Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#3
BAB II

i.

Aku punya sebuah hobi yang mungkin semua orang juga suka, menikmati waktu luang bersama dengan secangkir teh hangat yang wangi melatinya masuk perlahan melalui hidungku berjalan ke kerongkongan dan memenuhi paru paruku yang lembab sebelum akhirnya seruput manisnya membasahi bibir dan membakar ujung lidahku.

Setelah puas, ku letakkan cangkir teh di sebelah tumpukan buku yang tersusun rapi diatas meja kayu besar berwarna putih dan duduk menyender ke punggung kursi, merebah dan melepas lelah setelah semalaman kubaca hingga habis semua buku buku itu, kuharap tidak akan mudah hilang begitu saja di otakku. Aku melakukan hal ini karena Dito tiba tiba menyuruh mempelajari tentang beberapa sejarah serta buku tentang psikologis. Sempat beberapa kali aku mengambil kesempatan untuk menanyakan tujuannya, namun jawaban tidak pernah memuaskan rasa penasaranku.

Aku sudah menetap di kamarku sejak seminggu yang lalu dan mulai merasa familiar dengan semua lokasi rumah ini. Walaupun rumah ini milik paman, namun penghuni tetap disini adalah adik perempuannya Dito bernama Nadya. Kebetulan ia juniorku saat di kampus. yang satu satunya kutahu darinya adalah tingkahnya yang tidak bisa diam dan selalu terlihat menggemaskan, maka tak heran jika dia menjadi salah satu primadona di jurusanku. Kadang kami sering kedapatan bertemu dalam harian kuliah kami dan yang pasti kutahu saat dia bertemu denganku adalah dia tidak pernah lupa untuk menyapaku dan menanyakan kabarku, membuatku kadang merasa tidak nyaman karena tidak ada yang tahu kalau kami saudara dan gosip gosip tidak mengenakan mulai bermunculan dari kawan kawanku.

Satu hal yang melekat pada dirinya adalah warna hitam dari pakaian yang ia kenakan setiap harinya. Dengan kemeja berlengan pendek lalu menggunakan celana jeans panjang yang ditambah dengan rok dengan panjang hingga lututnya ditambah dengan sepatu kets yang selalu ia kenakan. Rambut yang terpotong pendek dengan poni kecil di depan dan sedikit bervolume sampai di belakang leher yang masing ujung rambut belakangnya dibuat bergelombang. Wajah segitiga berpipi tipis dan padat berbeda sekali dengan penampilan kakaknya. Mata agak melebar dengan alis kotak lurus melengkung, hidung yang tajam disertai bibirnya yang mungil dengan pipi yang sedikit chubby dan saat senyum akan muncul wajah imutnya dengan gigi putihnya. Aku sangat yakin dia jauh mirip dengan ibunya dibandingkan wajah ayahnya jika ibunya masih hidup sampai sekarang.

Kali ini aku sedang melihat dia menikmati libur semester di halaman belakang rumah ini. Berada di bawah bayang bayang pohon rindang dan besar. Nadya sedang jongkok diatas rerumputan hijau dengan dikelilingi kelinci kelinci gemuk berwarna putih di sekitarnya, dia menggenggam sayuran hijau peka yang agak layu, mencoba memberi makan kelinci dengan kangkung dan seledri. Sambil tangannya menyuapi kelinci tersebut satu persatu, namun kelinci kelinci kelaparan tersebut tidak begitu peduli dan saling berlomba lomba untuk mendapatkan makanan lebih dahulu.

Aku mengambil langkah perlahan agar tidak membuat kelinci tersebut lari ketakutan, sampai posisiku berada tidak jauh di belakang Nadya saat sedang tidak fokus mengarah kepadaku. Namun Nadya sepertinya menyadari keberadaanku dengan sedikit menolehkan ujung hidung serta tatapan matanya yang berputar setelah melihat diriku yang sedang berjalan mengendap endap di belakangnya.

“Jangan berisik,” bisik Nadya dengan menggerakan ujung bibirnya.

“Gua cumang ingin nanya kemana kakak lu?”

“Aku tidak tahu. Bukan urusanku.”

“Gua ada urusan penting.”

“Aku tidak peduli.”

Tiba-tiba tepukan yang keras mendarat di bahuku membuatku sontak kaget dan mengeluarkan erangan yang cukup kencang disambut dengan kelinci yang berlarian ke segala arah, menjauh dan menghilang di di rerumputan. Tidak berselang lama Nadya bangun dari posisi jongkoknya dan dari yang kulihat sepertinya dia menaruh kedua lengannya di samping pinggang dan mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat.

Nadya berteriak dengan sangat nyaring selama beberapa detik dan terdiam langsung mengambil langkah maju sambil mengangkat pandangannya ke arahku. Lengannya yang masih memegang seledri menodongkan nya ke arahku dan perlahan bergeser ke arah orang di belakangku dengan wajah yang sangat merah dan menunjukan barisan giginya yang terapatkan sambil menarik udara dari sela selanya, menghasilkan bunyi khas orang yang sudah kehabisan kesabarannya.

“Ah- ah … maaf Nadya, tadi gak maks- ”

Wajahku langsung tersambar pukulan dari daun seledri di genggamannya yang secepat aku berkedip. Beberapa daun berterbangan dan seketika itu aku langsung tidak berani untuk berkata apa apa lagi. Kemudian ia mengambil langkah maju, melewatiku dan kali ini dia langsung melempar baskom berisi sayuran ke arah wajahnya hingga membuat bunyi ketukan yang keras, semua sayurannya berhamburan jatuh ke tanah dan tampak wajah Dito kali ini sudah pasrah dengan menutup matanya dan menerima seluruh amarah adiknya.

Lalu dari arah belakang saat langkah Nadya berjalan menginjak rumput dengan hentakannya. Suara pintu kayu bergeser dan langsung saja disambut dengan teriakan Nadya yang kali ini terdengar bahagia.

“Kak Ardi …” sahut Nadya dengan riang dan langsung berlari ke orang itu.

Wajahku menoleh dan melihat Dito yang sedang memutar matanya dengan wajah lesu bersama lipatan tangannya yang selalu mengikatnya. Dito pun ikut berputar saat dia menyadari aku sedang memperhatikannya, aku pun mengambil langkah maju ke sampingnya dan kami berdua akhirnya memperhatikan lelaki yang lebih tinggi dari Nadya yang sepertinya sedang dihujani dengan banyak pertanyaan.

Badan besarnya yang bersender di daun pintu, menaruh perhatiannya penuh pada Nadya dengan wajah kotaknya yang terlihat tegas, matanya yang bulat dan teduh lalu alis kotaknya yang rapat dengan matanya menampakan keningnya yang lebar, hidung yang mancung dan bibirnya yang agak hitam dan brewok yang tercukur tipis dari bawah hidungnya sampai ujung rahangnya. Wajahnya masih menaruh perhatian pada Nadya dengan wajah datar dan sesekali dengan jawaban yang singkat dengan suara yang cukup berat.

“Siapa dia?” tanyaku.

“Dia akan menjadi guru elu,” jawab Dito.

“Maksudnya?” tanyaku dengan nada heran sambil melirik sedikit ke wajah Dito yang sedang memejamkan matanya dan menarik tangannya, menaruh ujung ujung jarinya ke hidungnya dan memijatnya pelan pelan.

“Bagaimana ya saya menjelaskannya,” ucapnya sambil menyisir rambutnya ke belakang. “Dia akan menjadi gurumu. Guru beladiri. Juga terserah, guru apa saja suka suka lu,” jawabnya.

“Memangnya ada guru seperti itu?”

“Tidak, dia juga tidak tahu, mungkin homeschooling. Tapi besok besok kalau lu mau nanya sesuatu, tanya semua pada dia dan jangan pada saya.”

“Bukankah terdengar bisa terjadi kesalahan informasi kalau tidak langsung pada bos?”

“Itu urusan kalian berdua,” jawabnya tidak peduli.

“Memangnya urusan apa sampai dia yang mengajariku, lu kan leader disini.”

“Saya tidak bisa menjelaskannya saat ini. Mungkin malam ini kau setelah makan malam, kita semua akan menjelaskannya kepadamu.”

“Menjelaskan tentang apa? tentang paman mungkin?”

“Bisa dibilang itu adalah salah satunya. Tapi masih banyak yang harus diceritakan nanti,” jawab Dito melepas ikatan lengannya lalu menepuk pundakku. “Sebaiknya lu segera berkenalan sama itu orang dan coba untuk bisa akrab segera. Biar kukasih tahu sesuatu yang bikin lu makin bingung, dia itu kakak lu.”

“Hah … apaan?” hanya kata kata itu yang keluar dari mulutku sesaat mendengar sebuah pernyataan yang berada di luar nalarku sendiri.

Dito langsung mengambil langkah dan pergi menjelaskan apa apa lagi padaku kemudian dia langsung menarik kedua lengan Nadya dan memaksanya masuk ke rumah, meninggalkan kami berdua yang sekarang. Aku menoleh padanya dan tidak berkata apa apa untuk sejenak, menunggu dia mengatakan sesuatu namun sampai beberapa detik aku jadi canggung karena wajahnya tidak menunjukan akan segera memberikan sepatah katapun. Lalu seketika aku teringat dengan kata kata Dito tadi.

“Apa … maksud Dito tadi … kau itu kakakku?” tanyaku dengan kebingungan.

Ekspresi wajahnya langsung seketika berubah, sedikit tersentak kaget kemudian ia memejamkan matanya. “Apa kau percaya sama Dito?”

“Sepertinya tidak,” jawabku menggeleng.

“Ya ... ada sedikit benarnya kalau dia bilang begitu.”

Mataku terbelalak mendengar jawabannya. “What the- … Serius?”

Pria itu sedikit mengangguk sebelum akhirnya dia masuk kembali ke rumah dan menutup pintunya, meninggalkanku sendiri yang sibuk menjambak dan menggaruk rambutku dengan kedua tanganku. Tidak pernah aku dilanda kebingungan seperti ini sebelumnya seumur hidupku.


ii.

Kepalaku yang masih gatal memikirkan kalimat yang Dito ucapkan, apakah dia sedang bercanda atau mereka berdua sedang mengerjaiku, tapi sepertinya memang aku tidak pernah mendengar dari ayahku bahwa aku punya saudara kandung. Dari segala kalimatnya yang dia ucapkan, aku lebih tidak percaya lagi saat orang itu mengiyakan kata kata Dito, sepertinya memang dia juga kaget dan sudah tahu apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut. Tapi tentu saja aku sama sekali tidak yakin dia adalah kakakku.

Jemariku bergetar dan mengetuk beberapa kali ke meja saat sedang mengetik perasaanku saat ini, termenung dan tidak bisa menjelaskan isi pikiranku saat ini. Aku selalu mengira kalau aku selalu sendiri bahkan saat orang tuaku pun masih hidup, mereka layaknya orang yang kuanggap jauh dariku, sibuk dengan urusan penting mereka yang mereka tidak pernah coba ceritakan. Lalu yang kutahu selanjutnya mereka menghilang dan aku selanjutnya diurus oleh keluarga konyol ini yang pada akhirnya aku mengurus diriku sendiri lagi.

Kehidupan tanpa keluarga menjadi hal yang biasa bagiku, namun saat aku dikabarkan lagi aku memiliki keluarga yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku, disitulah aku berpikir kalau mungkin ayah dan ibuku sebenarnya hanya kabur meninggalkanku dan mengurus orang ini. Aku harus tahu kebenarannya.

Sesekali aku membuka mataku saat aku sedang menekan kedua alisku, merapatkan keduanya dalam genggaman tangan yang membuat segalanya gelap. Sampai aku akhirnya berhenti berpikir karena ketukan pintu yang disambut dengan suara gagang pintu yang berdecit dan sedikit tersentak, seseorang ingin masuk dengan segera namun kunci pintu menghentikannya.

“Jaya kau disana?” tanya Nadya dengan pelan.

“Ya disini, ada apa?”

“Apa kau punya waktu sebentar, aku ingin bicara.”

Aku menarik nafasku dalam dalam, mengeluarkannya dengan cepat dan sedikit demi sedikit mencoba menghilangkan penatku. “Ya sebentar.” Berusaha mengangkat badanku, menaruh beban pada pijakan pertama untuk membuka pintu membuatku rasanya berada dalam kebimbangan. Hal hal itu masih terpikirkan dalam benakku sampai langkahku akhirnya terhenti di depan pintu dan membuka kunci dengan jam tanganku, menarik kenop pintu dan melihat Nadya yang sedang asik mendengarkan musik di earphonenya, mengeleng gelengkan kepalanya dengan mata terbenam dalam alunan musiknya dan tidak menghiraukan keberadaanku di depannya. Sampai aku akhirnya mencolek pundaknya, membuat ia terlontar dan seketika menarik earphonenya, tertunduk dengan wajah malu di depanku.

“Maaf ya kak ... ” ucap Nadya sebelum memulai kata katanya.

“Santai saja, memangnya ada apa?” tanyaku cepat.

“Begini nanti malam kita akan makan malam bersama di ruang depan ….”

“Iya tadi Dito bilang begitu sebelumnya, emangnya ada apa?”

“Sebenarnya penting … hanya saja nanti ... kita semua berkumpul dan bercerita saja,” jawab Nadya.

“Hanya bercerita?”

“Ia … tapi sangat penting, jadi kita semua ingin kau agar bersiap untuk mendengarkannya dari sekarang dan tidak menganggapnya sebagai candaan, kakak paham kan?” jelasnya sambil mengalihkan pandangannya.

“Ya ya … paham kok kalo cumang itu saja.”

“Iya sih itu aja … soalnya kak Dito bilang kalo aku harus memberitahu kakak dua kali, takutnya dikira bercandaan.” Ucap Nadya.

“Kakakmu memang ketat sekali ya kalau masalah bisnis ….”

“Sebenarnya sih isi kepalanya cumang bisnis doang, tapi itu bagus kan.”

“Terserah deh … tapi cumang itu aja kan?”

“Iya. Tapi sebelum aku pergi … aku minta maaf ya saat tadi di kebun, aku memang sedang emosi saat itu.”

“Ahhh … tenang saja kok, aku yang salah.”

“Yaudah ya, jangan lupa nanti malam.”

“Ia,” balasku datar, kali ini teralihkan oleh suara angin kencang yang masuk dari jendela kamarku saat Nadya berjalan pergi, kembali memasang earphonenya dan melompat lompat kecil, menari nari melewati mentari yang menembus kaca menyinari seluruh koridor bagian samping rumah.
a.wicaksono
simounlebon
sampeuk
sampeuk dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.