TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
TS
ariawdirgantara
TIMUR TERLARANG (Larilah Kemanapun Selain ke Arah Timur)
Hai agan dan sista sejagad Kaskus Raya, sudah lama saya menjadi pembaca setia SFTH. Dan pada kesempatan kali ini, saya merasa terpanggil untuk menghangatkan forum ini terutama cerita dengan kategori misteri.
Cerita ini adalah cerita pertama saya di forum Stories From The Heart, kritik dan dukungan gansis semua sangat mendorong saya untuk menyelesaikan cerita yang sudah saya mulai. Dan saya harap toleransi terhadap Hak Cipta dapat kita bangun dengan baik di forum terbaik milik kita ini.
Cerita direkomendasikan untuk 15+ ya gansis
Selamat membaca dan selamat menggelar tikar dengan nyaman gansis!
Sudah kurasakan ketidakwajaran dengan cerita Rasha yang penuh dengan hal ganjil.
Aku mencoba untuk mengendalikan keadaan dengan terus menyantap sisa-sisa untaian mie instan yang kuahnya mulai terasa dingin.
Setelah sarapan pagiku yang dibumbui cerita mistis oleh Rasha, aku mengajaknya untuk berkeliling yang sebenarnya.
Ajakan ini aku lakukan karena memang aku penasaran dengan situasi dan suasana lingkungan yang akan aku tinggali untuk waktu yang cukup lama.
Yuka masih setia dengan tidurnya, sementara Rena kulihat sedang membersihkan halaman mess dengan muka yang tidak bersahaja.
Saat aku dan Rasha menyapanya, gelagat tubuhnya memberi tanda untuk enggan ditinggalkan dan memelas mengikuti tour pertama kami.
Ah, enak saja bagiku ditemani dua perempuan cantik berkeliling di tengah dinginnya pagi.
Pukul 9 yang aneh, kabut masih tebal menutupi pandangan.
Sepertinya hal biasa jika berada di kaki bukit yang cukup tinggi ini.
Kami melewati jalan tanah bebatuan itu, aku berjalan paling kiri di samping Rena yang terus memeluk lengan Rasha seperti boneka.
Tiba-tiba seseorang terlihat mendekat membelah kabut dari arah berlawanan, Ah! Satya rupanya.
"Wah jalan-jalan nih? Ikutan yaa", Satya memasuki barisan kami dan berputar arah.
"Satya dari mana? Hari ini kan libur kerja", Rena memberi senyum hangatnya yang entah hilang kemana saja.
"Ini nih Ren, Pak Jum harus dianter pulang, sakit dia", perjelas Satya.
Pak Jum akhirnya terkena demam dadakan, Satya menambahkan jika Pak Jum masih gelisah karena kejadian tadi malam.
Kami sampai di gerbang pabrik, kita bertemu Pak Ono yang merupakan teman shift Pak Jum tadi malam.
Kami juga berkenalan karena belum sempat bertemu muka saat kita datang, jadi Pak Ono lah seseorang yang kulihat berada di Pos Keamanan dini hari tadi.
Setelah berkenalan dengan Pak Ono, Rasha mengajak Rena untuk pergi ke pasar di desa.
Karena Satya lebih paham tentang daerah ini, ia bersedia untuk mengantar Rasha dan Rena menggunakan mobil tua milik pabrik.
Aku rasanya enggan untuk ikut bersama membeli persediaan logistik, mengingat ada seonggok manusia yang kutinggalkan di kamar, ya manusia bernama Yuka itu.
Aku melanjutkan masa orientasiku dengan terus mengajak Pak Ono bercerita.
Kami bercerita panjang lebar di samping dinding pabrik, terutama cerita tentang apa yang dialami oleh Pak Jum tadi malam.
‘’Pak Jum itu orang baru, baru 2 minggu kerja disini. Jadi belum biasa dengan mereka”, terang Pak Ono.
"Memangnya bapak udah berapa lama kerja disini?", aku mulai mengorek semuanya.
"Wah, lama juga mas, 2 tahun setelah pabrik ini dibangun, saya sudah bekerja disini. Kira-kira sekitar tahun 92', 1 tahun setelah 'petengan' terjadi", Pak Ono memulai dengan flashback yang jauh.
Pada tahun 1990, pabrik ini dibangun di atas bekas desa yang terbakar hebat.
Dahulu, karena akses menuju desa yang terbakar sangatlah susah, dan pula desa terdekat adalah desa yang terdapat pasar yang dituju ketiga temanku, desa ini terbakar hebat dan musnah dalam waktu semalam.
Semua orang di desa ini tidak ada yang selamat, ada cerita yang mengatakan jika orang-orang yang selamat menjadi gila karena tersesat di hutan di sebelah timur desa.
Abu desa ini ditemukan di pagi hari oleh beberapa pemburu dari desa sebelah yang sudah paham area mana saja yang dilarang untuk dilewati.
Pabrik dibangun sebagai pusat industri tekstil oleh sebuah perusahaan besar dari Jakarta.
Namun, suatu malam di tahun 1991, terjadi hal diluar akal manusia.
Malam itu pabrik beroperasi dengan baik dan ada sekitar 70 orang menjalankan shift malam termasuk petugas keamanan.
Tiba-tiba semua listrik padam, orang-orang berteriak kebingungan.
Tidak ada satu orangpun yang bisa menyalakan penerangan, termasuk korek api yang mereka bawa.
Seakan cahaya sudah tidak bersahabat dengan kegelapan, semua sumber penerangan dengan anehnya melawan teori ilmiah.
Jangan berpikir ada cahaya bulan dari atas sana, kabut tebal dengan gagah menjaga daerah ini.
Setelah semua orang terdiam, keadaan begitu hening dan hanya suara detak jantung puluhan orang yang terdengar.
Malam itulah malam terakhir adanya binatang di daerah ini.
Ya, sejak kejadian itu tidak ada lagi binatang hidup disini, dan itulah alasan sampai sekarang aku tidak mendengar suara burung atau jangkrik di pagi hari.
Esoknya, cahaya matahari lebih kuat menerjang kabut walau masih samar.
Tapi ini adalah kesempatan baik untuk semua orang melarikan diri.
Menurut data yang tercatat, 1 orang penjaga keamanan tewas karena perutnya robek saat berlari kedalam pabrik.
Ususnya terburai keluar dan tersangkut di kawat yang terlilit di dinding.
3 orang yang bertugas sebagai operator mesin press menemui ajal mereka dengan terjepit pada mesin yang kehilangan daya hidroliknya.
Karena malam gelap itulah orang-orang di desa sebelah menyebut malam itu dengan istilah 'tragedi petengan(tragedi gelap-gelapan)'.
Pabrik berhenti beroperasi kurang lebih satu tahun, dan pada tahun berikutnya pabrik diakusisi oleh perusahaan tempatku bekerja sekarang dan tahun itu juga Pak Ono mulai bekerja disini.