Cahaya rembulan masuk melalui celah rimbunan pohon yang berjajar, tak ada suara binantang malam, tak ada suara angin yang berhembus. Seolah hutan ini terisolasi dari dunia luar, seolah hutan ini berada bukan di alam manusia.
"Hah.... Hah... Hah...."
Seorang perempuan muda berlari dengan panik, berkali-kali ia terjatuh namun dengan cepat ia bangkit dan kembali berlari.
Ia memakai jaket tebal, celana jeans biru, memakai kaus kaki tanpa sepatu.
Rambutnya tergerai dan bergoyang seiring langkahnya berpacu. Keringatnya menetes deras, aku bisa melihat baju kaus kuning yang ia kenakan dibalik jaketnya mulai basah.
Wajahnya ketakutan luar biasa, nafasnya yang tersengal tak ia hiraukan, yang ia lakukan hanya satu. Terus berlari.
Kaus kaki biru muda yang ia kenakan di kakinya mulai berubah warna, merah kecoklatan, darah dan lumpur bercampur. Terlihat tidak nyaman tapi ia sama sekali tidak peduli. Wanita itu terus berlari menembus malam diantara celah pepohonan.
Ini bukan hutan rapat yang sama sekali tidak terjamah oleh manusia, pohonnya tinggi dan jarang, tanahnya datar, tumbuhan yang ada disini seperti dirapikan dengan baik. Meski saat kulihat keatas, dahannya saling bertemu hampir rapat, seperti daun-daun diatas sana adalah atap dari hutan ini.
Perempuan itu melompati sebuah pohon tumbang, namun ketika mendarat sayangnya tanah yang ia pijak licin, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan keras.
Ia menahan tubuhnya dengan telapak tangannya yang membuatnya tergores oleh bebatuan. Ia meringis, merangkak menuju sebuah pohon besar dan duduk bersender disana.
Diantara cahaya temaram rembulan, lukanya terlihat. Telapak tangannya lecet berlumuran darah, lututnya robek membuat darah yang keluar lebih banyak dari telapak tangannya, dengan isak tangis yang tertahan, perempuan itu menyingkap celana di kaki kanannya.
Sendi di bawah mata kakinya berputar ke arah kiri, membuat pergelangan kaki kanannya menghadap ke arah yang tidak seharusnya.
Ia menangis dengan tertahan, berkali-kali ia memukul pahanya sendiri dengan kesal, menjambak rambutnya sendiri, dan terus melampiaskan kekesalannya.
Satu-satunya suara selain tangisan tertahan dari wanita itu mulai terdengar. Sesuatu bergerak diantara pepohonan, gesekan terdengar nyaring dari dedaunan yang ia lewati, namun tak ada suara langkah kaki berlari. Sesuatu itu seperti melayang dan bergerak dengan cepat. Aku hanya merasakan angin menerpa wajahku saat sesuatu itu melewatiku.
Yang kulihat hanyalah bayangan sebuah kain berwarna abu-abu terbang melayang bergerak menjauh dari pandanganku dengan cepat.
Sebuah kain yang terlihat seperti tengah dikenakan oleh seseorang.
Entah dia tidak melihatku atau tidak menyadariku, aku dengan leluasa dapat mengikutinya tanpa takut.
Sesuatu itu berhenti tiba-tiba tepat dihadapan wanita tadi.
Aku mendekatinya dan memperhatikan.
Makhluk itu melayang sekitar setengah meter dari atas tanah, ia memakai baju kaus berwarna abu yang sudah sangat kotor, lusuh dengan robekan dimana-mana. Luarnya memakai kemeja hitam panjang menjuntai kebawah mirip jubah dengan garis-garis berwarna putih. Di tubuhnya terdapat sesuatu yang mencuat di sana-sini berwarna coklat muda. Itu jerami?
Alih-alih tangan dengan lima jari, makhluk aneh itu hanya ada seutas tali hitam yang menggantung di kedua lengannya.
Tali itu menjalar ke punggungnya, mengambil parang, seperti menggenggam, kedua tali itu melilit parang masing-masing di kedua tangannya.
Sial, semoga apa yang aku perkirakan salah.
Makhluk itu mengangkat sebuah parangnya tinggi-tinggi di hadapan wanita tadi yang kini sedang berusaha merangkak pergi.
Tangisnya pecah, tubuhnya ia seret dengan susah payah, sang wanita berusaha merangkak menjauh.
Dan sebilah parang terbang menancap di punggungnya.
Aku meringis sendiri, ingin hatiku menolongnya namun apa daya badanku sendiri tak ingin bergerak dari tempatnya berdiri.
Namun ia masih tak ingin menyerah dan berhenti. Meski darah terlihat dari balik jaket yang ia kenakan, ia masih merangkak menjauh.
Makhluk itu tak mengejar wanita tadi, ia berhenti dan menoleh ke arahku.
Tak ada wajah disana, kepalanya seperti ditutupi oleh kain putih entah itu apa, sedangkan aku baru menyadari bahwa ia memakai topi caping, topi yang biasa dipakai para petani ke sawah.
"Mas bangun mas, udah subuh."
Istriku membangunkanku.
Aku membuka mata, menguceknya, dan memijit dahiku sendiri. Ternyata kejadian tadi hanyalah mimpi.
"Iya iya ini bangun."
Aku bangun dan duduk sebentar.
Istriku keluar kamar dan mengambil wudhu, sedangkan aku mengambil gelas berisi air di samping ranjang dan meminumnya.
Kulihat anakku masih tidur di ujung kasur. Aku mengecup keningnya lalu keluar kamar dan menunaikan ibadah subuh bersama istriku.
~oOo~
Tepat satu tahun setelah kejadian itu, semuanya telah berubah secara perlahan.
Setelah berpakaian dan memakai jaket, aku pamit pada istri dan anakku untuk bekerja.
5 menit dari rumah kontrakanku, kubelokkan motor ke arah kanan, memasuki sebuah gang. Di rumah deretan ke empat, aku berhenti.
Sebuah ruko dengan banyak barang yang dijual secara grosir terlihat baru saja dibuka oleh lelaki tua paruh baya.
"Baru buka bah?"
Sapaku.
"Iya Re, mau belanja?"
Abah balik bertanya.
"Iya, biasa yang setengah."
Jawabku sambil menghampirinya.
"Masuk aja, ada Dinda di dalem."
Jawabnya, yang lalu mengeluarkan beberapa tabung gas untuk disimpan didepan pintu.
Aku melangkah kedalam, Dinda terlihat sedang merapikan rambutnya yang panjang sambil berjalan dari dalam rumah ke arah toko.
"Belanja apa?"
Tanyanya saat melihatku dan selesai menguncir satu rambutnya.
"Yang biasa setengah aja."
Jawabku.
Dinda berjongkok dan mencari apa yang kubeli.
"Nih, sebungkus aja. Sisanya bayar sore gak apa-apa."
Ia memberiku sebungkus rokok yang kuminta.
"Yee, yaudah
atuhnih uangnya."
Aku menyodorkan uang sepuluh ribuan dan berbalik pergi.
"Ohya, Re. Nanti si Ratih maleman katanya mau kesini!"
Dinda berkata setengah berteriak.
Aku menoleh ke belakang.
"Seriusan? Oke siap kalo gitu, nanti kesini. Yang penting ada kopi aja."
Aku mengacungkan jempolku.
"Seriuslah, banyak duit sekarang dia."
Dinda membalas acungan jempolku.
"Jadi penasaran dia ngapain sebenarnya setahun ini. Yaudahlah nanti tanya. Berangkat dulu ya."
Aku berlalu, menganggukkan kepalaku pada abah, menaiki motorku dan pergi dari situ.
Setengah jam kemudian, aku sampai di tempatku bekerja. Baru saja aku memarkirkan motorku, ponselku berdering.
Nama Imam terpampang dilayar.
Aku segera menjawab teleponnya.
"Halo
assalamualaikum, ada apa mam?"
Tanyaku.
"Halo kang, waalaikum salam. Saya mau tanya soal draft test buat divisi HRD di tempat akang, fokusnya minta kemana ya?"
Balasnya padaku.
"Waduh kirain udah ngobrol rinci soal itu kemaren, saya kasih nomor kepala HRD aja ya, biar langsung koordinasi sama dia."
Jawabku.
"Oh gitu, yaudah boleh deh. Tapi yakin nih Kang? Saya kan masih mahasiswa, ngurus ginian apa bakal dipercaya?"
Imam seperti ragu.
"Jangan liat siapa yang bikin, tapi liat hasilnya. Kalo draft test nya bagus pasti diterima kok. Yang penting bikin aja dulu, urusan lolos atau ngga belakangan."
Aku meyakinkannya.
"Oke deh, makasih ya kang. Assalamualaikum."
Ia mengakhiri pembicaraan kami.
"Iya,
waalaikum salam."
Aku memasukkan ponselku dan naik ke lantai dua, dimana setumpuk pekerjaan sedang menunggu.
~oOo~
Langit menguning, lalu perlahan menghitam, dan malam akhirnya tiba, bulan sabit menggantung enggan. Cahayanya malu-malu karena ditutupi awan mendung tipis yang sesekali melewatinya.
Aku pulang, menemui istriku dan berbincang sebentar dengannya tentang hari yang kulewati dan tentang anakku yang mulai aktif bergerak.
Setelah jam dinding menunjukkan pukul 9, aku kembali pamit. Ada janji yang harus kuhadiri. Tentu aku hanya bilang akan menemui teman lama di tempat Dinda, meski ada raut cemburu namun saat kubilang abah juga disana ia sedikit tenang dan mengijinkanku pergi.
Kukenakan jaket hitam kesayanganku, meraih motor lalu melaju ke tempat Dinda. Setahun lamanya tak ada kabar dari Ratih, saat di sel pun aku bukan menemui dia, Ratih seolah hilang sejak pembantaian keluarga Han.
Dinda bilang, terkadang Ayi mengunjunginya dan mengabarkan tentang Ratih. Katanya ia sibuk tentang mengurus sesuatu yang terlihat menarik bagi Ayi. Sebersit penasaranku mengenai sesuatu itu, namun Dinda juga geleng-geleng kepala saat kutanya.
Semoga apapun yang dia lakukan adalah hal yang baik.
Toko sudah tutup, namun abah sedang duduk di kursi kayunya sendirian. Segelas kopi dan sebungkus kretek menemaninya dengan tenang diatas meja.
Saat ia melihatku, senyumnya mengembang ramah.
"Bah.."
Aku menyalaminya.
"Tuh lagi pada diatas, kesana aja."
Abah menunjuk dengan isyarat kepalanya.
"Oke deh, Re keatas dulu ya."
Akupun masuk dan meninggalkan Abah sendirian.
"Iya..."
Balasannya singkat namun ramah.
Saat menaiki tangga aku mendengar beberapa benda tumpul yang sedang beradu, diselingi suara nafas yang dibuang dengan keras, dan langkah kaki tegas yang menggema.
Saat aku membuka pintu kayu yang membatasi lantai dua, kulihat Dinda sedang bertarung dengan seseorang.
Dan Abah melihat mereka di sudut kananku sambil duduk dengan wajah datar.
Abah?
Saat aku perhatikan abah disana, sebuah pukulan melayang ke arah wajahku tiba-tiba.
Aku yang menyadarinya tepat waktu, menghindar ke kanan, namun disusul dengan pukulan lain dari kiri. Merasa pukulan itu cukup berat, aku memukul lengannya dan kemudian memukul lehernya dengan cepat, namun orang itu menahan pukulanku dengan telapak tangannya, menarik tubuhku hingga wajah kami berdekatan.
"Gimana kabar lu, Re?"
Dibawah cahaya bulan sabit, dan lampu temaram, siluet lesung pipinya saat tersenyum simpul menyadarkanku.
"Ratih?"
Aku melepaskan tanganku dan mendorongnya.
"Hai."
Ucapnya sambil melambaikan tangannya rendah.
"Apa-apaan tadi?"
Aku kaget dengan serangannya tiba-tiba.
"Cuma salam doang, lu kan gak belajar bela diri sama sekali, keliatan banget gerakannya kasar, lambat lagi."
Ia mengejekku.
"Buat apa juga gua belajar gituan? Hidup gua aman, gak kayak lu."
Aku membalasnya.
"Sialan, hahaha."
Ia hanya membalasnya singkat dan tertawa.
"Ini beneran lu kan?"
Aku memastikan.
"Emang kenapa?"
Ia balik bertanya.
Tentu saja aku kaget dan tak percaya orang yang dihadapanku ini Ratih.
Rambut panjangnya hilang, ia memangkas rambutnya sangat pendek, juga tato di seluruh tubuhnya membuatku semakin mengernyitkan dahi.
"Lu kenapa jadi begini?"
Aku protes sambil memperhatikan tatonya yang ada di kedua tangan, kaki, bahkan leher sekalipun. Gila!
"Ah elah, respon lu mirip si Dinda dah. Ini tuh
Rajah, Re. Bukan tato sembarangan buat gaya doang."
Jelasnya dengan nada ketus.
"Maksudnya
Rajah? Gua gak paham."
Aku tak mengerti.
"Mantra yang ditulis, gua gak mau belajar ajian yang musti masuk ke dalem badan gua kan. Jadi yaudah gua tulis mantra diatas kulit. Kayak pemicu gitu, Re. Jadi kalo gua butuh, tinggal gua aktifin aja. Ngerti lu?"
Ia menjelaskan dengan nada yang mengganggu.
"Kenapa lama-lama jadi mirip sihir gini sih? Jadi coretan di badan lu ini semuanya
Rajah? Dan punya semacam kemampuan yang mirip ajian gitu?"
Aku memastikan.
"Kalo sihir mah beda lagi, jadi cara kerjanya tuh kalo
Rajahngambil energi murni di sekitar gua, terus
Rajah ini yang ngerubah energi itu jadi sesuatu yang gua butuhin."
Ia kembali menjelaskan.
"Kalo energi murni lu abis gimana? Lu kan bisa mati."
Aku protes sekali lagi.
"Kata siapa gua pake energi murni gua sendiri? Gua kan kemana-mana bawa
powerbank, tuh."
Ratih menujuk Abah yang sedang duduk tenang di sudut dengan bibirnya.
Aku menoleh dan kembali memperhatikan.
"Bukan salahku sikapnya semakin kurang ajar."
Suara serak yang khas, suara yang membuatku selalu merinding, aura hitam yang mengelilinginya, dan tatapan dengan kewarasan yang dipertanyakan. Itu Ayi.
"Gua masih gak pernah bisa biasa deket dia."
Aku berujar.
Tanpa diduga, Ayi melayang ke arahku dengan cepat. Wajah kami hampir bersentuhan. Dan ia tersenyum sangat menyeramkan.
"hehe.. ahahaha!! Itu artinya kau masih manusia."
Ayi berkata sambil tersenyum dan matanya yang berwarna kuning melotot ke arahku.
Aku mundur beberapa langkah, kakiku gemetaran.
Ratih kemudian menarik kerah Ayi ke belakang, menyeretnya dan melemparkannya ke bawah.
"Murid sialan!!."
Teriakan Ayi terdengar keras saat tubuhnya dilemparkan ke bawah dari lantai dua.
"Diem lu guru gak guna."
Ayi membalasnya sambil menengok ke bawah.
Lalu berjalan ke arahku.
"Udah udah, sini duduk dulu, santai."
Ratih menepuk pundakku.
"Kalian santai aja dulu, saya bikinin kopi bentar buat Re."
Dinda berkata sambil berlalu pergi.
"Yang item ya."
Pintaku.
"Iya iya."
Dinda membuka pintu, masuk dan turun ke bawah.
Sementara Ratih ia telah mengambil kursi dan duduk disana. Rokok putihnya ia nyalakan, dan sisanya ia lempar ke atas meja. Meneguk kopinya sedikit, dan menghela nafasnya cukup panjang.
"Banyak banget yang gua lakuin sampe sekarang. Dunia yang gua tinggalin gak seindah yang gua liat dulu. Parah Re, gila."
Ujarnya tiba-tiba.
"Lu emang sibuk apa sekarang?"
Tanyaku kemudian.
"Beresin bekas usaha keluarga Han dulu. Akarnya emang udah musnah, tapi cabang-cabangnya ternyata gak jauh beda. Mereka nekat buat lanjutin sembunyi-sembunyi apa yang keluarga Han dulu lakuin, padahal jelas udah ketauan tuannya berakhir kayak gimana, ini malah tetep aja ngeyel."
Jelasnya kemudian.
"Maksudnya beresin?"
Aku bertanya tak mengerti.
"Gua bikin semua usaha itu bangkrut satu persatu. Rumah makan, bengkel, hotel, travel, pabrik, mereka bergerak hampir di berbagai sektor usaha."
Ratih memberiku secarik kertas yang ia ambil dari tasnya.
Aku mengambil itu dan membacanya.
Daftar nama perusahaan yang Ratih incar, beberapa sudah diberi tanda "X" di sampingnya, sedangkan sisanya belum. Ada total 24 perusahaan yang tertera disitu, beberapa aku mengetahuinya karena cukup terkenal di provinsi ini.
"Bikin bangkrut maksudnya? Gak yakin gua usaha kayak gini gampang lu ancurin gitu aja."
Aku meragu.
"Ya tergantung, ada yang gua bakar tempatnya, ada yang ambil barang-barangnya, ada yang gua ancam karyawannya, ya pokoknya gimana caranya tu usaha berhenti beroperasi aja."
Jelasnya.
"Lu serius ngelakuin itu sendirian?"
Tanyaku tak percaya.
"Ada guru yang bantu. Ohya, lu musti hati-hati sama organisasi ini."
Ratih menunjukkan sebuah nama.
Aswatama.
Sejauh yang kutahu, Aswatama adalah grup yang berisi beberapa badan usaha swasta.
Aku terdiam sejenak, kuperhatikan dengan lebih seksama daftar perusahaan yang Ratih berikan.
Sialan, ini tak mungkin persis seperti apa yang aku kira.
"Perusahaan-perusahaan ini sekarang ada di bawah nama Aswatama?"
Aku memastikan.
"Lu bener, Han ninggalin pecahan-pecahan usaha yang tersebar, lalu mereka sekarang menyatukan diri dan membentuk sebuah kelompok."
Ratih menegaskan.
"Lu tahu siapa pemimpinnya sekarang?"
Tanya Ratih memancing.
"Jangan bilang, Yudha."
Aku menebaknya.
"Sayangnya iya, tikus itu ngurusin hal-hal beginian sekarang."
Ratih mendengus kesal.
"Artinya dia sekarang terkenal, dan lu gak bakalan susah nyarinya dong?"
Aku berspekulasi.
"Terus lu lupa dia bisa ngapain? Berkali-kali gua tebas dia, berkali-kali juga gua dikadalin."
Kesal Ratih.
"Tapi kabar bagusnya, bajingan Kala masih ada di badannya. Dia masih belum bisa keluar dari situ dan nyari tubuh pengganti buat dia tempatin."
Lanjut Ratih.
"Kabar buruknya?"
Tanyaku.
"Kala sedang mencari tubuh pengganti saat ini."
Jawabnya singkat.
Aku menyenderkan tubuhku ke belakang. Pembicaraan yang kuharapkan berjalan santai seperti dua kawan lama, malah berujung pada kerumitan yang tak pernah aku pikirkan.
"Oh satu lagi, ini buat tambahan pemahaman lu sama dua alam."
Tiba-tiba Ratih bicara.
"Hah? Apalagi?"
Tanyaku.
"Dimensi, lu pasti tau soal hantu gentayangan kan? Mereka ada di alam yang sama kayak manusia, tapi beda dimensinya. Bisa jadi kita liat rumah atau tanah lapang, tapi di dimensi mereka itu kerajaan lelembut."
Jelasnya kemudian.
"Urusannya sama gua apaan?"
Aku keheranan.
"Hehe gua mau minta tolong dua hal sama lu."
Ia kini bicara lebih santai.
"Gak enak perasaan nih gua."
Aku bersiap dengan apa yang akan dia katakan.
"Pertama, tolong cari letak perusahaan ini ada dimana aja. Kedua cari tempat-tempat yang katanya angker yang belum banyak orang tahu."
Ia menjabarkan.
"Perusahaan-perusahaan ini mungkin gua bisa bantu. Gak susah nyari di internet, tapi tempat-tempat angker? Gua gak yakin."
Aku menyanggupi sebagian.
"Gua bayar tenang aja. Tiap satu perusahaan yang lu kasih ke gua lokasinya, gua bayar. Tempat angker juga. Artinya lu kerja sama gua, gimana?"
Tanyanya kemudian.
"Berapa lu sanggup bayar gua?"
Aku mencoba bernegosiasi.
"Lu mau berapa?"
Ratih menantang.
Aku tersenyum.
"Sebelum kesana, kenapa musti gua? Kenapa lu gak minta ke yang lain? Dinda misalnya?"
Aku bertanya.
"Karena wajah lu belum pernah dikenali sama Yudha atau Ki Kala, lu selama ini cuma tau mereka dari Ayi. Satu-satunya orang yang tau muka lu cuma Vijaya kan? Dan dia udah mati, jadi posisi lu aman buat bantuin gua. Lagian gua lebih percaya sama lu."
Bebernya padaku.
"Udah udah, ini kenapa arahnya jadi serius gini? Diminum dulu kopinya."
Dinda tiba-tiba datang.
"Makasih teh."
Aku menyambut kopi yang masih mengepul itu.
"Terus lu nyari tempat angker buat apaan?"
Aku melanjutkan rasa penasaranku.
"Hehe, mereka bisa gua pake buat ngacak-ngacak Aswatama. Lu gak mikir gua bikin bangkrut perusahaan bekas Han itu sama guru doang kan? Mereka juga bantu gua selama ini. Keren gak?"
Ratih tersenyum sombong.
"Aswatama bikin grup di alam manusia, lu bikin pasukan di alam lelembut? Ratih
pisan sih kalo gitu mah."
Aku mengejeknya.
"Hahaha sialan, lu bawahan gua ye sekarang. Kurang ajar gua potong gaji lu ntar."
Ratih menunjukku dan tertawa terbahak-bahak.
"Iya maaf nyonya besar."
Aku menimpali candaannya.
"Terus besok kamu mau kemana lagi Ratih?"
Dinda tiba-tiba bertanya.
"Ini."
Ratih mengeluarkan koran dari tasnya.
Aku membaca berita utamanya.
'Sepasang Kekasih Hilang Saat Pendakian.'
Dan saat kuperhatikan wajah wanita yang terpampang disana.
Sialan~