- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#95
24 Desember 2018
Christmas Eve

Pagi ini sebelum aku jalan ke tempat kerja, seperti biasa ketika pintu kamar terbuka aku sudah mendapati Fandra duduk di tempat favoritenya.
Aku menyapanya dengan senyuman tapi dia malah menatapku dengan pandangan mata datar dan wajah tanpa ekspresi.
Perasaanku menjadi tidak enak, karena sejak kemarin sepulang menghantarku dari dokter, dia lebih banyak diam. Bahkan malam harinya dia menghilang dari kost. Apa mungkin karena pertanyaanku yang menyinggung tentang Abrar.
Aku mendekatinya, dia hanya menatapku tanpa berkata-kata. Aku pun bertahan berdiam diri. Kami hanya saling pandang tanpa bicara.
Sekitar 5 menitan berlalu, dia menghela nafas dan melepaskan pandangannya dari mataku
“Udah sana kerja,” ujarnya pelan.
“Ngga mau cium aku lagi?” tanyaku bermaksud bercanda.
Dia menolehku dengan tatapan datar dan tiba-tiba meloncat dari tempatnya duduk, membuatku kaget dan mundur beberapa langkah menjauh darinya.
Dia tersenyum kecil, “katanya mau dicium kok malah ngejauh, sini!”
“Kamu kenapa? Marah?” tanyaku
“Katanya mau aku cium,” ujarnya mengacuhkan pertanyaanku
“Kenapa kemarin aku didiemin? Apa karena pertanyaanku soal aku mantan…”
“Udah, ngga usah dibahas!” potongnya cepat.
“Berarti bener gara-gara itu.”
Dia tidak menyahut. Aku mendekatinya.
“Maaf ya, buka..”
“Aku kan bilang ngga usah di bahas. Bukan salah kamu kenapa minta maaf!” potongnya lagi, “aku yang harusnya minta maaf.”
Aku tersenyum. “Jangan ngambek lagi.”
“Siapa yang ngambek!”
Aku tersenyum, “jalan dulu ya.”
“Mau aku anter?”
Aku menggeleng dan kemudian berlalu.
***
Jam istirahat siang, di kantor.
“Vi, makan di luar yuk?” tiba-tiba Ardi menghampiriku yang masih berkutat dengan kerjaanku
“Di mana?Makan apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop
“Makan bakso,” sahutnya berhasil mengalihkan pandanganku ke arahnya
“Harus yang enak,” ujarku
“Dijamin enak, makanya ayo buruan.”
Aku bergegas mematikan laptop dan menyusul Ardi yang sudah lebih dulu keluar.
Ardi mengajakku makan di kedai bakso yang belum pernah aku kunjungi, tempatnya juga lumayan jauh dari kantorku.
“Iya, ini lumayan enak,” komentarku setelah mencicipi bakso yang kupesan.
“Kalau pilihan gw mah selalu cocok sama lo,” balas Ardi.
Kami asik menikmati makan ketika ponsel Ardi berdering.
“Hanggara ya?” tanyanku begitu dia mengakhiri pembicaraan di ponselnya
“Iya, dia mau mampir sini,” ujarnya.
Sekitar 15 menit kemudian Hanggara benar-benar muncul dan bergabung bersama kami.
Usai makan siang Hanggara kembali ke toko. Ardi hanya ngedrop aku ke kantor setelah itu dia menyusul Hanggara ke toko.
Baru saja aku duduk dan hendak membuka laptop, ponselku berdering, dari nomor yang tidak kukenal. Meskipun awalnya aku ragu untuk menjawabnya, tapi akhirnya aku memutuskan menjawabnya, siapa tahu dari si dokter itu lagi.
“Halo,” sapaku
“Halo siang, ini Vio? Saya papanya Angga,” sahut suara laki-laki di seberang.
Lagi jantungku berdegup aneh ketika kutahu siapa penelpon ini. Buru-buru aku menyingkir dari mejaku, keluar ke taman belakang.
“Oh maaf, saya blom save no nya bapak, ada apa ya pak?”
“Begini, kalau kamu ngga ada acara, saya ingin bertemu nanti sore, mungkin sepulang kamu kerja atau kamu bisa jam berapa info saja saya, nanti saya kirimkan alamat di mana kita ketemu.”
Duh, ngapain lagi si bapak ini minta ketemuan. Sebenarnya aku ingin menolak tapi rasa penasaranku lebih tinggi.
“ee… bisa sih nanti sore, mungkin
sekitaran jam 7?”
“Bisa, saya bisa jam berapa saja, tergantung kamu,” sahutnya
“Baik kalau gitu pak, jam 7 aja.”
“Satu lagi. Tolong jangan sampai Angga tahu kalau kamu mau ketemu dengan saya.”
Apa maksudnya ini? jadi ini pertemuan rahasia?
“Tapi kenapa? Bukannya lebih baik Angga tahu? Tapi saya akan minta dia ngga ikut. Maksud saya, sekedar diinfo aja, at least dia tahu.”
“Ngga usah. Dia sama sekali tidak boleh tahu. Kamu bisa bantu saya?”
Aku terdiam. Bagaimana ini? Satu sisi aku ingin ketemu dan penasaran dengan maksud dari bapak ini, tapi satu sisi aku juga sedikit takut.
“Baik. Saya ngga akan beritahu Angga,” sahutku akhirnya
“Terima kasih.”
“Tapi, boleh saya tahu, kenapa?”
“Nanti juga kamu akan tahu,” sahut bapak itu yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku
“Memangnya bapak mau bicara apa sama saya? Soal apa?”
Dia terdiam sejenak.
“halo?”
“Nanti kita bicara lagi. Alamatnya segera saya kirimkan, saya tunggu jam 7. Terima kasih Nak…”
Sambungan telfon di putus olehnya, menyisakan aku yang di penuhi dengan tanda tanya.
Aku menunggu jam pulang kantor dengan gelisah. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Tapi masih ada sedikit rasa lega karena semenjak siang tadi Hanggara dan Ardi tidak muncul di kantor kuperkirakan mereka memilih bekerja dari toko.
Pukul lima kurang kelegaanku lenyap seketika bersamaan dengan kemunculan Hanggara di kantor. Perasaan tidak enak mulai menyelimutiku.
Tepat pukul lima aku berkemas dan segera berlalu ke depan. Aku memilih menunggu ojol pesananku di gerbang depan bukan di loby untuk menghindari pertemuan dengan Hanggara. Hanya saja harapan tinggal harapan karena tiba-tiba saja dia muncul dan sudah siap dengan motornya.
“Aku anterin,” ujarnya padaku.
“Ngga bisa aku sudah pesan ojol,” tolakku
“Biarin aja, aku udah bilangin Pak Wayan kalau ojolnya datang biar di bayar aja langsung.”
Dia memang seperti ini kalau keinginannya harus dipenuhi.
“Tapi, aku mau langsung ke kostan,” ujarku sebelum setuju ikut dengannya
“Kenapa? Ada janji sama Fandra?” tanyanya dan aku merasa itu sebuah sindiran. Kenapa dia selalu saja mengungkit-ungkit soal Fandra.
“Bukan sama dia, tapi sama Monica. Malam ini christmas eve…” ujarku.
Aku tidak berbohong memang malam ini, tepatnya sebelum tengah malam nanti, Monica akan menjemputku untuk perayaan Christmas eve.
“Oh iya, aku lupa.sekarang tanggal 24, besok udah natal,” sahutnya dengan ekspresi wajah bersalah
“Sibuk banget ya kamu?”
Dia tersenyum, “Sorry.”
***
Dia berhenti tepat di depan gerbang kostan. Dia menerima helm yang aku kembalikan padanya.
“Makasi,” ujarku padanya, “Jangan keluyuran mending kamu istirahat di rumah, masih tersisa 7 hari ke depan kamu harus kerja keras.”
Dia tertawa kecil. “Tahun baruan sama aku ya?”
Aku tersenyum, “Ngelembur kerja?”
Dia tertawa, “Boleh. Malamnya ngerayain di rumah aku aja, sama Ardi, ajak Fandra juga boleh.”
“Ya, liat nanti aja. Aku rencananya mau pulang ke Jakarta.”
Dia terdiam.
“Gitu ya?” ujarnya kemudian
“Tapi baru rencana, yah…liat nanti aja.”
Dia terdiam lagi dan hanya menatapku.
“Aku masuk ya,” ujarku kemudian, “kamu hati-hati, langsung pulang,” ingatku sekali lagi.
Sebenernya aku sedikit takut kalau dia jalan-jalan di luar dan bertemu denganku yang sedang berdua dengan papanya.
Woah!!! Can’t imagine that!
Begitu dia menghilang dari pandangan, aku segera masuk ke dalam dan menuju ke kamarku. Dari bawah aku sudah melihat Fandra duduk di atas tembok balkon, memperhatikanku.
“Ngobrolin apa tadi, kayaknya hepi banget!”
Aku meliriknya sekilas sambil membuka pintu. “Mau tau aja!” sahutku singkat
“Iya dong, kamu kan pacarku!”
“Sembarangan!” sahutku ketus padanya sebelum aku masuk dan menutup pintu kamarku tanpa menunggu ocehannya lagi.
Setelah mandi dan berganti pakaian aku masih duduk di atas tempat tidurku, memperhatikan pesan singkat yang dikirimkan oleh Pak Damar mengenai tempat pertemuan kami.
Aku tidak tahu ini di daerah mana. Apa aku naik taksi aja ya, atau naik ojol. Aku coba search alamatnya dan lumayan jauh dari kostan.
Aku terkejut ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dan muncul Fandra di sana.
“ih, bikin kaget aja, bisa ngga sih ketok pintu dulu sebelum masuk,” protesku
“Sorry, lagian kamu juga, pintu ngga pernah di kunci,” dia malah menyalahkanku.
Aku kembali melihat ke ponselku
“Mau ke mana? Janjian sama Angga?” tanyanya lalu duduk di sampingku
“Ngga,” sahutku sambil menggeleng
“Trus?”
Aku menoleh dan menatapnya. Apa aku minta tolong Fandra lagi buat anter aku ke sana?
Jujur saja, ada perasaan takut di hatiku. Apa lagi ketemuan berdua saja sama om-om, aku takut….ah! ngga mungkin papanya Hanggara seperti itu, bantah batinku ketika pikiran burukku mulai menyerang.
“Kamu tahu tempat ini ngga?” tanyaku menyodorkan ponselku yang berisi pesan dari Pak Damar
Fandra mengambil alih ponselku dan melihatnya serius.
“Ini dari papanya Angga? Ini maksudnya apa dia ngirimin kamu alamat ini?” tanyanya menatapku.
“Dia ngajak aku ketemuan, janjian jam 7,” sahutku
“Ini lumayan jauh dari sini, apalagi sore pasti macet. Kamu sama Angga?”
Aku menggeleng, “Sendiri, dia mau aku datang sendiri dan dia minta aku ngga bilang-bilang sama Hanggara kalau aku ketemuan sama dia.”
“Aku anterin,” dia mengembalikan ponselku
“Tapi Fan….”
“Ngga ada tapi-tapian, pokoknya aku anter.” Dia lalu keluar dari kamarku dan aku segera menyusulnya keluar.
“Fan, “ aku menahannya setelah dia mengunci pintu kamarnya
“Kamarmu udah kamu kunci?” tanyanya mengingatkanku
“Udah.”
“Fan…” aku memanggilnya lagi ketika dia hendak berjalan
“Apa?”
“Nanti kamu tunggu di luar aja ya, biar aku yang masuk sendiri,” ujarku hati-hati takut dia tersinggung.
“Iya, tapi aku liatin kamu dari jauh.”
Aku mengangguk mengiyakan.
Christmas Eve

Pagi ini sebelum aku jalan ke tempat kerja, seperti biasa ketika pintu kamar terbuka aku sudah mendapati Fandra duduk di tempat favoritenya.
Aku menyapanya dengan senyuman tapi dia malah menatapku dengan pandangan mata datar dan wajah tanpa ekspresi.
Perasaanku menjadi tidak enak, karena sejak kemarin sepulang menghantarku dari dokter, dia lebih banyak diam. Bahkan malam harinya dia menghilang dari kost. Apa mungkin karena pertanyaanku yang menyinggung tentang Abrar.
Aku mendekatinya, dia hanya menatapku tanpa berkata-kata. Aku pun bertahan berdiam diri. Kami hanya saling pandang tanpa bicara.
Sekitar 5 menitan berlalu, dia menghela nafas dan melepaskan pandangannya dari mataku
“Udah sana kerja,” ujarnya pelan.
“Ngga mau cium aku lagi?” tanyaku bermaksud bercanda.
Dia menolehku dengan tatapan datar dan tiba-tiba meloncat dari tempatnya duduk, membuatku kaget dan mundur beberapa langkah menjauh darinya.
Dia tersenyum kecil, “katanya mau dicium kok malah ngejauh, sini!”
“Kamu kenapa? Marah?” tanyaku
“Katanya mau aku cium,” ujarnya mengacuhkan pertanyaanku
“Kenapa kemarin aku didiemin? Apa karena pertanyaanku soal aku mantan…”
“Udah, ngga usah dibahas!” potongnya cepat.
“Berarti bener gara-gara itu.”
Dia tidak menyahut. Aku mendekatinya.
“Maaf ya, buka..”
“Aku kan bilang ngga usah di bahas. Bukan salah kamu kenapa minta maaf!” potongnya lagi, “aku yang harusnya minta maaf.”
Aku tersenyum. “Jangan ngambek lagi.”
“Siapa yang ngambek!”
Aku tersenyum, “jalan dulu ya.”
“Mau aku anter?”
Aku menggeleng dan kemudian berlalu.
***
Jam istirahat siang, di kantor.
“Vi, makan di luar yuk?” tiba-tiba Ardi menghampiriku yang masih berkutat dengan kerjaanku
“Di mana?Makan apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop
“Makan bakso,” sahutnya berhasil mengalihkan pandanganku ke arahnya
“Harus yang enak,” ujarku
“Dijamin enak, makanya ayo buruan.”
Aku bergegas mematikan laptop dan menyusul Ardi yang sudah lebih dulu keluar.
Ardi mengajakku makan di kedai bakso yang belum pernah aku kunjungi, tempatnya juga lumayan jauh dari kantorku.
“Iya, ini lumayan enak,” komentarku setelah mencicipi bakso yang kupesan.
“Kalau pilihan gw mah selalu cocok sama lo,” balas Ardi.
Kami asik menikmati makan ketika ponsel Ardi berdering.
“Hanggara ya?” tanyanku begitu dia mengakhiri pembicaraan di ponselnya
“Iya, dia mau mampir sini,” ujarnya.
Sekitar 15 menit kemudian Hanggara benar-benar muncul dan bergabung bersama kami.
Usai makan siang Hanggara kembali ke toko. Ardi hanya ngedrop aku ke kantor setelah itu dia menyusul Hanggara ke toko.
Baru saja aku duduk dan hendak membuka laptop, ponselku berdering, dari nomor yang tidak kukenal. Meskipun awalnya aku ragu untuk menjawabnya, tapi akhirnya aku memutuskan menjawabnya, siapa tahu dari si dokter itu lagi.
“Halo,” sapaku
“Halo siang, ini Vio? Saya papanya Angga,” sahut suara laki-laki di seberang.
Lagi jantungku berdegup aneh ketika kutahu siapa penelpon ini. Buru-buru aku menyingkir dari mejaku, keluar ke taman belakang.
“Oh maaf, saya blom save no nya bapak, ada apa ya pak?”
“Begini, kalau kamu ngga ada acara, saya ingin bertemu nanti sore, mungkin sepulang kamu kerja atau kamu bisa jam berapa info saja saya, nanti saya kirimkan alamat di mana kita ketemu.”
Duh, ngapain lagi si bapak ini minta ketemuan. Sebenarnya aku ingin menolak tapi rasa penasaranku lebih tinggi.
“ee… bisa sih nanti sore, mungkin
sekitaran jam 7?”
“Bisa, saya bisa jam berapa saja, tergantung kamu,” sahutnya
“Baik kalau gitu pak, jam 7 aja.”
“Satu lagi. Tolong jangan sampai Angga tahu kalau kamu mau ketemu dengan saya.”
Apa maksudnya ini? jadi ini pertemuan rahasia?
“Tapi kenapa? Bukannya lebih baik Angga tahu? Tapi saya akan minta dia ngga ikut. Maksud saya, sekedar diinfo aja, at least dia tahu.”
“Ngga usah. Dia sama sekali tidak boleh tahu. Kamu bisa bantu saya?”
Aku terdiam. Bagaimana ini? Satu sisi aku ingin ketemu dan penasaran dengan maksud dari bapak ini, tapi satu sisi aku juga sedikit takut.
“Baik. Saya ngga akan beritahu Angga,” sahutku akhirnya
“Terima kasih.”
“Tapi, boleh saya tahu, kenapa?”
“Nanti juga kamu akan tahu,” sahut bapak itu yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku
“Memangnya bapak mau bicara apa sama saya? Soal apa?”
Dia terdiam sejenak.
“halo?”
“Nanti kita bicara lagi. Alamatnya segera saya kirimkan, saya tunggu jam 7. Terima kasih Nak…”
Sambungan telfon di putus olehnya, menyisakan aku yang di penuhi dengan tanda tanya.
Aku menunggu jam pulang kantor dengan gelisah. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Tapi masih ada sedikit rasa lega karena semenjak siang tadi Hanggara dan Ardi tidak muncul di kantor kuperkirakan mereka memilih bekerja dari toko.
Pukul lima kurang kelegaanku lenyap seketika bersamaan dengan kemunculan Hanggara di kantor. Perasaan tidak enak mulai menyelimutiku.
Tepat pukul lima aku berkemas dan segera berlalu ke depan. Aku memilih menunggu ojol pesananku di gerbang depan bukan di loby untuk menghindari pertemuan dengan Hanggara. Hanya saja harapan tinggal harapan karena tiba-tiba saja dia muncul dan sudah siap dengan motornya.
“Aku anterin,” ujarnya padaku.
“Ngga bisa aku sudah pesan ojol,” tolakku
“Biarin aja, aku udah bilangin Pak Wayan kalau ojolnya datang biar di bayar aja langsung.”
Dia memang seperti ini kalau keinginannya harus dipenuhi.
“Tapi, aku mau langsung ke kostan,” ujarku sebelum setuju ikut dengannya
“Kenapa? Ada janji sama Fandra?” tanyanya dan aku merasa itu sebuah sindiran. Kenapa dia selalu saja mengungkit-ungkit soal Fandra.
“Bukan sama dia, tapi sama Monica. Malam ini christmas eve…” ujarku.
Aku tidak berbohong memang malam ini, tepatnya sebelum tengah malam nanti, Monica akan menjemputku untuk perayaan Christmas eve.
“Oh iya, aku lupa.sekarang tanggal 24, besok udah natal,” sahutnya dengan ekspresi wajah bersalah
“Sibuk banget ya kamu?”
Dia tersenyum, “Sorry.”
***
Dia berhenti tepat di depan gerbang kostan. Dia menerima helm yang aku kembalikan padanya.
“Makasi,” ujarku padanya, “Jangan keluyuran mending kamu istirahat di rumah, masih tersisa 7 hari ke depan kamu harus kerja keras.”
Dia tertawa kecil. “Tahun baruan sama aku ya?”
Aku tersenyum, “Ngelembur kerja?”
Dia tertawa, “Boleh. Malamnya ngerayain di rumah aku aja, sama Ardi, ajak Fandra juga boleh.”
“Ya, liat nanti aja. Aku rencananya mau pulang ke Jakarta.”
Dia terdiam.
“Gitu ya?” ujarnya kemudian
“Tapi baru rencana, yah…liat nanti aja.”
Dia terdiam lagi dan hanya menatapku.
“Aku masuk ya,” ujarku kemudian, “kamu hati-hati, langsung pulang,” ingatku sekali lagi.
Sebenernya aku sedikit takut kalau dia jalan-jalan di luar dan bertemu denganku yang sedang berdua dengan papanya.
Woah!!! Can’t imagine that!
Begitu dia menghilang dari pandangan, aku segera masuk ke dalam dan menuju ke kamarku. Dari bawah aku sudah melihat Fandra duduk di atas tembok balkon, memperhatikanku.
“Ngobrolin apa tadi, kayaknya hepi banget!”
Aku meliriknya sekilas sambil membuka pintu. “Mau tau aja!” sahutku singkat
“Iya dong, kamu kan pacarku!”
“Sembarangan!” sahutku ketus padanya sebelum aku masuk dan menutup pintu kamarku tanpa menunggu ocehannya lagi.
Setelah mandi dan berganti pakaian aku masih duduk di atas tempat tidurku, memperhatikan pesan singkat yang dikirimkan oleh Pak Damar mengenai tempat pertemuan kami.
Aku tidak tahu ini di daerah mana. Apa aku naik taksi aja ya, atau naik ojol. Aku coba search alamatnya dan lumayan jauh dari kostan.
Aku terkejut ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dan muncul Fandra di sana.
“ih, bikin kaget aja, bisa ngga sih ketok pintu dulu sebelum masuk,” protesku
“Sorry, lagian kamu juga, pintu ngga pernah di kunci,” dia malah menyalahkanku.
Aku kembali melihat ke ponselku
“Mau ke mana? Janjian sama Angga?” tanyanya lalu duduk di sampingku
“Ngga,” sahutku sambil menggeleng
“Trus?”
Aku menoleh dan menatapnya. Apa aku minta tolong Fandra lagi buat anter aku ke sana?
Jujur saja, ada perasaan takut di hatiku. Apa lagi ketemuan berdua saja sama om-om, aku takut….ah! ngga mungkin papanya Hanggara seperti itu, bantah batinku ketika pikiran burukku mulai menyerang.
“Kamu tahu tempat ini ngga?” tanyaku menyodorkan ponselku yang berisi pesan dari Pak Damar
Fandra mengambil alih ponselku dan melihatnya serius.
“Ini dari papanya Angga? Ini maksudnya apa dia ngirimin kamu alamat ini?” tanyanya menatapku.
“Dia ngajak aku ketemuan, janjian jam 7,” sahutku
“Ini lumayan jauh dari sini, apalagi sore pasti macet. Kamu sama Angga?”
Aku menggeleng, “Sendiri, dia mau aku datang sendiri dan dia minta aku ngga bilang-bilang sama Hanggara kalau aku ketemuan sama dia.”
“Aku anterin,” dia mengembalikan ponselku
“Tapi Fan….”
“Ngga ada tapi-tapian, pokoknya aku anter.” Dia lalu keluar dari kamarku dan aku segera menyusulnya keluar.
“Fan, “ aku menahannya setelah dia mengunci pintu kamarnya
“Kamarmu udah kamu kunci?” tanyanya mengingatkanku
“Udah.”
“Fan…” aku memanggilnya lagi ketika dia hendak berjalan
“Apa?”
“Nanti kamu tunggu di luar aja ya, biar aku yang masuk sendiri,” ujarku hati-hati takut dia tersinggung.
“Iya, tapi aku liatin kamu dari jauh.”
Aku mengangguk mengiyakan.
Diubah oleh drupadi5 30-10-2020 21:44
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6