung’ menyadarkanku kalau pasti sudah ada perkelahian yang sangat panjang antara mereka berdua sebelum mereka seperti sekarang.

Setelah semua itu tidak ada hal yang menarik terjadi. Hanya ada diriku yang menjalani latihan bersama Ardi. Ramah dan bermulut spontan, hal yang paling melekat dalam lidahnya adalah kata berinti. Namun sikapnya itu tidak bisa disamakan dengan saat latihan. Keras dan bisa dibilang hampir tidak memberiku ampun. Disamping workout dari pagi hingga terik menjulang, di sore harinya kami berlari memutari komplek dan hingga lelah dan tidur di malam harinya. Tidak jarang juga Dito dan Nadya ikut latihan bersama kami, mereka sepertinya sudah sangat terbiasa dengan hal ini dan dariku yang masih memiliki bulatan pada perut.

Setelah setahun latihan fisik yang melelahkan itu, sekarang ia memberikanku latihan beladiri. Ardi memberitahuku bahwa dia menguasai Taekwondo dan Silat lalu dia menyuruhku memilih salah satu yang harus difokuskan. Tanpa pikir panjang aku memilih silat karena dulu saat di pondok pesantren memang aku pernah menjalani pencak silat.

Awalnya aku mengira ini akan semudah melanjutkan menggambar garis lurus dengan penggaris. Namun saat melihat gerakan Ardi sangat aneh membuatku seperti harus memutar otak untuk membiasakan gerakan ini pada masing masing ototku. Pernah sekali aku bertanya padanya tentang darimana ia mendapatkan gerakan ini dan setelahnya ia bercerita bahwa teknik ini telah diajarkan oleh ayahnya saat dia kecil. Ardi juga bilang bahwa ini adalah gerakan yang memang tidak pernah diajarkan pada orang luar dan hanya keluarga ini yang mendapatkan aliran tersebut. Satu hal lagi, ayahnya menyebutnya sebagai Silat Getih Bumi.

Dari gerakan, teknik, serta pukulan awalnya terlihat sangat familiar. Namun seiring ia maju, gerakan yang sehalus aliran sungai berubah sangat deras seketika. Dari masing masing gerakannya aku bisa mendapatkan bayangan bagaimana teknik ini dibentuk dari binatang buas yang memburu lawannya dan dengan cepat memberikan serangan mematikan pada mangsanya. Tidak heran mengapa aliran ini tidak diajarkan kepada orang lain, pada dasarnya ini adalah teknik membunuh.

Hanya dengan berdiri menatapku sesaat dalam sekejap aku bisa merasakan keberadaanku dalam bahaya, perasaan tidak nyaman dan dengan mata berlarian mencari tempat untuk pergi darinya. Tubuhku terasa menciut dan bahkan pergelangan kakiku tidak sanggup menahan beban tubuhku sendiri sampai ingin langsung saja bertekuk lutut menunggu taring itu menusuk tenggorokanku.

Benar benar hal yang sama sekali tidak masuk akal dan menekan jiwaku sepenuhnya jatuh ke tanah sampai kesulitan bernafas. Kemudian Ardi berhenti melakukan sihir tersebut sesaat melihat mulutku mengangap mencari cari nafas yang bisa ditarik. Apakah ini masih disebut bela diri?.

Aku tahu Ardi tidak pandai dalam beberapa hal. Namun mengajarkan bela diri ini adalah mungkin salah satu keahliannya yang tidak bisa diragukan. Dalam waktu satu tahun kemudian aku hampir bisa teknik teknik dasar yang diajarkannya. Kemudian ia mengasah gerakanku selama satu tahun setelahnya. Darinya aku bisa mengetahui kalau aku masih punya potensi yang bisa dikeluarkan, namun ia memilih untuk tidak terburu buru.

Aku tidak pernah mengerti alasannya, namun dengan semua pelajaran ia berikan selama 2 tahun lamanya, Ardi memutuskan untuk pergi kembali ke tempat ia berguru. Di sisi lain Dito yang tidak melarangnya, begitu saja pergi menyuruhku mencari gerakanku sendiri dan tahun depan ia akan kembali untuk melihat hasilnya.

Dan sekarang aku berada di sini, jauh darinya sejenak bisa membuatku menulis semua ini dan mencoba sedikit bersantai dengan semau siksaan yang telah aku lalui.

Mungkin memang sedikit aneh kalau aku berbicara masalah tentang negara ini. Tapi tentu saja masih berkaitan tentang keluarga ini, lebih tepatnya Dito. Dengan kata katanya dua tahun yang lalu yang bagiku hanya sebuah candaan. kali ini ia membuktikan kalau gurauannya itu bisa menjadi kenyataan untuk orang sepertinya. PT Hanggatra dan PT Sampurna telah berhasil membuat bagian tubuh manusia buatan atau yang mereka sebut dengan Organic Artificial Body (O.A.B), terdengar aneh namun aku tidak menyangka mereka akan melakukannya hanya dalam waktu dua tahun. Dito mengatakan kepadaku bahwa ini akan menjadi masa depan yang cerah bagi dunia juga sekaligus menjalankan perannya sebagai Wiro Keris. Wajah bahagianya terpampang melihat omsetnya yang meroket, penjualan perusahaannya naik dan yang seperti kupahami, tujuan aslinya memang dari awal adalah uang.

Setengah tahun berlalu, mencoba membaca beberapa buku peninggalan ayahku di rumah ini dan kembali melakukan latihan dengan rutin. Walau waktu terasa semakin cepat, namun hari hariku selalu menjadi kesempatan bagiku untuk semakin mendekatkan diriku dengan Dewi. Sebagai teman yang baik, Dewi memberitahuku bahwa tahun ini ia akan mendapatkan gelar S.Trnya. Memang sebenarnya hal itu sama sekali tidaklah penting dan tidak berhubungan dengan buku ini, namun harapan adalah harapan. Tentu saja hal ini didasari dengan sikapku yang pemalu dan gugup di depan wanita, selalu membuatku kesulitan dan tidak bisa menemukan waktu yang tepat.

Dan hari dimana hari yang kutakutkan itu terjadi, Dewi mengajakku untuk pergi makan malam di suatu restoran. Hati yang tidak percaya ini melihat pesan darinya semakin membuat perasaanku semakin tidak menentu. Saking tidak percayanya, aku malah dengan bodoh bertanya ke Nadya kalau ini perbuatannya atau bukan yang membuatku malah diejek ejek olehnya setelah itu. Seharusnya laki laki yang ngajak dan bukan sebaliknya, ucapnya.


ii.


Malam itu dengan mengenakan kaos serta kemeja yang agak longgar dengan lengan panjang untuk menutupi otot ototku ini, berusaha untuk tidak terlalu menonjol. Walau dengan wajahku kali ini tidak seperti dulu saat masa masa penuh jerawat, tidak sama sekali membuatku percaya diri dan malah menggunakan minyak wangi untuk mencoba memperbaiki suasanaku yang pastinya ia tidak suka melihatku yang tidak natural begini, namun apa boleh buat dengan wangi yang sudah tersebar.

Berusaha untuk tidak menarik perhatian, langkahku menginjak lantai dengan perlahan satu persatu. Sampai di ruang tengah, dari sisi tembok mataku melihat Nadya dan Dito dibawah lampu putih yang menerangi seluruh ruangan dengan aroma kopi yang cukup menyengat dengan asap mengepul di atas meja, mereka sedang berdiskusi serius dengan menunjukan gambar grafik yang mereka perdebatkan itu. Bagus sekali, hanya tinggal lurus dan melewati mereka lalu kabur keluar.

“Kak … takut deh,” ucap Nadya.

“Ada apaan emangnya, jangan mengalihkan pembicaraan,” tegas Dito.

“Ada bau wangi wangi,” jawab Nadya sambil menarik senyum lebarnya ke arahku. Kali ini aku malah yang dibuat merinding dengan senyuman seramnya itu.

Dito yang juga ikut melihatku hanya bisa menggeleng geleng. “Beginikah hasil latihan dari Ardi?”.

Daguku yang melorot melihat kelakuan kakak adik itu hanya bisa pasrah tertangkap basah oleh mereka.

“Ganteng ganteng mau kemana … Ouh ... yang waktu itu yak? cie cie ...” ledek Nadya.
“Ganteng dari mana? ceweknya kali matanya rusak,” lanjut Dito.

“Ish jangan gitu kenapa … sini kak! biar kubantu,” tawar Nadya sambil melambai lambaikan tangannya.

“Tidak … tidak usah … gini aja udah pas kok,” balasku resah.

“Kau harus mendengarkan nasihat perempuan kalau masalah ini.”

Nadya semakin mengangguk kegirangan mendengar kakaknya itu. “Bener … bener banget … nanti kak Dewi bakal klepek klepek geliat kakak,” kelakar Nadya.

“Dewi ya … ” gumam Dito..

“Jangan ikut ikutan!” erangku.

Nadya langsung meletakan lembaran kertas yang ia pegang keatas meja bertumpukan buku buku dan melompat ke arahku.

“Jangan protes masalah pakaian, lu aja cumang pakai pakaian tidur doang ….” sergahku.

“Ish nurut aja sih.” Nadya langsung menyisir rambutku kebawah dan merapikannya lalu menyuruhku untuk mengeluarkan kemeja merah yang sudah kumasukan ke dalam celana, lalu menyuruhku membuka semua kancing kemejaku, menunjukan kaos putihku yang malah menunjukan bidang dadaku dan menyuruhku untuk melipat lengan kemeja panjangku yang membuat tanganku yang kecoklatan jadi terbuka. Sampai akhirnya ia sedikit mengambil langkah mundur lalu memperhatikanku dari atas hingga celana jeans hitamku dan tak lupa dia menodongkanku dua jempol saat diakhir dengan senyum lebar.

“Bukannya malah kayak berandalan kalau begini?” geramku.

“Tadi itu kayak mau ke kantor. Perempuan suka dengan pria natural terus bebas gitu kak …” jelas Nadya yang masing mengangguk angguk dengan wajah kemerah merahan. “Uhhh … kapan lagi bisa melihat kakak Jaya berkencan, apalagi dengan bidadari kampus … gemes deh,” lanjut Nadya dengan sedikit kekehannya yang seperti suara marmut itu.

“Hmmm … bidadari kampus ya,” ucapnya dengan mengusap usap layar menyala di wajahnya.

“Hadeh … jangan ikut ikut,” sahutku.

“Iya nih … parah banget, nanti tak aduin mamah loh,” cibir Nadya..

“Becanda doang kok,” jawabnya yang tetap melanjutkan perburannya itu.

“Ini mah gak kelar kelar … gua pergi sekarang dah,” jawabku dengan berlari melewati pintu, mengambil sepatu hitamku dan tak lupa mengambil payung.

“Hati hati kak Jaya … jangan kemaleman seneng senengnya,” teriak Nadya dengan riang yang terdengar dari ruang tamu.

Aku tidak tahu apa yang akan Dewi katakan, aku harap tidak telat bertemu dengannya saja. Lalu kakiku berlari melewati rintikan hujan yang membiaskan sinar lampu taman, dengan percikan air berdeburan seiring langkahku yang segera kabur dari tempat ini.
brigadexiii
itkgid
simounlebon
simounlebon dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.