Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

zatilmutieAvatar border
TS
zatilmutie
Kumpulan Cerpen Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Sebuah Kisah di Raudhah
By: Zatil Mutie



Kumpulan Cerpen Cinta Bertepuk Sebelah Tangan


Kabut masih setia menyelemuti pelataran bangunan megah bercat putih berkolaborasi dengan hijau. Kubah keperakan menjadi ciri khas tempat yang akan dipadati para santriyat* dan santiyin* ketika akhir pekan menyambut. Aula yang mirip yang mirip dengan bangunan masjid ini memang ikon unik di sekolah kami.

Aku adalah siswi pindahan sekaligus santriyat baru di madrasah aliyah terpadu ini. Sebenarnya ini pilihan Kakak yang over protective dalam mengawasi adik perempuan bontotnya. Ya, sejak ketahuan dikunjungi teman-teman sekelas--yang salah satunya--berusaha pedekate sejak masuk di bangku putih-abu.

Cinta monyet mulai melandaku saat itu, dan mungkin hal ini yang menyebabkan Kakak naik pitam. Sejak aku dititipkan untuk sekolah bersama Kakak, memang dunia remajaku bak burung dalam sangkar. Kalian tahu? kakakku itu killer bukan main. Maklum beliau mantan lurah santriyat di pondok pesantrennya dulu.

Berbagai pikiran buruk menghampiri benak. Sejak menginjakkan kaki di sekolah baru dengan penuh kekesalan. Perlahan aku mulai beradaptasi, apalagi saat mendapat teman baru bernama Aini. Gadis manis, murah senyum dan baik hati. Seperti siang itu, dia mengajakku mengikuti perekrutan anggota Osis baru. Walau sedikit malas, tapi karena kasihan, aku mengikuti langkahnya dengan gontai.

***
Pandangan kuedarkan ke setiap penjuru aula, hingga berhenti tepat pada sesosok pengurus Osis yang sibuk memberikan formulir pendaftaran. Siswa bertubuh jangkung dengan kulit putih dan mata sipit. Peci hitam menambah ketampanannya yang seketika menghipnotis bak seorang Arjuna.

"Ni, itu siapa yang ngasih formulir sama kamu tadi?" bisikku sambil mencolek tangan Aini.

"Oh, itu. Namanya Kak Sidqi, kelas 2 Bahasa, dia jago seni, loh!" serunya sambil mengisi formulir.

"Sttt! Jangan kenceng-kenceng. Malu tau, kedengeran yang lain," timpalku sambil mencubit pipi tembamnya.

"Hayooo ... kamu naksir, ya, ama dia?" Lagi-lagi si comel itu berkicau.

"Ish! Kau ini, aku nanya doang, emang gak boleh?"

"Tapi ... baru kali ini kamu nanyain cowo yang ada di sekolah kita, loh. Bukannya selama ini kamu masih nunggu siapa itu, pacar di sekolah lamamu?" Aini mendongak sambil cekikikan.

"Udahlah, jangan bahas si pengkhianat itu. Udah kubuang nama itu ke laut, kemaren Vika kirim surat dan foto, di situ si Amar deket banget ama si kuntilanak Farah," jawabku ketus.

"Ehmmm ... ok, mungkin kisah cintamu akan terukir di sini, Mut." Senyum manisnya terukir. Membuat emosiku sedikit mereda.

***
Berbagai kegiatan osis aku ikuti hanya untuk dapat bersama dengan kakak kelas bernama Sidqi Fauzan Athar. Bahkan puisi-puisi receh mulai kukirim ke meja redaksi mading yang nota bene dikelola Sidqi.

"Keren, puisi ini bagus banget. Pake bahasa Inggris pula!" seru Sidqi di depan mading sekolah siang itu.

"Wah, punya siapa, tuh? Perasaan baru liat, deh." Seorang temannya menimpali.

Aku yang tak sengaja lewat ke lorong itu mendadak panas dingin. Dipuji orang yang dikagumi? Ya Allah, rasanya kaya terbang ke langit ketujuh😆😆.

***

Sejak saat itu, kisahku dimulai. Sidqi memanggilku dengan menitip surat kepada Aini. Walaupun kami satu pondok, tapi di pesantren tidak bisa berinteraksi langsung dengan lawan jenis. Semua acara terpisah, kecuali acara akhir pekan yaitu hadorohan--semacam pengajian umum yang diwajibkan setiap santri untuk berdakwah di depan santri dan ustaz-ustaz.

Sidqi memuji karya-karyaku. Dia memang jago puisi, tapi tidak bisa menggunakan bahasa Inggris dalam menulis puisi. Apalagi sejak berita kemenanganku dalam poetry contest salah satu kampus ternama di kota kami mulai tersiar di sekolah. Aku bahagia bisa mendapatkan perhatian dari seseorang yang kupuja diam-diam. Hanya Aini yang tahu rahasia ini. Kalau Kakak tahu, bisa tamat riwayatku.

***
Acara kenaikan kelas berlangsung meriah, tak menyangka jika akhirnya aku bisa masuk juara umum mengalahkan Anna, santriyat yang selama ini menjadi rivalku. Yang lebih menyenangkan adalah bisa berdiri satu panggung dengan Sidqi yang waktu itu meraih juara pertama di kelasnya.

"Selamat, ya. Kamu hebat, Mutie," ucapnya sambil tersenyum dan mengatupkan kedua tangannya. Seketika hati ini berbunga-bunga. Kalaulah bisa aku ingin berteriak kepada semua yang hadir, jika aku bahagia.

***
Masa orientasi adik kelas dimulai, wajah-wajah baru bermunculan menghiasi pesantren. Entah mengapa, Sidqi mulai jarang menyapaku di sekolah. Walaupun kami tak pernah mengikrarkan satu perasaan, tapi bagiku cukup jelas jika kami mempunyai perasaan yang sama.

Dingin yang menusuk kulit tak menghentikan langkahku menelusuri lorong menuju gerbang sekolah. Tepat di dekat bangunan berkubah perak yang dinamai Raudah aku berhenti. Sesosok siswa yang selama ini mengisi ruang hatiku sedang berduaan dengan siswi baru. Aku tahu siswi itu memang rebutan para siswa di sekolah, namanya Raini.

Hatiku bergejolak, ada bara yang kini berkobar makin dahsyat di dalam sana. Tak terasa tetes demi tetes meluncur membasahi hijab putihku. Dengan gontai kutundukkan pandangan dan berlalu menuju sekolah. Suasana hatiku seketika kacau balau. Nafsu makan pun menurun drastis. Bahkan saat pelajaran favoritku berlangsung perhatianku buyar entah kemana.

"Mut, Mutie! Ayo, makan bakpaunya. Keburu dingin, nih!" Aini mengagetkanku.

"Aku lagi males makan, Ni," jawabku lemah. Lalu beringsut menuju satu ruang. Ruang tempatku mendapat inspirasi untuk mencurahkan perasaan. Ya, perpustakaan. Ruang yang sama ketika aku dan Sidqi selalu membahas buku-buku sastra.

Setelah memilih novel teenlit religy, aku bergegas memilih bangku di pojok perpustakaan. Sengaja, agar bisa menyepi. Hampir setengah buku kubaca, walaupun konsentrasi entah kemana. Suara seseorang membuyarkan kegundahan.

"Mutie, boleh numpang baca di sini."

Suara itu seketika menghentikan laju nadiku. Suara yang kini sangat kubenci.

Tanpa menunggu waktu lama, aku beranjak tanpa suara. Meninggalkan makhluk menyebalkan itu dengan cepat. Sementara dia hanya melongo melihat responsku.

***
Waktu bergulir begitu cepat. Luka kupendam dalam-dalam. Walaupun Sidqi berusaha mendekati, tapi hati ini terlampau sakit. Mungkin ini yang Kakak maksud. Aku tak boleh dulu pacaran hingga lulus Aliyah. Kakak tak ingin perhatianku terbagi dengan hal yang tak penting.

Hari graduasi berlangsung khidmat. Sidqi didaulat menjadi pengantin laki-laki pada upacara adat Sunda berdampingan dengan Kak Fakhira--santri senior--di pesantren kami. Aku yang kala itu menjadi anggota panitia graduasi terpaksa harus bertatap muka langsung dengan Sidqi.

"Mut, kenapa melamun?" Suaranya memecah suasana. Ya, Sejak tadi kami memang berdua di pinggir Raudah, menunggu acara dimulai.

"Gak kenapa-napa, Kak. Oh, ya. Selamat, Kakak mendapat nilai ujian nasional tertinggi tahun ini." Aku berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Sungguh, hatiku tiba-tiba bergetar tak keruan.

"Makasih, Mut," jawabnya pendek.

"Kenapa, Kak? Kok, kayak gak seneng?"

"Aku bingung, Mut. Orang tuaku bangkrut. Jadi mimpi untuk kuliah, sekarang ... harus kupikirkan ulang," ungkapnya sedikit berat.

"Kakak harus semangat. Kuliah 'kan ada jalur beasiswa atau kuliah sambil kerja. Jadi gak usah sedih lagi, Kak."

"Makasih, Mut. Aku hampir lupa." Sidqi mendongak, semangatnya tampak kembali muncul.

"Kemana pacarmu, Kak. Seharusnya ini hari yang paling indah buat kalian."

Raut wajah Sidqi seketika berubah. Lalu sorot tajam itu beralih dan membuatku tak berkutik.

"Mut, kenapa kamu gak pernah jujur. Bahkan hingga detik perpisahan ini."

Aku terkejut. Entah apa yang harus kuungkapkan dan dari mana dia mengetahui rahasiaku.

"Aku memang salah, aku tertipu penampilan semata. Aku begitu bodoh karena tak menyadari sikapmu yang mulai menjauh waktu itu." Suaranya semakin parau. Sorot matanya pun mulai teduh.

"Gak ada yang harus disesali, Kak. Mungkin ini teguran Allah buat aku. Aku harus tetap menjaga hati dan izzah." Pelan, sambil tertunduk dan mata kian berkabut aku menjawabnya.

"Mut ... maafin, Kakak, ya ...." Sidqi mengulurkan sekuntum bunga mawar putih. "Jika Allah menghendaki, kutunggu kamu di kampus yang sama," ungkapnya lagi. Membuatku seketika terpana.

"I-insyaallah, Kak." Aku mengatupkan kedua telapak tangan ke arahnya.

Angin semilir nan lembut menutup acara perpisahan siang itu dengan satu kisah. Kisah yang hingga saat ini tak pernah menjadi nyata.

THE END


Footnote:
Santriyat: santri wanita
Santriyin: santri pria

gambar
Diubah oleh zatilmutie 09-10-2020 21:35
bukhorigan
gustiarny
tien212700
tien212700 dan 14 lainnya memberi reputasi
11
3.7K
50
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
zatilmutieAvatar border
TS
zatilmutie
#3
Renjana
Kumpulan Cerpen Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Angin pagi berembus lembut, menebar semerbak wangi khas bunga akasia yang berhamburan di halaman aula sekolah bercat putih-cream. Deretan siswa-siswi yang berjejal di hari penutupan masa orientasi sekolah tampak masih antusias bersorak-sorai menyambut ketua OSIS yang baru saja memasuki aula.

Setelah beberapa pengumuman dari pengurus OSIS untuk perekrutan anggota baru. Akhirnya para siswa mulai memasuki kelas masing-masing untuk menerima jadwal pelajaran. Ya, pelajaran baru di dunia putih-abu.

Kelasku adalah kelas terfavorit karena siswa yang masuk di sini merupakan hasil seleksi nilai UN dan tes akademik yang cukup ketat.

"Hai, assalamualaikum," sapa sebuah suara di belakangku. Suara siswa yang begitu merdu mengentak gendang telinga.

"Hai ... waalaikumsalam," jawabku pelan. Dia adalah Mirza Fahrezi Althaf, ketua kelas yang baru terpilih kemarin.

Entah mengapa, sorot mata berbulu lebat kecokelatan itu begitu membuatku kikuk, senyum manisnya selalu terukir ketika menyapa siapa pun.

"Hai, Mirza! Boleh, aku duduk di dekat kamu." Suara cempreng datang mengempas kebisuan kami. Entah mengapa dalam hatiku seketika ada percikan hangat yang makin memanas melihat Sherly--siswi yang terkenal paling centil di kelas 1.1--sebenarnya gadis itu tak punya sedikit pun modal merayu laki-laki, selain tubuhnya yang termasuk jumbo alias overweight. Sikap childish-nya juga sering membuat siswa lain muak.

Mirza masih tetap mengukir senyum, walaupun dia terlihat sedikit dongkol.Entahlah, Nenek Gembrong ini selalu saja mengejar-ngejarnya sejak hari pertama masa orientasi siswa baru.

Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka novel Asma Nadia favoritku. Namun, semua konsentrasi ini buyar dengan suara cempreng ala Sherly.

***
Suara seseorang mengetuk pintu kelas, ternyata wali kelasku baru saja datang.

"Selamat pagi!" sapanya dengan senyum semringah.

"Pagiiii ... Bu." Suara koor siswa-siswi menyambut dengan antusias.

Perkenalan dengan Bu Wuri guru fisika yang juga ditunjuk sebagai wali kelas sangat menarik. Berbagai pengalaman berharga yang beliau ceritakan cukup memotivasi semangat belajar kami.

***

Kegiatan belajar belum aktif sepenuhnya. Setelah jam istirahat tiba, aku memilih membenamkan diri di ruang favorit--perpustakaan. Setelah mengambil buku Ensiklopedia Islam, kuputuskan untuk membacanya di teras perpustakaan.

Di seberang ruang perpustakaan terdapat musala yang dikelilingi pohon mahagoni. Bunganya berguguran menerpa teras bangunan berkubah bundar itu. Tak sengaja kulihat sesosok siswa yang baru keluar dan duduk memakai peci hitam, tangannya sibuk menepis bunga yang menerpa pecinya.

"Mirza ...," gumamku. Ada rasa kagum yang terselip di lubuk hati ini.

Wajahnya begitu bercahaya dengan pantulan air wudu, seketika wajah ini tersipu, saat tatapannya berserobok.Walau jarak yang memisahkan lumayan jauh, tapi tetap saja malu jika ketahuan pipiku merah merona. akhirnya, aku berpura-pura membuka lembaran ensiklopedia.

***

"Hai, rajin banget, pagi-pagi udah nongkrong di perpus. "Suaranya mengagetkanku, dan kini dia sudah berdiri tepat di bawah tangga perpustakaan.

"Ehm ... suntuk di kelas terus. Gak ada gurunya," jawabku bergetar. Entah mengapa, rasanya selalu salah tingkah berada di dekat orang ini.

"Kamu hobi baca buku, ya?"

"Ah, biasa, aja, sih! Cuma ngusir badmood," kilahku.

"Suka ngeles, deh. Liat buku yang kamu baca ini, super tebal, tau!" godanya membuatku tersipu.

"Eh, by the way. Selamat, ya. Kamu lulus tes seleksi masuk sekolah ini dengan nilai terbaik."

"Kamu juga, kamu terbaik kedua." Kami berjabat tangan erat, ada getaran hangat yang mengalir dari tangannya.

"Tapi, jangan nganggap aku saingan, ya?"

"Ya ampun, saingan! Itu cuma hoki, aja, kali, Za."

Kami tertawa, perlahan suasana mencair. Kekakuan yang selama ini selalu menghinggapi seakan sirna, getar-getar bahagia pun selalu ter
rasa bila berada di dekatnya.

***
Sebulan sudah, Mirza tak tampak di sekolah. Padahal aku selalu menantikannya tiap pagi di gerbang sekolah sambil bernaung di bawah pohon beringin mengharap sosok periang itu muncul.

Kabar yang kudengar Mirza sakit, kami satu kelas akhirnya berangkat menjenguk dia. Rumahnya cukup sederhana, dia tinggal dengan ibunya karena Mirza sudah yatim sejak SMP. Ibunya terharu melihat perhatian kami kepada anaknya. Beliau mengatakan jika Mirza akan berhenti sekolah karena terkendala biaya. Hatiku terenyuh, Mirza anak yang cerdas, tapi sayang, kondisi ekonomi keluarganya sangat mempriharinkan.Mirza harus bekerja paruh waktu sepulang sekolah di sebuah toko buku, demi membantu biaya bulanan sekolah.

Setelah kami pulang, aku menemui wali kelas dan menceritakan kondisi Mirza. Bu Wuri berjanji akan memberikan beasiswa prestasi kepada Mirza. Hatiku sangat bahagia mendengar keputusannya.

***
Sebulan berlalu pasca Mirza sakit. Senyumnya kembali menghias hari-hariku. Bunga-bunga indah kian tumbuh subur memenuhi penjuru hati yang bergelora. Walaupun kami tak pernah berikrar menjadi sepasang kekasih seperti umumnya. Namun, kebersamaan di kelas seolah menyatukan kami dalam satu ikatan tak terpisahkan.

Suatu hari Mirza sempat bercerita kepada Rena--sahabatku--jika dia menyimpan rasa. Namun, dia malu untuk mengatakan cinta, karena aku adalah rival terberatnya di kelas.

***
Di ujung aula sekolah langkah ini terhenti. Ada dua sosok yang sangat kukenal, perlahan tetesan hangat meluruh di pipiku diiringi gemuruh yang makin kuat menghantam dada.

"Mirza, kenapa kamu lakukan semua ini? Lalu, selama ini ... Arhh! Aku benci kamu, Za!" jeritku tertahan.

Perlahan aku memundurkan langkah, menyeka air mata yang terlanjur menetes, tak layak rasanya jika harus menangisi seorang penipu seperti dia.

***
Sebulan kemudian ....

"Ghaida ... pinjem kamusnya, dong!" pinta Mirza. Kebetulan kala itu ada tugas bahasa Inggris yang belum dia kerjakan.

Aku hanya diam, sepertinya hati ini sudah mati rasa melihat sosok penipu itu.

"Ambil, aja!" sambutku hambar.

"Please! Da, kamu kenapa, sih. Akhir-akhir ini menghindari aku."

"Menghindar? Gak salah! Kan, kamu yang selama ini sibuk di luar sana."

"Udah lama kita gak diskusi bareng, gak kerja kelompok, gak pernah ke perpus bareng lagi," rengeknya dengan tatapan memelas.

"Udah, Za! Jangan pura-pura, deh. Bukannya kamu udah dapet partner baru, ngapain juga ngurusin aku? Kabarnya kamu lagi kasmaran, tuh, sama si Tania itu, kan?" Pertanyaanku cukup membuat Mirza terperangah. Raut wajahnya berubah seketika.

"Kamu cemburu?"

"Cemburu? Pede banget, huh!" Mulutku mencebik, "beritamu itu udah fenomenal se-sekolah, tau!" pungkasku sambil melangkah meninggalkannya yang masih terbengong melihat kepergianku.

Sejak kejadian itu, Mirza sering melamun dan memandangi penuh sendu dari ujung kelas, atau dari teras musala, jika aku memilih buku di perpustakaan.

***
Ayah dimutasikan dari pekerjaannya ke Bandung, otomatis aku dan keluarga mengikuti kepindahannya walau berat rasanya meninggalkan sekolah yang sudah memberi berbagai kenangan dalam hidupku.

Saat-saat berpamitan dengan derai air mata sahabat-sahabat dan juga guru pun tiba. Aku keluar kelas dengan keadaan yang tak keruan. Di sudut taman sekolah, tepatnya di sebuah bangku yang dinaungi akasia tua, Mirza duduk. Wajah itu tampak begitu sedih. Walaupun terpaksa kaki ini akhirnya melangkah, menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal.

"Ghaida ... kamu beneran mau ninggalin aku?" ucapnya dengan tatapan penuh penyesalan.

"Aku pergi mengikuti orang tuaku, Za. Bukan karena keinginan sendiri." Mataku mulai memanas. Entah mengapa, rasanya begitu berat melihat wajah yang pernah mengisi ruang terdalam jiwa ini.

"Please! Da ... tengok aku sebentar saja." Mirza mulai berlutut dan menatapku tajam.

"Maksudmu, Za? Maafin aku, jika selama ini aku banyak salah sama kamu. Aku tetap harus pergi," lirihku tanpa berani menatapnya. Luruhan cairan bening mulai menetesi jemari Mirza.

Mirza meraih jemariku, tangannya bergetar, kurasakan tautan jemarinya begitu kuat seakan enggan melepasku.

"Mungkin aku telat, Ghaida. Aku memang pengecut, penipu! Tapi sungguh di lubuk hatiku, kamulah wanita pertama yang aku kagumi dan ... cintai," ujarnya terbata-bata. Aku sungguh terkejut mendengar kejujurannya.

"Kamu itu terlalu pintar, jadi aku minder jika harus mengatakan ini kepada seorang rival terberatku," ungkapnya dengan suara serak.

"Mirza ...," bisikku tertahan. Tak terasa air mataku semakin deras mengalir. Telunjuk Mirza dengan sigap menahan tetesan itu dan menghapusnya.

"Please! Jangan katakan apa pun Ghaida, walaupun mungkin ini terlambat. Setidaknya hatiku bisa lega, beban di jiwaku kini hilang."

"Aku tetap harus pergi, Za." Aku berdiri dengan berat.

"Iya, aku tahu itu, tapi aku janji. Suatu hari nanti, aku akan menjemputmu dan membahagiakan kamu. Satu lagi, kenyataan yang harus kamu tahu, Tania bukanlah pacarku. Dia kerabat jauhku dari pihak Ibu. Kamulah wanita pertama yang mengisi mimpi-mimpiku, Ghaida Tsaniatur Rahma," pungkasnya membuat jantungku seakan berhenti berdetak untuk sesaat.

'Duhai Penguasa Alam, inikah rahasia terindah yang harus terungkap di saat perpisahan menyapa?'

Aku menatapnya tanpa henti. Lidahku kelu untuk membalas kejujurannya. Ungkapan cinta Mirza telah meruntuhkan dinding kebencian yang sempat menguasai hati ini beberapa bulan ke belakang.

***
Tanganku melambai tepat di depan pintu gerbang sekolah. "Aku akan selalu nungguin kamuuu! Mirza Fahrezi Althaf!" seruku disambut angin yang bertiup lembut, menjatuhkan bunga-bunga akasia yang menaungi Mirza.

Tamat

Cianjur, 12-10-2020
Diubah oleh zatilmutie 13-10-2020 05:37
miniadila
trifatoyah
detyry
detyry dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.