TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
TS
ariawdirgantara
TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
Hai agan dan sista sejagad Kaskus Raya, sudah lama saya menjadi pembaca setia SFTH. Dan pada kesempatan kali ini, saya merasa terpanggil untuk menghangatkan forum ini terutama cerita dengan kategori misteri.
Cerita ini adalah cerita pertama saya di forum Stories From The Heart, kritik dan dukungan gansis semua sangat mendorong saya untuk menyelesaikan cerita yang sudah saya mulai. Dan saya harap toleransi terhadap Hak Cipta dapat kita bangun dengan baik di forum terbaik milik kita ini.
Cerita direkomendasikan untuk 15+ ya gansis
Selamat membaca dan selamat menggelar tikar dengan nyaman gansis!
Aku duduk di kursi belakang, sementara Rena menemani Satya yang dengan susah payah mengendalikan mobil tua ini.
Sebenarnya aku masih kurang begitu percaya dengan Satya, selain kami baru saja berkenalan, terlihat Satya sering bertingkah aneh.
Iya, benar. Aku sudah 3 kali menangkap basah Satya yang seolah berinteraksi dengan seseorang yang tidak kasat mata.
Pertama saat Pak Jum sedang bercerita tentang bus hantu, seolah matanya terus mendesak seseorang untuk turun dari atas Pohon Nangka di depan mess.
Gestur tubuh dan raut wajahnya seolah memperhatikan Pak Jum bercerita, namun sorot matanya terus mengarah ke atas pohon.
Kedua, saat pertemuan di jalan tanah bebatuan menuju pabrik. Walaupun kabut menyelimuti, tapi pandanganku masih cukup tajam untuk melihat apa yang Satya lakukan.
Dengan jelas aku memergoki Satya memerintahkan seseorang untuk tidak mengikutinya.
Dan yang terakhir baru saja, saat mobil melewati jalan di pinggiran hutan di sebelah timur pabrik.
Tiba-tiba saja Satya membuka kaca dan mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
Lalu entah apa yang merasukinya, Satya seketika berteriak, “Ngalih! Aja nang dalan, pekok! (Minggir! Jangan di jalan, bodoh!)”.
Entahlah, aku dan Rena sama sekali tidak mengerti apa yang Satya ucapkan.
Seakan ada seseorang yang dia marahi di tengah jalan yang kosong itu.
Tapi aku sedikit lebih tenang, karena Satya adalah orang yang cukup ceria dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.
Rena sudah cukup akrab dengan Satya, rasanya Rena selalu tersenyum saat berada di dekatnya.
Aku ingat pesan Erga saat aku hendak pergi ke pasar tadi, ada maksud tertentu memang, dan aku tidak pernah bisa menerka apa yang direncanakan olehnya.
"Selalu perhatikan tingkah laku Satya, ketika dia bercerita tentang latar belakangnya, dengarkan dengan baik. Jangan lupa sms aku jika ada yang tidak beres", pinta Erga berbisik.
Yang aku dapatkan dari pembicaraan kita sepanjang perjalanan tidak banyak, bahkan semuanya terlihat normal dan sangat wajar.
Sudahlah, Erga mungkin hanya khawatir terhadap kami berdua.
Menurut cerita Satya, jika pabrik beroperasi seperti hari kerja, jalanan memang selalu sepi.
Semua yang melewati jalan ini dipastikan adalah karyawan pabrik yang berangkat atau pulang bekerja.
Dahulu pernah ada rencana untuk membangun obyek wisata di daerah bukit.
Namun sayang, saat dilakukan perintisan akses masuk melewati hutan, banyak para pembuka jalan yang hilang dan tidak pernah diketahui keberadaannya.
"Banyak yang meninggal loh disini. Kecelakaan di daerah ini tuh sial banget, hampir susah dapet pertolongan. Terakhir kali malah ada karyawan yang jatuh dari motor saat pulang kerja. Luka cuma di bagian paha kaki aja. Sayang banget dia ketemunya 8 jam abis kejadian, pas banget pergantian shift kerja. Yah, udah mati tuh kehabisan darah", cerita Satya dengan penuh semangat.
Sementara itu...
Quote:
"Hahaha ini kasur paling enak dan nyaman. Seumur-umur baru ngerasa tidur selama setahun penuh", aku berbicara di dalam hati dengan melihat langit-langit kamar.
Aku akhirnya beranjak dari kasur, kasur dengan kesan cinta pada pandangan pertama, Oh! maksudku cinta pada pertama tidur bersama.
Kulihat jam di ponselku sudah menunjukan pukul 11 siang.
Ada pesan masuk, nama Rena berbaris manja di layar ponselku.
"Nyuk, bangun!".
"Nyuk, sarapan kamu di dapur dimakan ayam".
"Nyuk, aku lupa kunci kamar, jagain yaaa xD".
Haduh, perempuan ga beretika, memaksaku untuk menjadi anjing penjaga.
Aku tidak memikirkannya, aku memiliki alasan kuat, dimana kamar Rena pun aku tidak tahu.
Aku melangkah keluar kamar, tidak kujumpai sebatang hidung pun yang menempel di wajah teman-temanku.
"Ah gila gila gila! Semua ga waras, gak solid banget si Erga", aku memaki keadaan yang sepi.
Aku teringat pesan Rena, sarapan di dapur dimakan ayam.
Kubuka pintu ruangan di sebelah kamarku, aku salah, ini bukan dapur tempat ayam memakan sarapanku, ini adalah kamar para perempuan.
Kulanjutkan membuka pintu selanjutnya, ini mirip tantangan memilih pintu di acara Benteng Takeshi.
Tiba-tiba, "prank..!!".
Suara piring pecah terdengar, kulihat seseorang berjongkok di atas meja makan.
Dia menyeringai kepadaku dengan mengunyah entah apa yang bisa dia lahap di atas meja.
Astaga! Pria dengan badan lusuh dan hanya memakai celana pendek sedang menggantikan peran ayam yang Rena skenariokan.
Aku berlari spontan menjauhi dapur, tunggang langgang menuju jalan tanah bebatuan.
"Prak…!!”, kulihat sebuah Nangka terjatuh dari pohonnya.
Sial! Entah bagaimana sepatuku bisa terlepas, tapi sudah kurasakan batuan kecil menyundul telapak kakiku.
Kulihat lagi keadaan mess, manusia bercelana pendek itu tidak mengejar.
Aku panik, mataku terasa semakin kabur.
Oh Tuhan! Yang terjatuh dari pohon sudah berubah, menjadi kepala manusia yang pucat tanpa rambut, alis dan bulu mata.
Kuterjang kabut yang mulai menipis, kutinggalkan mess terkutuk itu menghilang di kejauhan.
Pabrik, satu-satunya tempat yang terlintas di pikiranku, persetan dan tempat ini, akan kucari Erga dengan segala daya upaya.