Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#4
iii.


Angin malam terus saja berhembus masuk ke dalam kamarku, membuat gorden kamarku terlambai lambai saat aku selesai sholat isya di kamarku, terduduk di atas sajadah dan menatapnya dengan tatapan kosong. Aku selalu berfikir tentang sesuatu yang tidak beres dengan hidupku yang benar benar tidak bertujuan ini, apa maksud dari rencana tuhan dalam kehidupanku, apa aku hanya akan hidup dan mati tanpa meninggalkan sesuatu, apa semuanya hanya akan terlewatkan begitu saja.

Aku tau sangat membosankan saat kau melihat seorang yang sedang sepertiku ini bercerita, akan tetapi ini adalah masalah terbesar yang ada dipikiranku saat ini, dan mungkin bukan hanya aku saja yang mengalami hal seperti ini, yang selalu membuat merasa hidupku tidak berguna.

Tapak tanganku menutup seluruh wajahku dan berdiam dalam gelap untuk beberapa waktu dengan angin yang membelai tengkuk leherku, dingin dan sunyi. Kemudian sekejap mataku terbuka bersamaan dengan getaran yang berasal dari gelang tanganku, aku lalu menjawab panggilan masuk itu.

“Ada apa Nadya?” tanyaku.

“Ahh… sekarang waktunya makan malam kak.”

“Oh… oke, segera kesana.” balasku dengan nada ceria walau wajahku masih tidak bisa berubah.

Setelah membereskan kamarku, aku berjalan ke arah ruang depan dengan cahaya kuning lembut yang bersinar di sepanjang koridor ini. Suara langkah pijakanku yang menekan lantai kayu ini membuat pijakan yang cukup keras dan mungkin bisa terdengar sepanjang koridor ini, setiap langkah membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan lupa betapa suramnya diriku sebelumnya. Aroma makanan yang mulai tercium masuk ke hidungku terus melewati tenggorokanku membuat mataku terbuka dan mengalihkan pikiranku pada masakan apa yang akan disajikan di meja nanti, aku sangat tahu kalau ini bau udang goreng hanya dengan menghirupnya tanpa pernah mencicipinya.

Pandanganku teralihkan saat aku melihat meja besar dengan semua makanan dengan warna jingga dan merah lalu setiap piring besar dengan nasi yang mengeluarkan kepulan asap di atasnya. Mereka bertiga sudah berkumpul untuk mengelilingi makanan dengan satu kursi kosong untukku, aku heran kenapa tidak ada paman disini, atau itu mungkin kursi paman.

“Sepertinya malam ini sedang ada yang pesta,” ucapku berusaha untuk tidak kaku.

“Sebenarnya ini biasa aja … mungkin kau saja yang tidak pernah makan,” balas Dito.

Brengsek, belum apa apa sudah mulai. “Apa tidak ada satu hari tanpa mengejek seseorang?” jawabku kesal.

Dito menatapku dengan tatapan setengah matanya itu. ”Tentu saja tidak mungkin, selama kau masih ada disini dan selama aku masih hidup.”

“Kuncinya adalah sabar dan penutup kuping,” sahut Nadya.

“Adek kakak gak ada bedanya,” jawab Ardi.

“Baiklah … gua duduk dimana?” tanyaku.

“Apa kau tidak lihat ada kursi kosong disitu,” balas Dito.

“Lah tak kira itu untuk paman,” balasanku membuat Ardi tersentak dan menolehkan kepalanya menghadap Dito.

“Apa apaan maksudnya itu?” tanya Ardi.

Jemari Dito meraih hidungnya, mengelusnya perlahan dengan mulut terbuka sambil, kali ini dia benar benar terlihat seperti orang bodoh. “Makannya kali ini kita makan makan untuk menjelaskan semuanya.”

“Memangnya kenapa?” tanyaku.

“Tidak kenapa kenapa … cepat duduk dan kita segera makan!” perintahnya.


iv.


Tubuhku bergetar, kedua tanganku berusaha menggenggam meja sekuat mungkin, tapi aku sudah tidak kuat dan akhirnya menyerah dengan menaruh punggungku, bersandar di sandaran kursi.

“Saya tahu anda tidak pernah makan ini sebelumnya, tapi jangan sampai kehilangan kesadaran,” cetus Dito dengan ujung jarinya yang sibuk membersihkan tangannya di mangkuk berisikan air dengan irisan jeruk nipis.

“Maaf, tapi tidak ada waktu untuk malu kalau masalah makan enak seperti ini, kapan lagi bisa seperti ini kalau tidak sekarang,” balasku dengan senyum malu.

“Ya… itu kan semua karena salahmu juga kakak,” ketus Nadya.

Dito bergumam sambil mendekatkan jemarinya dan mengendus bau dari jemarinya yang masih basah. “Asal setelah ini kau harus mengatur pola makanmu saja, jangan sampai lu terhambat oleh perutmu sendiri.”

Badan ini berusaha mengambil semua kekuatan yang bisa diraih dan memfokuskannya pada satu kalimat yang ingin kutanyakan sejak awal. “Jadi sebenarnya apa yang ingin kalian beritahu?”

Tangan besarnya tisu di meja dan mengelap ujung ujung jemarinya dengan perlahan sambil memejamkan mata dan menarik sedikit nafas. “Sebenarnya tidak ada gunanya juga kalau saya tanya apakah kau siap atau tidak, yang terpenting kau harus paham situasi dan ceritanya.”

“Tenang saja gua bakal gengerin dan tidak kabur kemana mana,” ucapku sambil menyerngitkan wajah berusaha untuk terlihat serius.

Kemudian ia menaruh lengannya di meja, melipat masing masing jarinya mengambil sikap berdoa. “Baiklah saya mulai, pertama kali yang harus ditegaskan adalah sekarang keluarga kita sudah lengkap. Maka kita harus selalu menjaga satu sama lain, karena masing masing dari kita adalah harapan seluruh keluarga ini. Bagi mereka yang telah mendahui kita dan berkorban demi kita. Semoga amal dan perbuatan mereka diterima tuhan dan berada disisinya di akhirat.”

Kami pun juga langsung memanjatkan kedua lenganku dan berdoa bersama mengamini perkataan Dito.

“Oke, sekarang saya kenalkan kepadamu saudara kita yang terakhir ini datang yaitu Jaya Tulus kimpoidra, sang putra kesembilan dari ibu pertiwi, anak tunggal dari Muhammad Bagus kimpoidra,” ucap Dito dengan cepat sambil menutup matanya. “Walaupun jarak dan waktu memisahkan kami semua, namun pada dasarnya kita semua adalah saudara satu darah satu nusa.”

Kami semua lalu menurunkan sikap sembahyang, dan Dito mulai berbicara lagi. “Jaya, pertama saya minta maaf terlebih dahulu karena telah membohongimu selama ini,” ucap Dito dengan santai ke arahku.

“Bohong?” tanyaku heran.

“Yes, ini juga sekaligus menjawab pertanyaan Ardi tadi,” ucap Dito mencoba mengambil nafas. “Sebenarnya Ayahku sudah lama meninggal.”

“Apaan?” jawabku semakinkaget hampir membuatku tersedak.

“Lalu sebenarnya seluruh orang tua kita meninggal pada tahun yang sama, sama seperti saat orang tuamu meninggal juga. Mereka semua dibunuh oleh seseorang, tapi itu sebenarnya sudah tidak penting lagi karena masa masa itu telah berlalu dan generasi kita tidak akan menerima dampaknya.”

Aku hanya terdiam berusaha dan bertahan mengikuti setiap omong kosongnya.

“Bagian mananya yang kau bingung?”

“Semuanya … soal paman, soal orang tua kita, soal pembunuh. Maksudnya apaan?” pekikku kesal.

“Jadi pertama begini, biar saya kukatakan sekali lagi, ayahku sudah meninggal sejak kita lulus SMP, Oke?”

“Lalu saat aku masuk pesantren itu siapa?” kejarku.

“Ah .. kalau itu. Saya membayar orang untuk menjadi wali kau dan memasukkanmu ke pondok itu, makannya setelah itu kau tidak pernah melihat lagi wajah orang itu sampai sekarang. Apa itu cukup jelas?”

“Terus bagaimana soal pembunuhan?”

“Ya … itu cukup sulit untuk dijelaskan … pada dasarnya seseorang yang sangat kuat dan sangat berpengaruh yang memburu orang tua kita semua dan sampai sekarang saya tidak pernah tahu tujuannya apa,” jawab Dito dengan sedikit menggeserkan rahangnya.

“Jadi sebenarnya kita semua bersaudara karena semua orang tua kita buronan pembunuh itu?”

Awalnya Nadya dan Ardi tetap berdiam sambil memperhatikan kami berdua, namun setelah kalimat barusan mata Ardi entah mengapa mengarah tajam padaku.

“Tidak, persaudaraan kita bukan karena itu, persaudaraan ini ada sudah lama, lebih lama dari yang kau bayangkan, malah lebih lama dari negara ini sendiri,” kata Ardi.

“Tidak ada yang nyuruh lu ngomong oy. Tapi, ya… persaudaran ini bukan karena masalah pembunuhan itu, melainkan memang sejak awalnya kita ini sudah disatukan dengan takdir yang sangat …. panjang,” tambah Dito.

Setelah itu aku hanya bisa menjambak jambak rambutku dan tertegun menatap ke bawah. “Aku semakin bingung. Takdir, persaudaraan dari dulu, sudah ada sebelum negara ini ada?”

“Saya kira kau akan kaget dan mengamuk tidak jelas, tapi sekarang malah bingung” ucap Dito.

“Untuk bagian pembunuh itu tidak perlu dipikirkan, karena sekarang semuanya sudah aman.” sambung Ardi.

“Ya … ini semua berkat ayah yang relah berkorban demi keselamatan kita semua … ” sambung Nadya berkaca kaca. “Ayah … Ayah mengumpankan dirinya agar bisa menyembunyikan kita semua, Ayah merencanakan semuanya agar kita bisa selamat.” sambung lagi Nadya.

“Jadi maksud kalian sekarang kita semua tidak perlu mengkhawatirkan pembunuh orang tua kita dan merelakannya begitu saja,” ucapku.

“Itu yang saya maksud dari tadi,” balas Dito.

“Apa kalian semua tidak dendam atau sedih?” tanyaku merintih.

“Dendam? tentu saja dendam, tapi alangkah lebih baiknya kita melupakan itu dan berfikir untuk keselamatan kita sekarang ini, kita-sama-sekali tidak-akan-bisa-melawan-balik,” jawab Dito dengan mengerutkan keningnya.

“Hmmm … kau masih saja berfikir seperti itu … tidak ada gunanya membalaskan dendam jika orang itu sudah mati,” balas Ardi.

“Hah? mati?” sontak aku kaget.

“Iya … mati … makannya kubilang tidak perlu dipikirkan lagi,” balas Ardi dengan tenangnya.

“Bagaimana kalau dia hidup lagi?” sahut Dito dengan nada kesal.

Ardi hanya menggeleng.

“Hei … kita sebentar lagi masuk ke abad 22, apapun bisa terjadi,” ucap Dito sambil memukul meja kayu jadi ini.

“Jadi bagaimana … apa anda sekarang kau sudah paham kondisinya?” tanya Ardi menghiraukan Dito.

“Ya … bsia dibilang begitu, tapi gua masih belum bisa menerima semua ini,” balasku yang masih merunduk.

“Memang kita awalnya semua berat kok untuk menerima kenyataan, tapi yang terpenting kita semua aman bukan … sampai sekarang pun kita semua bisa bersantai seperti ini,” sahut Nadya.

“Walau kita ini saudara, kau tetap harus memikul isi beban kepalamu sendiri. yang terpenting adalah sekarang kita bersatu dan sudah lengkap menjadi Wiro Keris.” ungkap Ardi.

“Apaan lagi ini?”

“Ya terdengar aneh ya … Wiro Keris, itu adalah ‘gelar’ yang keluarga kita pegang dari generasi ke generasi,” jawabnya sambil mengayunkan tangannya ke kanan dan ke kiri.

“Wiro Keris? ya memang terdengar norak. Maksudmu kita akan seperti orang orang abdi dalem di keraton begitu?”

“Bukan … Wira Keris itu jangan kau benar benar terjemahkan secara harfiah. Ada makna yang dalam dari dua kata itu,” cela Dito.

“Aku tidak pernah tahu kau punya jiwa seni to,” ejek Ardi.

“Eh … kurang ngajar, baru datang belagu,” gumam Dito.

“Ya ya ... intinya besok kau mulai latihan denganku, dari awal yang ringan sampai tahap penyiksaan,” cetus Ardi.

“Aduh apa lagi … Latihan?” tanyaku heran.

“Tentu saja latihan bela diri,” jawab Ardi. “Kau parah sekali, benar benar tidak berbicara apapun tentang masalah ini ya to?” keluh Ardi.

“Biarkan saja kau yang menjelaskan … anda tahu saya tidak suka banyak bercerita,” balasnya dengan santai.

Aku yang sudah tidak sanggup mengikuti kata kata mereka yang seperti benang kusut memutuskan untuk mengiayan apa kata mereka saja.

“Baiklah kalau sudah tidak ada pertanyaan. Sekarang kalian semua bereskan … waktunya tidur,” kata Dito sambil keluar dari kursinya dengan cepat dan berlari ke dalam lorong rumah.

“Kakak …!” teriak Nadya.

Tanpa mempedulikan Dito, aku berfokus kembali kepada Ardi dan ada beberapa hal yang memang cukup aneh, namun mungkin aku harus sedikit bertanya masalah tentangnya. “Apa maksudmu dari latihan a… bang Ardi?”

“Panggil Ardi saja.”

“Eh… tidak apa apa? bukannya Dito bilang kau kakakku.”

“Hmmm … jangan terlalu dipikirkan masalah itu, kalau tentang aku ini kakakmu … nanti aku ceritakan lengkapnya lain kali saja, intinya yang kau pahami adalah kau harus memulai latihan besok.”

“Gak ada kegiatan lain selain latihan?”

“Kurasa tidak ada sampai kau benar benar kuat, sampai kau benar benar bisa menjadi Wiro Keris. Entahlah aku juga tidak begitu suka istilah aneh itu.”

“Gua tahu itu keris, tapi apa itu wira?”

“Tugasku hanya untuk memberikan latihan.”

“Apa itu perintah dari Dito?”

“Begitulah, sekarang istirahat.”

Aku mendorong kursiku dan bersiap mengambil langkah untuk pergi ke dalam, namun seketika kerah kaosku mencekikku dan menarikku ke belakang.

“Kalian juga gak boleh seenaknya kabur,” geram Nadya.

Aku menoleh ke belakang dan melihat wajahnya yang kesal. ”Maaf aku lupa, baiklah aku bantu,” ucapku sambil menaikan bibir sekaligus menampilkan seringai yang terpaksa kuangkat.
itkgid
simounlebon
sampeuk
sampeuk dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.