Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
KERIS 13 IBLIS
Quote:








Quote:


i.


Jujur saja, tangannku membuat tulisan ini bukan karena diriku menginginkan orang orang untuk membaca tulisanku, melainkan ini sebuah perintah yang aku sendiri masih belum paham apa tujuannya. Mungkin memang terdengar seperti orang yang menganggur atau bahkan lebih parahnya lagi tidak bertujuan, namun begitulah adanya. 



Mengetahui kalau hidup ini layaknya sebuah buku catatan memberikanku sedikit gambaran, motivasi untuk membuat hal ini, meski terkadang sejarah itu hanya berlaku bagi orang yang menang. Tidak perlu dipungkiri kalau memang tidak ada salahnya bukan menuliskan sesuatu berdasarkan apa yang kau lihat dan bukan menuliskan sesuatu karena ada sebuah mata pisau bergerak perlahan di lehermu.



Walau disebut tunakarya, aku juga memiliki tugas yang mungkin agak sulit untuk dijelaskan pada banyak orang karena memang pada dasarnya diriku sendiri tidak tahu kejelasan tugas ini sama sekali. Merekamenyebutnya sebuah titah yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku, sebuah era baru. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan mungkin dapat menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil. 



Apakah tugas itu sangatlah penting, menurutku tidak sama sekali. Tapi bagi mereka, bagi penerusku, mungkin ini adalah sebuah pelajaran yang tidak boleh dilupakan. Waktunya belajar sejarah.



ii.

 

Dito adalah saudaraku, saudara jauhku tepatnya. Ayahnya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu hanya beberapa kali seumur hidupku. Aku tidak begitu ingat tentangnya pada masa kecil, selain ingatan tentang waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah berebut mainan.



Akibat terlalu menghilang dari keluarga ini lah yang membuat perubahan mendadak menjadi tembok bagiku untuk semakin mengenal dirinya. Sampai akhirnya tanpa kusadari yang berada di depan mataku saat ini adalah wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun kotak di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya, terlebihi lengannya sendiri, layaknya gorila memakai baju hanya saja tidak gemuk.




Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya.



Namun aku sedikit asing saat melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian  bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.



Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Demi Allah, dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika  hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang mengundang masalah, kurang ngajar, dan terlebih kesombongannya itu yang tidak bisa dihiraukan.



Salah satu kebanggannya yang menguatkan rasa sombongnya adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya, yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis atau bisa disebut biotech. Disamping saat masih kecil, aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Semakin melihatnya semakin sadara lama lama sepertinya aku melihat klise drama korea disini, tapi mau bagaimana lagi, dia saudaraku.




ii.




Aku sekarang tinggal di rumahnya. Rumah dengan model layaknya keraton di kota modern ini terlihat sangat kontras dengan halaman hijaunya yang luas, ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Satu satunya yang ku tidak sukai adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan, dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya, ornamen elang berjambul kecil terpampang di sudut sudut rumah. 



Bagian terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersesat di dalam sebuah rumah ini, serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya. AKu sangat yakin keluarganya memang tidak mengharapkan tamu yang datang



Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. 



Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar layaknya orang mabuk dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas sandaran kursi sejajar dengan kepalaku. Namun semua sirna saat suara guliran roda pintu masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.



Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya. 



“Hey … kenapa anda bisa terdampar disini,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.



“Gua awalnya ingin pergi menemuimu bos, tapi gak ketemu ketemu gara gara lorongnya kayak labirin. Abis itu tak coba cari cari sendiri dan … akhirnya tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.



Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin anda tanyakan hah?” ucapnya sambil melipat kedua tangannya.



“Toilet.”



“Anda sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa gak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.



“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan kembali memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.



Dito menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya. “Karena kebetulan ada disini, saya memiliki satu buah tugas,” serunya.



“Sebenarnya gua lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah.”



“Tugas ini bersifat permanen karena tugas hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.



mataku menyerngit. “Tugas seperti apa itu sampai bos tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya.



“Saya menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”



“CV?”



“Bukan, tapi sebuah narasi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.



“Apa maksudnya dengan kita bos?”



“Saya tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, itu urusan nanti.”



“Eleh … .”



Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan. 



“Jujur bos, gua masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.



“Saya tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini anda cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.



Mataku berusaha mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, bakal tak coba, cukup cerita saja kan? tapi jangan berharap banyak dari tulisan anak teknik.”



“Kalau itu tidak masalah. Anggap aja ini tugas anak anak, namun seperti yang  saya bilang tadi. Hanya anda yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas sambil melempar telunjuknya ke udara.



“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.



“Tidak … ini spesial,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.



“Baiklah, jadi dimana gua bisa mulai tugas ini?”



Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamar, tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Itu kamarmu, disana kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.



Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berpikir sejenak, sepertinya aku membuat kesalahan dengan menanyakan hal tersebut.



“Tidak …” jawab Dito tampak tidak senang.



“Oke oke bos,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.



Dito sejenak bergumam. “Menulis itu cumang sebagian dari pekerjaan, sisanya ada lagi besok,” balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.



Aku menatap tajam ke arahnya. Sialan kau mengerjaiku.



“Ini belum apa apa,” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.


Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi.   Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku yang masih berkunang kunang dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik dari tidurnya, mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku, mengambil nafas dan pergi menuju tempat kerjaku.
Polling
0 suara
Karakter mana yang paling berkesan gansis?
Diubah oleh amriakhsan 13-11-2020 23:23
danjau
aripinastiko612
sampeuk
sampeuk dan 13 lainnya memberi reputasi
10
8.3K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
amriakhsanAvatar border
TS
amriakhsan
#2
iii.

Dari balik layar kaca mobil, memebuat dunia luar menjadi gelap, mataku sekali berfokus kepada kendaraan dengan berbagai ukurannya mulai dari yang kecil hingga mobil besar melewati jalan yang cukup lancar dan tidak terlalu ramai. Bahuku bersandar di bagian pintu dan menempelkan ujung keningku di jendela, tarikan nafas kuambil dalam dalam namun lambat sampai seluruh paru paru kering ini terisi penuh dan mengeluarkan semuanya sekaligus dengan membuka lebar mulutku dan menghembuskan segalanya, membuat titik titik kecil embun membulat di jendela.

“Ada masalah?” tanya Dito.

Mataku berubah dari posisi malas ke sedikit terbuka dan melirik wajah Dito yang sedang memperhatikanku lewat kaca dalam mobilnya. “Oh… tidak ada apa apa, hanya kebiasaanku saja, selalu begini,” balasku dengan tenang.

“Ini bukan kali pertama kita bertemu, tapi bisa saya bilang kalau anda berubah … jadi rada suram sekarang,” ungkapnya sambil kembali mencengkram setir dan memfokuskan pandangannya ke jalan.

“Bisa dibilang begitu ... sebenarnya gua ini cuma orangnya diam jika tidak diajak berbicara bos,” jawabku

Dito bergumam. “Kenapa gak coba saja baca buku atau bermain game di mobil agar saya tidak tidak menabrak sesuatu karena bosan ngeliatin orang macam lu.”

Bibirku membuka katupnya ke atas sambil melontarkan semua udara bosan di dalamnya. “Buku atau berita menarik macam apa di jaman teknologi menggila sekarang ini?”

“Memang sebenarnya tidak banyak, namun ada berita menarik. Ada kasus dimana dalam beberapa bulan ini ada beberapa orang ditemukan tewas di berbagai lokasi dengan kondisi yang sama.”

“Virus baru?” tanyaku dengan mulai mencoba masuk ke dunianya tanpa merubah posisiku semula seakan akan tertarik oleh kata katanya.

“Tidak begitu yakin … tapi memang seperti sebuah penyakit,” jelas Dito.

“Seperti apa mereka ditemukannya?”

“Mereka tewas dalam kondisi tubuh memerah, membengkak, terjadi hampir pada seluruh kondisi tubuh.”

Mataku kali ini menaruh perhatian di wajah Dito dengan tatapan serius, mulai mencoba mengikuti ceritanya.

“Setelah dilakukan otopsi, polisi melakukan klarifikasi bahwa mereka tewas bukan karena tubuh mereka yang berubah dengan tidak wajar, melainkan karena dehidrasi berat dan suhu tubuh naik secara drastis yang membuat jantung mereka berdetak dengan sangat cepat sampai sampai mereka kesulitan bernafas dan akhirnya tewas.” Jelas Dito dengan lengkap.

Penyebabnya?”

“Belum diketahui secara pasti, namun yang saya tahu, beberapa diantara mereka semua rata rata sudah mengganti organ tubuh mereka dengan yang baru.”

Hidungku melepas sedikit udara dari yang tertahankan. “Ah … jadi begitu ya. Pantas aja tiba tiba jadi bicara panjang lebar, masalah bisnis ternyata,” balasku sedikit meredupkan mataku menyadari niatnya.

“Ya tentu saja hal ini sangat penting bukan. Dengan itu saya bisa memperkuat alasan untuk melakukan kerjasama dengan PT Sampuna,” jelas Dito dengan sedikit kepuasan di wajahnya.

“Bukannya mengambil keuntungan dari kesulitan orang itu tidak baik?,” tukasku

“Bukan begitu, Ini hanya masalah bisnis dan juga menolong orang lain. Lagipula saya sudah menyiapkan beberapa jawaban yang sangat tepat saat pertanyaan pers nanti,” terangnya.

“Ya … gua bisa melihatnya dari sini.” Mataku masih melihat wajah Dito dengan serius sambil sedikit menampilkan seringai anehnya.

Tidak berlangsung lama setelah kami mengobrol. Tidak terasa sekarang kami sepertinya sudah mulai dekat dengan daerah rumah Dito atau bisa kusebut rumah pamanku. Sinar mentari terik yang bermunculan secara teratur menembus lorong lorong jalan layang di atas kami dengan pepohonan rindang dan lebat di pinggiran trotoar dimana langkah langkah kaki orang orang sedang menikmati teduhnya kota ini meski di siang hari terik. Aku masih teringat cerita kakekku saat kota ini menjadi kota yang sangat kotor, debu bertebaran dimana mana dan mungkin untuk berjalan kaki setiap hari seperti orang orang sekarang ini lakukan mungkin akan menyebabkan masalah penyakit paru paru serius dan malah membunuh mereka sendiri padahal yang mereka inginkan dari berjalan adalah untuk menghilangkan penat dan penyakit mereka, ironis.

“Kita hampir sampai kawan, apa kau masih ingat jalannya?” tanya Dito.

Aku bergumam. “Tidak begitu, tapi sepertinya masih ada sedikit … gambaran,” jawabku sambil memicingkan sebelah mataku ke langit jingga.

“Baiklah kalau begitu kita lihat sebaik apa kemampuan mengingat anda, jika tidak maka kita akan kembali ke kampus lu dan saya akan membayar Rektor bodoh itu agar mencabut surat kelulusan omong kosong itu segera,” cetusnya Dito.

“Sepertinya bos tidak bisa berhenti meremehkan orang ya,” balasku sinis padanya.

Dito menarik tangannya, memutar setir saat di belokan sebuah jembatan yang di ujungnya ada gapura besar dan menjulang setinggi sekitar 5 meter, berwarna putih dengan patung garuda hitam yang mengepakkan sayapnya. Kemudian Dito mengambil rem tangan berhenti di tengah jembatan ini. Beberapa orang yang sedang bersantai di atas jembatan memandangi sungai ciliwung dan terlihat beberapa dari mereka melempar sesuatu butiran butiran besar berulang ulang, memberi makan ikan di sungai.

“Siap?”

“Tidak perlu menguji sampai segitunya.”

“Ya anggap saja mulai sekarang lu bakal kerja sebagai supir pribadi saya.”

“Kuliah empat tahun menjadi seorang supir?” mataku sedikit menyerngit. “Baiklah tidak masalah.” Keluar dari mobil sinar terik langsung menyerang mataku, membuatku harus terpejam beberapa detik dan tertahan di pintu beberapa saat sampai mataku menyiapkan dirinya untuk membuka dan yang kudapatkan adalah pemandangan sungai yang tidak indah, tapi bagus. Dengan aliran sungai yang berwarna biru tua, tidak kotor dengan tanpa adanya sampah sepanjang mata memandang, pinggirannya atau tepatnya di atas aliran sungai ini ditumbuhi pepohonan hijau yang sepertinya dari mataku melihat susunan akar mangrove yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak terlihat seperti pohon yang liar.

Angin bertiup agak kencang membuat sedikit gelombang kecil di sungai yang tenang. Dengan mengambil langkah perlahan tubuh sampai ke pinggir pembatas jembatan dan langsung menarik nafas dalam dalam, memenuhi paru-paruku dengan seluruh udara segar yang ada. Pandanganku teralih saat mendengar suara percikan air yang cukup ramai seperti sedang ada gelombang kecil di bawah sana. Segerombolan ikan yang membuka mulutnya dan melahap makanan yang dilempar tadi lalu kembali kedalam air dan lalu muncul lagi untuk melakukan hal yang sama namun kali ini banyak sekali saingan dari ikan ikan lainnya yang berebut makanan juga. Jika sungai ini langsung terhubung ke laut, maka ini mungkin ikan air payau.

“Itu adalah ikan bandeng,” ucap Dito.

Seketika mataku teralih kepadanya yang berjalan menghampiri pagar jembatan. Sepertinya dia membaca pikiranku. “Terimakasih sudah mengingatkan,” balasku.

Dia membalasku dengan anggukannya tanpa bicara

Nafasku kali ini berhembus kencang dari hidungku. “Baiklah serahkan kuncinya segera,” pintaku dengan mengadahkan tanganku ke arah Dito. Kemudian ia memutar tangannya dan mengaktifkan smartwatch di tangannya dan seketika sebuah notifikasi bergetar di tanganku.

“Itu kuncinya” kata Dito dengan mengetuk jamnya dua kali.

Memastikan bahwa notifikasi yang masuk tadi berasal dari Dito. Kuputar langkahku, membalikkan badan lalu mengambil kaki menuju mobil. Sebelum aku masuk, aku memperhatikan pantulan wajahku di jendela mobil, cukup jernih sampai aku bisa melihat seluruh wajahku dari sini. Wajah kotak agak membulat dengan pipi yang agak tipis, serta rambut lebat yang lurus yang kasar ke bawah menutupi keseluruhan keningku hingga melewati kedua alisku dan kurapikan menjadi tiga bagian agar tidak menutupi kedua bola mata hitamku yang selalu menatap tajam sama seperti hidungku dengan noda hitam bekas jerawat.

“Jangan kayak cewek,” cetus Dito.

Alisku mengerut saat ia mengganggu. Berusaha menghiraukannya tanganku meraih gagang pintu lalu menunggu sampai dan bunyi beep kecil dari mobil berbunyi, menandakan pintu sudah terbuka. Masuk ke dalam mobil, pandanganku disuguhkan interior mobil yang bisa kubilang mewah untuk kelasku. Warna dasar hitam dan merah tua dengan komposisi yang tepat dengan dashboard mobil yang sangat lengkap dengan TV dan stereo. Sedikit kegembiraan kecil muncul di hatiku melihat mainan Dito ini, tubuhku langsung menyatu dengan kursi yang lebih empuk dibanding kursi belakang. Sialan juga seleramu Dito.

Menggenggam setir dengan erat, merasakan pegangan yang nikmat dan kokoh serta posisi kendali yang pas dengan pengemudi, memperlihatkan pandangan secara penuh. Kemudian dengan suara pintu mobil terbuka dari belakang, Dito masuk dan langsung merebahkan dirinya ke seluruh kursi belakang yang lebar, mengambil posisi tidur.

“Kau tidak buru buru kan?” tanyaku.

“Santai saja … asal jangan sampai kepala saya terangkat dari kursi.”

“Ok … siap bos,” sahutku sambil menyalakan mesin, seketika mobil terasa sedikit terangkat membuatku terkagum sejenak. Mengambil gigi dan memainkan kopling mobil sempurna ini meluncur di jalan.

iv.

Setelah sampai di depan rumah berpagar dengan tembok putih bernoda bercak besar di sekitar tembok tinggi dengan duri duri berbentuk anak panah besi di atasnya. Dito langsung terbangun dari tidurnya layaknya robot dan tanpa bicara langsung meraih pintu dan keluar, berjalan menghampiri salah satu pintu gerbang besi besar sepanjang kira kira 4 meter lalu mendorongnya hingga terbuka penuh. Lalu dia berdiri sejenak dan beberapa kali mengedipkan matanya lalu membukanya secara lebar, mengumpulkan seluruh kesadarannya, hingga akhirnya tangannya menepuk keningnya pelan beberapa kali, sepertinya ia kebingungan.

Wajahnya terarah kepadaku menembus jendela gelapnya, dari sini bisa kulihat muka kusutnya setengah sadar. Lalu dia melambaikan tangannya, menyuruhku masuk ke dalam segera.

Ujung jempol kakiku menginjak gas, ditahan dengan injakan rem yang berhenti persis di depannya. "Kau tidak apa apa?" tanyaku.

"Jangan dipedulikan, cepat masuk!" perintahnya datar menatap kosong ke depan.

Mataku disuguhkan dengan pemandangan jalan aspal yang bersih dengan rerumputan yang agak menguning terhampar di sepanjang mata memandang dengan bermacam macam pepohonan berjejer rapi memutari rumah layaknya keraton yang berada di tengahnya. Aku masuk dengan perlahan sambil mataku memandangi sekeliling daerah rumah ini yang dibatasi tembok besar. Telingaku menangkap suara roda besi bergulir dari belakang dan melihat Dito dari spion saat dia menutup gerbang tersebut.

Aku menghentikan mobil saat berada di depan salah satu pintu garasinya miliknya yang berada di sebelah rumahnya. Dito kemudian menghampiriku yang masih duduk santai di dalam mobil.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya tersenyum.

“Ya … sepertinya gua bakal betah disini,” jawabku puas.

“Dengan mobil ini, tidak ada perempuan yang menolak saat diajak jalan.”

“Maaf bos, untuk sekarang ini otak tidak sampai kesana.”

“Terserahlah … cepat masukkan ke garasi!”


Kakiku melangkah keluar mobil dan menghirup kembali udara segar, mungkin terdengar sangatlah aneh tapi bagiku menghirup udara segar adalah hal yang sangat kuperlukan untuk menghilangkan pikiran buruk. Dengan melangkah perlahan, kakiku menapak tangga kecil dari kayu yang mengarahkanku pada daun pintu yang sangat besar dari kayu yang tebal dan kokoh, memeganya dan merasakan setiap ukiran ornamen yang terpahat di situ. Aku langsung bisa merasakan keringat para pekerja yang membuat rumah indah ini.

“Anggap saja rumah sendiri. Tapi jangan diam di depan pintu, nanti jodohlu diambil orang,” ujarnya.

“Eleh … tidak ada hubungannya sama sekali,” jawabku mendorong pintu berat ini mulai menapakan langkah di rumah tua ini.
a.wicaksono
simounlebon
sampeuk
sampeuk dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.