Mohon maaf bagi yang sudah menunggu terlalu lama🙏
Kami ucapkan terimakasih banyak atas kesabarannya yang luar biasa.
Kalagenda telah kembali, semoga masih cukup menarik untuk disimak.
Konten Sensitif
"Sejatinya tidak ada ilmu hitam dan ilmu putih, ilmu tetaplah ilmu. Yang ada hanyalah pelakunya menapaki jalan yang mana."
Spoiler for SEASON 1 SAJEN:
Chapter: Sajen
adalah chapter pembuka dari kisah ini. Seperti ritual, sesajen dibutuhkan sebagai syarat utama.
Kisah yang menceritakan persinggungan dengan seorang dukun sakti yang dipanggil Ki Kala. Seorang pelaku ilmu hitam yang sanggup memenuhi setiap permintaan. Tentu dengan bayaran nyawa.
Akankah kami dapat bertahan?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
Kang Adul Ojol
Seorang pengemudi ojek online berumur 40tahunan. Seorang bapak dengan 2 anak yang selalu mengutamakan keluarga. Kesialan yang dirinya atau rekan-rekannya alami membawa sisi yang jarang diekspos dari pekerjaan ojek online.
Mang Ian Warung
Perantau 27tahun dari kampung yang masih betah dalam status lajang ini mengelola sebuah warung yang berlokasi disebuah pertigaan angker.
Bang Herul Akik
Mantan satpam berumur 35 tahunan dari beberapa perusahaan. Seorang bapak dengan 1 anak yang selalu penasaran dengan hal mistis. Pun kejadian sial yang ia alami membuatnya terjun ke dunia batu akik untuk menyambung hidup.
Teh Yuyun
Wanita berumur 50 tahun lebih yang menolak tua. Mempunyai 2 anak tanpa cucu. Siapa sangka dibalik sikapnya yang serampangan, ia adalah sosok yang mempunyai ilmu kebatinan.
Setelah kisah pembuka dari kengerian seorang dukun, seluk-beluk, latar belakang, & segala yang melengkapi kekejamannya usai lengkap. Penulis kembali meneruskan kisah horornya.
Sebab tatkala persiapan sesajen telah memenuhi syarat, kini saatnya mantra tergurat.
Cara apa lagi yang akan digunakan untuk melawan Ki Kala?
Siapa lagi korban yang berhasil selamat dari kekejaman ilmu hitamnya?
Bagaimana perlawanan sang tokoh utama dalam menghadapi Ki Kala?
Akankah kali ini kami berhasil?
Spoiler for TOKOH UTAMA:
DINDA
Penerus sekaligus anak perempuan dari Nyi Cadas Pura alias Teh Yuyun di chapter sebelumnya. Usianya belumlah genap 30 tahun, namun ilmu yang ia kuasai hampir setara dengan milik ibunya.
RATIH
Seorang (mantan) Pelayan rumah dari keluarga besar Han yang sudah binasa. Manis namun keji, adalah gambaran singkat mengenai gadis yang baru berusia 25 tahun ini.
IMAM
Seorang mahasiswa di salahsatu kampus yang tak jauh dari tempat Dinda tinggal. Seorang keturunan dari dukun santet sakti di masa lalu. Meski ia menolak, namun para 'penunggu' ilmu leluhurnya kerap kali menganggu.
~~oOo~~
2.3. Delman '... Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja ~'
Senja turun membawa lelah, penat keringat seolah tersapu tanpa arah, lalu membuat lingkaran diantara orang-orang serakah.
Aku pulang terlampau lambat, lembur menjadi alasan kenapa badan ini seolah berat. Sayangnya, warung mang Ian tengah tutup. Malam mingguan dulu katanya.
Alhasil, sebelum berakhir menuju rumah, kusinggahi Dinda yang ternyata baru saja tiba.
"Loh? Darimana teh?"
Tanyaku saat melihatnya baru saja duduk di kursi yang biasa ditempati abah.
Dia terlihat lelah, punggungnya ia sandarkan, bahkan sepatunya saja belum ia lepas.
"Biasalah, Re."
Jawabnya singkat.
Abah lalu muncul dari dalam rumah membawa segelas teh untuk Dinda.
"Minum dulu, istirahat dulu, jangan lupa bersih-bersih sebelum masuk."
Ujarnya pada Dinda.
"Terus, Re. Butuh apa?"
Tanya Abah padaku.
"Kopi item kayaknya bah."
Jawabku.
"Yaudah duduk dulu lah kalo gitu, tumben kalian berdua bisa cape barengan gini."
Abah sigap masuk kembali ke dalam rumah.
Dinda menyesap tehnya perlahan, lalu membuka sepatu dan kaus kakinya ia rapikan tepat dibawah kursi lalu kembali bersandar.
"Nih, gara-gara ini nih."
Dinda mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan ia taruh diatas meja diantara kami.
Saat kuperhatikan,
"Tapal kuda?"
Aku menebak benda itu.
"Iya, gara-gara ini sekampung pada rame."
Ujarnya sambil kembali menyesap tehnya dengan perlahan.
"Nih kopinya Re."
Abah tiba-tiba keluar dan menaruh kopi untukku.
"Nuhunbah."
Ucapku padanya.
" Sawangsulna, santai aja dulu ya. Abah mau beres-beres toko dulu."
Abah kemudian kembali masuk dan menghilang.
"Terus ini tapal kuda kenapa bisa bikin geger?"
Aku mencoba memancing Dinda bercerita.
"Ini cerita orang yang serakah, Re."
Ia mulai tenggelam dalam pengalaman yang baru saja ia alami.
Spoiler for Delman:
Pagi beberapa hari lalu seorang pemuda kisaran 30 tahunan bertamu. Namanya Ujang, dia datang kesini atas petunjuk seorang wanita dengan senyum aneh. Yang kurasa itu Ayi yang sedang menyamar.
Sebut saja desa tempatnya tinggal desa 'Kuda', sebuah desa dari kota sebelah yang memakan waktu 5 jam perjalanan dari sini.
Ia diutus oleh kepala desa dan musyawarah para penduduk setelah kejadian yang cukup mengerikan terjadi akhir-akhir ini.
Ada sebuah kereta kencana yang selalu datang di malam-malam tertentu dan mengambil nyawa orang yang terlihat secara acak.
Ia mengaku kejadian ini sudah berlangsung beberapa bulan, para penduduk awalnya hanya berpendapat bahwa hal ini merupakan tak lebih dari sekedar kebetulan.
Sudah ada 3 korban jiwa dalam rentang 6 bulan. Artinya secara rata-rata setiap 2 bulan sekali akan ada korban lagi.
Sementara korban ketiga telah berlangsung selama 2 Minggu. Artinya ada 6 minggu lagi hingga akan ada korban jatuh selanjutnya.
Aku berangkat saat itu juga setelah mendengar semua penjelasan kang Ujang tanpa pikir panjang.
Meski ada kemungkinan yang aku pikirkan namun aku urung untuk mengatakannya tanpa melihat buktinya terlebih dahulu.
Sesampainya disana, aku dijemput oleh kepala Desa dengan sembunyi-sembunyi. Ia mengaku ide ini hanya datang darinya saja, artinya musyawarah yang kang Ujang sebutkan diawal adalah kebohongan agar aku bersedia datang ke desanya.
"Baik, saya tidak akan mempermasalahkan itu. Sekarang tolong beritahu saya sejujurnya mengenai kejadian-kejadian yang sedang terjadi."
Aku mencoba tenang meski ada sedikit rasa kesal.
"Sekali lagi saya sebagai kepala Desa meminta maaf untuk hal itu. Saya merahasiakan kedatangan neng bukan tanpa alasan. Saya pikir ada salahsatu penduduk yang nyugih,jadi saya tidak ingin membuat keributan yang tidak perlu. Meski sebetulnya hal ini masih sekitar spekulasi saya pribadi sebagai kepala Desa."
Jelasnya saat itu.
"Kenapa bisa menarik kesimpulan seperti itu pak?"
Tanyaku.
"Delman banyak dikaitkan pesugihan Neng, meski saya mencurigai seseorang tapi saya tidak ingin menyebutkannya pada siapapun."
Jawabnya kemudian.
"Bagaimana bapak tahu kalo itu Delman? Apa ada yang pernah melihatnya?"
Aku kembali mengajukan pertanyaan.
"Suara hentakan kaki kuda, suara gemerincing bel, suara lenguhan kuda, bau kemenyan yang menyertai kedatangannya, saya pribadi memang belum pernah melihat secara langsung, namun kang Ujang pernah melihatnya sekali."
Pria setengah baya itu menjelaskan.
"Bentuknya bener-bener mirip delman teh, yang ngebedain cuma dia gak ada rodanya. Jadi kereta itu melayang dan ditarik sama seekor kuda. Kusirnya keliatannya perempuan, tapi ...."
Kang Ujang seperti enggan meneruskan penjelasannya.
"Tapi apa kang?"
Aku mendesaknya.
Mata kang Ujang menatap pak kepala Desa sebentar.
"Tangan kusir itu nyambung sama tali kekang kudanya. Pas saya mau perhatiin lagi, wanita kusir itu kayak ngeliat ke arah saya. Jadi saya buru-buru menjauh dari jendela tempat saya ngintip."
Jelasnya dengan sedikit nada gemetar.
"Saya takut kalo saya jadi tumbal berikutnya gara-gara saya liat delman itu."
Kang Ujang melampiaskan semua ketakutannya.
"Tenang kang tenang, semua pasti ada solusinya. Manusia bagaimanapun mempunyai derajat yang lebih tinggi dari makhluk apapun."
Aku menenangkannya.
"Nah sekarang biasanya kapan delman itu muncul?"
Aku melanjutkan pertanyaanku.
"Malam jumat sama malam senin neng, kebanyakan yang bilang antara dua waktu itu."
Jawab kepala desa.
Aku terdiam dan memikirkan beberapa kemungkinan. Lusa adalah malam Jumat, aku punya kurang dari 2 hari untuk mempersiapkan apa yang kuperlukan.
"Saya minta data korban-korbannya kalau begitu, saya perlu tahu hari lahir, jenis kelamin, umur atau apapun yang menyangkut mereka."
Aku meminta pada pak Kades.
"Pangersa neng, saya ambil dulu ke kantor desa kalo gitu."
Pak Kades segera berdiri dan bersiap pergi.
"Bu.. ibu! Tolong temenin Neng Dinda dulu sebentar!"
Pak Kades sepertinya memanggil istrinya.
Benar saja, seorang wanita berusia sama dengan pak Kades muncul dari ruang belakang dengan tergesa.
"Iya pak iya, hati-hati ya."
Jawabnya yang kemudian disusul dengan hilangnya pak Kades dari pandangan.
"Aduh punten neng, saya belum ngasih minum. neng mau minum apa atuh?"
Ternyata bu Kades cukup ramah.
"Saya minta teh tawar aja bu kalo boleh."
Aku menyambut tawarannya.
"Mangga atuh, sakedap nya."
("Baik kalo begitu, sebentar ya.")
Bu kades kembali ke ruang belakang yang sepertinya itu dapur.
"Kang Ujang keliatannya mau ngomong sesuatu."
Aku memperhatikan raut wajahnya sedari tadi.
"Aduh gimana ya bilangnya?"
Ia terlihat sedikit bingung.
"Bilang aja kang gak apa-apa. Mungkin itu info yang cukup berguna buat saya."
Aku meyakinkannya.
"Eumm gini teh, setahun lalu ada orang yang pindah kesini. Dia beli tanah terus bikin rumah gede disitu. Dia minta 6 ruangan jadi 2 lantai padahal keluarganya cuman 2 orang suami-istri. Saya kira ruangan itu buat ruang kerja atau studio apa gitu, tapi yang punya rumah gak minta hal-hal yang dibutuhin buat bikin itu. Namanya pak .... "
Penjelasan Kang Ujang terpotong tiba-tiba.
"Ehem... Ini neng teh tawarnya. Ini ada cemilan juga, jangan sungkan ya."
Bu Kades muncul tiba-tiba dan membuat kang Ujang terlihat canggung.
"Ohya bu makasih banyak loh udah repot-repot."
Aku menerimanya.
Sementara bu kades yang tersenyum ke arahku, dia menatap kang Ujang sedikit tidak senang dengan atas apa yang kang Ujang coba beritahu.
Berbarengan dengan itu, pak kades juga tiba dengan membawa amplop ditangannya.
"Ini neng, silahkan dilihat."
Pak kades menyerahkan amplop itu.
Ada 3 lembar kartu keluarga dan 3 lembar akta kelahiran yang terpampang di hadapanku dengan nama-nama yang dilingkari tinta merah dan angka 1 hingga 3.
Korban pertama, Sebut saja Adi.
Seorang laki-laki remaja berusia 14 tahun. Lahir di hari Senin.
Korban kedua, sebut saja bu Inah.
Seorang wanita berusia 36 tahun, lahir di hari kamis.
Korban ketiga, sebut saja Ida.
Seorang perempuan muda berusia 21 tahun, lahir di hari Senin.
"Bagaimana dengan sebab kematian mereka pak? Kenapa orang-orang bisa menyangka mereka meninggal karena ditumbalkan?"
Aku bertanya pada pak Kades.
"Saya urutkan dari pertama ya neng.
Korban pertama meninggal karena sakit demam tinggi selama 3 hari. Meninggal di hari rabu sekitar pukul 8 malam di rumah sakit. Surat kematiannya kalo gak salah karena tifus.
Korban kedua, meninggal tiba-tiba di hari selasa saat pulang lembur dari pabrik tempatnya kerja. Katanya serangan jantung karena kecapekan.
Kalo yang ketiga Ujang yang hafal kayaknya."
Pak kades memilih berhenti melanjutkan penjelasannya dan melemparkannya pada Ujang.
"Ida meninggal di hari Minggu teh, saat itu kita baru pulang dari pasar Minggu deket alun-alun. Paginya pas kita berangkat gak ada apa-apa. Pas siangnya dia sempet ngeluh kepalanya pening. Saya yang waktu itu lagi di rumahnya, akhirnya saya pulang. Malemnya orangtua Ida panik dan nelpon saya kalo Ida tiba-tiba badannya dingin, pucat, dan gak keliatan tanda-tanda dia nafas kayak orang tidur. Pas dibawa ke rumah sakit, Ida udah meninggal katanya dia meninggal udah 3 jam lalu. Penyebabnya karena pembengkakan pembuluh darah di kepalanya. Padahal saya tau betul kalo Ida gak ada riwayat sakit apa-apa."
Kang Ujang menceritakan dengan nada gemetar menahan tangisnya pecah.
Aku mengerti hubungan antara Ida dan Kang Ujang, jadi aku tak bertanya lebih jauh tentang korban-korban itu.
Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Tak ada hubungan yang bisa membuat ketiganya saling berkaitan.
Sementara tumbal haruslah mempunyai ciri spesifik khusus yang menjadi syarat. Bukan orang sembarangan yang terlihat acak seperti mereka ini.
Mungkinkah mereka bertemu dengan seseorang beberapa hari sebelumnya?
Mungkinkah mereka memakan sesuatu sebelumnya?
Apa yang bisa mengaitkan mereka?
Lokasi? Waktu? Jenis kelamin? Umur? Semuanya acak.
"Saya ingin melihat rumah para korban."
Aku berkata setelah lama berfikir.
"Biar saya yang anter teh."
Ujang menyanggupi.
"Yaudah atuh, kamu pake motor saya aja."
Pak Kades memberikan kunci motornya pada kang Ujang.
Singkat cerita,
Kang Ujang menunjukkan padaku rumah para korban. Tentu aku menyembunyikan wajahku dengan masker dan helm.
Jalan yang kami lalui untuk ke rumah-rumah itu melewati satu jalan yang sama, dan itu bukan jalan utama desa ini.
Beberapa rumah menarik perhatianku, meski mempunyai aura hitam tapi sayangnya itu bukan apa yang aku cari.
Hingga sebuah gerobak yang terletak di salahsatu rumah membuatku cukup penasaran. Aku jelas melihat sesosok makhluk berkepala kuda sedang meringkuk di samping gerobak itu.
"Kang, gerobak itu punya siapa?"
Tanyaku pada kang Ujang.
"Punya pak Iyat. Beliau jualan sate udah 2 tahunan teh. Biasanya sore sampe malem, masa teteh curiga sama pak Iyat? Teteh mending coba lihat rumah pak Danu, orang yang saya ceritain pas di rumah pak Kades."
Jawabnya.
"Mana rumahnya?"
Tanyaku pada kang Ujang.
"Itu teh, rumah 2 lantai warna kuning."
Kang Ujang menujukku rumah dari orang yang ia maksud.
Aku memperhatikan dengan seksama. Aura yang dipancarkannya jarang-jarang namun kental diwaktu bersamaan.
Aura itu muncul bukan dari dalam rumah, tapi dari bawah tanah.
"Kalo boleh, nanti pas pak Iyat jualan sate, saya minta tolong beliin ya kang."
Pintaku padanya.
"Baik teh, sekarang kemana lagi?"
Kang Ujang bertanya padaku.
"Balik lagi aja ke rumah pak Kades."
Jawabku.
Kang Ujang segera memutar motornya dan kami kembali.
Akhirnya malampun tiba, aku berpamitan pada pak Kades untuk keluar sejenak.
Kang Ujang terlihat menunggu agak jauh dari rumah pak Kades.
"Ini uangnya kang, beli seporsi ya. Apa yang saya lakukan disana, akang jangan gubris. Anggap aja gak kenal saya. Oke?"
Aku menyerahkan uang pada kang Ujang dan memberinya intruksi.
"Oke teh oke, kalo gitu kita berangkat jalan kaki aja nih?"
Kang Ujang balik tanya.
Tempat jualan satenya sederhana, tak ada yang istimewa atau mencurigakan selain sosok manusia berkepala kuda yang sedang meringkuk diatas roda.
Aku memperhatikan dari belakang, sementara kang Ujang mengantri untuk membeli sate.
Beberapa saat kemudian,
Aku menemukannya!
"Mang satenya berapaan?"
Aku merangsek dalam antrian.
"2000 satu tusuk neng."
Jawabnya ramah sambil mengipasi sate.
"Saya beli 10 tusuk aja kalo gitu, boleh saya milih sendiri satenya gak mang?"
Tanpa menunggu jawaban, aku merangsek ke balik roda dan memilih beberapa tusuk.
"Bo..boleh kok neng. Neng ini siapa ya? Kok saya baru liat?"
Sepertinya penjual sate ini sedikit kaget.
"Saya sepupu jauhnya pak kades mang, barusan banget saya baru nyampe. Terus dikasih tau ada yang jual sate. Ya saya kesini aja mampir. Ohya ini mang 10 tusuk sate saya. Jangan dicampur sama yang lain ya? Gak apa-apa saya belakangan juga."
Aku menyerahkan sate mentah yang kupesan.
"Oh iya neng, duduk dulu atuh ya."
Ia mempersilahkanku duduk di kursi plastik belakangnya.
Sesuai rencana, kang Ujang bersikap seolah tak mengenalku sama sekali.
Setelah pesananku selesai, aku membawanya ke rumah pak kades.
Di jalan terlihat kang Ujang sedang menunggu.
"Kok jadi beli 2 porsi teh?"
Tanyanya saat melihatku.
"Gak apa-apa, kita ke rumah pak kades aja dulu yuk."
Aku mengajaknya.
Sesampainya di rumah pak kades, mereka sedikit kaget karena aku pulang membawa 2 bungkus sate.
"Hahaha, ngga apa-apa pak. Saya cuma mau berterima kasih aja udah diijinkan tidur di rumah bapak."
Sekilas pak kades dan istrinya saling bertukar pandang untuk beberapa saat.
Aku lalu mengambil satu tusuk sate yang terlihat berbeda dari yang lain dan memakannya.
Setelah itu, aku berjalan keluar.
"Dimakan aja pak sisanya gak apa-apa."
Aku menenangkan mereka.
"Beneran ini neng? Bukan yang aneh-aneh kan?"
Tampaknya pak kades masi khawatir.
"Aman pak, saya aja makan kan barusan."
Aku meyakinkannya.
"Kalo teteh yang makan mah ya mau itu aman atau nggak kayaknya gak bakal ngaruh deh."
Kang Ujang angkat suara.
"Hush!"
Dan dibentak oleh bu kades.
"Hahaha, ngga apa-apa, aman kok saya jamin."
Setelah berkata seperti itu, aku melangkahkan keluar rumah.
Udara malam sedikit lebih mencekam dari biasanya. Seharusnya aku berhasil memancing makhluk itu untuk kemari.
Aku memperhatikan setiap gerakan dedaunan yang tertiup angin, setiap gerakan dahan yang bergesek.
Benar saja,
Diantara rimbunnya pepohonan di kebun samping rumah, bayangan manusia berkepala kuda terlihat berdiri sedang menatapku.
Aku tersenyum puas, umpanku berhasil.
Aku kembali masuk ke dalam rumah.
"Saya akan ada di luar sampe besok subuh, tolong jangan cari saya atau khawatir."
Aku berpamitan pada pak kades.
"Neng yakin sendirian?"
Pak kades sepertinya tak percaya.
"Yakin pak, bapak tenang aja."
Aku menenangkannya.
Aku kembali keluar, berjalan menuju kebun samping dan menunggu disana.
Seharusnya malam ini dia akan memeriksa siapa tumbal selanjutnya.
Aku duduk bersila dibawah salahsatu pohon mangga.
Setelah menunggu cukup lama, yang kutunggu akhirnya datang.
Suara hentakan kaki kuda, gemerincing bel, dan lenguhan panjang terdengar di sepanjang jalan utama.
Aku berdiri dan berjalan menghampirinya.
Dari kejauhan terlihat jelas, sebuah delman tanpa roda ditarik seekor kuda dengan kusir perempuan yang tangannya menjadi tali kekang melaju.
Saat ia melihatku, ia menarik tali kekang itu dan delmannya berhenti tepat di hadapanku.
Ada semacam atap yang melingkar diatas delmannya, aksen merah dan hijau menghiasi kereta itu.
Pintunya kemudian terbuka, sesosok wanita keluar dari sana. Pakaiannya mewah dengan kebaya emas, lalu sosok yang kulihat di gerobak sate juga muncul bersamanya.
Wanita berkebaya emas itu menatapku. Rambutnya disanggul rapi, dengan mahkota senada yang menghiasi kepalanya. Ia tersenyum sangat cantik.
"Didinya nu nyerenkeun nyawa janten tumbal? Naha wawanian?"
("Kau menyerahkan nyawamu untuk jadi tumbal? Kenapa berani sekali?")
Suaranya lembut dan menenangkan.
"Sagala nu ninggang jalma, kawula nu nyanghareupan! Silaing teu boga kawasa iwal balik jadi demit jarian!"
("Segala hal yang menimpa manusia, aku yang akan menghadapinya! Kau tak punya kuasa apapun selain kembali menjadi dedemit sampah!")
Aku jelas mengancamnya.
"HAHAHA! Ulah adigung manusa! Silaing lemah, hirup kur jadi tumbal, euweuh deui alasan. Tarimakeun nasib sia!"
("Jangan sombong manusia! Kalian lemah, hidup untuk jadi tumbal, tak ada lagi alasan. Terima saja nasibmu!")
Ia membentakku, nada bicaranya mulai keras dan kelembutannya hilang.
"Aya beja, lawan seuneu ku seuneu deui. Geni! Silaing boga hakaneun peuting ayeuna!"
("Ada pepatah, lawan api dengan api lagi. Geni! Kau punya makanan malam ini!")
Aku memanggil para Geni.
"Ge..Geni? Silaing sahana nyi cadas ha?"
("Geni? Kau siapanya nyi cadas ha?")
Ia mulai gemetaran dan langsung masuk ke dalam kereta kencananya tanpa menunggu jawabanku.
Seiring dengan suara gonggongan kawanan anjing dari kejauhan, delman itu menjauh dengan terburu.
Namun kawanan para Geni mengejarnya tanpa ampun, mereka mencabik kuda dan kusirnya serta wanita itu tak luput dari keganasan para Geni. Aku memandangi kejadian itu, hingga wanita berkebaya emas itu diseret ke hadapanku oleh beberapa Geni.
Kedua lengannya digigit, satu ekor lainnya duduk di punggung wanita itu, ia mengigit kepalanya dan memaksa si wanita agar menatapku.
"Boga aran teu sia?"
("Kau punya nama?")
Aku mengintrogasinya.
"Ampun nyi ampun, kawula disebat Aul di alam manusa. Nu nyicingan weulah kaler."
("Ampun nyi ampun, saya dipanggil Aul di alam manusia. Penunggu yang ada di sebelah utara.")
Ia menjawab dengan ketakutan.
"Euweuh deui taneuh nu bisa ku silaing cicingan, euweuh deui manusa nu bisa ku silaing tumbalkeun, hiji-hijina tempat ngan ukur di beuteung Geni."
("Tak ada lagi tanah yang bisa kau tinggali, tak ada lagi manusia yang bisa kau tumbalkan, satu-satunya tempat hanya ada didalam perut Geni.")
Aku memerintahkan para Geni untuk memakannya.
Setelah berkata seperti itu, seekor Geni yang paling besar muncul. Ukurannya bisa 3x manusia dewasa.
Aku yang jarang sekali melihatnya muncul selalu merasakan kengerian, dan perasaan tak nyaman.
Pantas dulu ibu hampir tak pernah memanggilnya. Ia adalah perwujudan dari ketakutan itu sendiri.
Saat Geni itu mulai mencabik satu persatu bagian tubuh Aul dan memakannya.
"HAHAHA! Aing moal modar sorangan! Moal!"
("Aku takkan mati sendiri! Tidak akan!")
Dengan susah payah ia mengeluarkan tapal kuda dari balik kebayanya dan melemparkan ke tanah.
Tapal kuda yang ia lemparkan mengeluarkan aura emas seperti asap yang menuju salahsatu rumah warga.
Lalu seketika terdengar jeritan pilu dari rumah itu tanpa sempat aku cegah.
Seorang laki-laki paruh baya, yang sudah lama tinggal di desa ini meninggal dengan wajah ketakutan. Ia adalah seseorang yang memiliki usaha daging potong dan orang yang selalu menyediakan daging untuk sate.
"Penjual sate itu gak tahu apa-apa dong berarti?"
Tanyaku saat Dinda selesai bercerita.
"Iya, padahal dengan usaha normalnya dia sudah berkecukupan."
Dinda menarik nafas panjang.
Entah ini firasat atau apa, aku merasa ada yang lebih menakutkan dari sekedar keserakahan yang menunggu Dinda.