- Beranda
- Stories from the Heart
Kisah-kisah Penuh Makna Tentang Kita
...
TS
enyahernawati
Kisah-kisah Penuh Makna Tentang Kita

Kebebasan Hakiki
Oleh : Enya Hernawati Zainal
Bebas. Satu kata itu akhir-akhir ini sering bercokol di kepala Sonia, gadis cantik berkulit sawo matang yang sudah dua tahun ini sah menjadi mahasiswa. Sejak resmi menyandang status sebagai mahasiswi tersebut, gadis dua puluh satu tahun itu merasa semua orang mulai memperhatikan dirinya, terutama mama dan papanya. Segala hal yang dia lakukan, sepertinya selalu menarik untuk dikomentari.
Sebagai bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, tentu saja membuat Sonia lebih sering menjadi tumpuan kasih sayang. Sifatnya yang urakan, sangat jauh berbeda dengan kedua kakaknya yang feminin. Mungkin karena itulah mereka menjadi lebih sering mencemaskan Sonia.
Sebenarnya kekhawatiran itu bukan hanya saat ini saja. Sudah lama Sonia merasakannya. Namun, sejak lulus sekolah menengah atas-lah (SMA) perhatian itu mulai intens tertuju padanya.
***
Memang, Sonia adalah gadis yang sudah terbiasa bebas laksana burung yang mengepakkan sayapnya terbang mengangkasa. Dia suka sekali bepergian melakukan kegiatan alam yang menantang meskipun demi menikmati hobinya itu kadang dia terpaksa harus pergi sendirian. Di kampus pun Sonia aktif di kegiatan mahasiswa pencinta alam (Mapala). Tentu saja kegiatan tersebut membuat dia jauh dari segala hal yang berbau perempuan.
Jika sebelum-sebelumnya kedua orangtua Sonia tidak begitu mempermasalahkan kegiatan anak gadisnya itu, sepertinya sekarang ini berbeda. Tampaknya mereka mulai sering memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan penampilan si anak bungsu. Terlihat, mereka mulai jengah melihat Sonia yang masih saja bergaya mirip laki-laki tersebut.
Sonia yang pada dasarnya adalah gadis tomboi, tentu saja merasa risih jika harus dijejali dengan permintaan berpakaian rapi dan anggun sebagaimana kakak-kakak dan gadis seusianya.
***
'Hidup adalah kebebasan, dan mimpi adalah harapan yang harus dikejar.' Itulah moto gadis serba bisa itu.
Dari kecil, Sonia memang sudah mandiri. Anak bungsu yang pernah berangan-angan menjadi biduan terkenal itu juga tengah berusaha mewujudkan mimpinya sebagai penyanyi, dengan sering memperdengarkan suara emasnya, tidak hanya pada acara atau undangan tertentu, tetapi juga saat santai bersama teman-teman dekatnya. Bahkan, gadis yang hidup berkecukupan itu pun tidak sungkan bekerja sambilan sebagai penyanyi di sebuah kafe.
Terlihat sekali Sonia sangat menikmati semua kegiatan tersebut. Tak seorang pun yang melarang. Orang tuanya malah memberi kebebasan penuh karena percaya bahwa anak gadisnya tidak akan berani melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama. Apalagi selama ini anak kesayangannya itu telah membuktikan bahwa meskipun memiliki banyak aktivitas di luar rumah, tetapi dia tetap bisa menunjukkan diri sebagai anak yang berprestasi dengan indek prestasi kumulatif (IPK) 3.8 meski dengan sifat yang kata orang sedikit urakan.
***
Jika dilihat dari apa yang gadis itu lakukan, semua orang pasti berpikir, betapa menyenangkan menjadi seperti dirinya yang cantik, gaul, dan bebas berekspresi. Hampir semua yang didambakan oleh anak muda seusianya sudah dia miliki. Ditambah dengan otak yang encer, lengkap sudah karunia tersebut. Akan tetapi ternyata, belakangan ini Sonia malah terlihat tidak nyaman dengan semua itu. Seperti ada sesuatu yang kurang. Namun, entahlah apa.
"Sonia, kenapa sih, kok belakangan ini Lu sering banget melamun?" Diaz teman akrabnya di kampus menegur saat mendapati gadis urakan itu duduk termenung seperti orang yang sedang banyak masalah.
"Iya nih,Yaz. Gue lagi mikir, kenapa, ya, kok hidup gue begini-begini aja?" jawab Sonia tampak galau.
"Begini-begini aja bagaimana maksud, Lu? Hidup Lu tu udah bagus banget, tau. Semuaaa Lu punya. Banyak lho yang ngiri," jawab Diaz heran mendengar curhatan gadis cuek ini. "Yang enggak dari diri Lu itu ya, cuman penampilan doang sih kayaknya. Kalau kata gue, untuk ukuran cewek, ya, acak-acakan," jelas Diaz, membuat Sonia semakin terpukul.
***
Sudah beberapa hari ini Sonia terlihat uring-uringan karena mendengar penilaian miring tentang kebiasaannya yang sering keluar malam dan jalan sendirian. Biasanya dia tak pernah menggubris hal itu. Namun, kini gadis itu mulai terganggu dengan pandangan negatif yang ditujukan pada dirinya.
"Nah, apa mama, bilang? Kamu itu sudah bukan anak SMA lagi. Penampilan dan kebiasaan kamu yang seperti itu, sudah tidak cocok untuk perempuan seusia kamu. Lihat, orang jadi banyak berpraduga yang tidak baik, kan?" kata mamanya Sonia dengan mimik yang terlihat sangat kesal.
"Dulu, Kamu mama biarkan berpakaian seperti itu bukan karena apa-apa, tetapi karena Kamu mama anggap masih kecil, sedang dalam proses pencarian jati diri. Nah, kalau sekarang tentu tidak sama. Kamu itu kini telah dewasa. Sudah seharusnya Kamu mulai fokus memperhatikan penampilan, juga mencari jodoh. Paham, Kamu, apa yang mama katakan?" dengan tegas beliau mengultimatum Sonia. Sementara yang ditegur, hanya terlihat diam menunduk.
***
Semenjak masuk semester lima, Sonia terlihat semakin kehilangan semangat melakukan hobi yang dicintainya itu. Sudah hampir sebulan dia banyak tinggal di rumah, malas mengerjakan apa-apa. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dulu, Sonia pun pernah merasakan hal yang membuatnya resah seperti ini. Namun, karena saat itu masih SMA, anak tomboi itu tetap cuek dan kukuh melanjutkan kegiatannya, tak begitu peduli anggapan orang.
Teringat kejadian saat Sonia masih duduk di kelas tiga SMA. Waktu itu dia bersama beberapa temannya sedang 'briefing' persiapan mendaki gunung Merapi. Tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan beberapa alumni yang juga ikut mendampingi kegiatan tersebut.
"Eh, gitu-gitu, Sonia itu aslinya cantik banget, lho. Hati gue terasa luluh, berdebar-debar kalo di dekat anak itu. Sayang sekali, dia adik kawan sendiri. Gak enak kalau gue prospek. Coba kalau enggak," ucap salah seorang alumni ke teman-temannya sembari mencuri pandang ke arah Sonia. Sementara gadis yang dimaksud pura-pura tidak tahu dan beranjak pergi. Dalam hati dia membatin kesal, 'Gitu-gitu gimana emang, gue?'
Sekali waktu, Sonia juga pernah terpaksa merubah gaya berpakaiannya demi menghadiri pesta pernikahan salah seorang kerabat. Lagi, penilaian sama yang dia dapatkan. Bagi sebagian orang, mungkin itu hal biasa. Namun, bagi Sonia ucapan tersebut tetap saja membuat dia jengah.
"Ya ampun, Sonia ... kamu itu bikin pangling, deh. Cantik bangeeet, mirip Kajol. Seandainya gaun kamu ini lebih pas, pasti deh, kamu terlihat kian seksi." Tante Nia, sahabat mamanya itu juga ikut-ikutan mengomentari pakaian yang dia kenakan.
Seharian berada di tempat pesta membuat Sonia bosan. Apalagi semua orang menilai dan membicarakan penampilannya yang hari itu memang berbeda. Jelas sekali ekspresi tidak suka di wajah gadis itu. Ucapan yang dia dengar, menurutnya sudah tidak lagi terasa sebagai pujian. 'Kenapa ya, perempuan itu selalu dinilai dari kulit luarnya saja?'
Berbeda ketika mereka bertemu saat dia sedang berpetualang dengan kostum seadanya. Semua akan kompak berkomentar, "Aduh, Sonia, anak gadis, kok, dekil begitu, sih ...." Seperti itulah ucapan karib kerabat yang kadang berhasil membuat dia jengkel.
***
Sonia mulai merasa hidup yang dijalani sudah tidak lagi menyenangkan. Terlalu banyak tuntutan dari orang-orang terdekatnya. Bahkan teman-temannya juga mulai berani meminta agar dia mau bergaya seperti gadis-gadis kebanyakan yang rajin ke salon perawatan tubuh, memotong rambut dengan model terbaru, juga mengikuti tren berpakaian biar selalu dibilang eksis.
Tak pernah gadis cerdas itu merasa terbebani seperti ini. Dia yang terbiasa berpenampilan santai, mulai terusik dikomentari termasuk oleh mama, papa, dan juga kakak-kakaknya. 'Apa karena sekarang gue sudah dianggap dewasa, ya, makanya harus berpenampilan trendi layaknya gadis masa kini?' Tiba-tiba saja Sonia merasa lelah dengan semua itu.
***
Merasa sendiri, itu yang kini dia alami. Tidak ada lagi kebanggaan menjadi pusat perhatian dan puja-puji seperti dulu. Yang ada, gadis itu malah merasa malu jika mengingat betapa dulu dia pernah sangat gila sanjungan saat tampil bernyanyi di panggung.
'Gue gak boleh tetap seperti ini. Ternyata mereka, bahkan teman-teman gue pun banyak yang menilai hanya dari segi fisik dan penampilan doang. Pakaian gue gak cocoklah, terlihat gemuklah, kucellah, dan segala tanggapan yang hanya berhubungan dengan bodi dan penampakan luarnya saja,' bisik Sonia dalam hati.
Gadis itu pun bertekad akan berubah. Tak mau lagi dinilai superfisial, membuat gadis slebor itu mulai mencari lingkungan baru untuk menenangkan jiwanya dengan mengikuti kajian-kajian yang ada di kampus. Setelah beberapa kali menikmati taklim tersebut, barulah Sonia menyadari, bahwa banyak hal yang luput dari perhatiannya selama ini. Terutama tentang tata cara berpakaian, dan pergaulan wanita.
Bertahap, Sonia mulai mengurangi kegiatannya bernyanyi, juga berpetualang seorang diri. Gadis tomboi itu berusaha merubah dirinya. Jika sebelumnya terbiasa bercelana jin, kemeja flanel, atau baju kaus, sekarang berganti dengan rok panjang dan baju yang juga berlengan panjang. Meskipun canggung dengan pakaian tersebut, tetapi gadis itu tetap memaksakan diri mengenakannya.
Ternyata, perjalanan perubahan itu tidaklah semudah yang dia bayangkan. Sonia yang saat itu sedang dalam proses berhijrah, malah dianggap kampungan oleh teman-teman, bahkan oleh keluarganya sendiri.
Sebenarnya yang mereka inginkan adalah Sonia nan keren dan trendi, bukan Sonia urakan, apalagi Sonia yang berpenampilan islami. Namun, gadis itu tetap bertahan dengan pilihan yang telah memberinya rasa damai itu.
***
"Yah, Elu, Sonia. Kok penampilan Lu jadi seperti ini, sih. Kayak orang udik aja," sindir Diaz, sahabat dekat Sonia di kampus. "Gak asyik lagi dong jalan ama Lu." Kembali Diaz bicara sambil memperhatikan Sonia dari atas sampai bawah. "Masih mending gue liat Lu yang dekil ama jin belel daripada begini," ungkap Diaz tampak kecewa melihat perubahan Sonia.
"Ah, biarin, deh. Yang penting gue nyaman," kilah Sonia membalas sindiran Diaz. "Gue malah pengen memakai baju panjang seperti teman-teman kuliah kita yang anak rohis itu, lho," ujar Sonia sambil memutar balik badan Diaz, menunjuk ke serombongan mahasiswi bergamis hitam dan berjilbab lebar, sebagian terlihat memakai cadar, yang kebetulan sedang lewat di dekat mereka.
"Apa? Lu gak salah makan obat kan, Sonia?" Mulut Diaz melongo mendengar keinginan temannya itu.
"Enggak, Yaz, ini serius. Gue capek seperti ini. Selalu dilihat dari bodi ama penampilan doang. Lelah batin gue, seakan-akan kita ini hanya seonggok daging yang harus dinilai harganya dari kecantikan semata," ungkap Sonia terlihat muram.
***
"Sonia, mama meminta Kamu mengganti penampilan menjadi lebih modis, ya! Bukan malah berpakaian aneh seperti itu." Sonia kaget, tak menyangka semua orang di rumah tidak siap menerima penampilannya yang lebih islami.
"Yah, Mama. Ini pakaian yang paling bagus lho, Ma. Bukan seperti yang Mama maksud, itu, ya .... Ogah, ah, kalau Sonia mesti dandan-dandan, pake gaun, atau baju-baju seperti Kak Ria dan Kak Nola. Sonia gak mau, Ma, seperti itu. Mama kan tahu," kilah gadis itu manja sambil memeluk mamanya. "Lagian, baju ini pakaian kesukaan Rasulullah, lho, Ma," kembali si bungsu kesayangan keluarga itu menjelaskan sembari mencium pipi mamanya mesra. "Kata Allah, rambut dan tubuh perempuan itu aurat, Ma. Kita yang selama ini salah memahaminya. Sonia juga baru belajar. Mama juga ya, latihan pakai tutup kepala," pinta Sonia memohon kepada mamanya.
Mama Sonia tampak terdiam mendengar ucapan anak gadisnya itu. Dia tak pernah menyangka gadis kecilnya yang slebor, sekarang sudah berubah.
"Bukan mama gak suka, Sonia. Mama kuatir, Kamu hanya ikut-ikutan saja. Mama juga sebenarnya tahu kalau tubuh dan rambut ini aurat. Cuman mama belum siap. Mmh, kalau melihat Kamu seperti ini ... jujur, mama bahagia. Kamu berubah dengan sangat luar biasa. Doakan mama, ya. Mama juga mau belajarlah, menutup aurat seperti kamu. Terima kasih ya, Sayang, karena kamu telah membuka hati mama."
Sonia tak pernah menyangka, mamanya akan menangis dan secepat itu mengungkapkan rasa penerimaannya.
***
Sudah tiga hari Sonia tidak ke kampus sejak terakhir kali dia mengobrol dengan Diaz. Hari ini dia datang kuliah dengan penampilan baru. Gadis itu telah merubah seluruh gaya berpakaiannya. Sekarang, anak slebor itu telah memakai gamis dan berjilbab besar. Sungguh tak bisa dipungkiri, Sonia yang cantik, terlihat anggun dengan baju takwa itu. Kesan tomboi dan urakan yang selama ini menempel pada dirinya seakan-akan lenyap tak berbekas.
Hari itu, adalah hari pertama Sonia hijrah berganti pakaian menjadi lebih tertutup rapat. Mulai saat itu, dia tidak akan lagi direpotkan oleh penilaian orang lain. Gadis cerdas itu pun tidak perlu memikirkan harus berpakaian apa hari ini, warna apa, serasi atau tidak, juga tidak harus berdiet ketat mengurangi makan agar selalu terlihat langsing dan menarik. Dia pun tidak pula mesti mempercantik diri dengan berdandan habis-habisan seperti layaknya perempuan kebanyakan. Tidak. Sonia tidak akan lagi memikirkan hal seperti itu.
Hari itu, Sonia merasa bebas, bisa menentukan siapa saja yang boleh melihat dirinya. Bagi gadis cantik itu, inilah kebebasan yang hakiki. Dia hanya akan dinilai dengan apa yang ada dalam dirinya, kebaikan, atau isi otaknya. Tidak lagi dilihat dari segi fisik, atau pakaian yang dia kenakan. Kebebasan seperti inilah yang dia cari. Bukan kebebasan yang selama ini pernah dia miliki. Merasa bebas, padahal sejatinya tidak karena dia masih saja disibukkan oleh penilaian orang lain.
Ternyata, inilah hijrah yang sebenarnya menuju kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan, yang tidak lagi dipengaruhi oleh pandangan manusia.
Indonesiana, 26102020
Diubah oleh enyahernawati 19-11-2020 03:45
limpahkurnia212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
2.6K
85
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
enyahernawati
#2
Ini Pasti Sebenarnya Cinta
Oleh : Enya Hernawati Zainal
Setengah berlari Nia mengejar sahabat akrabnya, Maya. Gadis itu ingin memastikan selentingan kabar yang baru saja dia dengar, bahwa segera setelah menikah, Maya akan langsung menceraikan Andi.
***
Nia dan Maya adalah sepasang sahabat yang sudah lengket seperti saudara. Di mana ada Nia, di situ pasti ada Maya. Namun, belakangan ini Maya terlihat seperti menjauhi Nia. Gadis cantik itu selalu menghindar jika bersirobok. Terlebih setelah berita pernikahan Maya dan Andi santer terdengar di kampus. Sejak kabar itu berembus, Maya jadi berubah. Sementara Andi calon suami Maya, juga menghilang bak di telan bumi.
Nia tentu saja heran dengan perubahan sikap orang-orang yang dia cintai. Sama seperti Maya, Nia juga sangat dekat dengan Andi. Tak lagi ingin berada dalam kebingungan, selesai kuliah terakhir, Nia langsung mengejar Maya, menariknya ke ujung lorong.
"May, gue mohon, jangan lagi menghindar. Gue gak bisa seperti ini. Apa salah gue sehingga Lu harus lari? Ada apa ini sebenarnya?" Nia bertanya melampiaskan rasa penasaran yang akhir-akhir ini menjadi pikirannya.
"Emangnya, apa yang Lu dengar tentang gue? Rencana gue akan menikah?"
Entah kenapa, Maya terlihat sangat marah ketika berbicara soal pernikahan. Tidak sedikit pun rona bahagia tampak di wajah cantik calon pengantin itu, seperti yang biasa terlihat selama ini.
"Kalau itu mah, gue juga udah tau. Yang ingin gue tanyakan itu, tentang rencana setelah pernikahan Lu, yang akhir-akhir ini bikin geger. Apa itu benar?" Nia memperhatikan wajah Maya dengan saksama.
"Tentang gue mau bercerai? Iya, itu memang benar. Kenapa emang?" Maya menjawab dengan tatapan seperti menyimpan amuk angkara kepada Nia.
"Lu, gila apa, May? Benar, lu akan bercerai segera setelah menikah dengan Andi?" Setengah berteriak, Nia bertanya kepada Maya. Terlihat sekali gadis hitam manis itu terluka, juga sangat marah pada apa yang telah didengarnya.
Sambil mengguncang bahu Maya, Nia melanjutkan kejengkelannya. "Lu tu harusnya mikir. Ngapain menikah, kalau esoknya Lu berharap berpisah? Otak Lu, Lu simpan di mana, hah? Mikir, Lu. Mikir."
Maya yang ditanya hanya tampak diam, menatap panjang langsung ke manik mata Nia.
"Lu gak bakal ngerti kenapa gue sampai berniat seperti itu. Benar, Lu gak bakal bisa mengerti, Nia."
Selesai berbicara, Maya langsung berjalan cepat meninggalkan Nia yang masih terlihat syok mendengar kenyataan tersebut.
***
Nia, Maya, dan Andi. Semua orang tahu mereka bertiga bersahabat. Maya, gadis cantik anak bungsu pengusaha terkenal yang sangat kaya raya di kota Bunga. Andi juga sama. Anak pengusaha hebat, yang sering masuk koran karena kedermawanannya. Sepertinya rencana pernikahan itu adalah salah satu upaya untuk memperkuat kerajaan bisnis orang tua mereka.
Sementara Nia? Dia adalah gadis biasa, yang beruntung bersahabat dengan dua orang baik yang memiliki kemewahan tanpa sedikit pun menjadi sombong karenanya.
Tidak banyak orang tahu, bahwa sebenarnya Maya dan Andi dijodohkan oleh orang tua mereka yang memang bersahabat baik sejak dulu. Nia yang mengetahui bahwa Maya menyukai Andi, tentu saja menyokong sahabatnya itu untuk menerima perjodohan tersebut. Namun, tidak dengan Andi, karena ternyata dia telah menyimpan satu nama yang selama ini diangankannya akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Akan tetapi pria muda itu sulit mengambil sikap, apalagi setelah Maya dengan terang-terangan menerima perjodohan tersebut.
***
Malam itu, seminggu sebelum pembicaraan di lorong dengan Nia, Maya datang ke rumah Andi. Karena sudah terbiasa bertamu, gadis itu langsung saja masuk ke ruang keluarga. Saat itulah tanpa sengaja Maya mendengar pembicaraan Andi dan mamanya.
"Please, Ma, Andi mohon, batalkan perjodohan itu. Andi tidak mencintai Maya. Bagi Andi, dia hanyalah adik perempuan yang menyenangkan. Tak lebih dari itu, Ma." Terdengar suara Andi seperti memohon saat berbicara dengan mamanya.
"Andi khawatir akan menyakiti Maya kalau perjodohan ini diteruskan. Andi tak mau itu terjadi, Ma. Dan lagi, Andi sudah punya pilihan. Mama juga sudah kenal. Dia teman akrab Maya, Ma, Nia."
Mendengar pengakuan Andi, Maya langsung terlihat syok. Nia? Kenapa selama ini dia tidak pernah menyadari hal ini?
Diam-diam Maya pun segera pulang. Gadis itu sangat terpukul, kenapa Andi tidak jujur padanya. Gedung pernikahan sudah disewa, dan undangan pun telah dipesan. Memang, semua itu atas inisiatif mama-mama mereka sendiri.
Samar-samar bayangan perjalanan persahabatan mereka bertiga menari-nari di pelupuk mata Maya.
'Benar, Andi sangat baik dan perhatian terhadap Nia. Meski tetap santun dan sopan, tetapi ... ah, iya. Binar di mata Andi? Juga di mata Nia? Netra mereka berdua selalu berpendar cahaya ketika berbicara,' bisik hati Maya.
'Sial! Kenapa selama ini gue gak ngeh, ya? Ternyata bukan hanya Andi. Nia pun memiliki perasaan yang sama. Mengapa mereka berdua bisa menyimpan perasaan itu rapat-rapat?' Maya sangat kecewa mengetahui kenyataan yang ada.
'Tarik nafas panjang, May .... Tariiik, keluarkan. Hhaah!' Maya berbicara sendiri, mencoba menata hatinya.
Semalaman ia menangis. Sedih. Maya baru tahu, meski perhatian dan selalu berbuat baik padanya, ternyata Andi tidak pernah mencintainya.
Sebagai seorang perempuan dewasa, Maya mencoba merenungi kembali kisah mereka dengan kepala dingin.
'Persahabatan gue dan Nia betul-betul tulus. Tak pernah ada perselisihan serius, apalagi pengkhiatan. Dengan Andi pun begitu. Kami bersahabat, berusaha saling memahami. Bahkan ketika perjodohan ini terjadi, semua masih tetap baik-baik saja. Perhatian Nia tak pernah berkurang. Pun ketika gadis sederhana itu tahu perasaan gue ke Andi, dia tetap mendukung sepenuh hati. Tak terlihat kecewa, apalagi cemburu di matanya. Begitu sempurna Lu menyimpan rasa, Nia. Sempurna!' bisik Maya dalam hati.
Hhuuuf. Kembali Maya mengembuskan suara napasnya dengan kasar.
'Lihat saja kalau gue ketemu Lu, Nia. Lihat saja.'
***
Maya merasa belum sanggup menghadapi Nia. Malah, sebagai upaya perlindungan diri, dia terpaksa harus menghindar. Menurutnya, itu adalah sikap terbaik yang bisa dia lakukan. Sampai akhirnya, Nia sendirilah yang mencari dan menghadangnya sore hari itu.
Ternyata benar, Maya tak mampu menahan emosi. Masih untung Maya tak membongkar apa yang menjadi penyebabnya.
'Haaah! Sepertinya gue butuh waktu untuk menyendiri.'
***
Beberapa hari berlalu.
Setelah merasa agak sedikit tenang, Maya menyusun agenda bertemu Andi untuk membereskan semua permasalahan yang telah dia timbulkan. Kemudian menemui Nia, baru terakhir berbicara dengan keluarga besar. Maya bertekad akan menyelesaikan semua dengan baik.
Pagi-pagi, mobil Maya sudah parkir di depan rumah Andi. Niatnya akan 'menculik' pria yang hampir dua minggu ini tak pernah menampakkan batang hidungnya. 'Enak aja, menganggap semua seolah baik-baik saja.'
Hampir sejam Maya menunggu hingga akhirnya laki-laki itu keluar juga. Sebelum Andi masuk ke dalam BMW-nya, Maya sudah terlebih dahulu menarik laki-laki itu ke mobilnya.
Andi kaget ketika tahu yang menariknya itu ternyata Maya. "Eh, May, tumben pagi-pagi Lu dah nyamperin gue." Andi berbasa-basi menegur Maya.
"Udah deh, Ndi. Gak usah banyak omong. Gue mau bicara serius ama Lu. Pagi ini juga! Kita ngobrol di tempat biasa, Warkop Cinta. Lu gak ada acara, kan? Naik mobil gue aja. Gue gak mau Lu menghilang lagi. Ada urusan penting yang harus kita selesaikan," tegas bicara Maya memaksa, supaya Andi tak menolak untuk pergi.
"Sebenarnya gue juga mau ketemu Lu, May. Syukur deh, Lu dah ke sini. Gue juga ada yang mau diomongin," kata Andi sambil masuk ke mobil Maya. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Di warung kopi.
"Gue bingung mau mulai dari mana. Yang gue tau, Lu gak jujur, Ndi. Tidak terhadap mama Lu, apalagi terhadap gue. Lu membohongi semua orang." Maya menatap tajam ke mata Andi. Menilik, apa yang tersimpan dalam telaga teduh itu.
"Sebentar, May. Sebelum pembicaraan ini berlarut-larut dan melompat ke mana-mana, biar gue duluan deh yang bicara." Andi langsung saja memotong mengambil alih pembicaraan.
"Gue tau, banyak gosip beredar tentang rencana pernikahan kita, dan niat Lu, setelahnya. Entah apa maksud Lu menyebar berita tak elok seperti itu. Tapi gue berusaha menahan diri, tak ingin membuatnya menjadi lebih tak terkendali. Mungkin, Lu ingin menyakiti hati gue dengan cara seperti itu. Atau mungkin juga, Lu ingin melukai hati seseorang. Gue yakin, Lu tau siapa yang gue maksud. Yang jelas, setelah mendengar berita seperti itu, gue hanya merasa harus bergerak cepat untuk memperbaiki semua." Andi bicara, langsung saja menembak ke akar permasalahan.
"Gue udah jujur ama mama dan papa tentang perasaan gue. Gue juga udah menemui orang tua Lu, bicara tentang masalah ini. Mereka sudah mafhum, dan menyerahkan kembali semuanya kepada kita."
Tiba-tiba, Andi menggeser kursinya sedikit ke depan, dan menatap lembut langsung ke bola mata Maya.
"Jujur, gue sayang ama Lu. Tapi hanya sebatas itu. Sayang kepada sahabat yang sudah gue anggap adik sendiri. Dan gue yakin, Lu sudah banyak merenung, dan mungkin juga telah menemukan jawabannya."
'Aih, kampreto keroppi. Tatapan mata Andi ternyata masih bikin gue panas dingin.' Sambil menggelengkan kepala, Maya berusaha membuang virus yang masih tersisa di sela-sela lipatan otaknya.
"Ndi, gue ada di rumah Lu, saat itu. Ketika pertama kali mendengar Lu tidak mencintai gue--jujur--gue sakit hati, merasa dikhianati, dipermainkan. Lu menerima dijodohkan, tapi hati Lu sendiri menolaknya. Egois." Lega luar biasa rasanya hati Maya setelah mengungkapkan apa yang akhir-akhir ini dia rasakan.
"Maaf, May. Sedikit pun gue gak pernah bermaksud seperti itu. Gue emang salah, gak langsung menyanggah saat perjodohan itu diutarakan. Sebenarnya gue mencari momen yang tepat untuk menjelaskan kepada semua, agar bisa dicarikan solusi tanpa ada yang terluka. Cuman ya itu, gue gak menyangka, Lu sedemikian cepatnya 'woro-woro' di kampus. Ya sudah, terjadilah apa yang seharusnya terjadi," jelas Andi, membuat Maya merasa seperti disudutkan.
"Iya, sih. Tapi gue rasa itu wajarlah. Namanya juga lagi senang. Ya, pastilah gak sabar 'tuk berbagi," elak Maya membela diri.
"Okelah, kita anggap saja itu sudah lewat," potong Andi cepat. "Yang menjadi masalah sekarang, bagaimana dengan gedung dan undangan yang sudah dipesan oleh mama-mama kita?"
***
Setelah berbicara dengan Andi, Maya semakin banyak merenung. Salut, saat itu tak sekali pun Andi menyinggung nama Nia. Tampak jelas laki-laki itu berusaha menjaga perasaannya.
'Nia, maafin gue ya .... Sebagai sahabat, ternyata gue gak peka dengan perasaan Lu,' bisik Maya dalam hati.
Meski berat, akhirnya Maya menyadari bahwa cinta memang tak bisa dipaksakan. Gadis cantik itu berusaha keras berdamai dengan hatinya. Maya akan mengikhlaskan Andi untuk Nia, sahabatnya.
Selama ini Nia telah rela berkorban perasaan akan cinta pertamanya. Jika didekat Maya, Nia selalu memperlihatkan wajah ceria. Tak sedikit pun keluar kata sakit hati, apalagi putus asa. Gadis penyabar itu tetap baik, seperti tak pernah terjadi apa-apa.
'Jika Nia saja bisa bersikap seperti itu, tentu gue pun mampu melakukan hal yang lebih untuk dia,' batin Maya.
***
Sudah beberapa kali Maya datang menemui orang tua Nia tanpa sepengetahuan sahabatnya itu. Maya berusaha mencari info tentang perasaan Nia yang sesungguhnya, langsung ke sumber yang bisa dipercaya. Ternyata, kedua orang tua Nia tahu dengan sangat baik perasaan anaknya ke Andi. Meski sedih, tetapi mereka bangga akan sikap Nia yang tetap mementingkan persahabatannya dengan Maya.
Dengan jujur Maya menceritakan semua rencananya kepada kedua orang tua Nia, dan meminta mereka merahasiakannya. Tak terkira betapa terkejutnya mereka. Pesta pernikahan akan tetap dilangsungkan seperti semula.
Kedua orang tua Maya dan Andi pun sudah setuju. Semoga ini adalah solusi terbaik yang membahagiakan untuk semua.
***
"Nia, datang ya .... Please, dandan yang spesial buat gue. Datang awal lho. Ini bajunya sudah gue siapin, khusus buat Lu dan keluarga." Dengan berbesar hati Maya mengundang Nia ke pesta pernikahan yang sepertinya akan diselenggarakan secara mewah.
Nia menerima paket baju pesta itu dengan senang hati. Seperti biasa, wajah Nia tetap ceria. Betapa hebatnya gadis manis itu menekan perasaannya. Sambil memeluk Maya, Nia berbisik, "Insyaallah, gue pasti datang. Selamat ya ...."
***
Tibalah hari pernikahan. Semua tamu telah datang. Nia dan keluarganya pun sudah terlihat di antara undangan. Gadis itu tampak sangat anggun dengan gaun indah pemberian Maya. Mereka berdua terlihat sama-sama cantik.
Maya segera menggandeng Nia, dan mengajak keluarga besar sahabatnya itu bertemu dengan orang tua Maya dan Andi. Mereka semua duduk di barisan keluarga pengantin.
Akhirnya acara yang ditunggu-ditunggu pun tiba. Pembawa acara memanggil pasangan pengantin, dan memperkenalkannya. Semua orang terkejut, termasuk Nia, ketika 'MC' menyebutkan nama pengantin wanitanya. Apa tidak salah nama?
"Kepada tamu undangan, dimohon berdiri. Sambutlah pasangan pengantin kita, Nia Rahmasari dan Andi Rizaldi."
Nia yang namanya dipanggil, spontan menatap Maya, orang tuanya, dan seluruh keluarga besar Maya dan Andi. Secara serempak mereka semua menganggukkan kepala, memberi restu kepada gadis itu.
Nia tak pernah tahu, bahwa Maya telah mempersiapkannya sebagai calon pengantin untuk Andi, menggantikan dirinya. Nia juga tidak pernah tahu bahwa pesta pernikahan mewah yang tengah berlangsung itu adalah untuk dia.
Sungguh, ini pastilah yang sebenar-benarnya cinta.
Depok Maharaja, 19 Juni 2019
Oleh : Enya Hernawati Zainal
Setengah berlari Nia mengejar sahabat akrabnya, Maya. Gadis itu ingin memastikan selentingan kabar yang baru saja dia dengar, bahwa segera setelah menikah, Maya akan langsung menceraikan Andi.
***
Nia dan Maya adalah sepasang sahabat yang sudah lengket seperti saudara. Di mana ada Nia, di situ pasti ada Maya. Namun, belakangan ini Maya terlihat seperti menjauhi Nia. Gadis cantik itu selalu menghindar jika bersirobok. Terlebih setelah berita pernikahan Maya dan Andi santer terdengar di kampus. Sejak kabar itu berembus, Maya jadi berubah. Sementara Andi calon suami Maya, juga menghilang bak di telan bumi.
Nia tentu saja heran dengan perubahan sikap orang-orang yang dia cintai. Sama seperti Maya, Nia juga sangat dekat dengan Andi. Tak lagi ingin berada dalam kebingungan, selesai kuliah terakhir, Nia langsung mengejar Maya, menariknya ke ujung lorong.
"May, gue mohon, jangan lagi menghindar. Gue gak bisa seperti ini. Apa salah gue sehingga Lu harus lari? Ada apa ini sebenarnya?" Nia bertanya melampiaskan rasa penasaran yang akhir-akhir ini menjadi pikirannya.
"Emangnya, apa yang Lu dengar tentang gue? Rencana gue akan menikah?"
Entah kenapa, Maya terlihat sangat marah ketika berbicara soal pernikahan. Tidak sedikit pun rona bahagia tampak di wajah cantik calon pengantin itu, seperti yang biasa terlihat selama ini.
"Kalau itu mah, gue juga udah tau. Yang ingin gue tanyakan itu, tentang rencana setelah pernikahan Lu, yang akhir-akhir ini bikin geger. Apa itu benar?" Nia memperhatikan wajah Maya dengan saksama.
"Tentang gue mau bercerai? Iya, itu memang benar. Kenapa emang?" Maya menjawab dengan tatapan seperti menyimpan amuk angkara kepada Nia.
"Lu, gila apa, May? Benar, lu akan bercerai segera setelah menikah dengan Andi?" Setengah berteriak, Nia bertanya kepada Maya. Terlihat sekali gadis hitam manis itu terluka, juga sangat marah pada apa yang telah didengarnya.
Sambil mengguncang bahu Maya, Nia melanjutkan kejengkelannya. "Lu tu harusnya mikir. Ngapain menikah, kalau esoknya Lu berharap berpisah? Otak Lu, Lu simpan di mana, hah? Mikir, Lu. Mikir."
Maya yang ditanya hanya tampak diam, menatap panjang langsung ke manik mata Nia.
"Lu gak bakal ngerti kenapa gue sampai berniat seperti itu. Benar, Lu gak bakal bisa mengerti, Nia."
Selesai berbicara, Maya langsung berjalan cepat meninggalkan Nia yang masih terlihat syok mendengar kenyataan tersebut.
***
Nia, Maya, dan Andi. Semua orang tahu mereka bertiga bersahabat. Maya, gadis cantik anak bungsu pengusaha terkenal yang sangat kaya raya di kota Bunga. Andi juga sama. Anak pengusaha hebat, yang sering masuk koran karena kedermawanannya. Sepertinya rencana pernikahan itu adalah salah satu upaya untuk memperkuat kerajaan bisnis orang tua mereka.
Sementara Nia? Dia adalah gadis biasa, yang beruntung bersahabat dengan dua orang baik yang memiliki kemewahan tanpa sedikit pun menjadi sombong karenanya.
Tidak banyak orang tahu, bahwa sebenarnya Maya dan Andi dijodohkan oleh orang tua mereka yang memang bersahabat baik sejak dulu. Nia yang mengetahui bahwa Maya menyukai Andi, tentu saja menyokong sahabatnya itu untuk menerima perjodohan tersebut. Namun, tidak dengan Andi, karena ternyata dia telah menyimpan satu nama yang selama ini diangankannya akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Akan tetapi pria muda itu sulit mengambil sikap, apalagi setelah Maya dengan terang-terangan menerima perjodohan tersebut.
***
Malam itu, seminggu sebelum pembicaraan di lorong dengan Nia, Maya datang ke rumah Andi. Karena sudah terbiasa bertamu, gadis itu langsung saja masuk ke ruang keluarga. Saat itulah tanpa sengaja Maya mendengar pembicaraan Andi dan mamanya.
"Please, Ma, Andi mohon, batalkan perjodohan itu. Andi tidak mencintai Maya. Bagi Andi, dia hanyalah adik perempuan yang menyenangkan. Tak lebih dari itu, Ma." Terdengar suara Andi seperti memohon saat berbicara dengan mamanya.
"Andi khawatir akan menyakiti Maya kalau perjodohan ini diteruskan. Andi tak mau itu terjadi, Ma. Dan lagi, Andi sudah punya pilihan. Mama juga sudah kenal. Dia teman akrab Maya, Ma, Nia."
Mendengar pengakuan Andi, Maya langsung terlihat syok. Nia? Kenapa selama ini dia tidak pernah menyadari hal ini?
Diam-diam Maya pun segera pulang. Gadis itu sangat terpukul, kenapa Andi tidak jujur padanya. Gedung pernikahan sudah disewa, dan undangan pun telah dipesan. Memang, semua itu atas inisiatif mama-mama mereka sendiri.
Samar-samar bayangan perjalanan persahabatan mereka bertiga menari-nari di pelupuk mata Maya.
'Benar, Andi sangat baik dan perhatian terhadap Nia. Meski tetap santun dan sopan, tetapi ... ah, iya. Binar di mata Andi? Juga di mata Nia? Netra mereka berdua selalu berpendar cahaya ketika berbicara,' bisik hati Maya.
'Sial! Kenapa selama ini gue gak ngeh, ya? Ternyata bukan hanya Andi. Nia pun memiliki perasaan yang sama. Mengapa mereka berdua bisa menyimpan perasaan itu rapat-rapat?' Maya sangat kecewa mengetahui kenyataan yang ada.
'Tarik nafas panjang, May .... Tariiik, keluarkan. Hhaah!' Maya berbicara sendiri, mencoba menata hatinya.
Semalaman ia menangis. Sedih. Maya baru tahu, meski perhatian dan selalu berbuat baik padanya, ternyata Andi tidak pernah mencintainya.
Sebagai seorang perempuan dewasa, Maya mencoba merenungi kembali kisah mereka dengan kepala dingin.
'Persahabatan gue dan Nia betul-betul tulus. Tak pernah ada perselisihan serius, apalagi pengkhiatan. Dengan Andi pun begitu. Kami bersahabat, berusaha saling memahami. Bahkan ketika perjodohan ini terjadi, semua masih tetap baik-baik saja. Perhatian Nia tak pernah berkurang. Pun ketika gadis sederhana itu tahu perasaan gue ke Andi, dia tetap mendukung sepenuh hati. Tak terlihat kecewa, apalagi cemburu di matanya. Begitu sempurna Lu menyimpan rasa, Nia. Sempurna!' bisik Maya dalam hati.
Hhuuuf. Kembali Maya mengembuskan suara napasnya dengan kasar.
'Lihat saja kalau gue ketemu Lu, Nia. Lihat saja.'
***
Maya merasa belum sanggup menghadapi Nia. Malah, sebagai upaya perlindungan diri, dia terpaksa harus menghindar. Menurutnya, itu adalah sikap terbaik yang bisa dia lakukan. Sampai akhirnya, Nia sendirilah yang mencari dan menghadangnya sore hari itu.
Ternyata benar, Maya tak mampu menahan emosi. Masih untung Maya tak membongkar apa yang menjadi penyebabnya.
'Haaah! Sepertinya gue butuh waktu untuk menyendiri.'
***
Beberapa hari berlalu.
Setelah merasa agak sedikit tenang, Maya menyusun agenda bertemu Andi untuk membereskan semua permasalahan yang telah dia timbulkan. Kemudian menemui Nia, baru terakhir berbicara dengan keluarga besar. Maya bertekad akan menyelesaikan semua dengan baik.
Pagi-pagi, mobil Maya sudah parkir di depan rumah Andi. Niatnya akan 'menculik' pria yang hampir dua minggu ini tak pernah menampakkan batang hidungnya. 'Enak aja, menganggap semua seolah baik-baik saja.'
Hampir sejam Maya menunggu hingga akhirnya laki-laki itu keluar juga. Sebelum Andi masuk ke dalam BMW-nya, Maya sudah terlebih dahulu menarik laki-laki itu ke mobilnya.
Andi kaget ketika tahu yang menariknya itu ternyata Maya. "Eh, May, tumben pagi-pagi Lu dah nyamperin gue." Andi berbasa-basi menegur Maya.
"Udah deh, Ndi. Gak usah banyak omong. Gue mau bicara serius ama Lu. Pagi ini juga! Kita ngobrol di tempat biasa, Warkop Cinta. Lu gak ada acara, kan? Naik mobil gue aja. Gue gak mau Lu menghilang lagi. Ada urusan penting yang harus kita selesaikan," tegas bicara Maya memaksa, supaya Andi tak menolak untuk pergi.
"Sebenarnya gue juga mau ketemu Lu, May. Syukur deh, Lu dah ke sini. Gue juga ada yang mau diomongin," kata Andi sambil masuk ke mobil Maya. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Di warung kopi.
"Gue bingung mau mulai dari mana. Yang gue tau, Lu gak jujur, Ndi. Tidak terhadap mama Lu, apalagi terhadap gue. Lu membohongi semua orang." Maya menatap tajam ke mata Andi. Menilik, apa yang tersimpan dalam telaga teduh itu.
"Sebentar, May. Sebelum pembicaraan ini berlarut-larut dan melompat ke mana-mana, biar gue duluan deh yang bicara." Andi langsung saja memotong mengambil alih pembicaraan.
"Gue tau, banyak gosip beredar tentang rencana pernikahan kita, dan niat Lu, setelahnya. Entah apa maksud Lu menyebar berita tak elok seperti itu. Tapi gue berusaha menahan diri, tak ingin membuatnya menjadi lebih tak terkendali. Mungkin, Lu ingin menyakiti hati gue dengan cara seperti itu. Atau mungkin juga, Lu ingin melukai hati seseorang. Gue yakin, Lu tau siapa yang gue maksud. Yang jelas, setelah mendengar berita seperti itu, gue hanya merasa harus bergerak cepat untuk memperbaiki semua." Andi bicara, langsung saja menembak ke akar permasalahan.
"Gue udah jujur ama mama dan papa tentang perasaan gue. Gue juga udah menemui orang tua Lu, bicara tentang masalah ini. Mereka sudah mafhum, dan menyerahkan kembali semuanya kepada kita."
Tiba-tiba, Andi menggeser kursinya sedikit ke depan, dan menatap lembut langsung ke bola mata Maya.
"Jujur, gue sayang ama Lu. Tapi hanya sebatas itu. Sayang kepada sahabat yang sudah gue anggap adik sendiri. Dan gue yakin, Lu sudah banyak merenung, dan mungkin juga telah menemukan jawabannya."
'Aih, kampreto keroppi. Tatapan mata Andi ternyata masih bikin gue panas dingin.' Sambil menggelengkan kepala, Maya berusaha membuang virus yang masih tersisa di sela-sela lipatan otaknya.
"Ndi, gue ada di rumah Lu, saat itu. Ketika pertama kali mendengar Lu tidak mencintai gue--jujur--gue sakit hati, merasa dikhianati, dipermainkan. Lu menerima dijodohkan, tapi hati Lu sendiri menolaknya. Egois." Lega luar biasa rasanya hati Maya setelah mengungkapkan apa yang akhir-akhir ini dia rasakan.
"Maaf, May. Sedikit pun gue gak pernah bermaksud seperti itu. Gue emang salah, gak langsung menyanggah saat perjodohan itu diutarakan. Sebenarnya gue mencari momen yang tepat untuk menjelaskan kepada semua, agar bisa dicarikan solusi tanpa ada yang terluka. Cuman ya itu, gue gak menyangka, Lu sedemikian cepatnya 'woro-woro' di kampus. Ya sudah, terjadilah apa yang seharusnya terjadi," jelas Andi, membuat Maya merasa seperti disudutkan.
"Iya, sih. Tapi gue rasa itu wajarlah. Namanya juga lagi senang. Ya, pastilah gak sabar 'tuk berbagi," elak Maya membela diri.
"Okelah, kita anggap saja itu sudah lewat," potong Andi cepat. "Yang menjadi masalah sekarang, bagaimana dengan gedung dan undangan yang sudah dipesan oleh mama-mama kita?"
***
Setelah berbicara dengan Andi, Maya semakin banyak merenung. Salut, saat itu tak sekali pun Andi menyinggung nama Nia. Tampak jelas laki-laki itu berusaha menjaga perasaannya.
'Nia, maafin gue ya .... Sebagai sahabat, ternyata gue gak peka dengan perasaan Lu,' bisik Maya dalam hati.
Meski berat, akhirnya Maya menyadari bahwa cinta memang tak bisa dipaksakan. Gadis cantik itu berusaha keras berdamai dengan hatinya. Maya akan mengikhlaskan Andi untuk Nia, sahabatnya.
Selama ini Nia telah rela berkorban perasaan akan cinta pertamanya. Jika didekat Maya, Nia selalu memperlihatkan wajah ceria. Tak sedikit pun keluar kata sakit hati, apalagi putus asa. Gadis penyabar itu tetap baik, seperti tak pernah terjadi apa-apa.
'Jika Nia saja bisa bersikap seperti itu, tentu gue pun mampu melakukan hal yang lebih untuk dia,' batin Maya.
***
Sudah beberapa kali Maya datang menemui orang tua Nia tanpa sepengetahuan sahabatnya itu. Maya berusaha mencari info tentang perasaan Nia yang sesungguhnya, langsung ke sumber yang bisa dipercaya. Ternyata, kedua orang tua Nia tahu dengan sangat baik perasaan anaknya ke Andi. Meski sedih, tetapi mereka bangga akan sikap Nia yang tetap mementingkan persahabatannya dengan Maya.
Dengan jujur Maya menceritakan semua rencananya kepada kedua orang tua Nia, dan meminta mereka merahasiakannya. Tak terkira betapa terkejutnya mereka. Pesta pernikahan akan tetap dilangsungkan seperti semula.
Kedua orang tua Maya dan Andi pun sudah setuju. Semoga ini adalah solusi terbaik yang membahagiakan untuk semua.
***
"Nia, datang ya .... Please, dandan yang spesial buat gue. Datang awal lho. Ini bajunya sudah gue siapin, khusus buat Lu dan keluarga." Dengan berbesar hati Maya mengundang Nia ke pesta pernikahan yang sepertinya akan diselenggarakan secara mewah.
Nia menerima paket baju pesta itu dengan senang hati. Seperti biasa, wajah Nia tetap ceria. Betapa hebatnya gadis manis itu menekan perasaannya. Sambil memeluk Maya, Nia berbisik, "Insyaallah, gue pasti datang. Selamat ya ...."
***
Tibalah hari pernikahan. Semua tamu telah datang. Nia dan keluarganya pun sudah terlihat di antara undangan. Gadis itu tampak sangat anggun dengan gaun indah pemberian Maya. Mereka berdua terlihat sama-sama cantik.
Maya segera menggandeng Nia, dan mengajak keluarga besar sahabatnya itu bertemu dengan orang tua Maya dan Andi. Mereka semua duduk di barisan keluarga pengantin.
Akhirnya acara yang ditunggu-ditunggu pun tiba. Pembawa acara memanggil pasangan pengantin, dan memperkenalkannya. Semua orang terkejut, termasuk Nia, ketika 'MC' menyebutkan nama pengantin wanitanya. Apa tidak salah nama?
"Kepada tamu undangan, dimohon berdiri. Sambutlah pasangan pengantin kita, Nia Rahmasari dan Andi Rizaldi."
Nia yang namanya dipanggil, spontan menatap Maya, orang tuanya, dan seluruh keluarga besar Maya dan Andi. Secara serempak mereka semua menganggukkan kepala, memberi restu kepada gadis itu.
Nia tak pernah tahu, bahwa Maya telah mempersiapkannya sebagai calon pengantin untuk Andi, menggantikan dirinya. Nia juga tidak pernah tahu bahwa pesta pernikahan mewah yang tengah berlangsung itu adalah untuk dia.
Sungguh, ini pastilah yang sebenar-benarnya cinta.
Depok Maharaja, 19 Juni 2019
Diubah oleh enyahernawati 28-10-2020 20:29
uliyatis dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup