- Beranda
- Stories from the Heart
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity
...
TS
abangruli
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity

Note from Author
Salam! Gue ucapin banyak terima kasih buat yang masih melanjutkan baca kisah tentang Danang dan Rhea. Sorry banget untuk dua chapter awal sempat gue masukin di The Second yang pertama. Soalnya waktu itu gue belum sempat bikin cover dll, hehe...
Nah berhubung sekarang dah sempat bikin cover, akhirnya gue bisa secara resmi memboyong The Second – Session 2 ke trit baru. Session kedua ini gue cukup lama nyari inspirasinya. Soalnya gue gak mau terjebak kembali menyamai alur cerita lama, jadi terpaksa nyari sesuatu yang rada-rada shocking. Harus cukup heboh untuk bisa membawa nuansa baru ke cerita Danang dan Rhea ini.
Apa itu?
Ya dengan ada Killing Rain.
Apa itu Killing Rain?
Ah ente kebanyakan nanya nih.. hehe.. Baca aja di tiga chapter awal. Yang jelas di cerita kali ini, tetap ada nuansa magis dengan adanya sosok Wulan (ternyata dulu pernah jadi pacarnya Danang lhooo... Haaaa?! Kok bisaaa.....).
Tetap ada romansa full of love dengan hadirnya Rhea.
Tetap ada unsur horror karena adanya Emon. Lho? Maaf salah. Maksudnya ada unsur komed dengan adanya Emon. Yaa.. kalau ente bisa liat mukanya Emon, emang jadi komedi seram sih.. wkwkwkw..
Dan ditambah lagi ada tokoh baru yang kemaren hanya cameo sekarang jadi bakal sering muncul. Siapakah dia??
Jeng jeng..
Upin Ipin!
Haaaaa???
Ya bukanlah!
Tapii... Yoga! Si anak indigo!
Tau lah kalo indigo gini senengnya apa.. liat demit dan kawan-kawannya! Hehehe..
So! Siap-siap ngerasain manis asem asin di cerita ini!
Akhirul kalam,
Selamat ‘menyaksikan’ yaa!
Ruli Amirullah
Bagi yang belum baca The Second Session 1.. klik dibawah ini yaa
The Second Session 1 - Jadikan Aku yang Kedua
The Second
Session 2 – The Killing Rain
Spoiler for Chapter 1 - Back to the Past:
Index
Chapter 2 - Live From New York
Chapter 3 - The Killing Rain
Chapter 4 - Death Experience
Chapter 5 - Kesurupan
Chapter 6 - Mata dibalas Mata
Chapter 7 - Chaos
Chapter 8 - Contingency Plan
Chapter 9 - Kemelut di Tengah Kemelut
Chapter 10 - Please Welcome, Khamaya!
Chapter 11 - Mengundi Nasib
Chapter 12 - Vision
Chapter 13 - First Rain
Chapter 14 - Between Dream and Rhea
Chapter 15 - Dilema
Chapter 16 - Ready to Take Off
Chapter 17 - Melayang di Tengah Maut
Chapter 18 - Walking in Dream
Chapter 19 - In The Middle of The War
Chapter 20 - Missing
Chapter 21 - Yoga
Chapter 22 - Sleeping with The Enemy
Chapter 23 - Who is Mya?
Chapter 24 – I Miss You Rhea
Chapter 25 - Telepati
Chapter 26 - Next Level of Telephaty
Announcement New Index & Format
Diubah oleh abangruli 02-06-2021 20:27
fblackid dan 36 lainnya memberi reputasi
33
24.1K
1.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#49
Chapter 16 – Ready to Take off
Perjalanan menuju airport ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Biasanya hanya perlu sekitar satu setengah jam tapi kini sudah lebih dari tiga jam kami belum juga sampai ke bandara. Untungnya saat ini kami sudah melaju cukup kencang di sepanjang jalan luar kota menjauhi Rabat. Tak seperti jalanan di dalam kota yang ramai dengan orang yang rusuh mencari bahan makanan, saat ini jalanan cukup lancar. Banyak kendaraan tapi tak sampai macet, semua melaju kencang seolah tak ada waktu lagi yang tersisa.
Sebentar. Itu perumpaan yang memang benar adanya. Tak ada lagi waktu yang tersisa. Ada sih, tapi hanya 30 hari, pikirku dengan sedih. Bahkan kalau mimpiku jadi kenyataan berarti bagi kami waktu hanya tersisa 24 jam paling lama. Setelah itu ada kemungkinan kami semua akan... Bum! Meledak. Hancur berkeping-keping. Tubuhku saja hanya tersisa separuh. Huff... Aku bergidik dan tanpa sadar menghembuskan nafas dengan keras membayangkan hal. Sampai orang disebelahku kembali terkejut dan memandangku was-was. Mungkin ia khawatir aku kembali bermimpi seram. Aku meliriknya sambil menghadiahi senyum padanya. Menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Orang itu terlihat lega dan kembali memejamkan mata.
Sudahlah Danang! Berhenti mengingat mimpi itu! bukankah kamu sudah bertekad untuk menemani Rhea pergi kemanapun ia pergi? Perintahku pada diriku sendiri. Ketimbang gelisah memikirkan mimpi lebih baik aku kembali ngobrol dengan Rhea. Ku keluarkan ponsel dari saku dan mulai mengetik
“Rhea gimana kabar ayah kamu? Apa sudah ada update?”
Hanya ada tanda cawang satu. Mungkin ponsel Rhea sedang mati. Aku kemudian memandang menembus jendela ke arah langit yang gelap. Terlihat beberapa bintang bersinar lembut.
“Kita mau ngebut nih kayaknya!” kata driver sambil menekan gas semakin dalam. Karena konvoi maka kecepatan setiap kendaraan harus sama. Terlihat kendaraan di depan kami sempat menjauh yang menandakan kecepatannya bertambah. Aku merasakan lonjakan yang cukup kencang.
Tung! Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Aku langsung membuka dan membacanya. Ealah, itu Emon,
Duuh.. ngebut banget siih.. Emon jadi takut..
Biar cepet nyampe, ngapain lama-lama di jalan, beresiko
Ya udah yey jangan ninggalin eike ya
Aku gemas membaca pesan Emon. Wong bukan aku yang nyetir kenapa dia minta aku untuk jangan ninggalin? Tapi Emon pasti lagi panik, orang panik biasanya emang aneh, jadi biarlah.
“Kira-kira berapa lama lagi kita sampai?” tanyaku entah pada siapa. Biarlah yang tahu yang akan menjawab. Asal jangan tuyul yang jawab.
“Kalo lancar terus seperti ini paling 15 menit lagi..” jawab driver sambil serius menghadap jalan.
Owh udah mau nyampe. Okelah kalau begitu, kuputuskan untuk melupakan mimpiku dan jalani saja hidupku sesuai rencana awal. Bismillah berangkat!
***
Aku membuka mata, sinar matahari menerangi wajahku dengan sopan. Berarti ini masih cukup pagi. Aku bangun dan menengok ke kiri tempat dimana Rhea tadi malam merebahkan tubuh dengan manisnya disampingku. Mata terpejamnya terlihat lelah. Di sebelah kirinya Rhea aku menemukan seonggok, eh maaf, tepatnya melihat Emon yang juga lagi terpejam. Semuanya masih tidur akibat proses imigrasi yang melelahkan kemarin malam. Baru jam 3 dinihari kami bertiga bisa duduk dengan lega. Itupun bukan duduk di kursi ruang tunggu, kami duduk ngedeprok di lantai. Masih untung bisa bersender di dinding bandara. Walau tak lama kemudian kami akhirnya merosot ke lantai, membaringkan tubuh dan meluruskan kaki. Dan kemudian tertidur dengan nyenyak. Lelah. Bukan hanya kami bertiga yang tergeletak di lantai tapi ada banyak, bahkan sangat banyak. Ruang tunggu di bandara lebih mirip bangsal pengungsian.
Gak tega membangunkan mereka berdua hanya karena aku bangun lebih dulu. Aku melihat jam digital yang terpampang di tembok depanku persis. 06.37 di waktu pagi. Perutku menuntut hak nya. Aku membuka tas dan meraih sekeping biskuit. Sebenarnya di saat lapar gila kayak sekarang, ingin rasanya aku melahap double cheese burger lengkap dengan french fries dan segelas besar coke. Atau sekalian meraup nasi hangat dengan lauk bebek goreng Surabaya sambil dicocol dengan sambal mangga muda, minumnya tentu es teh manis. Nyam nyam bukan? Tapi, sudahlah, membayangkan itu sama saja menyiksa diriku sendiri. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa yang aku lumat pagi ini adalah sekeping biskuit. Hanya sekeping walaupun aku memiliki sekitar lima keping. Karena memang itulah bekalku untuk penerbangan nanti. Makanan sudah menjadi barang langka saat ini, semua orang menyimpan erat-erat panganan yang mereka miliki.
Euughh.. biskuit ini sungguh gak enak. Keras dan rasanya aneh gak sekedar manis gula atau susu. Mungkin ada penambahan rempah-rempah atau apalah. Tapi demi perut aku lupakan protes yang dilakukan oleh mulutku. Sekarang mulutku harus mengalah demi perut tetap terisi. Kriuk kriuk kriuk. Bukan kriuk renyah macam krupuk, ini kriuk keras bagai mesin penghancur baja.
“Jam berapa sekarang?” terdengar suara Rhea dengan lirih. Sepertinya ia terbangun mendengar suara gigiku melumat biskuit.
“Eh udah bangun.. berisik ya?” tanyaku dengan rasa bersalah sambil menengok ke arahnya, “masih pagi kok baru jam setengah tujuh..”
Rhea terduduk. Aku baru melihat wajahnya dengan jelas, ternyata tak ada raut muka bantal sedikitpun. Aku malah melihat ada rona wajah yang khawatir.
“Lho kenapa?” tanyaku
“Mimpi aneh lagi...”
“Berhubungan dengan kecelakan pesawat?” selidikku
“Semacam itu.. tapi agak sedikit aneh..”
Tekadku untuk tetap berangkat kini mengalami godaan lagi. Aku kembali mencoba untuk membuka peluang batal berangkat hari ini dan memilih hari lain, “apa kita pending keberangkatan hari ini? Kita pakai penerbangan berikutnya saja?”
Rhea terdiam sejenak dan menggeleng, “Gak usah. Kita gak akan pernah tahu kapan penerbangan berikutnya ada. Lagipula mimpiku aneh. Memang ada kecelakaan atau bencana, tapi bukan pesawatnya kok.. tapi ya kita memang ada di lokasi bencana itu, naek pesawat pula. Aneh kan?”
Aku kini yang terdiam, bukan karena merasa aneh, tapi karena merasa bingung. Penjelasan Rhea sedikit membuatku pusing, “Iya aneh banget...” gumamku
“Kalau kamu mau batal ga apa-apa, aku berangkat sendiri aja..”
“Eits! Jangan sembarang kalau ngomong! Kita berangkat!” seruku tegas. Membiarkan ia sendirian dalam pesawat? It’s a big No! No!
***
Akhirnya aku, Rhea dan Emon duduk manis didalam pesawat. Kami duduk di sebelah pinggir alias yang dekat jendela. Yang dekat jendela Rhea, yang tengah aku dan dekat gang si Emon. Sebenarnya aku males duduk sebelah Emon, tapi aku gak rela Rhea duduk disebelah Emon, khawatir Emon mendadak sembuh dan menikmati duduk dekat Rhea. Jadi aku merelakan tubuhku yang duduk bersanding dengan Emon, demi melindungi Rhea. Semoga bukan aku yang ketularan jadi seperti Emon.
“Lu nyentuh kulit gua, gue kuliti lu idup-idup..” desisku pada Emon saat aku memasang sabuk pengaman.
“Yeee.... ge-er, siapa juga yang mau nyentuh kambing bangkotan model yey... ih! Udah ekspired! Mencret eike ntar...”
Rhea terkikik mendengarnya.
Tak lama kemudian pilot mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mengudara. Aku mendadak mules mengingat mimpi yang gagal aku kubur. Selalu terngiang di benak tentang anak kecil itu. Menyebalkan.
Pesawat mulai bergerak mundur, ambil ancang-ancang untuk bergerak menuju landasan pacu. Suasana sangat hening, tak terdengar suara lain selain dengung mesin pesawat. Sepertinya ratusan penumpang di dalam kabin pesawat saat ini sedang berdoa dalam keheningan masing-masing. Hanya aku yang senewen. Sungguh. Mimpiku itu semakin menyiksa, naik tingkat dari detik ke detik. Aku melirik Rhea, dan menemukan kekhawatiran yang sama. Reflek aku memegang tangannya.
“Gak usah takut..” hiburku pada dirinya. suatu kebohongan yang nyata mengingat Rhea pasti merasakan tanganku penuh dengan keringat dingin.
“Bismillah ya. La haula wala kuata illa billah...” katanya sambil tersenyum. Tingkat pasrah yang tinggi dengan total menyerahkan segala sesuatu pada Yang Maha Kuasa.
Aku mengangguk dan mengucapkan kalimat yang sama. Pesawat kini sudah tiba di ujung landasan pacu. Berhenti sejenak.
“Ready to take off...” terdengar suara pilot. Aku merasa jantungku mau meledak. Tangan Rhea terasa menekan sedikit, bukan takut, tapi justru aku merasa dialah yang mencoba menenangkan aku. Huff.. untunglah dia tak tahu akan mimpiku. Biar aku saja yang merasakan kegilaan ini.
Bunyi dengung mesin yang tadi terdengar kini meningkat dalam hitungan detik menjadi deru yang kencang. Kecepatan nol kini bertambah dan bertambah. Badan pesawat terasa bergetar saat laju semakin kencang.
Njiir,,, aku merasa ingin muntah. Jantungku sudah tak karuan detaknya. Sebenarnya aku sudah ratusan kali terbang, tapi yang ini terasa sangat berbeda. Terbayang mimpiku dan teringat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi saat pesawat baru lepas landas. Moment yang sangat krusial. Dzikir padaNYA kuhembuskan lebih sering dibanding tarikan nafasku. Aku butuh kekuatanNYA untuk menjaga diri tidak gila akibat diserang rasa takut ini.
Tak berapa lama aku merasa hidung pesawat naik keatas disusul bagian tubuh yang lain. Kami mengudara. Dzikirku terus mengalir tanpa henti. Pada ketinggian tertentu pesawat membelokkan arah terbang.
“Astagfirullah...” jerit Rhea tertahan. Ia memandang keluar jendela sambil menutup mulutnya dengan tangan. Damn! Kenapa pula? Jangan-jangan ia melihat mesin pesawat terbakar!
“Kenapa? Kenapa?” tanyaku sambil melihat keluar. Tak ada asap dari mesin. Tak ada patahan dari sayap. Syukurlah. Tapi kenapa Rhea sedikit menjerit? Aku segera melihat ke objek lain. Daratan. Karena sedang berbelok, posisi dari tempat duduk kami jadi bisa melihat daratan dengan leluasa. Tampak bandar udara yang baru saja tinggalkan. Ada asap yang cukup pekat dari salah satu bangunan di bandara.
“Itu kenapa?” tanyaku.
Belum sempat Rhea menjawab, tiba-tiba saja seisi pesawat riuh, “meteor! Meteor!”
Aku terkejut, tampak di langit beberapa bola pijar melintas, meninggalkan jejak panjang berwarna putih. bagai puluhan anak panah yang meluncur menuju sasaran. Siap menghujam bumi. Tidak besar tapi terlihat menyeramkan, terlebih bagi kami yang sedang berada di langit. Ya Tuhan! Hujan meteor!!
Beberapa dentuman terlihat di bawah sana, mengenai bangunan, pesawat yang sedang parkir maupun landasan pacu bandara. Ledakan demi ledakan terlihat. Dari ledakannya, pasti bukan meteor besar, tapi bagi siapapun yang berada dibawah sana, tetap saja itu berarti kematian. Bandara yang setengah jam lalu masih kami tempati kini sedang menjadi bulan-bulanan meteor. Aku tak bisa membayangkan, telat setengah jam saja kami pasti sudah menjadi daging bakar.
Sebongkah meteor mendadak melintas dekat pesawat. Kami semua menjerit. Satu saja meteor, tak peduli ukurannya sebesar kelereng sekalipun, menyentuh bagian pesawat kami, bisa dipastikan pesawat kami akan hancur berkeping-keping. Kami kini sedang terbang di tengah hujan meteor. Peluang menjadi daging bakar sangat tinggi.
Aku terkesiap dengan pucat yang sangat pasi. Mual.
[Bersambung]
Perjalanan menuju airport ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Biasanya hanya perlu sekitar satu setengah jam tapi kini sudah lebih dari tiga jam kami belum juga sampai ke bandara. Untungnya saat ini kami sudah melaju cukup kencang di sepanjang jalan luar kota menjauhi Rabat. Tak seperti jalanan di dalam kota yang ramai dengan orang yang rusuh mencari bahan makanan, saat ini jalanan cukup lancar. Banyak kendaraan tapi tak sampai macet, semua melaju kencang seolah tak ada waktu lagi yang tersisa.
Sebentar. Itu perumpaan yang memang benar adanya. Tak ada lagi waktu yang tersisa. Ada sih, tapi hanya 30 hari, pikirku dengan sedih. Bahkan kalau mimpiku jadi kenyataan berarti bagi kami waktu hanya tersisa 24 jam paling lama. Setelah itu ada kemungkinan kami semua akan... Bum! Meledak. Hancur berkeping-keping. Tubuhku saja hanya tersisa separuh. Huff... Aku bergidik dan tanpa sadar menghembuskan nafas dengan keras membayangkan hal. Sampai orang disebelahku kembali terkejut dan memandangku was-was. Mungkin ia khawatir aku kembali bermimpi seram. Aku meliriknya sambil menghadiahi senyum padanya. Menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Orang itu terlihat lega dan kembali memejamkan mata.
Sudahlah Danang! Berhenti mengingat mimpi itu! bukankah kamu sudah bertekad untuk menemani Rhea pergi kemanapun ia pergi? Perintahku pada diriku sendiri. Ketimbang gelisah memikirkan mimpi lebih baik aku kembali ngobrol dengan Rhea. Ku keluarkan ponsel dari saku dan mulai mengetik
“Rhea gimana kabar ayah kamu? Apa sudah ada update?”
Hanya ada tanda cawang satu. Mungkin ponsel Rhea sedang mati. Aku kemudian memandang menembus jendela ke arah langit yang gelap. Terlihat beberapa bintang bersinar lembut.
“Kita mau ngebut nih kayaknya!” kata driver sambil menekan gas semakin dalam. Karena konvoi maka kecepatan setiap kendaraan harus sama. Terlihat kendaraan di depan kami sempat menjauh yang menandakan kecepatannya bertambah. Aku merasakan lonjakan yang cukup kencang.
Tung! Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Aku langsung membuka dan membacanya. Ealah, itu Emon,
Duuh.. ngebut banget siih.. Emon jadi takut..
Biar cepet nyampe, ngapain lama-lama di jalan, beresiko
Ya udah yey jangan ninggalin eike ya
Aku gemas membaca pesan Emon. Wong bukan aku yang nyetir kenapa dia minta aku untuk jangan ninggalin? Tapi Emon pasti lagi panik, orang panik biasanya emang aneh, jadi biarlah.
“Kira-kira berapa lama lagi kita sampai?” tanyaku entah pada siapa. Biarlah yang tahu yang akan menjawab. Asal jangan tuyul yang jawab.
“Kalo lancar terus seperti ini paling 15 menit lagi..” jawab driver sambil serius menghadap jalan.
Owh udah mau nyampe. Okelah kalau begitu, kuputuskan untuk melupakan mimpiku dan jalani saja hidupku sesuai rencana awal. Bismillah berangkat!
***
Aku membuka mata, sinar matahari menerangi wajahku dengan sopan. Berarti ini masih cukup pagi. Aku bangun dan menengok ke kiri tempat dimana Rhea tadi malam merebahkan tubuh dengan manisnya disampingku. Mata terpejamnya terlihat lelah. Di sebelah kirinya Rhea aku menemukan seonggok, eh maaf, tepatnya melihat Emon yang juga lagi terpejam. Semuanya masih tidur akibat proses imigrasi yang melelahkan kemarin malam. Baru jam 3 dinihari kami bertiga bisa duduk dengan lega. Itupun bukan duduk di kursi ruang tunggu, kami duduk ngedeprok di lantai. Masih untung bisa bersender di dinding bandara. Walau tak lama kemudian kami akhirnya merosot ke lantai, membaringkan tubuh dan meluruskan kaki. Dan kemudian tertidur dengan nyenyak. Lelah. Bukan hanya kami bertiga yang tergeletak di lantai tapi ada banyak, bahkan sangat banyak. Ruang tunggu di bandara lebih mirip bangsal pengungsian.
Gak tega membangunkan mereka berdua hanya karena aku bangun lebih dulu. Aku melihat jam digital yang terpampang di tembok depanku persis. 06.37 di waktu pagi. Perutku menuntut hak nya. Aku membuka tas dan meraih sekeping biskuit. Sebenarnya di saat lapar gila kayak sekarang, ingin rasanya aku melahap double cheese burger lengkap dengan french fries dan segelas besar coke. Atau sekalian meraup nasi hangat dengan lauk bebek goreng Surabaya sambil dicocol dengan sambal mangga muda, minumnya tentu es teh manis. Nyam nyam bukan? Tapi, sudahlah, membayangkan itu sama saja menyiksa diriku sendiri. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa yang aku lumat pagi ini adalah sekeping biskuit. Hanya sekeping walaupun aku memiliki sekitar lima keping. Karena memang itulah bekalku untuk penerbangan nanti. Makanan sudah menjadi barang langka saat ini, semua orang menyimpan erat-erat panganan yang mereka miliki.
Euughh.. biskuit ini sungguh gak enak. Keras dan rasanya aneh gak sekedar manis gula atau susu. Mungkin ada penambahan rempah-rempah atau apalah. Tapi demi perut aku lupakan protes yang dilakukan oleh mulutku. Sekarang mulutku harus mengalah demi perut tetap terisi. Kriuk kriuk kriuk. Bukan kriuk renyah macam krupuk, ini kriuk keras bagai mesin penghancur baja.
“Jam berapa sekarang?” terdengar suara Rhea dengan lirih. Sepertinya ia terbangun mendengar suara gigiku melumat biskuit.
“Eh udah bangun.. berisik ya?” tanyaku dengan rasa bersalah sambil menengok ke arahnya, “masih pagi kok baru jam setengah tujuh..”
Rhea terduduk. Aku baru melihat wajahnya dengan jelas, ternyata tak ada raut muka bantal sedikitpun. Aku malah melihat ada rona wajah yang khawatir.
“Lho kenapa?” tanyaku
“Mimpi aneh lagi...”
“Berhubungan dengan kecelakan pesawat?” selidikku
“Semacam itu.. tapi agak sedikit aneh..”
Tekadku untuk tetap berangkat kini mengalami godaan lagi. Aku kembali mencoba untuk membuka peluang batal berangkat hari ini dan memilih hari lain, “apa kita pending keberangkatan hari ini? Kita pakai penerbangan berikutnya saja?”
Rhea terdiam sejenak dan menggeleng, “Gak usah. Kita gak akan pernah tahu kapan penerbangan berikutnya ada. Lagipula mimpiku aneh. Memang ada kecelakaan atau bencana, tapi bukan pesawatnya kok.. tapi ya kita memang ada di lokasi bencana itu, naek pesawat pula. Aneh kan?”
Aku kini yang terdiam, bukan karena merasa aneh, tapi karena merasa bingung. Penjelasan Rhea sedikit membuatku pusing, “Iya aneh banget...” gumamku
“Kalau kamu mau batal ga apa-apa, aku berangkat sendiri aja..”
“Eits! Jangan sembarang kalau ngomong! Kita berangkat!” seruku tegas. Membiarkan ia sendirian dalam pesawat? It’s a big No! No!
***
Akhirnya aku, Rhea dan Emon duduk manis didalam pesawat. Kami duduk di sebelah pinggir alias yang dekat jendela. Yang dekat jendela Rhea, yang tengah aku dan dekat gang si Emon. Sebenarnya aku males duduk sebelah Emon, tapi aku gak rela Rhea duduk disebelah Emon, khawatir Emon mendadak sembuh dan menikmati duduk dekat Rhea. Jadi aku merelakan tubuhku yang duduk bersanding dengan Emon, demi melindungi Rhea. Semoga bukan aku yang ketularan jadi seperti Emon.
“Lu nyentuh kulit gua, gue kuliti lu idup-idup..” desisku pada Emon saat aku memasang sabuk pengaman.
“Yeee.... ge-er, siapa juga yang mau nyentuh kambing bangkotan model yey... ih! Udah ekspired! Mencret eike ntar...”
Rhea terkikik mendengarnya.
Tak lama kemudian pilot mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mengudara. Aku mendadak mules mengingat mimpi yang gagal aku kubur. Selalu terngiang di benak tentang anak kecil itu. Menyebalkan.
Pesawat mulai bergerak mundur, ambil ancang-ancang untuk bergerak menuju landasan pacu. Suasana sangat hening, tak terdengar suara lain selain dengung mesin pesawat. Sepertinya ratusan penumpang di dalam kabin pesawat saat ini sedang berdoa dalam keheningan masing-masing. Hanya aku yang senewen. Sungguh. Mimpiku itu semakin menyiksa, naik tingkat dari detik ke detik. Aku melirik Rhea, dan menemukan kekhawatiran yang sama. Reflek aku memegang tangannya.
“Gak usah takut..” hiburku pada dirinya. suatu kebohongan yang nyata mengingat Rhea pasti merasakan tanganku penuh dengan keringat dingin.
“Bismillah ya. La haula wala kuata illa billah...” katanya sambil tersenyum. Tingkat pasrah yang tinggi dengan total menyerahkan segala sesuatu pada Yang Maha Kuasa.
Aku mengangguk dan mengucapkan kalimat yang sama. Pesawat kini sudah tiba di ujung landasan pacu. Berhenti sejenak.
“Ready to take off...” terdengar suara pilot. Aku merasa jantungku mau meledak. Tangan Rhea terasa menekan sedikit, bukan takut, tapi justru aku merasa dialah yang mencoba menenangkan aku. Huff.. untunglah dia tak tahu akan mimpiku. Biar aku saja yang merasakan kegilaan ini.
Bunyi dengung mesin yang tadi terdengar kini meningkat dalam hitungan detik menjadi deru yang kencang. Kecepatan nol kini bertambah dan bertambah. Badan pesawat terasa bergetar saat laju semakin kencang.
Njiir,,, aku merasa ingin muntah. Jantungku sudah tak karuan detaknya. Sebenarnya aku sudah ratusan kali terbang, tapi yang ini terasa sangat berbeda. Terbayang mimpiku dan teringat bahwa kecelakaan pesawat sering terjadi saat pesawat baru lepas landas. Moment yang sangat krusial. Dzikir padaNYA kuhembuskan lebih sering dibanding tarikan nafasku. Aku butuh kekuatanNYA untuk menjaga diri tidak gila akibat diserang rasa takut ini.
Tak berapa lama aku merasa hidung pesawat naik keatas disusul bagian tubuh yang lain. Kami mengudara. Dzikirku terus mengalir tanpa henti. Pada ketinggian tertentu pesawat membelokkan arah terbang.
“Astagfirullah...” jerit Rhea tertahan. Ia memandang keluar jendela sambil menutup mulutnya dengan tangan. Damn! Kenapa pula? Jangan-jangan ia melihat mesin pesawat terbakar!
“Kenapa? Kenapa?” tanyaku sambil melihat keluar. Tak ada asap dari mesin. Tak ada patahan dari sayap. Syukurlah. Tapi kenapa Rhea sedikit menjerit? Aku segera melihat ke objek lain. Daratan. Karena sedang berbelok, posisi dari tempat duduk kami jadi bisa melihat daratan dengan leluasa. Tampak bandar udara yang baru saja tinggalkan. Ada asap yang cukup pekat dari salah satu bangunan di bandara.
“Itu kenapa?” tanyaku.
Belum sempat Rhea menjawab, tiba-tiba saja seisi pesawat riuh, “meteor! Meteor!”
Aku terkejut, tampak di langit beberapa bola pijar melintas, meninggalkan jejak panjang berwarna putih. bagai puluhan anak panah yang meluncur menuju sasaran. Siap menghujam bumi. Tidak besar tapi terlihat menyeramkan, terlebih bagi kami yang sedang berada di langit. Ya Tuhan! Hujan meteor!!
Beberapa dentuman terlihat di bawah sana, mengenai bangunan, pesawat yang sedang parkir maupun landasan pacu bandara. Ledakan demi ledakan terlihat. Dari ledakannya, pasti bukan meteor besar, tapi bagi siapapun yang berada dibawah sana, tetap saja itu berarti kematian. Bandara yang setengah jam lalu masih kami tempati kini sedang menjadi bulan-bulanan meteor. Aku tak bisa membayangkan, telat setengah jam saja kami pasti sudah menjadi daging bakar.
Sebongkah meteor mendadak melintas dekat pesawat. Kami semua menjerit. Satu saja meteor, tak peduli ukurannya sebesar kelereng sekalipun, menyentuh bagian pesawat kami, bisa dipastikan pesawat kami akan hancur berkeping-keping. Kami kini sedang terbang di tengah hujan meteor. Peluang menjadi daging bakar sangat tinggi.
Aku terkesiap dengan pucat yang sangat pasi. Mual.
[Bersambung]
Diubah oleh abangruli 02-11-2020 17:20
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup