- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#97
That day on the Christmas Eve
Tempat yang di maksud oleh Pak Damar adalah sebuah restoran yang ada di salah satu hotel bintang lima, ini menurut Fandra, yang terletak tepat di depan pantai di kawasan Seminyak.
Restorannya sendiri ada di sebelah bangunan hotelnya, jadi aku tidak harus masuk ke dalam hotel, hanya saja dari parkiran aku harus naik lift ke lantai tiga di mana restorannya berada.
Begitu masuk ke dalam restoran, aku yakin ini restoran yang berkelas, berbagai penghargaan yang di capai di restoran ini terpajang di atas ruang reservasi. Aku menanyakan reservasi atas nama Bapak Damar dan oleh seorang pelayannya aku langsung di giring ke salah satu meja yang terletak mojok di luar. Jadi ruangan restoran ini ada yang indoor dan outdoor. Yang outdoor ada di sepanjang balkon menghadap langsung ke pantai. Ternyata seleranya Hanggara menurun dari sang ayah.
“Sore, Pak, maaf saya agak telat,” sapaku begitu bersitatap denganya yang langsung berdiri menyambutku.
“Kamu apa kabar?” tanyanya begitu kami kembali duduk di tempat masing-masing
“Baik, Pak,” jawabku.
“Silahkan, mau pesan apa?” Beliau memberikanku buku menu.
Kalau saja tidak memperhatikan sopan santun, pastinya aku akan menolak dan memintanya langsung to the point tentang tujuan dia mengajakku ketemuan.
Setelah menyebutkan pesananku dan juga pesanannya kepada pelayan, kembali kami terdiam.
Aku menunggunya berbicara, biar dia yang mengawali.
Aku mengedarkan pandangan ke pemandangan di depanku, ke hamparan pantai yang terlihat menjingga membiaskan cahaya matahari sore. Di sepanjang pantai tampak ramai dengan anak-anak remaja tanggung yang sedang bermain bola, bule-bule yang berjemur, dan pengunjung lainnya yang sekedar berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai, semua berbaur di sana.
Tetapi, hanya mataku yang melihat, pikiranku sama sekali tidak fokus. Meskipun mataku tidak melihat ke arahnya, aku merasakan saat ini dia sedang memperhatikanku.
“Bagaimana kabarnya Melany?” pertanyaan itu membuatku menoleh kaget ke arahnya.
Bagaimana dia tahu nama mamaku.
“Eh?” Aku masih tidak yakin dengan pendengaranku
“Bagaimana kabar Melany? Ibu kamu Melany Wijaya, kan?”
Pendengaranku tidak salah. Melany Wijaya yang dia maksud adalah mamaku.
“Bagaimana Bapak tahu nama mama saya?” tanyaku.
Keterkejutan ini berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat. Lebih cepat dari waktu Hanggara menyebutkan tiga kata sakti tempo hari padaku, bahkan lebih cepat dari waktu Fandra menciumku.
Siapa Pak Damar ini?
Dia tersenyum. Tapi kali ini senyumannya seperti menyiratkan kesedihan sama seperti yang kulihat di matanya yang menatapku.
Dia merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya. Selembar kertas, tampak sudah usang terlihat dari kertasnya yang berwarna kekuningan. Pak Damar meletakkannya di meja dan menyodorkannya padaku.
“Kamu pasti tahu foto ini,” ujarnya pelan.
Jantungku berdetak semakin cepat dan aku merasakan ujung tangan dan kakiku menjadi teramat dingin di tengah teriknya matahari sore ini.
Aku sangat mengenal foto ini.
Foto, yang menurut mamaku, adalah potret diriku ketika berumur sekitar 6 bulan yang sedang di gendong oleh mamaku. Mama yang tersenyum manis meski wajahnya terlihat agak pucat dan lelah, tampak cantik di foto itu.
Tanpa kusadari Pak Damar menyodorkan satu foto lagi padaku. Foto itu hampir mirip, perbedaan dengan foto sebelumnya adalah kalau di foto sebelumnya hanya ada foto mama dan aku, di foto yang ini ada seorang lelaki yang berdiri di samping mama, memeluk bahunya dan tersenyum bahagia menatap ke arah bayi kecil yang di gendong mama. Lelaki itu mirip sekali dengan Pak Damar hanya saja wajahnya tampak jauh lebih muda, atau... itu memang dia.
“Saya yakin kalau yang ini kamu pasti ngga pernah lihat,” ujarnya.
Aku memandangnya yang juga menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bisa melihatnya dengan jelas, meski dia berusaha menutupinya dengan mengedipkan matanya berkali-kali, tapi itu justru membuatnya lebih kentara.
“Anastasya...” dia menyebut nama belakangku, “itu nama yang saya berikan pada anak perempuan pertama saya. Dan istri saya memberinya nama ‘Violetta’ karena dia sangat suka warna violet.”
Aku memandangnya ketika dia berbicara dan pikiranku melayang mengingat mama.
Mamaku juga suka warna Violet. Dulu, duluuu sekali sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar, hampir semua peralatan sekolahku berwarna ungu, kata mama itu karena namaku Violetta, dari kata Violet, yang berarti ungu, warna yang dia sukai.
“Saya juga menambahkan dibelakang kata ‘Anastasya’ dengan dua kata lagi, ‘Maharani Yudha’, tapi istri saya tidak setuju, dia protes kenapa hanya ada kata ‘Yudha’ padahal anak itu adalah milik kami berdua, harusnya namanya juga di sematkan di sana. Saya mengalah, jadilah anak kami bernama ‘Violetta Anastasya’ lahir 5 April 1989 di Denpasar.”
Usai menyelesaikan kalimatnya Pak Damar kembali menyodorkan padaku selembar kertas, sebuah salinan akta kelahiran. Aku sangat mengenal apa yang tertera di sana, karena aku pun memilikinya, yang asli, akta kelahiranku.
“Beruntung saya masih memiliki salinannya,” ujarnya tersenyum, “hanya kertas-kertas inilah pengobat rindu saya dengan anak saya,” suara Pak Damar terdengar parau.
Dan aku pun tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Pandangan mataku memburam karena air mata yang perlahan mengalir deras tanpa bisa kutahan.
Aku pun tidak sanggup berkata-kata, kerongkonganku tercekat, entah darimana datangnya sakit ini. Tidak hanya kerongkonganku saja, dadaku, kepalaku, dan bahkan seluruh persendian tubuhku terasa nyeri dan ngilu.
“Saya masih ingat, anak saya memiliki tanda lahir, seperti tahi lalat yang sedikit lebih besar dari ukuran normal di punggung kirinya.”
Sekarang aku benar-benar terisak. Aku pun memiliki tanda itu di punggung kiriku.
Aku benar-benar tidak bisa menguasai diriku. Satu persatu bayangan demi bayangan muncul di ingatanku, di mulai dari Mamaku, tante-tanteku, om-omku, nenek-kakekku, semua keluarga yang kuingat, mereka semua membohongiku. Terutama mamaku, bahkan ketika aku sudah dewasa pun mereka masih menutupinya.
Aku merasakan sentuhan di bahuku yang terguncang karena isakanku.
“Vio...” suara Fandra.
Aku menghapus air mataku. Mengangkat wajahku melihatnya berjongkok di samping kursiku. Aku melihatnya memperhatikan kertas-kertas yang ada di meja di depanku.
“Tunggu di bawah aja..., aku masih..., aku harus bicara dengannya,” ujarku pelan di sela-sela isak tangisku.
Tapi, Fandra tidak bergeming. Dia seperti tidak mendengar apa yang aku katakan.
“Fan!” panggilku lebih keras. Sontak dia menoleh, melihat ke mataku
“Tunggu.... aku belum selesai,” ujarku sekali lagi, lebih tenang.
“Ngga. Aku tetep di sini,” sahutnya
“Ini bukan urusan kamu. Aku ngga mau kamu di sini.”
Dia mamandangku sejenak.
“Ok, aku ada di sekitar sini,” ujarnya pelan sambil berdiri dan berlalu pergi.
Aku berusaha menata perasaanku. Banyak hal yang harus aku tahu dari laki-laki ini.
Aku memberanikan diri memandangnya. Matanya memerah, aku tahu dia juga menangis. Pasti dia berusaha keras menahannya. Pasti juga sangat sulit untuknya bersikap tenang seperti itu.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
“Bagaimana bapak yakin kalau saya...kalau saya... anak perempuan bapak? Bukannya saya sudah bilang papa saya sudah meninggal?”
“Kamu mengenali semua foto-foto ini, dan pasti kamu juga memiliki akta kelahiran kamu yang asli,kan?! Karena semua surat yang berhubungan dengan putri saya, saya berikan pada Melany.”
Dia terdiam, lalu kembali senyuman itu muncul di wajahnya yang nampak sendu. Senyuman yang tampak di paksakan.
“Wajah kamu, senyuman kamu...sangat mirip Melany. Apa kamu ngga tahu itu?” lanjutnya, “Dan...bandul kalung kamu itu,” dia menunjuk dengan matanya ke arah kalung yang selama ini memang selalu aku pakai. Kalung hadiah ulang tahun dari Tante Agnes dan bandulnya ada cincin milik mama yang juga diberikan padaku. Karena cincinnya kekecilan di jariku, jadi aku jadikan bandul di kalung ini dan aku pikir sangat pas, sebab cincin ini cincin emas polos tapi memiliki ukiran di sepanjang permukaannya dan bertabur beberapa batu permata kecil berwarna ungu, sangat indah.
“Cincin itu... cincin pernikahan saya dan Melany.”
Deg.
Dia merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil yang di dalamnya terdapat sebuah cincin yang hampir sama dengan punyaku. Bukan hampir sama, tapi ini benar-benar sama yang membedakan hanya warna dari permatanya yang berwarna putih bukan ungu seperti milikku.
“Melany memilih warna putih untuk cincin saya karena dia bilang cowok tidak bagus pakai warna ungu,” ujarnya tersenyum dengan mata menerawang menatap cincin itu.
Aku mengambil dan mengeluarkannya dari dalam kotak. Memperhatikannya dengan seksama. Iya, ini sama.
Aku mengenali ukiran ini, yang dulu membuatku jatuh cinta pada cincin ini ketika menemukannya di kotak penyimpanan di laci lemari pakaian Mama dan memaksa agar cincin ini bisa jadi milikku.
Akhirnya mama memberikannya padaku ketika lulus SMA dengan syarat, aku harus bisa merawatnya dan tidak boleh hilang.
Ternyata cincin ini begitu berharga untuknya, tapi dia memberikannya untukku.
Aku berpikir. Kenapa jadi begini?
Jadi.... Pak Damar ini, papaku? Papaku masih hidup!
Tapi... dia sudah memiliki keluarga yang lain. Hanggara?! Papanya Hanggara adalah papaku? Apa Hanggara tahu?
Oh pantas, dia tidak mau Hanggara tahu kalau dia mengajakku bertemu. Pasti Hanggara tidak tahu, tapi apa dia tahu masa lalu Papanya? Lalu mamanya, apa mamanya tahu?
“Saya...saya masih ngga percaya ini...”
Aku mendengar dia menghela nafas.
“Saya tahu,” sahutnya, “pasti sulit dipercaya, tapi inilah yang sebenarnya.”
“Kenapa bapak memberitahu saya, bukannya lebih baik kalau saya tidak tahu, hidup bapak juga tidak akan terusik, bukannya bapak juga sudah punya keluarga yang sempurna sekarang. Tidak seperti saya dan mama saya. Setelah sekian lama... kenapa harus Anda bilang semua ini sama saya?? Bagi saya lebih baik memilih percaya kalau papa saya sudah mati.”
Dia terdiam memandangku. Menghela nafasnya sekali lagi dan berusaha menahan genangan air mata yang sangat jelas kulihat di pelupuk matanya agar tidak terjatuh.
“Saya merindukan putri saya...” ujarnya pelan, setetes air matanya akhirnya terjatuh yang segera dia hapus dengan punggung tangannya.
“Kenapa saya harus merasa hidup saya terusik, justru dengan menemukan kamu, saya menghilangkan beban pikiran yang harus saya tanggung bertahun-tahun karena kesalahan saya. Saya akui, saya kurang gigih dalam mencari kamu dan mama kamu.”
“Kenapa bapak tidak menghubungi mama?”
Dia tersenyum lagi tapi kali ini senyuman getir penuh kesedihan.
“Saya dan mama kamu bercerai ketika usia kamu sekitar setahunan. Setelah itu mama kamu membawa kamu tinggal di rumah Agnes, tante kamu. Dia sama sekali tidak memperbolehkan saya bertemu dengan kamu. Sama sekali tidak bisa. Saya mengalah, saya terlalu mencintainya. Saya membiarkan dia melakukan apapun yang dia mau, kalau itu bisa membuat dia bahagia dan merasa tenang. Kami masih bekerja di tempat yang sama, terkadang masih bertemu meski tanpa bertegur sapa. Saya cukup puas hanya dengan memandanginya dari jauh...”
Dia terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Dia meraih gelas dan meminum airnya hingga tandas.
“Saya kehilangan jejak kalian ketika Melany resign dari tempat kerja, sebulan dua bulan saya masih bisa memantau kalian diam-diam dengan bantuan Agnes. Sampai akhirnya Agnes juga berhenti menolong saya dan mengatakan kalau kalian sudah tidak menetap lagi di Bali.”
Kali ini aku yang meminum air dalam gelasku hingga habis. Semuanya benar-benar sudah membohongiku. Tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku.
“Apa... apa setelah bercerai dengan mama, bapak pernah bertemu dengan saya, sewaktu saya masih kecil?”
Dia tampak mengingat.
“Pernah... dua kali, saya ngga akan pernah lupa itu. Pertama, ketika ada outing kantor, Melany juga mengajak kamu ikut, dengan bantuan temen, saya bisa menggendong kamu lagi meski hanya sebentar. Yang kedua, Melany sempat membawamu ke tempat kerja, dan tanpa sengaja, kamu yang sedang di jaga oleh seorang teman, bertemu dengan saya. Dan itu terakhir kalinya saya melihat dan memeluk kamu.”
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, dibarengi dengan lelehan air mataku yang lagi-lagi terjatuh dengan deras. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku ngga tahan, aku ngga bisa di sini lebih lama lagi.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku memandang laki-laki di depanku ini. Dia papaku. Dia memiliki semua bukti-bukti ini. Tapi kenapa aku masih belum bisa menerimanya?
Aku mengambil ponselku, mengarahkan kamera pada wajah Pak Damar. Ekspresi wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi kemudian dia seperti bisa menguasai dirinya lagi.
“Maaf, saya harus melakukan ini, saya masih belum bisa percaya, saya masih yakin papa saya sudah meninggal,” ujarku dengan suara bergetar.
Dia hanya terdiam
“Boleh saya bawa ini semua?” ujarku menunjuk pada semua kertas yang ada di atas meja termasuk cincin yang ada di dalam kotak kecil itu.
Dia tidak menjawab, malah meraih tasnya dan mengeluarkan satu kertas lagi dan menyerahkannya padaku
“Itu salinan akta perceraian saya dan mama kamu,” ujarnya. “Kamu bisa bawa semuanya, termasuk cincin itu. Sekarang cincin itu milik kamu. Tolong kamu simpan baik-baik,” lanjutnya lagi tersenyum teduh.
Aku berusaha menahan air mata yang hendak jatuh lagi. Aku memasukkan semua ke dalam tas dengan hati-hati.
Tanpa berkata-kata lagi aku melangkah meninggalkannya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang harus aku tanyakan padanya. Aku berbalik dan bergegas menghampirinya lagi yang masih duduk di sana.
“Ada satu lagi,” kataku berdiri di depannya.
Dia melihatku dan tersenyum, “Apa nak?”
“Kenapa kalian bercerai?”
Dia tidak langsung menjawab dan tampak berpikir. Aku merasa dia akan berbohong.
“Kenapa?” aku mendesak
“Karena kesalahpahaman,” sahutnya
“Kesalahpahaman apa? Lebih spesifiknya?” desakku memaksa
“Melany mengaku berselingkuh.”
Tempat yang di maksud oleh Pak Damar adalah sebuah restoran yang ada di salah satu hotel bintang lima, ini menurut Fandra, yang terletak tepat di depan pantai di kawasan Seminyak.
Restorannya sendiri ada di sebelah bangunan hotelnya, jadi aku tidak harus masuk ke dalam hotel, hanya saja dari parkiran aku harus naik lift ke lantai tiga di mana restorannya berada.
Begitu masuk ke dalam restoran, aku yakin ini restoran yang berkelas, berbagai penghargaan yang di capai di restoran ini terpajang di atas ruang reservasi. Aku menanyakan reservasi atas nama Bapak Damar dan oleh seorang pelayannya aku langsung di giring ke salah satu meja yang terletak mojok di luar. Jadi ruangan restoran ini ada yang indoor dan outdoor. Yang outdoor ada di sepanjang balkon menghadap langsung ke pantai. Ternyata seleranya Hanggara menurun dari sang ayah.
“Sore, Pak, maaf saya agak telat,” sapaku begitu bersitatap denganya yang langsung berdiri menyambutku.
“Kamu apa kabar?” tanyanya begitu kami kembali duduk di tempat masing-masing
“Baik, Pak,” jawabku.
“Silahkan, mau pesan apa?” Beliau memberikanku buku menu.
Kalau saja tidak memperhatikan sopan santun, pastinya aku akan menolak dan memintanya langsung to the point tentang tujuan dia mengajakku ketemuan.
Setelah menyebutkan pesananku dan juga pesanannya kepada pelayan, kembali kami terdiam.
Aku menunggunya berbicara, biar dia yang mengawali.
Aku mengedarkan pandangan ke pemandangan di depanku, ke hamparan pantai yang terlihat menjingga membiaskan cahaya matahari sore. Di sepanjang pantai tampak ramai dengan anak-anak remaja tanggung yang sedang bermain bola, bule-bule yang berjemur, dan pengunjung lainnya yang sekedar berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai, semua berbaur di sana.
Tetapi, hanya mataku yang melihat, pikiranku sama sekali tidak fokus. Meskipun mataku tidak melihat ke arahnya, aku merasakan saat ini dia sedang memperhatikanku.
“Bagaimana kabarnya Melany?” pertanyaan itu membuatku menoleh kaget ke arahnya.
Bagaimana dia tahu nama mamaku.
“Eh?” Aku masih tidak yakin dengan pendengaranku
“Bagaimana kabar Melany? Ibu kamu Melany Wijaya, kan?”
Pendengaranku tidak salah. Melany Wijaya yang dia maksud adalah mamaku.
“Bagaimana Bapak tahu nama mama saya?” tanyaku.
Keterkejutan ini berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat. Lebih cepat dari waktu Hanggara menyebutkan tiga kata sakti tempo hari padaku, bahkan lebih cepat dari waktu Fandra menciumku.
Siapa Pak Damar ini?
Dia tersenyum. Tapi kali ini senyumannya seperti menyiratkan kesedihan sama seperti yang kulihat di matanya yang menatapku.
Dia merogoh sesuatu dari dalam tas kecilnya. Selembar kertas, tampak sudah usang terlihat dari kertasnya yang berwarna kekuningan. Pak Damar meletakkannya di meja dan menyodorkannya padaku.
“Kamu pasti tahu foto ini,” ujarnya pelan.
Jantungku berdetak semakin cepat dan aku merasakan ujung tangan dan kakiku menjadi teramat dingin di tengah teriknya matahari sore ini.
Aku sangat mengenal foto ini.
Foto, yang menurut mamaku, adalah potret diriku ketika berumur sekitar 6 bulan yang sedang di gendong oleh mamaku. Mama yang tersenyum manis meski wajahnya terlihat agak pucat dan lelah, tampak cantik di foto itu.
Tanpa kusadari Pak Damar menyodorkan satu foto lagi padaku. Foto itu hampir mirip, perbedaan dengan foto sebelumnya adalah kalau di foto sebelumnya hanya ada foto mama dan aku, di foto yang ini ada seorang lelaki yang berdiri di samping mama, memeluk bahunya dan tersenyum bahagia menatap ke arah bayi kecil yang di gendong mama. Lelaki itu mirip sekali dengan Pak Damar hanya saja wajahnya tampak jauh lebih muda, atau... itu memang dia.
“Saya yakin kalau yang ini kamu pasti ngga pernah lihat,” ujarnya.
Aku memandangnya yang juga menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku bisa melihatnya dengan jelas, meski dia berusaha menutupinya dengan mengedipkan matanya berkali-kali, tapi itu justru membuatnya lebih kentara.
“Anastasya...” dia menyebut nama belakangku, “itu nama yang saya berikan pada anak perempuan pertama saya. Dan istri saya memberinya nama ‘Violetta’ karena dia sangat suka warna violet.”
Aku memandangnya ketika dia berbicara dan pikiranku melayang mengingat mama.
Mamaku juga suka warna Violet. Dulu, duluuu sekali sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar, hampir semua peralatan sekolahku berwarna ungu, kata mama itu karena namaku Violetta, dari kata Violet, yang berarti ungu, warna yang dia sukai.
“Saya juga menambahkan dibelakang kata ‘Anastasya’ dengan dua kata lagi, ‘Maharani Yudha’, tapi istri saya tidak setuju, dia protes kenapa hanya ada kata ‘Yudha’ padahal anak itu adalah milik kami berdua, harusnya namanya juga di sematkan di sana. Saya mengalah, jadilah anak kami bernama ‘Violetta Anastasya’ lahir 5 April 1989 di Denpasar.”
Usai menyelesaikan kalimatnya Pak Damar kembali menyodorkan padaku selembar kertas, sebuah salinan akta kelahiran. Aku sangat mengenal apa yang tertera di sana, karena aku pun memilikinya, yang asli, akta kelahiranku.
“Beruntung saya masih memiliki salinannya,” ujarnya tersenyum, “hanya kertas-kertas inilah pengobat rindu saya dengan anak saya,” suara Pak Damar terdengar parau.
Dan aku pun tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Pandangan mataku memburam karena air mata yang perlahan mengalir deras tanpa bisa kutahan.
Aku pun tidak sanggup berkata-kata, kerongkonganku tercekat, entah darimana datangnya sakit ini. Tidak hanya kerongkonganku saja, dadaku, kepalaku, dan bahkan seluruh persendian tubuhku terasa nyeri dan ngilu.
“Saya masih ingat, anak saya memiliki tanda lahir, seperti tahi lalat yang sedikit lebih besar dari ukuran normal di punggung kirinya.”
Sekarang aku benar-benar terisak. Aku pun memiliki tanda itu di punggung kiriku.
Aku benar-benar tidak bisa menguasai diriku. Satu persatu bayangan demi bayangan muncul di ingatanku, di mulai dari Mamaku, tante-tanteku, om-omku, nenek-kakekku, semua keluarga yang kuingat, mereka semua membohongiku. Terutama mamaku, bahkan ketika aku sudah dewasa pun mereka masih menutupinya.
Aku merasakan sentuhan di bahuku yang terguncang karena isakanku.
“Vio...” suara Fandra.
Aku menghapus air mataku. Mengangkat wajahku melihatnya berjongkok di samping kursiku. Aku melihatnya memperhatikan kertas-kertas yang ada di meja di depanku.
“Tunggu di bawah aja..., aku masih..., aku harus bicara dengannya,” ujarku pelan di sela-sela isak tangisku.
Tapi, Fandra tidak bergeming. Dia seperti tidak mendengar apa yang aku katakan.
“Fan!” panggilku lebih keras. Sontak dia menoleh, melihat ke mataku
“Tunggu.... aku belum selesai,” ujarku sekali lagi, lebih tenang.
“Ngga. Aku tetep di sini,” sahutnya
“Ini bukan urusan kamu. Aku ngga mau kamu di sini.”
Dia mamandangku sejenak.
“Ok, aku ada di sekitar sini,” ujarnya pelan sambil berdiri dan berlalu pergi.
Aku berusaha menata perasaanku. Banyak hal yang harus aku tahu dari laki-laki ini.
Aku memberanikan diri memandangnya. Matanya memerah, aku tahu dia juga menangis. Pasti dia berusaha keras menahannya. Pasti juga sangat sulit untuknya bersikap tenang seperti itu.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
“Bagaimana bapak yakin kalau saya...kalau saya... anak perempuan bapak? Bukannya saya sudah bilang papa saya sudah meninggal?”
“Kamu mengenali semua foto-foto ini, dan pasti kamu juga memiliki akta kelahiran kamu yang asli,kan?! Karena semua surat yang berhubungan dengan putri saya, saya berikan pada Melany.”
Dia terdiam, lalu kembali senyuman itu muncul di wajahnya yang nampak sendu. Senyuman yang tampak di paksakan.
“Wajah kamu, senyuman kamu...sangat mirip Melany. Apa kamu ngga tahu itu?” lanjutnya, “Dan...bandul kalung kamu itu,” dia menunjuk dengan matanya ke arah kalung yang selama ini memang selalu aku pakai. Kalung hadiah ulang tahun dari Tante Agnes dan bandulnya ada cincin milik mama yang juga diberikan padaku. Karena cincinnya kekecilan di jariku, jadi aku jadikan bandul di kalung ini dan aku pikir sangat pas, sebab cincin ini cincin emas polos tapi memiliki ukiran di sepanjang permukaannya dan bertabur beberapa batu permata kecil berwarna ungu, sangat indah.
“Cincin itu... cincin pernikahan saya dan Melany.”
Deg.
Dia merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil yang di dalamnya terdapat sebuah cincin yang hampir sama dengan punyaku. Bukan hampir sama, tapi ini benar-benar sama yang membedakan hanya warna dari permatanya yang berwarna putih bukan ungu seperti milikku.
“Melany memilih warna putih untuk cincin saya karena dia bilang cowok tidak bagus pakai warna ungu,” ujarnya tersenyum dengan mata menerawang menatap cincin itu.
Aku mengambil dan mengeluarkannya dari dalam kotak. Memperhatikannya dengan seksama. Iya, ini sama.
Aku mengenali ukiran ini, yang dulu membuatku jatuh cinta pada cincin ini ketika menemukannya di kotak penyimpanan di laci lemari pakaian Mama dan memaksa agar cincin ini bisa jadi milikku.
Akhirnya mama memberikannya padaku ketika lulus SMA dengan syarat, aku harus bisa merawatnya dan tidak boleh hilang.
Ternyata cincin ini begitu berharga untuknya, tapi dia memberikannya untukku.
Aku berpikir. Kenapa jadi begini?
Jadi.... Pak Damar ini, papaku? Papaku masih hidup!
Tapi... dia sudah memiliki keluarga yang lain. Hanggara?! Papanya Hanggara adalah papaku? Apa Hanggara tahu?
Oh pantas, dia tidak mau Hanggara tahu kalau dia mengajakku bertemu. Pasti Hanggara tidak tahu, tapi apa dia tahu masa lalu Papanya? Lalu mamanya, apa mamanya tahu?
“Saya...saya masih ngga percaya ini...”
Aku mendengar dia menghela nafas.
“Saya tahu,” sahutnya, “pasti sulit dipercaya, tapi inilah yang sebenarnya.”
“Kenapa bapak memberitahu saya, bukannya lebih baik kalau saya tidak tahu, hidup bapak juga tidak akan terusik, bukannya bapak juga sudah punya keluarga yang sempurna sekarang. Tidak seperti saya dan mama saya. Setelah sekian lama... kenapa harus Anda bilang semua ini sama saya?? Bagi saya lebih baik memilih percaya kalau papa saya sudah mati.”
Dia terdiam memandangku. Menghela nafasnya sekali lagi dan berusaha menahan genangan air mata yang sangat jelas kulihat di pelupuk matanya agar tidak terjatuh.
“Saya merindukan putri saya...” ujarnya pelan, setetes air matanya akhirnya terjatuh yang segera dia hapus dengan punggung tangannya.
“Kenapa saya harus merasa hidup saya terusik, justru dengan menemukan kamu, saya menghilangkan beban pikiran yang harus saya tanggung bertahun-tahun karena kesalahan saya. Saya akui, saya kurang gigih dalam mencari kamu dan mama kamu.”
“Kenapa bapak tidak menghubungi mama?”
Dia tersenyum lagi tapi kali ini senyuman getir penuh kesedihan.
“Saya dan mama kamu bercerai ketika usia kamu sekitar setahunan. Setelah itu mama kamu membawa kamu tinggal di rumah Agnes, tante kamu. Dia sama sekali tidak memperbolehkan saya bertemu dengan kamu. Sama sekali tidak bisa. Saya mengalah, saya terlalu mencintainya. Saya membiarkan dia melakukan apapun yang dia mau, kalau itu bisa membuat dia bahagia dan merasa tenang. Kami masih bekerja di tempat yang sama, terkadang masih bertemu meski tanpa bertegur sapa. Saya cukup puas hanya dengan memandanginya dari jauh...”
Dia terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Dia meraih gelas dan meminum airnya hingga tandas.
“Saya kehilangan jejak kalian ketika Melany resign dari tempat kerja, sebulan dua bulan saya masih bisa memantau kalian diam-diam dengan bantuan Agnes. Sampai akhirnya Agnes juga berhenti menolong saya dan mengatakan kalau kalian sudah tidak menetap lagi di Bali.”
Kali ini aku yang meminum air dalam gelasku hingga habis. Semuanya benar-benar sudah membohongiku. Tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku.
“Apa... apa setelah bercerai dengan mama, bapak pernah bertemu dengan saya, sewaktu saya masih kecil?”
Dia tampak mengingat.
“Pernah... dua kali, saya ngga akan pernah lupa itu. Pertama, ketika ada outing kantor, Melany juga mengajak kamu ikut, dengan bantuan temen, saya bisa menggendong kamu lagi meski hanya sebentar. Yang kedua, Melany sempat membawamu ke tempat kerja, dan tanpa sengaja, kamu yang sedang di jaga oleh seorang teman, bertemu dengan saya. Dan itu terakhir kalinya saya melihat dan memeluk kamu.”
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, dibarengi dengan lelehan air mataku yang lagi-lagi terjatuh dengan deras. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku ngga tahan, aku ngga bisa di sini lebih lama lagi.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku memandang laki-laki di depanku ini. Dia papaku. Dia memiliki semua bukti-bukti ini. Tapi kenapa aku masih belum bisa menerimanya?
Aku mengambil ponselku, mengarahkan kamera pada wajah Pak Damar. Ekspresi wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi kemudian dia seperti bisa menguasai dirinya lagi.
“Maaf, saya harus melakukan ini, saya masih belum bisa percaya, saya masih yakin papa saya sudah meninggal,” ujarku dengan suara bergetar.
Dia hanya terdiam
“Boleh saya bawa ini semua?” ujarku menunjuk pada semua kertas yang ada di atas meja termasuk cincin yang ada di dalam kotak kecil itu.
Dia tidak menjawab, malah meraih tasnya dan mengeluarkan satu kertas lagi dan menyerahkannya padaku
“Itu salinan akta perceraian saya dan mama kamu,” ujarnya. “Kamu bisa bawa semuanya, termasuk cincin itu. Sekarang cincin itu milik kamu. Tolong kamu simpan baik-baik,” lanjutnya lagi tersenyum teduh.
Aku berusaha menahan air mata yang hendak jatuh lagi. Aku memasukkan semua ke dalam tas dengan hati-hati.
Tanpa berkata-kata lagi aku melangkah meninggalkannya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang harus aku tanyakan padanya. Aku berbalik dan bergegas menghampirinya lagi yang masih duduk di sana.
“Ada satu lagi,” kataku berdiri di depannya.
Dia melihatku dan tersenyum, “Apa nak?”
“Kenapa kalian bercerai?”
Dia tidak langsung menjawab dan tampak berpikir. Aku merasa dia akan berbohong.
“Kenapa?” aku mendesak
“Karena kesalahpahaman,” sahutnya
“Kesalahpahaman apa? Lebih spesifiknya?” desakku memaksa
“Melany mengaku berselingkuh.”
Diubah oleh drupadi5 03-11-2020 21:10
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup