Saat menceritakan hal ini, Dinda terus menerus memasang wajah kecewanya. Tak ubahnya seseorang yang sedang menyesali betapa lemahnya dia.
Tak ubahnya dengan Imam, ia tampak lebih murung dan setengah enggan untuk meneruskan apa yang terjadi saat itu. Bahkan kakaknya sendiripun dia acuhkan.
Hingga saatnya, di masa depan aku baru menyadari karena kejadian ini, mereka berdua mengambil langkah diluar dugaan.
"Baik, jika itu keinginanmu."
Dinda berdiri dan keluar kamar diikuti pak Dede yang terheran dengan maksud Dinda.
"Maksudnya gimana neng?"
Pak Dede menguraikan penasarannya.
"Tolong cari tukang gali kubur pak."
Saat Dinda berkata, wajah pak Dede berubah semakin lesu.
Awan hitam menggelayuti kedua matanya.
"Jika demikian, saya serahkan semuanya pada takdir."
Jawaban pak Dede terbata lemah sambil menyeret paksa tubuhnya keluar rumah.
Imam muncul dari balik ruangan yang berbeda, tampak ia telah mendengar apa yang Dinda katakan pada pak Dede.
"Yakin teh?"
Ia bertanya tak percaya.
"Entahlah, tapi hal ini patut dicoba daripada tidak sama sekali."
Dinda menjawab dengan nanar.
Sejurus kemudian, pak Dede kembali dengan seorang pria berumur 50 tahun lebih. Kemeja abu lusuh dan celana pendek hitam dengan wajah kusut begitu kentara dengan selipan rokok kretek di bibirnya.
"Bade kumaha neng?"
("Mau gimana neng?")
Orang itu bertanya pada Dinda.
"Gali kubur kangge putri pak Dede dua, pak. Tiasa?."
("Gali kubur untuk anak perempuan pak Dede dua, pak. Bisa?")
Tanya Dinda.
Orang itu tersentak sebentar.
"Keheula neng, lin putri pak Dede aya keneh?"
("Sebentar neng, bukannya anak perempuan pak Dede belum meninggal?")
Orang itu mencoba memahami apa yang Dinda minta.
"Bapak teu kedah hawatos, abi nu tanggung waler."
("Bapak jangan khawatir, saya yang tanggungjawab.")
Dinda meyakinkan.
Orang itu terdiam lebih lama.
"Galina dipengker bumi pak, sanes di TPU."
("Galinya di belakang rumah pak, bukan di TPU.")
Ucap Ratih menyusul.
"Mangga atuh pami kitu mah."
("Baiklah jika seperti itu.")
Orang itu akhirnya menyanggupi.
"Supaya cepat, Imam sama Pak Dede ikut bantu ya."
Dinda menoleh pada Imam dan pak Dede.
Imam mengangguk tegas dan mengikuti orang itu ke belakang rumah.
Berbeda dengan pak Dede masih dengan lesu mengikuti permintaan Dinda.
Sementara itu, di waktu yang sama.
"Bu, tolong sediakan serpai putih polos 2, ada?"
Dinda bertanya pada Bu Dede.
"Ada."
Bu Dede menjawab singkat dan masuk ke kamar Ima.
Ia lalu membawa apa yang Dinda minta.
"Tolong ibu kafani Ima, saya kafani Eli. Kita pake kain ini. Jangan khawatir dan tolong sedikit percaya sama saya."
Dinda mengambil satu dan membiarkan satu lagi di tangan bu Dede.
Bu Dede terdiam sejenak lalu masuk kembali ke kamar Ima tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Beberapa jam kemudian, mereka selesai.
Pekerjaan Dinda maupun pekerjaan para lelaki di belakang rumah.
"Kita tutup dulu mata mereka berdua pakai kain sisa, lalu taruh semuanya di lubang itu seperti pekuburan yang biasa. Tutup pakai kayu atau apapun, tapi hanya di bagian wajah dan biarkan sisanya terbuka. Kalo sudah selesai tolong panggil saya."
Dinda memerintahkan semuanya saat telah berkumpul.
Wajah bu Dede sedikit cerah setelah mendengar perkataan Dinda. Tampaknya ia sedikit mengerti apa yang Dinda maksudkan sedari tadi.
Sementara wajah pak Dede agak keheranan namun ia menuruti Dinda begitu saja.
Imam masih memikirkan apa yang akan terjadi dengan langkah Dinda kali ini.
Eli dibopong oleh pak Dede dibantu penggali kubur. Mereka berdua cukup kuat untuk mengangkat tubuh itu.
Sementara Ima dibopong oleh Imam dan Dinda.
Ima segera diletakkan seperti yang Dinda katakan oleh Imam. Ia ditutup oleh beberapa bambu.
"Sekarang, kau suduh dikuburkan."
Dinda berbisik pada Ima.
Tubuh Ima yang sedari tadi hanya diam kaku, bahkan saat dikafani, kini mulai bergerak dengan aneh.
Ia tidak seperti ingin melepaskan ikatan kain kafannya.
Ia hanya mengejang beberapa saat.
Lalu diam.
Setelah beberapa detik kemudian, Ima tertawa dan lalu menangis dan tertawa lagi dengan nada yang aneh.
"Terimakasih."
Ima berkata dengan lirih, lebih seperti berbisik.
Dinda hanya tersenyum dan membiarkannya.
"Setelah 10 menit, angkat lagi dia ke permukaan."
Dinda tidak berkata pada Imam disebelahnya, tapi menoleh keatas pada pak Dede yang ternyata telah memperhatikan sejak tadi.
"Nuhun neng, nuhun pisan. Nuhun."
("Terimakasih kasih neng, terimakasih banyak, terimakasih.")
Pak Dede tak lagi dapat menahan tangisnya yang lalu pecah sambil berlutut menghadap lubang kubur anaknya.
Dinda merangkak naik dan masuk lagi ke lubang kubur milik Eli.
Di sampingnya ada bu Dede yang sedang mengelus wajah Eli.
"Kita harus menutupnya."
Ujar Dinda padanya.
Bu Dede berdiri, ia tak menjawab apapun pada Dinda.
Dinda melakukan hal yang sama pada Eli.
"Kini, kau sudah dikubur."
Dinda membisiki Eli.
"HAHAHAHAHA!!
Eli tertawa terbahak-bahak, berbeda dengan Ima.
"Sial."
Tak sadar Dinda berucap.
"Maksudnya?"
Rupanya bu Dede mendengar gumaman Dinda.
"Ibu naik dulu ke atas."
Dinda memerintah bu Dede dengan tegas, nadanya terdengar ketus.
Bu dede segera menuruti Dinda dengan takut, ia dibantu oleh penggali kubur naik ke atas.
"Kumaha neng?"
("Gimana neng?")
Penggali kubur itu bertanya pada Dinda karena melihat raut wajahnya yang tak sedap.
Dinda tak menjawab, ia menempelkan telapak tangannya pada kayu yang menghalangi Eli.
Matanya lalu ditutup, bibirnya mulai bergerak melafalkan mantra yang tak seorangpun dapat mendengar.
Sedangkan tawa Eli masih menggema di lubang itu.
'DUAR!'
Tiba-tiba ledakan terjadi tepat di telapak tangan Dinda.
Kayu itupun mulai terbakar, dengan panik, Dinda menyingkirkan kayunya dan melihat wajah Eli yang ternyata baik-baik saja.
Namun wajah Eli kini tersenyum, dengan mata melototi Dinda sambil terus menerus tertawa terbahak-bahak.
Imam yang sedang memperhatikan hal itu bergidik ngeri, Eli yang sedang dibalut layaknya pocong memandangi Dinda dengan tatapan yang menyeramkan.
Wajah Dinda tertunduk, ia seperti kesal akan sesuatu.
Di saat waktu yang begitu genting seperti itu, Ima berlari dengan susah payah menghampiri lubang kubur kakaknya, Eli.
Ia lalu mendongkak kepalanya dan berteriak dari atas.
"Lawan terus teh!!"
Ima berteriak sekeras mungkin agar suaranya mencapai Eli.
Eli yang mendengar suara adiknya, mulai menutup mata lalu tubuhnya mengejang seperti Ima tadi.
Dinda yang melihat hal itu, segera menutup kembali kayunya, dan menempatkan tangannya di perut Eli sambil terus membaca mantra.
Beberapa saat kemudian, suara ledakan kecil terjadi lagi.
Tubuh Dinda terdorong keras hingga membentur tanah di belakangnya.
Dinda kemudian tak sadarkan diri, berbarengan darah yang tiba-tiba merembes dari balik celananya.
Begitupun dengan Eli, darah juga terlihat dari balik kain yang menutupi bagian vitalnya.
"Angkat mereka berdua!"
Imam berteriak sambil melompat masuk ke dalam lubang.
Ia mengangkat tubuh Dinda terlebih dahulu, dan di sambut oleh penggali kubur.
Lalu tubuh Eli yang langsung dipegangi dan dibawa masuk oleh pak Dede.
Keduanya dibaringkan di ruangan berbeda.
Imam segera membuat air doa sebanyak 2 gelas dengan sigap.
Ia menyerahkan segelas pada pak Dede untuk kemudian diminumkan paksa pada Eli.
Sementara Dinda, Imam sendiri yang mengurusnya.
Tak butuh waktu lama, Dinda terbangun.
Ia duduk lalu memeriksa darah yang merembes dari balik celananya.
"Gimana Eli?"
Dinda bertanya pada Imam setelah melihat tubuhnya sendiri.
"Saya belum liat lagi."
Imam menjawab singkat.
Dinda melompat dengan terburu untuk melihat kondisi Eli.
Namun saat tiba, tubuh Eli yang kaku sedang dipeluk oleh bu Dede sambil menangis keras.
Darah merembes di lokasi bagian tubuh yang sama dengan Dinda.
"baik siah maehan anak aing siah anjing siah! Mulangkeun anak aing siah!"
("Kau membunuh anakku! Hidupkan kembali anakku!")
Bu Dede berteriak sambil memukul Dinda.
Lalu mencekiknya dengan keras.
Sementara Dinda hanya mematung berdiri tak melawan.
Imam tak tinggal diam, ia segera melerai bu Dede.
"Bu udah bu udah!"
Imam mencoba menenangkan bu Dede.
"Sia saruana! Mun sia teu kadieu, anak aing hirup keneh, gara-gara sia anak aing jadi paeh, saruana saria duaan tukang maehan anak aing!"
("Kau pun sama! Jika kamu tidak kemari, anakku masih hidup, gara-gara kamu anakku meninggal, kalian berdua sama saja pembunuh anakku!")
Bu Dede menampar Imam dan mendorongnya dengan keras.
Imampun sama, dia terdiam dan menerima perkataan bu Dede begitu saja.
"Ayo, saya antar kalian keluar."
Pak Dede berbisik pada mereka sambil menarik lengannya.
Dinda dan Imam menurut, melihat suasananya yang semakin tak terkendali mereka berdua memilih mundur.
Di luar, tepat di belakang rumah, pak Dede bersama Ima, dan Imam bersama Dinda. Sementara penggali kubur yang sampai saat ini belum diketahui siapa sedang sibuk menutup lubang.
"Saya berterima kasih dan meminta maaf mengenai istri saya."
Pak Dede membuka percakapan.
Imam dan Dinda masih terdiam tak menjawab.
"Tak apa, manusia memang selalu terbatas pada semua hal. Neng sudah menyelamatkan Ima, untuk saya sudah sangat cukup. Terima kasih."
Pak Dede menghibur Dinda.
"Maafkan saya pak."
Dinda berkata dengan lirih sambil menahan tangisnya agar tak pecah.
"Sudah sudah, lebih baik kalian segera berangkat. Tetangga mulai berdatangan, saya tidak ingin ada keributan yang tidak perlu. Dan ini, anggap ini untuk membeli sesuatu di jalan untuk menutupi celana neng."
Pak Dede memberikan amplop pada Dinda.
"Baik, saya terima. Lalu ini, sebagai bentuk sedekah saya dan permintaan maaf pada Eli. Tolong diterima."
Dinda mengambil amplop itu, lalu mengembalikan lagi pada tangan pak Dede.
"Saya pamit."
Lanjut Dinda yang berjalan terburu agar ia tak lagi perdebatan mengenai amplop itu.
"Tunggu teh, senggaknya ini bisa nutupin celana teteh."
Ima berlari menyusul sambil memberikan kain batik yang masih bersih.
"Ah iya, terimakasih."
Dinda dengan tenang menerimanya.
Imam terlihat berbicara sebentar pada pak Dede, dari jauh Dinda dapat melihat Imam melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan, lalu pergi mengambil motornya didepan.
Mereka berdua bertemu di sebuah persimpangan tak jauh dari rumah pak Dede.
"Ayo teh saya antar."
Imam berhenti tepat didepan Dinda.
"Ngga, saya jalan sendiri. Kamu duluan saja. Gak apa-apa."
Dinda menolak.
"Tapi jauh loh teh ini."
Imam sedikit memaksa.
"Saya tetap menolak, silahkan kamu jalan saja."
Dinda bersikeras.
"Baik baik, kalau teteh berubah pikiran, tolong hubungi saya. Saya gak bakalan jalan terlalu ngebut kalo gitu."
Imam mengalah.
"Iya tenang saja."
Dinda membalas singkat lalu tersenyum agar Imam tak menerus khawatir.
"Saya pamit, assalamualaikum."
Imam segera pergi tanpa menunggu balasan salamnya dari Dinda.
Setelah Imam cukup jauh dan menghilang dari pandangan.
"Mau sampai kapan kamu disitu, Yi?"
Dinda berbalik dan berbicara pada si penggali kubur yang sedari tadi bersembunyi di balik pepohonan.
"hehehe..."