Denis tiba-tiba mengajakku.
("Iya sih tadinya, tapi dia udah gak apa-apa. Masih murung mirip ayam sakit. Mumpung ada alat pancing dua nih, daripada saya tiba-tiba pulang kan?")
Denis beralasan.
Aku mengiyakan pada akhirnya.
"Jam 10an kayaknya mantep tuh. Ada sungai kan deket sini, nah kita kesitu aja."
Denis dengan semangat menjelaskan rencananya.
"Okelah kalo begitu. Kita ketemu disini lagi aja nanti jam 10."
Ujarku.
Denis mengacungkan jempolnya.
Singkat cerita, setelah pertemuan tak terduga itu, akhirnya kami sepakat untuk memancing di salahsatu hulu sungai yang letaknya tepat di belakang komplek.
"Namanya juga orang Indonesia, Re. Kalo bilang jam 10 berarti ya janjiannya jam 11."
Denis dengan santai beralasan.
"Tau gitu
aingselow dulu di rumah, rokok udah abis setengah bungkus nih nungguin."
Aku protes padanya.
"Kaleum kaleum, nih
aing ganti."
Denis memberikan sebungkus rokok berwarna putih.
"Tumben beli bungkusan."
Aku mengambil dan membukanya lalu menyalakannya sebatang.
"
Aing abis dapet proyekan, ya lumayan lah."
Balasnya.
"Proyekan apan
sia? pasti yang aneh-aneh yakin
da aing mah."
Aku memancingnya untuk bercerita.
"Ntar
aing cerita, eh disini bukan sungainya?"
Tak terasa kami sudah hampir sampai.
"Iya sih, disini yang paling sering dipake mancing mah."
Kami berhenti berjalan dan melihat ke sekitar.
"Gelap
pisan, anjir. Tapi ikannya ada gak ya?"
Denis meragu.
"Coba aja dulu lah."
Aku melepas sendal dan menuruni tangga agar sampai tepat ke pinggir sungai mendahului Denis.
Dengan senter dari ponsel ditangan, aku menyusuri dengan hati-hati dan mencari tempat yang sekiranya nyaman dan cocok.
Denis pun menyusul pada akhirnya dan duduk tepat di sebelahku.
Sungai ini merupakan aliran irigasi sawah yang terletak di belakang komplek dan langsung berbatasan dengan benteng yang menjulang setinggi 2 meter.
Karena aliran irigasi, pinggirannya ditembok sedemikian rupa agar debit air dapat terus terjaga. Hal itu juga membuat kami cukup nyaman untuk memasang umpan dipinggirnya.
Meski aku merasa seperti berada di sebuah lubang karena jika melihat keatas ada tangga lalu dinding menjulang yang menyambung dengan jalan setapak belakang komplek.
Belum lagi benteng belakang komplek mempunyai penerangan yang kurang memadai, hanya sebuah pintu berukuran 2M x 50cm tanpa penjagaan yang mempunyai penerangan yang cukup. Itupun sama sekali tidak terlihat dari bawah sini.
"Nih mang,
dikopian dulu, biar rada melek."
Denis menyeduh segelas kopi untuk kami berdua.
"Wess, mantep mantep."
Aku mengambil dan menyeruputnya.
Kepulan asap rokok keluar dari hidung dan mulut kami masing-masing. Mencoba menghangatkan diri dan terus memperhatikan umpan yang sedari tadi belum disambut.
"Si Imam gimana sekarang?"
Aku membuka obrolan sambil melemparkan umpan agar lebih jauh.
"Aman segitu mah, kaget doang kali ya gara-gara baru pertama kali ngadepin yang kayak begitu."
Denis menjawab dengan santai.
"Emang
sia pernah ngalamin yang kayak begitu?"
Aku melemparkan pertanyaan berharap ada cerita menarik darinya.
"
Tideuha? Pernah sekali, tapi gak separah itu sih. Itupun karena babeh yang lemparin kutukannya. Jadi ya gampang lah diurusnya."
Denis menjawab cukup singkat.
"Babeh emang dukun?"
Aku mencoba mencari simpulan.
"Hooh, dukun santet malah. Tapi sekarang mah mulai tobat, ilmunya juga dibuang-buangin satu-satu. Tapi ya begitulah kalo ilmu hitam, dibuang dari babeh eh malah nyari anaknya buat jadi inang."
Denis berkata sambil membenarkan posisi pancingannya.
"
Sia sama si Imam akhirnya dapet ilmu itu dong?"
Aku memancingnya agar bercerita lebih lengkap.
"Ada yang terpaksa diterima ada yang bisa ditolak. Tapi kebanyakan ditolak sih.
Aing gak mau jadi dukun, tapi dengan begini senggaknya
aing pake buat nolong orang. Itung-itung nebus dosa babeh dulu karena ilmunya secara gak sengaja turun kesini."
Umpan Denis sepertinya disambut.
"Bentar bentar,
aing dapet nih kayaknya."
Dengan sigap ia menarik benangnya hingga ikan seukuran telapa tangan muncul ke permukaan.
"Mujair kayaknya."
Aku berujar saat melihat ikan itu.
"Lumayan segini mah."
Denis mengangkat, melepas kailnya dan memasukkan ikan itu pada jaring yang sudah disiapkan diantara kami.
"Ada perbedaan gak antara ilmu yang
sia pegang sama si Imam?"
Aku bertanya setelah memikirkannya.
"Ada, dia lebih bersih dari
aing malah. Bagus sih dia bisa nolak hampir semuanya."
Denis memasang kembali umpan dan melemparkannya.
"Lebih bersih?"
Aku tak mengerti dengan kata-katanya.
"Lebih bersih berarti lebih lemah kalo urusan sama setan, tapi lebih kuat ibadahnya.
Aing kebalikan dari dia, denger adzan aja badan keringet dingin."
Denis menjelaskan.
"Tapi bukan berarti gak solat kan?"
Aku mencoba membuatnya lebih terbuka.
"Kalo gak kelupaan, hehe."
Ia menjawab dengan setengah bercanda.
"Yeee."
Aku membalas candaanya singkat.
Aku menarik kailku dan memeriksa apakah umpannya masih disana atau tidak.
Ternyata habis, saat aku sibuk memasangnya lagi, Denis berteriak ke arah seberang.
"Heh! Lauk aing eta! Ingkah sia! Hus hus!"
("Heh! Ikanku itu! Pergi kau! Hus hus!")
Ia berteriak dan mengibas tangannya.
"Aya naon?"
("Ada apa?")
Aku bertanya setelah memperhatikan bahwa disitu tidak terlihat apapun.
"Kuya, lain nanaon. Geus antep weh."
("Kura-kura, bukan apa-apa. Udah biarin aja.")
Denis menjawab singkat dan meninggalkan rasa penasaranku yang mengantung.
Kurang logis jika kura-kura yang dimaksud dapat terlihat dari jarak ini.
Lagipula, ia melarang untuk mengambil ikannya yang jelas-jelas ada didalam jaring diantara kami.
"Aslina bieu kuya?"
("Yang bener barusan kura-kura?")
Aku memastikan.
"Pamali Re mun ningali nu kitu heug keur mancing urangna, ngke weh caritana mun geus anggeus mancing."
("Pamali Re kalo liat yang begituan pas kita lagi mancing terus langsung diceritain, nanti aja kalo udah selesai mancingnya.")
Denis dengan santai berkata padaku.
Apa ku duga? Yang dia lihat bisa jadi bukan kura-kura.
Denis terdiam, akupun demikian. Meninggalkan suara nafas yang terdengar menghela diantara gesekan dedaunan dan angin malam yang menyapu pelan.
Dingin, meski tidak membuat mengigil, namun aku masih berfikir sesuatu yang tadi Denis lihat dan hal itu cukup membuat bulu kudukku berdiri.
Saat pikiranku berkelana, umpanku disambut.
"Nah, akhirnya!"
Aku dengan semangat menarik kailku naik.
Cukup berat hingga aku harus mengulur dan menariknya beberapa kali.
"Kayaknya gede nih."
Denis menggodaku yang tengah berjuang.
"Kalo beneran gede, jadi bakaran kita."
Aku membalasnya sambil terus menarik.
Kepala ikan muncul dipermukaan, cahaya senter dari ponsel yang kutaruh cukup untuk melihatnya.
Sepertinya ikan mas, tapi dengan ukuran sebesar telapak tangan itu, kenapa terasa berat?
Aku mulai berdiri dari tempatku, dan menariknya dengan lebih kuat.
"Semangat mang!"
Denis masih saja bercanda.
Ikan itu mulai semakin naik, namun hal selanjutnya membuatku hampir membuang pancinganku.
Yang kulihat bukan badan ikan, melainkan sebuah tangan manusia yang sedang memegang ikan yang kupancing.
"Buangke!"
Aku sontak melemparkan pancingku dan dengan sigap, Denis mengambilnya.
"Hahaha! Orang mah mancing dapet ikan, lah ini dapet setan?"
Dengan tertawa ia menariknya pelan namun tegas.
"Ah sialan lah, udahan lah kalo kayak gini."
Aku merengut takut.
"Kaleum, yang begini gampang diurus."
Denis menginjak pancinganku lalu berdiri.
Ia lalu membuka resleting celananya dan kencing disitu.
"Kop ajig tah inum cikiih aing."
("Nih minum air kencingku!")
Untung saja dibawah sini cukup gelap hingga membuatku tak perlu melihat yang membuat sakit mata.
"
Aisia ngapain?"
Aku protes dengan tingkahnya.
"Liat aja mang."
Setelah selesai, secarik kain muncul dan terbang dari sungai.
Kain itu lalu seperti hinggap di salah satu dahan pohon pinggir sawah.
Sekilas aku mendengar suara,
'huh!'
Seiring dengan beriak air saat kain itu terbang.
"Lebok tah!"
("Makan tuh!")
Denis dengan tegas berteriak padanya.
"Ned, kayaknya kita musti udahan."
Aku menarik bajunya sambil berjalan menaiki tangga dengan terburu.
"Bentar bentar,
aingberesin dulu."
Denis dengan sembarangan mengambil jaring dan pancingannya.
"Buruan
sia!"
Aku memaksanya.
"Aya naon sih?"
("Ada apaan sih?")
Ia protes dari bawah sementara aku sudah sampai diatas.
"Aing yakin itu nini-nini nu mawa gembolan lain jelema."
("Aku yakin nenek-nenek yang membawa sesuatu di punggungnya bukan orang.")
Aku menjawab sambil melihat ke arah seberang.
"Euh! Kuya!"
("Dasar kura-kura!")
Ia mengutuk pada sosok itu.
Pasalnya sosok yang kulihat sedang berjongkok dan memainkan air dengan tangannya, dan secara ajaib entah bagaimana ikan-ikan berkumpul mengerumuni tangannya itu.
Sosok itu tertunduk, namun aku bisa melihat baju lusuh berwarna coklat, uban di kepalanya dan keriput tangannya.
Setelah Denis sampai diatas, dia mengambil sebuah batu seukuran segenggam tangan lalu melemparkannya tepat didepan sosok itu. Karenanya, air yang didepannya ciprat kemana-mana dan ikan-ikan yang mengerumuni tangan keriput itu ketakutan dan menghilang.
"Sia da ajig ganggu wae!"
("Kau menganggu!")
Denis dengan berani menjahili sosok itu.
Sosok yang dari tadi tertunduk, kini mengangkat wajahnya, memperlihatkan mata merah menyala dan wajah yang entah bagaimana membuatku ketakutan.
Saat aku mematung melihat sosok itu, Denis menarik lenganku.
"Kabur mang!"
Ucapnya sambil membawaku lari.
Tanpa menunggu jeda, kami berlari menjauh memasuki komplek.
Setelah kami berlari selama beberapa menit.
"Udah udah aing cape."
Aku meminta berhenti.
Denispun mengikuti permintaanku, ia menoleh ke belakang dan memastikan bahwa sosok itu tidak mengikuti.
"
Sia ngapain pake ngejailin segala?"
Aku protes sambil mengatur nafasku.
"Biar tau rasa mang."
Jawabnya singkat.
"Serem parah ajig.
Aing baru liat yang kayak begitu."
Aku berkata dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan karena teringat rupanya.
"Halah baru segitu, mukanya gak seberapa. Yang jadi masalah kalo kita sampe diem disitu terus, bisa-bisa jiwa kita diambil tanpa sadar mang."
Denis menjelaskan.