Aku mencoba mengingat dengan keras, Dinda pernah menyebutkan bahwa ia adalah putri bungsu dari teh Yuyun. Artinya ia memiliki seorang kakak seharusnya, apakah laki-laki di hadapanku ini adalah kakak dari Dinda?
Teh Yuyun berdiri, luka yang ia derita nampaknya terbuka lagi, darah mulai merembes dari balik jaket yang ia kenakan.
"Kau yakin dengan ini nyi?"
Vijaya bertanya dengan tenang.
Teh Yuyun hanya menatapnya tajam, ia mengatur nafasnya kemudian.
"Purwayiksa."
Satu kata yang teh Yuyun lontarkan sanggup membuat Vijaya melotot ketakutan.
Salahsatu Geni yang paling besar diantara yang lain berhenti menyerang laki-laki itu. Ia kemudian melompat ke arah Vijaya, sementara Rega tak tinggal diam. Rega maju menghalangi hingga keduanya saling bertubrukan. Sebelum Geni itu berdiri, cambukan dari ekor Rega membuatnya harus terlempar menjauh dan jatuh di dekat teh Yuyun.
Geni itu kemudian berdiri, tubuhnya mulai mengeluarkan asap hitam. Kepulan asap itu kemudian berkumpul dan bayangan anjing besar mulai berubah postur.
Aku seperti melihat dia berdiri dengan dua kaki dan lengkap sudah, postur manusia kini terlihat jelas.
Itu Ayi!
Aku mengenalnya, ia tak mengambil wujud siapapun, badannya hitam kelam dengan kepulan asap tipis yang sesekali keluar dari tubuhnya.
"Jangan lagi memaksaku menjadi anjing!"Ayi protes terhadap teh Yuyun.
Namun teh Yuyun hanya diam menatapnya kesal.
"Apa? Pahit Lidahmu masih berjalan?" Ayi menerka, begitupun aku. Pahit Lidah?
Teh Yuyun mengangguk, dan memberi tanda angka 4 dengan jarinya.
"Empat lagi? Baiklah, biarkan aku sedikit bersenang-senang." Ayi maju ia melemaskan tangan dan pundaknya sambil berjalan pelan.
"Sialan! Aku tak mengira kau akan muncul sekarang."
Vijaya terlihat takut dan kesal dengan kemunculan Ayi.
"Ayolah, kita bisa lanjutkan kesenangan kita tempo hari." Ayi tersenyum lebar, deretan giginya terlihat seperti taring tajam kesemuanya. Tak seperti biasa yang tersenyum dengan gigi seperti manusia.
"Amankan mereka!"
Suara laki-laki tegas terdengar dari lorong.
"Kau punya sedikit pekerjaan bukan?" Ayi mengejek ke arah Vijaya.
Vijaya hanya berdecak kesal lalu menghambur ke arah suara itu berasal.
Pukulan keras, teriakan pilu, dan suara benturan terdengar bersahut-sahutan.
"Geni! Lepaskan bocah itu!" Geni yang sedang mencabik pun berhenti, mereka mundur dan memperlihatkan tubuh laki-laki yang berdarah disana-sini.
Kemudian Rega meluncur cepat berusaha mendekati laki-laki itu.
"Makanan baru kalian tiba anak-anak!" Ayi menunjuk Rega.
Para Geni menyambutnya dengan berlarian ke arah Rega. Semuanya mengigiti Rega, membuat Rega harus mengibaskan tubuhnya ke segala arah. Kadangkala terlihat Rega balas mengigit para Geni dan membantingnya dengan keras.
Geni yang dibanting lenyap seperti asap, lalu Geni baru masuk dan kembali menyerang. Seperti tanpa henti, seolah jumlah Geni yang menyerang Rega tak pernah berkurang.
Ayi berjalan menuju laki-laki yang sedang terkapar karena serangan Geni tadi. Ia berjongkok dan memegang pipinya, seperti melihat luka-luka yang ia derita.
"Yuda...Yuda.. seandainya kau tidak tergoda kekuatan Kala, kau seharusnya masih bisa menikmati hidup dengan tenang." Ayi berbicara pada laki-laki yang ia panggil Yuda.
"Cuih!"
Yuda meludahi wajah Ayi.
Wajah Ayi yang terkena ludahnya seperti meleleh dan jatuh. Namun seketika tertutup seperti sebelumnya.
"Tanyakan pada si jalang Yuyun, mengapa ia membunuh ayahku!"
Yuda berteriak di sela-sela nafasnya yang tersengal.
"Ayolah, aku terlalu tua untuk mengurusi urusan keluarga seperti itu. Sekarang, bisakah kau mati?" Ayi mengangkat tangannya, sebuah tombak terbentuk perlahan dari kepulan asap hitam tipis yang keluar dari tubuhnya.
Tombak sepanjang satu meter yang telah terbentuk sempurna itu ia hujamkan tepat di dada Yuda menembus hingga lantai dibawah tubuhnya retak.
Namun yang terjadi selanjutnya membuatku keheranan.
Alih-alih tubuh Yuda berlubang, tubuhnya malah retak seperti tanah liat kering dan lalu serpihannya mulai berjatuhan.
Ayi berdiri, wajahnya geram. Aku tak mengerti kenapa, tapi sepertinya Yuda tidak mati. Yang Ayi bunuh hanya bonekanya.
Lalu dengan marah, Ayi membuat lagi satu tombak lain. Tombak yang baru terbentuk itu ia lemparkan tepat di kepala Rega, dan tombak yang tertancap di dada yuda ia ambil dan lemparkan ke arah dinding.
Kepala Rega yang tertancap tombak Ayi seketika berubah menjadi batu dan kemudian retak seperti Yuda.
Sementara tombak lain yang dilemparkan Ayi menembus tembok dan mengenai perut Vijaya. Lagi-lagi Vijaya juga berubah menjadi batu kemudian retak seperti tubuh Rega dan yuda.
"Kau bodoh nyi! Benar-benar bodoh!" Ayi terbawa emosi saat sadar yang ia hadapi hanyalah boneka tanah.
Teh Yuyun yang sedari tadi terduduk hanya menghela nafas panjang sambil menahan sakit.
Ia lalu berdiri, kakinya ia lebarkan selebar punggung, tangannya terjulur ke depan. Lalu teh Yuyun mengigit kuat bibirnya hingga berdarah.
"Candraka Candraki Candranu,
Pirawa Piraga Piragi Pirawiga,
Kawasa alam lelembut, misahan diri alam dunya, jaga pati amuksa, kamuat nu hyang pura."
Teh Yuyun membaca mantra dengan mata tertutup.
"Kau benar-benar nekat nyi!"Ayu tampaknya sedikit khawatir.
Udara seketika turun dengan drastis, rasa dingin begitu terasa, bahkan hembusan nafas teh Yuyun dapat kulihat di udara.
Lalu angin besar menerpa membuat semua hal di ruangan ini berantakan menghembus tubuh teh Yuyun dan Ayi.
Kemudian angin itu berkumpul memutar membuat sebuah lubang di udara. Perlahan warnanya berubah menjadi merah pekat. Lubang bundar sebesar ukuran 2x orang dewasa terbentuk sempurna.
Aku merasakan rasa ngeri yang hebat, rasa takut yang begitu kental, seolah sesuatu memberitahuku bahwa ada makhluk mengerikan yang mendiami lubang itu.
Sebuah tangan tengkorak muncul dari sana, di susul dengan tangan-tangan lain, hingga genap berjumlah enam. Tangan-tangan itu sangat panjang hingga keenamnya sanggup menyentuh langit-langit. Lalu tangan-tangan itu mulai memposisikan diri. Dua dibawah seperti, dua diatas, lalu satu masing-masing ada di kanan dan kiri lubang itu. Kini mereka mulai menekuk seperti sesuatu akan keluar dari sana.
Sebuah tengkorak kepala kemudian menyembul keluar, tidak bukan satu, tapi tiga tengkorak kepala menyembul keluar dari lubang itu!
Masing-masing dari kepalanya mempunyai dua pasang taring panjang diatas dan dibawah hingga melewati dagu dan tulang hidung.
Dua dari kepala itu memanjangkan tulang lehernya dan mengigit untuk kemudian melahap kedua tangan teh Yuyun yang terjulur.
Kepala yang ditengah keluar sempurna menunjukkan tubuhnya.
Tubuh seperti manusia, dengan sayap lebar yang tersusun dari tulang belulang menempel di punggungnya, di kedua pundaknya terdapat tulang leher yang memanjang yang menjadi tumpuan dua kepala lain di kanan-kirinya. Keenam tangannya menempel hingga pinggang, lalu kakinya ada empat. Dua di depan dengan ukuran lebih pendek, sementara dua lain di belakang dengan ukuran lebih panjang dan sedikit menekuk, seperti posisi kaki seseorang yang hampir berlutut.
Ayi melangkah mundur beberapa kali.
"Kau sudah gila, nyi." Ujarnya seperti paham betul apa yang sedang terjadi.
Sementara aku masih sibuk mengatasi rasa takutku karena melihat makhluk itu seperti sedang menatapku.
"Sugan aing saha. Teu kaharti sia nepi ngahaokan aing. Nyaan sia Nyi? "
("Kukira siapa. Tak mengerti kau sampai memanggilku. Kau yakin Nyi?") Makhluk itu bicara dengan suara yang sangat serak namun menggema. Anehnya mulutnya tak bergerak, hanya menganga diam. Seolah suara itu langsung masuk ke telinga begitu saja.
Teh Yuyun mengangguk. Kulihat tetesan darah dari kedua lengannya berjatuhan seperti air hujan membasahi lantai dengan warna merah yang terang.
Entah apapun yang coba teh Yuyun lakukan, aku merasa itu bukan hal yang akan berakhir baik-baik saja.
Setelah mendapat persetujuan teh Yuyun. Makhluk menusuk tangan-tangannya ke perut teh Yuyun hingga tembus ke punggung.
"Hagh."
Suara erangan teh Yuyun tertahan.
Tangan-tangan itu lalu seperti membuka perut teh Yuyun yang sudah berlubang. Lalu tetesan darah yang keluar dari situ bukan jatuh tapi naik dan berkumpul ke atas. Seperti melawan gravitasi.
Darah teh Yuyun semakin banyak, seolah ia sedang membuat kolam darah diatas kepala kami.
"Aku benci kemana hal ini menuju." Ayi berujar dengan nada rendah. Ada kekhawatiran di kata-katanya.
Lalu kolam darah yang sudah mengumpul itu turun seperti banjir bandang tiba-tiba. Melahap ruangan ini dengan warna merah menyala. Pandanganku seperti tenggelam, yang aku lihat hanyalah air berwarna merah.
Perlahan semuanya berganti. Aku seperti naik ke permukaan. Saat diatas, jelas kulihat aku seperti berada di sebuah danau merah. Di sekelilingku banyak sekali pohon besar yang kering dengan warna abu-abu. Kulihat teh Yuyun seperti berenang ke tepian.
Pun dengan ayi, ia berjalan diatas danau ini. Sementara kulihat wajahnya terlihat sangat kesal.
Setelah mereka berdua berkumpul di tepian. Barulah Ayi bicara.
"Aku tak mengerti kau sampai harus melakukan semua ini. Kau paham jika masuk kemari tidak akan berakhir baik untukmu." Ujarnya dengan kesal.
Teh Yuyun hanya menatapnya dengan tatapan acuh. Sebelum kusadar bahwa kini teh Yuyun memakai kebaya merah dengan kain batik abu. Yang berbeda dari penampilannya adalah perut teh Yuyun yang berlubang hingga aku bisa melihat tembus ke belakang lewat situ.
"Bayawak, Puputon, Hyang Pura."
Teh Yuyun mengucapkan ketiga kata itu dengan tenang.
Lalu dari danau merah itu perlahan keluar seekor biawak. Kepalanya sebesar pintu terlihat berenang menuju ke tepian dimana teh Yuyun dan Ayi berada.
Biawak itu awalnya merayap naik, namun saat tubuhnya telah keluar dari air, ia mulai mengangkat tubuhnya hingga berdiri dengan dua kaki. Aku taksir besaran biawak itu seukuran bus. Hingga teh Yuyun dan Ayi harus menengadah untuk melihatnya.
"Hahaha ... Ternyata benar kabar itu, kau melakukannya hingga sejauh ini." Biawak itu bicara dan menujuk jari raksasanya pada teh Yuyun.
"Berhenti bicara dan bawa Vijaya ke hadapanku."
Teh Yuyun memerintahkan ia dengan dingin.
Biawak tadi langsung terdiam, ia menurunkan tubuhnya lalu merangkak pergi masuk menuju hutan di belakang teh Yuyun.
"Kau bisa bicara lagi nyi?" Tanya Ayi pada teh Yuyun.
"Lalu kenapa? Kau ingin aku diam atau kau yang tutup mulutmu, dan berhenti mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu."
Teh Yuyun memarahi Ayi dengan acuh.
"Baiklah, aku diam." Ayi lalu duduk bersila dengan santai dan mempertahankan danau merah sekali lagi.
Gumpalan rambut mulai terlihat awalnya hanya beberapa helai, kemudian semakin banyak dan lebih banyak. Lalu disusul kepala dan tubuh yang mengapung. Tubuh itu seperti terbawa menuju tepian. Barulah jelas terlihat, seorang wanita dengan rambut yang sangat amat panjang berdiri di hadapan kami. Ia telanjang dan wajahnya tertutup rambut seluruhnya. Tubuhnya pucat, di beberapa sendinya terlihat tulangnya mencuat keluar.
"Cari Kusuma!"
Perintah teh Yuyun padanya.
Wanita itu tak menjawab, ia hanya terkekeh tipis sebelum pergi ke belakang menuju hutan seperti biawak raksasa tadi.
Lalu langit yang kulihat berwarna abu seperti pepohonan disini, perlahan berubah menjadi merah seperti danau yang ada dibawah.
Awan putih berkumpul, lalu sosok makhluk yang teh Yuyun panggil turun dari atas langit. Ia seperti terbang dengan sayapnya.
"Sungguh, kau memanggilku dua kali hari ini." Ujar makhluk itu pada teh Yuyun.
"Berhenti mengeluh, sebagai salahsatu penguasa alam ini kau seharusnya lebih hebat dari yang lain. Sekarang bawakan aku kepala Kala." Teh Yuyun dengan tatapan menghina memerintahkannya.
"Menarik! Kau tahu betul aku harus membawa setidaknya tiga orang kemari. Kau berencana menyeret yang lain juga? Aku suka manusia sepertimu." Balas makhluk itu sambil menatap teh Yuyun.
"Sekarang!"
Teh Yuyun membentaknya agar segera pergi.
"khekhekhe.. jiwamu pasti sangat manis." Makhluk itu pergi melewati teh Yuyun seperti yang lain.
Sementara teh Yuyun berbalik dan menatap hutan mistis di belakangnya.
"Baiklah, karena kau sudah membuktikan tekadmu, aku ingin lihat bagimana semua ini berakhir." Ayi bangun lalu berdiri, ia melompat ke danau merah itu.
Teh Yuyun masih menatap hutan itu selama beberapa saat.
Lalu mengikuti Ayi masuk ke danau .
Pandanganku seperti berputar diawali warna merah, lalu kuning dan biru. Hingga kami seperti berpindah dan tiba di suatu tempat.
Kulihat Vijaya dan Ratih sedang sibuk melawan biawak raksasa yang kulihat di danau tadi. Mereka menyerangnya bergiliran.
"Kalian bermain tanpaku?!" Ayo berteriak pada mereka berdua.
Keduanya menoleh dengan cepat dan berdecak.
Satu pertanyaan yang menghantuiku sejak semua pengelihatan ini dimulai. Mampukah teh Yuyun benar-benar menyelesaikan dendamnya?